Blogger templates

POTRET SALAF DALAM MENGHADAPI MUSIBAH


M U T I A R A    S A L A F

POTRET SALAF DALAM MENGHADAPI MUSIBAH

Dari Al-A’masy, dari Syahar bin Hausyab, dari Al-Harits bin Umairah diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku pernah duduk disamping Muadz, ketika beliau sedang tidak sadar. Beliau pingsan, kemudian sadar, terbangun dan berkata:”Aku tercekik karena kehendak-Mu. Demi kemuliaan-Mu, sungguh aku benar-benar mencintai-Mu.” (Siyaaru A’laamin Nubalaa’ I:460) 
Dari Asy-Sya’bi diriwayatkan bahwa ia berkata: “Syuraih berkata: “Sesungguhnya aku tertimpa musibah, sehingga aku bersyukur kepada Allah empat kali; aku bersyukur karena musibah itu yang lebih besar darinya tidak menimpaku, aku bersyukur Allah masih memberiku kesabaran menghadapinya, aku bersyukur karena masih memberiku taufik untuk mengucapkan istirja’(innalillaahi wa inna ilaihi raaji’un) karena aku mengharapkan pahala, dan aku bersyukur karena musibah itu bukan pada agamaku.” (Siyaaru A’laamin Nubalaa’ IV:105)
Ghassaan bin Al-Mufaddhal Al-Ghullabi diriwayatkan bahwa ia berkata: “Sebagian sahabat kami telah menceritakan kepada kami, bahwa ada seorang lelaki yang mendatangi Yunus bin Ubeid untuk mengadukan kesulitan dalam hidupnya, dan kondisinya yang terjepit. Ia merasa gundah dengan semua itu. Yunus menanggapinya dengan bertanya: “Apakah engkau suka bila penglihatanmu dibeli dengan harga seratus ribu dirham?” Ia menjawab: “Tentu tidak.” Bagaimana kalau pendengaranmu?” Ia menjawab:”Juga tidak.’ “Bagaimana dengan lidahmu?” Tanya beliau lagi. Ia menjawab: “Juga tidak.” Beliau bertanya lagi: “Bagaimana kalau dengan otak kamu?” “Juga tidak. Meskipun tak sepenuhnya.” Jawabnya. Kemudian beliau mengingatkan dirinya akan nikmat-nikmat Allah yang lainnya. Setelah itu Yunus menandaskan: “Aku melihat engkau memiliki beratus-ratus ribu dirham (bahkan lebih -pent), tetapi kamu masih juga mengeluhkan hajatmu?” (“Siyaru A’laamin Nubalaa’” VI:292)
Dari Asy’ats bin Said diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ibnu Aun berkata: “Seorang hamba tidak akan dikatakan betul-betul mencapai Derajat orang yang ridha, sebelum keridhaannya pada saat kekurangan seperti keridhaannya pada saat berkecukupan. Bagaimana kamu layak meminta kepada Allh untuk urusanmu, kalau kamu merasa marah dengan takdir-Nya yang tidak sesuai dengan kemauanmu. Padahal mungkin saja yang kamu inginkan itu, bila Allah takdirkan untuk menjadi milikmu, justru akan membinasaknmu. Demikian juga ketika kamu hanya ridha dengan takdir-Nya, bisa sesuai dengan kemauanmu. Jika demikian kamu tidak akan disebut bijaksana dan tidak akan mencapai derejat orang yang ridha.” (“Shifatush Shafwah” III:311)
Dari Utsman bin Al-Hutsaim diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ada seorang lelaki di Bashrah yang berasal dari Bani Sa’ad. Ia termasuk salah satu komandan perang bawahan Ubaid bin Ziyad. Tiba-tiba pada suatu hari ia terjatuh dari atap rumahnya sehingga kedua kakinya patah. Maka Au Qilabah datang untuk menjenguknya, seraya berkata: “Aku berharap semoga engkau mendapatkan kebaikan. ” Ia menjawab: “Wahai Abu Qilabah, kebaikan apa yang didapatkan dari dua kakiku yang patah semua?” Abu Qilabah berkata, “Apa yang Allah tutupi dari dosa-dosamu jumlahnya lebih banyak.”
Setelah tiga hari berselang, tiba-tiba datang surat dari Ibnu Ziyad untuk keluar berperang melawan Husein. Ia berkata kepada utusan Ibnu Ziyad: “Apakah engkau tidak melihat apa yang menimpa diriku?” Tal lebih dari tujuh hari kemudian, ia mendengar kabar bahwa Husein (bin Ali) telah terbunuh. Maka lelaki itupun langsung berkata: “Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Abu Qilabah. Semua ini menjadi kebaikan buat diriku (sehingga tidak ikut membunuh Husein) (“Shifatush Shafwah” III:238)

ISIM ALAM


اِسْم عَلَم
ISIM 'ALAM Kata Benda Nama
Dalam golongan Isim, ada yang disebut dengan Isim 'Alam yaitu Isim yang merupakan nama dari seseorang atau sesuatu. Di bawah ini beberapa contoh Isim 'Alam (nama), bacalah dengan suara nyaring dan jelas satu persatu:
مُحَمَّد - آدَم - إِدْرِيْس - نُوْح - إِبْرَاهِيْم - إِسْمَاعِيْل - إِسْحَاق - يَعْقُوْب - يُوْسُف - مُوْسَى - سُلَيْمَان - يُوْنُس - عِيْسَى - مَرْيَم - خَدِيْجَة - عَائِشَة - فَاطِمَة - عُمَر - عُثْمَان - جِبْرِيْل - مِيْكَال - لُقْمَان - زَيْد - فِرْعَوْن - قَارُوْن - إِبْلِيْس - عِفْرِيْت - مَكَّة - مَدِيْنَة
Cari dan tuliskanlah Isim-isim Alam yang lain yang anda temukan dan ketahui!

MENGURAI KESALAH PAHAMAN TERHADAP SURAT SYEIKH BAKR ABU ZAID TERHADAP SYEIKH ROBI’


MENGURAI KESALAH PAHAMAN TERHADAP SURAT SYEIKH BAKR ABU ZAID TERHADAP SYEIKH ROBI’

 penyusun: Abu Usamah al Jawi
Sejauh pengetahuan saya, terjemahan surat pribadi Syaikh Bakr Abu Zaid ini mulai dikenal luas oleh kaum muslimin semenjak tersebarnya Makalah Ishom Burqowiy yang berjudul “PENGHATI-HATIAN TERHADAP JAAMIYYAH DAN MADKHOLIYYAH” kemudian disusul Indonesia dengan terbitnya sebuah  buku kontroversial yang ditulis oleh Saudara Farid Nu’man dalam bukunya “Al-Ikhwanul Muslimun : Anugerah Yang Terzhalimi” terbit –Wallohu a’lam bish showab-, kemudian mulai ramai diperbincangkan di forum-forum internet tanah air –walaupun di forum-forum diskusi berbahasa Arab dan Inggris telah lebih dulu menyebar-, lalu turut mengambil bagian Ustadz Abduh Zulfidar Akaha dalam bukunya “Siapa Teroris Siapa Khowarij” (selanjutnya : STSK, hal. 322, footnote no. 632) dan terakhir –bukan yang paling akhir- adalah saudara Abu Abdirrahman ath-Thalibi dalam bukunya “Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak 2 (selanjutnya : DSDB2 hal. 198)”.
Sesungguhnya hal semacam ini tidaklah mengherankan, karena diantara karakter ahlul ahwa’ itu adalah mengambil apa yang selaras dengan nawa nafsunya dan menelantarkan apa yang bertentang dengan hawa nafsunya. Sungguh indah sekali apa yang diutarakan oleh Ibnu Uyainah dalam al-Hilyah (VIII/339) :
ليس العاقل الذي يعرف الخير والشر ، إنما العاقل الذي إذا رأى الخير  اتبعه ، وإذا رأى الشر اجتنبه
Orang yang berakal itu bukan lah orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan, namun sesungguhkan orang yang berakal itu adalah apabila ia melihat kebaikan maka ia mengikutinya dan apabila ia mendapatkan keburukan ia menjauhinya.” [Dinukil melalui perantaraan Kasyfu Syubuhaat al-Ashriyah ‘anid Da’watil Ishlahiyah as-Salafiyyah, karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ar-Rayyis, dalam islamicancient.com)
Untuk itu kami akan menguraikan permasalahan surat tersebut agar terurai kesalah pahaman dan agar menjadi bungkam mulut para musuh – musuh Islam. Dan uraian ini kami nukil dari apa yang diuraikan oleh Syaikh ’Abdul ’Aziz ar-Rayyis dalam Kasyfu Syubuhaat al-Ashriyyah ’anid Da’watil Ishlahiyyah as-Salafiyyah hal 58. Beliau hafizhahullahu berkata :
1.   Bahwasanya Syaikh Bakr Abu Zaid tidak pernah menyebut di dalam surat beliau bahwa Sayyid Quthb adalah orang yang beraqidah dan bermanhaj salafi. Bahwasanya tujuan penulisan surat beliau itu adalah untuk menunjukkan ketidaksepakatan beliau atas uslub Syaikh Rabi’ dan beberapa kritikan Syaikh Rabi’ terhadap Sayyid Quthb, bukan artinya Syaikh Bakr menolak semua kritikan Syaikh Rabi’ kepada Sayyid Quthb.
2.   Sekiranya dianggap bahwa Syaikh Bakr menolak kesalahan (yang disandarkan kepada) Sayyid Quthb, maka sesungguhnya ulama-ulama lainnya yang lebih ’alim dari beliau banyak yang menyelisihi beliau. Cukuplah bagi mereka kritikan Samahatusy Syaikh ’Abdul ’Aziz bin Baz dan Muhaddits Kontemporer Al-Albani rahimahumallahu.
3.   Sekiranya dianggap bahwa Syaikh Bakr menolak kesalahan aqidah yang membahayakan pada Sayyid Quthb (seperti wahdatul wujud dan semisalnya, pent.), maka sesungguhnya yang pertama kali akan membantah beliau adalah buku-buku Sayyid Quthb sendiri, dimana Sayyid mencela para sahabat dan keburukan-keburukan lainnya yang banyak yang tersebar luas yang tidak mungkin bagi seorangpun mengingkarinya. (dikarenakan banyaknya bukti, pent.)
”Semoga Alloh mengganjar Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkholi dengan balasan yang baik atas upaya beliau di dalam mengembalikan para pemuda umat kepada syariat Alloh dan mentahdzir dari pemikiran takfir, pemutusan dan keluar dari al-jama’ah dan al-wilayah, dan semoga Alloh membalas Syaikh Bakr bin ’Abdillah Abu Zaid dengan balasan yang baik atas upaya beliau di dalam meluruskan uslub (cara) seorang muslim mengkritik muslim lainnya.”
وصلى الله وسلم وبارك على محمد وعلى آله وصحبه وأتباعه والدعاة إلى سنته

DAMMAJ, ANTARA PEMBEBASAN SYI'AH DAN KELALAIAN MEDIA MASSA


DAMMAJ, ANTARA PEMBEBASAN SYI'AH DAN KELALAIAN MEDIA  MASSA

oleh: Dr. Abdul 'Aziz Bin Royyis ar Royyis


hari ini adalah hari ke dua puluh lima dari pengepungan syiah Rofidloh di Darul Hadits Dammaj Yaman, Darul Hadits Dammaj Yaman yang dikelola oleh Syeikh Yahya Al Hajuri-semoga Alloh menjaga beliau dan Saudara-saudaranya dari segala kejahatan- merupakan tempat dakwah salafiyyah dan tempat penampungan saudara - saudara kita yang berbudi untuk mencari ilmu Syar'i. di dalamnya terdapat perempuan - perempuan dan anak - anak .
dan ketika aku menelfon sungguh aku menjadikan Syeikh Yahya termasuk orang yang mulia, aku melihat kesabaran, keberanian dan kestabilan pada diri beliau. beliau juga menggembirakan aku dengan keadaan para Ikhwah (para pelajar). betapa tidak? karena mereka masih melanjutkan pelajaran mereka dan mempertahankan agama serta dakwah salafiyyah. disamping mereka menjaga diri mereka. yang mereka bersumpah untuk memperjuangkan agama Alloh dan senantiasa berada di Jalan Rosululloh. 
mereka juga menyetujui syarat - syarat perjanjian damai dengan Rofidloh, akan tetapi Syi'ah Rofidloh menghianatai perjanjian tersebut sebanyak tiga kali. akan tetapi penghianatan perjanjian bukan suatu hal yang aneh atas mereka. dan perbuatan  damai dengan Rofidloh bukan berarti meniadakan sumpah mereka terhadap Alloh dan Rosululloh, karena perdamaian(terhadap musuh dikala lemah), perjanjian, perjuangan, dan berhijrah adalah merupakan hakikat dari sumpah tersebut selama hal itu membuat taat kepada Alloh. hal ini berbeda dengan persangkaan orang bodoh yang memiliki semangat yang berlebihan yang tercela dalam berjihad (seperti Usamah bin Laden dkk) dan selain mereka.  selengkapnya silahkan kunjungi www.islamancient.com

MENDUDUKKAN PERMASALAHAN UDZUR KARENA KEJAHILAN


KOREKSI




MENDUDUKKAN PERMASALAHAN UDZUR KARENA KEJAHILAN

الحمد لله رب العالمين، الرحمن الرحيم، مالك يوم الدين; وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أرسله رحمة للعالمين، وحجة على الكافرين، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه، ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، وسلم تسليما.
Sesungguhnya perincian dalam permasalahan Iman dan Takfir sesuai dengan dalil merupakan tuntutan dalam din yang mulia ini. Karena peniadaan rincian dalam hal tersebut menyebabkan pelakunya terjatuh dalam kesesatan.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: dalil yang berlafadz – lafadz mujmal dalam peniadaan dan penetapan iman yang dijadikan pijakan pendapat tanpa disertai perincian akan menyebabkan terjatuh dalam kebodohan, kesesatan, fitnah dan kerusakan serta Qila Wa Qola. (Minhajus Sunnah 2/130)
Imam Ibnul Qoyyim dalam hal ini berkata pula dalam Syifa’ul Alil 1/324: asal bencana yang menimpa kebanyakan manusia yaitu terjatuhnya mereka pada lafadz- lafadz yang mujmal.
Pada kesempatan kali ini kami akan mengajak saudara islam untuk membahas permasalahan peniadaan dan penetapan iman bagi orang yang bodoh, dalam hal ini para Ulama’ Ahlus Sunnah menyebut Udzur bil Jahl. Pada permasalahan ini para Ulama’ Ahlus Sunnah terbagi menjadi dua pendapat yang berbeda, yang satu meniadakan Iman bagi orang islam lagi bodoh yang terjatuh dalam syirik akbar atau dalam kata lain mereka mengatakan tidak ada udzur karena sebab kebodohan dan yang lain masih menetapkan Iman bagi orang Islam lagi bodoh yang terjatuh dalam syirik akbar atau dalam kata lain mereka menetapkan adanya udzur karena sebab kebodohan. Yang terpenting bagi Ahlus Sunnah bahwasanya kita tidak boleh menghukumi diantara mereka sebagai Ahli Bid’ah disebabkan berbeda pandang dalam masalah ini.
Syeikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’I berkata: Udzur bil Jahl (udzur karena sebab kebodohan) adalah permasalahan khilafiyyah diantara ahlus Sunnah, sedangkan yang berselisih tidak boleh dihukumi (Ahlul Bid’ah). (Ghorotul Asyrithoh 2/448)
Tidak boleh pula Ulama’ yang menetapkan adanya udzur dengan sebab kebodohan disebut sebagai Murji’ah, karena: Murji’ah mengkafirkan perbuatannya saja tanpa disertai pelakunya, sedangkan Ahlus Sunnah mengkafirkan pelaku dan perbuatannya setelah terpenuhi syarat – syaratnya dan dihilangkan syubhat - syubhatnya. (Jawabi Liba’dlil Fudlola’ 22)

PERMASALAHAN YANG TIDAK DIPERSELISIHKAN ANTARA KE DUA PIHAK
            Meskipun mereka berbeda pandang dalam udzur bil Jahl, akan tetapi mereka para Ulama’ ahlus Sunnah dalam hal ini menetapkan permasalahan yang tidak mereka perselisihkan, diantaranya:
  1. Orang Muslim yang terjerumus dalam kekafiran tidaklah dikatagorikan sebagai kafir Ashli
Permasalahan yang berkaitan pada diri seorang Muslim yang terjerumus dalam kekafiran tidaklah masuk dalam katagori kafir ashli (sebagaimana kafirnya yahudi dan Nashrani), karena orang musyrik ashli adalah kafir meskipun ia bodoh. Alloh berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah. (QS. At Taubah ayat 06)
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-nYa tidaklah salah seoang dari ummat ini baik yahudi maupun nashrani yang tidak mendengarkan risalahku kemudian ia mati dan tidak beriman kepada Dzat yang mengutus aku dengannya, maka ia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Dalam hadits diatas mereka dinamakan yahudi dan nashrani sebelum mendengarkan risalah Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam. Syeikh Ishaq bin Abdur Rohman Alu Syeikh mengatakan:
“Ahlul Fatroh yang tidak sampai pada mereka risalah kenabian dan Al Qur’an, maka mereka mati jahiliyyah tidak pula disebut muslim dan tidak pula mereka diampuni dosanya berdasarkan ijma’, akan tetapi ahlul ilmi berselisih dalam hal penyiksiksaan mereka di akhirat . ” (Risalah Takfir Muayyan)
  1. Penetapan kepahaman atas orang yang diegakkan hujjah atasnya
Kedua pihak sepakat atas kepahaman secara mutlaq bagi orang yang ditegakkan hujjah atasnya. Oleh karena itu sekiranya ada orang ajam(non arab) yang tidak mengerti bahasa arab dan tidak pula paham dengan bahasa arab, maka  tidaklah terpenuhi syarat bagi seorang untuk mengkafirkannya, Meskipun al Qur’an telah membekas pada dirinya.
Berkata Syeikh Abdul Latif bin Abdur Rohman bin Hasan Alu Syaikh:
“yang dimaksudkan dengan faham hujjah adalah bagi orang yang diajak bicara faham terhadap apa yang dibicarakan, dan inilah yang benar, serta hal ini pula merupakan syarat yang kedua (dalam permasalahan tegak Hujjah). Hal ini merupakan faedah yang diambil dari Al – Qur’an, sunnah dan pendapat Ahlul Ilmi.” (Mishbahuzh Zholam 123)



PENDAPAT PERTAMA: “TIDAK ADA UDZUR KARENA KEJAHILAN”
Sebagian Ulama’ yang meniadakan udzur karena sebab kebodohan beralasan dengan beberapa argument sebagai berikut:
  1. Kafirnya Suku Qoroisy
Bahwasanya Alloh ta’ala mengkafirkan Kuffar Quroisy sebelum tegak hujjah atas mereka(Sebelum Alloh mengutus Nabi Muhammad), Alloh berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah. (QS. At Taubah ayat 06)
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-nYa tidaklah salah seoang dari ummat ini baik yahudi maupun nashrani yang tidak mendengarkan risalahku kemudian ia mati dan tidak beriman kepada Dzat yang mengutus aku dengannya, maka ia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa setiap orang yang terjatuh dalam Syirik akabr disebut sebagai orang Musyrik.
  1. Perjanjian awal antara Alloh dan Hamba-Nya
Sesungguhnya Alloh ta’ala telah mengambil beberapa perjanjian dengan manusia, sebagaimana Firman-Nya:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا….
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (QS. Al A’rof ayat 172)
Segi pendalilan: tegak hujjah atas mereka yaitu dengan awal perjanjian antara ia dengan Alloh ta’ala.
  1. Keumuman ayat – ayat yang menjelaskan bahwa orang Musyrik hilang amalnya.
Alloh berfirman:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
"Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hilanglah amalmu”. (QS. Az Zumar ayat 65)
Semisal dengan ayat ini yaitu keumuman perkataan Ulama’ dalam menghukumi murtad terhadap orang yang beribadah selain Alloh.


  1. Sampainya Risalah
Alloh berfirman:
لأنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya). (QS. Al An’am 19)
segi pendalilan: perintah Alloh dalam ayat diatas hanya terkait penyampaian risalah tanpa disertai kepahaman bagi orang yang mendengarkan.
  1. Penduduk neraka telah mengabaikan pada diri mereka untuk mendengar risalah.
Alloh berfirman:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. Al Mulk ayat 10)

  1.  Orang – orang yang berbuat Syirik akbar tidaklah disebut muslim melainkan disebut kafir.
  2. Para shahabat rodliyallohu ‘anhu memvonis murtad orang – orang yang tidak membayar zakat pada masa itu.
  3. Hadits tentang vonis neraka oleh Rosululloh terhadap penghuni kubur .
“suatu ketika Rosululloh melewati kuburan orang kafir, maka beliau bersabda: berilah kabar gembira bahwasanya ia adalah penghuni neraka” (HR. Thobroni)


PENDAPAT KE DUA: “ADANYA UDZUR KARENA KEJAHILAN”
            Ulama’ yang berpendapat akan adanya udzur karena kejahilan berhujjah dengan:
  1. Perintah penegakan hujjah
Alloh berfirman:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al Isro’ ayat 15).
Ibnu Taimiyyah berkata: sebagian manusia yang bodoh terhadap sebagian hukum – hukum Alloh diberi uduzr karena sebab hal itu. Oleh karena itu seseorang tidaklah dihukumi kafir sehingga tegak atasnya hujjah, sebagaimana firman Alloh:
لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. (QS. An Nisa’ ayat 165)
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al Isro’ ayat 15).
         Berdasarkan dengan ayat ini, maka seandainya ada seorang laki – laki muslim yang tidak mengetahui bahwa sholat itu wajib atasnya(sehingga ia tidak sholat, pent) atau ia tidak mengetahui pula bahwa khomer itu haram(sehingga ia meminum khomer, pent), maka ia tidak dikafirkan dan tidak pula dihukum sehingga tegak atasnya hujjah. (Majmu’ Fatawa 11/406)

  1. Syarat paham hujjah bagi orang yang mendengar hujjah.
Berdasarkan ayat ini penjelasan hukum syar’I tidaklah cukup tanpa adanya kejelasan, karena Penyampaian ilmu itu dimaksudakan untuk menghilangkan syubhat/kerancauan, Alloh berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka. (QS. Muhammad ayat 25)
Hal ini juga dipertegas dengan Firman Alloh:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An Nisa’ ayat 115). (al Ilam bi syarhi nawaqidlil Islam hal 41)
3.    Vonis zholim bagi orang yang mengikuti hawa nafsu orang kafir sedang ia dalam keadaan mengetahui.
Alloh berfirman:
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zholim. (QS. Al Baqoroh ayat 145)
Segi pendalilan: seorang muslim divonis zholim ketika ia mengikuti hawa nafsu orang kafir sedang ia dalam keadaan mengetahui, berarti mafhum Mukholafahnya (pengertian sebaliknya) yaitu jika ada orang muslim yang mengikuti hawa nafsu orang kafir dalam keadaan bodoh, maka tidaklah divonis zhalim. Wallohu a’lam (Al Ilmam bi Syarhi Nawaqidlil Islam hal 41)
4.    Hadits tentang orang yang menyuruh membakar dirinya ketika mati.
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rosululloh berkata: seorang laki – laki yang tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan berkata kepada keluarganya: kalau aku mati, maka bakarlah jasadku kemudian taburkanlah abu bekas jasadku ke laut. Demi Alloh seandainya Alloh kuasa (mengumpulkan jasadku kembali) tentu Dia benar – benar akan mengadzabku yang siksa itu tidak pernah Dia timpakan kepada seorang pun (selain aku). Maka ketika mati keluarganyapun melakukan wasiat itu. Maka Alloh memerintahkan bumi agar mengumpulkan jasadnya, seraya berkata: “kumpulkanlah jasadnya yang ada di dalammu”. Kemudian Alloh berkata: kenapa kamu melakukan hal itu? Orang itu menjawab: karena takut padamu ya Robb, maka Dia-pun mengampuninya. (HR. Bukhori-Muslim)
5.    Hadits tentang melihat Alloh di akhirat
Dari Abu Sa’id al Khudriy ia berkata: suatu ketika manusia bertanya kepada Rosululloh: “ya Rosululloh apakah kelak kita akan melihat Robb kita pada hari kiamat? Rosululloh menjawab: apakah ada yang menghalangi kalian melihat bulan saat purnama? Mereka menjawab: tidak, Rosululloh bertanya lagi: apakah ada pula yang menghalangi kalian melihat matahari ketika cuaca cerah? Mereka menjawab: Tidak ya Rosululloh, beliau Sholallohu ‘alaihi wa sallam berkata: seseungguhnya kalian akan melihat-Nya seperti demikian itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Ibnu Taimiyyah berkata: sesungguhnya (diantara bentuk)iman terhadap hukum – hukum Alloh dan Rosululloh secara mutlaq (yaitu)tidaklah menghukumi manusia berdasarkan persangkaan dan hawa nafsu, seperti halnya tidak wajib pula menghukumi kafir setiap orang yang berkata demikian (kalimat kekufuran), kecuali terpenuhi syarat pengkafiran dan terhilang penghalang – penghalangnya, seperti orang yang mengatakan khomer atau riba adalah halal, akan tetapi ia tidak berkeyakian bahwa pernyataan tersebut dari al Qur’an dan tidak pula dari hadits Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sebagian salaf(shahabat rodliyallohu ‘anhum) mengingkari sesuatu sehingga Rosululloh menetapkan hal itu, contohnya: para shahabat yang ragu tentang melihat Alloh kelak pada hari kiamat. (Majmu’ Fatawa 35/165-166)

DIALOG DAN JAWABAN ATAS HUJJAH PENDAPAT PERTAMA
1.    Jawaban atas dalil pertama
Dalil ini keluar dari sumber permasalahan yang diperselisihkan, karena dalam ayat itu yang disinggung adalah kafir ashli sedangkan bahasan kita bermuara pada sifat kekufuran yang dilakukan orang muslim, sedangkan orang islam yang terjatuh dalam kekafiran tidaklah disebut sebagai kafir ashli. Jika dikatakan: tidak ada beda antara keduanya, maka jawabnya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikh Abdul Latif bin abdur Rohman bin Hasan bin Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab:
Orang – orang yang beriabadah kepada (kuburan) Para Nabi, beribadah kepada Malaikat dan orang-orang yang beribadah kepada (kuburan) orang – orang sholeh serta orang – orang yang menjadikan tandingan – tandingan selain Alloh dalam hal ini ma’ruf di kalangan ahlul ilmi dan telah disepakati atasnya bahwa orang yang berbuat demikian dihukumi kafir lagi murtad setelah tegak atasnya hujjah, dan para Ahlul Ilmi juga sepakat bahwa mereka tidak disebut kafir ashli meskipun berbuat demikian. (Misbahuzh Zholam 22-23)
2.    Jawaban atas dalil ke dua
Ayat ini tidak bias diambil zhohirnya, karena para ulama’ telah sepakat terhadap orang yang hidup pada masa islam akan tetapi ia tinggal di tempat yang jauh dari pemukiman dan jauh dari ajaran Islam diberi udzur karena kejahilannya dan tidak cukup hanya perjanjian awal yang ia lakukan dengan Alloh pada saat dalam rahim.
Ibnu Taimiyyah berkata: betapa banyak manusia hidup dalam suatu tempat dan masa yang terhapu/tidak tersisa di dalamnya pengetahuan – pengetahuan tentang risalah kenabian, sehingga mereka tidak mengetahui ajaran yang dibawa oleh Rosul yang Alloh mengutus dengannya berupa al Kitab dan Sunnah, oleh sebab itu ia tidak dikafirkan. Sebagaimana pula para Ulama’ telah sepakat bahwa siapapun yang hidup di tempat jauh dari ajaran islam meskipun ia hidup di jaman islam, kemudian ia mengingkari hokum – hokum Alloh yang Nampak lagi berurutan tidaklah dihukumi kafir sehingga ia mengetahui ajaran yang dibawa Muhammad Sholallohu ‘alaihi wasallam. (Majmu’ fatawa 11/407)
3.    Nash – Nash dan perkataan Ulama’ bersifat Umum yang didalamnya terdapat perbedaan antara takfir Nau’ dan muayyan, serta nash tersebut tidak membahas permasalah takfir muayyan, sedangkan takfir nau’ dan Muayyan terdapat perbedaan.
Ibnu Taimiyyah berkata: takfir mutlaq(nau’) tidak mengharuskan takfir muayyan(person) kecuali telah tegak syarat-syaratnya dan hilang penghalang – penghalangnya, penjelasan mengenai hal ini adalah sesungguhnya imam Ahmad bin Hanbal dan para Ulama’ mengitlaqkan keumuman ini(lafadz kufur) dan tidak mengkafirkan orang secara person…. Dalil mengenai ketetapan/pondasi ini bersumebr dari al Qur’an, as sunnah, Ijma’ dan I’tibar. (dinukil secara ringkas dari Majmu’ Fatawa 12/487)
Oleh karena itu tidak semua yang terjatuh dalam kekafiran berarti harus kafir,dalil mengenai hal ini sangatlah banyak, diantaranya perbuatan Umar bin Khottob rodliyallohu ‘anhu yang mencela Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam. Perbuatan mencela Rosululloh adalah perbuatan kufur akan tetapi ia tidak kafir, karena pada saat itu ia dalam keadaan terpaksa. Sedangkan Alloh berfirman:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). (QS. An Nahl ayat 106)
4.    Jawaban atas dalil ke empat
Penyampaian hujjah saja tidaklah cukup harus disertai adanya kepahaman, sebagaimana jeterangan yang telah lalu.
Peringatan: siapa yang menyatakan bahwa penyampaian hujjah/risalah tanpa disertai kepahaman telah cukup atau berdalil dengan ayat perjanjian antara Alloh dengan hamba-Nya ketika dirahim, maka ia termasuk orang yang kontradiktif. Wallohu a’lam (al Ilmam Bi Syarhi Nawaqidlil Islam hal 45)
5.    Jawaban atas dalil ke lima
Jawaban dalil ini dari dua segi:
a.    Pendalilan dengan ayat ini kurang tepat karena menyelisihi ayat yang lain,

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا

dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al Isro’ ayat 15).
b.    Kata نَعْقِلُ tidak bermakna orang bodoh atau orang gila, karena jika hal ini dipahami demikian justru menyelisihi dalil – dalil syar’I dan Ijma’ yang menyatakan bahwasanya orang gila tiaklah diadzab. Akan tetapi maksud ayat tersebut adalah mereka mengetahui tetapi mengabaikannya, karena itu mereka disebut orang – orang yang tidak berakal, sebagi contoh yang menguatkan hal ini yaitu:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’rof ayat 179)
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لا يَسْمَعُ إِلا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَعْقِلُونَ
Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS. Al Baqoroh ayat 171)
(Mengabil faedah dari Majmu’ fatawa 14/136)
6.    Jawaban dalil ke enam
Penetapan seperti ini adalah penetapan yang batil, karena seandainya konsisten maka orang yang ragu terhadap qudroh Alloh haruslah dikafirkan dan masuk neraka, berkata Ibnu Taimiyyah:
Laki – laki ini mengingkari Qudroh Alloh, dan ini adalah kekufuran berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Akan  tetapi justru Alloh mengampuninya dan memasukkannya ke dalam surga dikarenakan ia adalah orang bodoh. (mengambil faedah dari Majmu’ Fatawa 3/231)
Wallohu a’lam
7.    Jawaban dalil ke tujuh
Mereka tidak hanya sekedar enggan membayar zakat akan tetapi mereka juga mengingkari kewajiban zakat, syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
dan dikisahkan dari mereka, bahwa mereka beralasan: sesungguhnya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk memungut zakat dengan firman-Nya :”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka” (At Taubah 103), dan kewajiban zakat telah gugur dengan kematian beliau”. (Majmu’ Fatawa 28/519)
Ibnu Hajar berkata: orang-orang yang enggan membayar zakat benar-benar mengingkari kewajiban zakat, sehingga mereka dikatakan telah kafir, dan pada kesempatan ini Abu Bakar tidak memaafkan orang-orang bodoh dari mereka, karena mereka telah bergabung dan bersiap-siap untuk mengadakan perlawanan terhadap Khalifah. (Fathul Bari 12/277)
8.    Jawaban dalil ke delapan
Jawaban terhadap dalil ini dari dua segi :
a.    Bahwasanya hadits ini adalah dloif, silahkan lihat ahkam Janaiz hal 198
b.    Sekalipun hadits ini shohih, maka yang dimaksud adalah kafir ashli, karena lafadz hadits tersebut adalah
“suatu ketika Rosululloh melewati kuburan orang kafir, maka beliau bersabda: berilah kabar gembira bahwasanya ia adalah penghuni neraka”


SANGGAHAN TERHADAP ABU SULAIMAN AMAN ABDUR ROHMAN
            Disini kami akan menyanggah tulisan Abu Sulaiman yang meragukan pendalilan Ulama’ yang menetapkan adanya Udzur bil Jahl. Bahkan ia tidak segan – segan menyatakan terhadap Ulama’ yang menetapkan adanya udzur bil jahl sebagai Murji’ah sedang tulisan tersebut telah beredar dan bertaburan di dunia maya. Karena itu kami berupaya dengan memohon pertolongan kepada Alloh untuk menyanggah tulisan tersebut.

Abu Sulaiman menyatakan:
 sebagian orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan terhadap hukum mereka berdalih untuk pemahaman batil itu dengan hadits perihal orang yang berwasiat agar membakar jasadnya bila ia telah mati…. Bahwa hadits ini bukan berkaitan dengan syirik akbar.
sanggahan:
            Orang tersebut telah mengingkari qudroh Alloh ta’ala dan ini merupakan kekafiran, akan tetapi disebabkan karena kebodohannya, maka ia pun diampuni. (silahkan lihat Majmu’ Fatawa 3/231)
            Ibnul Qoyyim berkata: adapun orang yang mengingkari yang demikian itu (sifat – sifat Alloh) karena kebodohan atau karena ta’wil maka ia diberi udzur, dan tidak pula ia dikafirkan, sebagaimana kisah orang yang mengingkari qudroh Alloh, sehingga ia menyuruh keluarganya untuk membakar jasadnya. (Madarijus Salikin Baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in 1/367)
            Ibnu Abdil Bar berkata: adapun kebodohan laki – laki ini terhadap sebagian sifat dari sifat – sifat Alloh, ‘ilmu-Nya dan Taqdir-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, maka dengan sebab kebodohan itu tidaklah menjadikan ia keluar dari keimanan (menjadi kafir), ketahui pula bahwasanya Umar bin Khottob, ‘Imron bin Husain dan kebanyakan dari shahabat bertanya kepada Rosululloh tentang taqdir, dan diketahui pula pada saat itu mereka dalam keadaan bodoh, padahal pertanyaan mereka sebenarnya tidaklah diperbolehkan karena menyebabkan kekafiran. (at Tamhid 18/46)

Abu Sulaiman menyatakan:
            Sebagian orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kebodohan berdalih dengan kisah Dzatu Anwaath. At Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Waqid Al Laitsiy, berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menuju Hunain sedangkan kami adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Dan orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon Sidr yang mana mereka duduk i’tikaf di sana dan mereka menggantungkan senjata-senjata mereka padanya, yang dinamakan Dzatu Anwath. Maka kami melewati sebuah pohon Sidr, dan kami berkata: “Wahai Rasulullah jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka itu memiliki Dzatu Anwath.” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata: “Allahu Akbar, sesungguhnya ia adalah tuntunan-tuntunan itu, kalian telah mengatakan –demi Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya– seperti apa yang dikatakan Banu Israil kepada Musa: ”Jadikanlah bagi kami tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak tuhan,” Dia (Musa) berkata: “Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang tidak mengetahui.” Sungguh kalian akan meniti jalan-jalan orang sebelum kalian.” (HR At Tirmidzi Dan Beliau Menilainya Shahih)       
            Jadi kisah Dzatu Anwath ini adalah tentang syirik ashghar bukan syirik akbar. Dan ini adalah yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Iqtidlaa Ash Shiraathil Mustaqiim: “Dan tatkala kaum musyrikin memiliki sebuah pohon yang mana mereka menggantungkan senjata–senjata mereka diatas pohon itu, dan mereka menamakannya Dzatu Anwath, maka sebagian orang berkata: “Wahai Rasulullah buatkan bagi kami Dzatu Anwath…!” maka beliau berkata: “Allahu Akbar, sesunguhnya ia adalah jalan–jalan umat sebelum kalian”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengingkari sekedar penyerupaan mereka terhadap orang–orang kafir dalam hal menjadikan sebuah pohon yang mereka gunakan untuk duduk–duduk di sekelilingnya seraya menggantungkan senjata mereka di atasnya, maka bagaimana dengan suatu yang lebih dasyat dari hal itu berupa syirik itu sendiri…?” (Lihat Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, Tarikh Nejed: 364).
Jadi Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa itu bukan syirik akbar, karena penyerupaan terhadap orang-orang kafir itu tidak memestikan kafirnya orang yang menyerupai mereka dalam setiap keadaan, kecuali bila menyerupai mereka di dalam kekafiran atau syirik akbar.

Sanggahan:
            Dalam ucapan Ibnu Taimiyyah diatas tidak terdapat pernyataan beliau bahwa hal tersebut adalah syirik ashgor, justru merupakan syirik akbar. Karena para shahabat terjatuh dalam syirik akbar dalam masalah uluhiyyah. (Al Ilmam Bi Syarhi Nawaqidil Islam hal 43)
            Tabarruk pada makhluk seperti pada kubur, pohon, batu, manusia yang masih hidup atau telah mati, di mana orang yang bertabarruk ingin mendapatkan barokah dari makhluk tersebut (bukan dari Allah), atau jika bertabarruk dengan makhluk tersebut dapat mendekatkan dirinya pada Allah Ta’ala, atau ingin mendapatkan syafa’at dari makhluk tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terdahulu, maka seperti ini termasuk syirik akbar. Karena kelakukan semacam ini adalah sejenis dengan perbuatan orang musyrik pada berhala atau sesembahan mereka. Mengenai hal ini terdapat dalam hadits Abu Waqid Al Laitsi yang mengisahkan tentang orang-orang musyrik yang menggantungkan senjata-senjata mereka pada sebuah pohon. Perbuatan yang dilakukan oleh mereka ini dianggap oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syirik akbar. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyerupakan permintaan sebagian sahabat (yang baru saja masuk Islam) yang meminta dijadikan pohon sebagaimana orang-orang musyrik tadi, yaitu beliau serupakan dengan perkataan Bani Israel pada Musa,
“Buatlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.” (QS. Al A’rof: 183)      (Fatawa Lajnah Daimah ertanyaan kedua dari fatwa no. 18511)
Syeikh Muhammad Bin Sholih al Utsaimin mengatakan: Hadits ini menunjukkan bahwa mencari berkah kepada pohon adalah terlarang -bahkan termasuk syirik-, dan hal itu merupakan salah satu kebiasaan buruk umat-umat terdahulu yang sesat (lihat al-Qaul al-Mufid 1/126 dan 128)
 wallohu a’lam

            semoga goresan pena ini bermanfaat bagi kaum muslimin dan penerang bagi para muqollidin. Wa billahit Taufiq wa sholallohu ‘ala nabiyyina muhammadin sayyidul mursalin wa imamul muttaqin.
إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.
           

Mujahid as Salafi
Pengelola www.Millahmuhammad.blogspot.com