M U T I A R A S A L A F
POTRET SALAF DALAM MENGHADAPI MUSIBAH
Dari Al-A’masy, dari Syahar bin Hausyab, dari Al-Harits bin Umairah diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku pernah duduk disamping Muadz, ketika beliau sedang tidak sadar. Beliau pingsan, kemudian sadar, terbangun dan berkata:”Aku tercekik karena kehendak-Mu. Demi kemuliaan-Mu, sungguh aku benar-benar mencintai-Mu.” (Siyaaru A’laamin Nubalaa’ I:460)
Dari Asy-Sya’bi diriwayatkan bahwa ia berkata: “Syuraih berkata: “Sesungguhnya aku tertimpa musibah, sehingga aku bersyukur kepada Allah empat kali; aku bersyukur karena musibah itu yang lebih besar darinya tidak menimpaku, aku bersyukur Allah masih memberiku kesabaran menghadapinya, aku bersyukur karena masih memberiku taufik untuk mengucapkan istirja’(innalillaahi wa inna ilaihi raaji’un) karena aku mengharapkan pahala, dan aku bersyukur karena musibah itu bukan pada agamaku.” (Siyaaru A’laamin Nubalaa’ IV:105)
Ghassaan bin Al-Mufaddhal Al-Ghullabi diriwayatkan bahwa ia berkata: “Sebagian sahabat kami telah menceritakan kepada kami, bahwa ada seorang lelaki yang mendatangi Yunus bin Ubeid untuk mengadukan kesulitan dalam hidupnya, dan kondisinya yang terjepit. Ia merasa gundah dengan semua itu. Yunus menanggapinya dengan bertanya: “Apakah engkau suka bila penglihatanmu dibeli dengan harga seratus ribu dirham?” Ia menjawab: “Tentu tidak.” Bagaimana kalau pendengaranmu?” Ia menjawab:”Juga tidak.’ “Bagaimana dengan lidahmu?” Tanya beliau lagi. Ia menjawab: “Juga tidak.” Beliau bertanya lagi: “Bagaimana kalau dengan otak kamu?” “Juga tidak. Meskipun tak sepenuhnya.” Jawabnya. Kemudian beliau mengingatkan dirinya akan nikmat-nikmat Allah yang lainnya. Setelah itu Yunus menandaskan: “Aku melihat engkau memiliki beratus-ratus ribu dirham (bahkan lebih -pent), tetapi kamu masih juga mengeluhkan hajatmu?” (“Siyaru A’laamin Nubalaa’” VI:292)
Dari Asy’ats bin Said diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ibnu Aun berkata: “Seorang hamba tidak akan dikatakan betul-betul mencapai Derajat orang yang ridha, sebelum keridhaannya pada saat kekurangan seperti keridhaannya pada saat berkecukupan. Bagaimana kamu layak meminta kepada Allh untuk urusanmu, kalau kamu merasa marah dengan takdir-Nya yang tidak sesuai dengan kemauanmu. Padahal mungkin saja yang kamu inginkan itu, bila Allah takdirkan untuk menjadi milikmu, justru akan membinasaknmu. Demikian juga ketika kamu hanya ridha dengan takdir-Nya, bisa sesuai dengan kemauanmu. Jika demikian kamu tidak akan disebut bijaksana dan tidak akan mencapai derejat orang yang ridha.” (“Shifatush Shafwah” III:311)
Dari Utsman bin Al-Hutsaim diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ada seorang lelaki di Bashrah yang berasal dari Bani Sa’ad. Ia termasuk salah satu komandan perang bawahan Ubaid bin Ziyad. Tiba-tiba pada suatu hari ia terjatuh dari atap rumahnya sehingga kedua kakinya patah. Maka Au Qilabah datang untuk menjenguknya, seraya berkata: “Aku berharap semoga engkau mendapatkan kebaikan. ” Ia menjawab: “Wahai Abu Qilabah, kebaikan apa yang didapatkan dari dua kakiku yang patah semua?” Abu Qilabah berkata, “Apa yang Allah tutupi dari dosa-dosamu jumlahnya lebih banyak.”
Setelah tiga hari berselang, tiba-tiba datang surat dari Ibnu Ziyad untuk keluar berperang melawan Husein. Ia berkata kepada utusan Ibnu Ziyad: “Apakah engkau tidak melihat apa yang menimpa diriku?” Tal lebih dari tujuh hari kemudian, ia mendengar kabar bahwa Husein (bin Ali) telah terbunuh. Maka lelaki itupun langsung berkata: “Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Abu Qilabah. Semua ini menjadi kebaikan buat diriku (sehingga tidak ikut membunuh Husein) (“Shifatush Shafwah” III:238)
Setelah tiga hari berselang, tiba-tiba datang surat dari Ibnu Ziyad untuk keluar berperang melawan Husein. Ia berkata kepada utusan Ibnu Ziyad: “Apakah engkau tidak melihat apa yang menimpa diriku?” Tal lebih dari tujuh hari kemudian, ia mendengar kabar bahwa Husein (bin Ali) telah terbunuh. Maka lelaki itupun langsung berkata: “Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Abu Qilabah. Semua ini menjadi kebaikan buat diriku (sehingga tidak ikut membunuh Husein) (“Shifatush Shafwah” III:238)