Blogger templates

Hukum Saling Berkunjung Ketika Lebaran


Hukum Saling Berkunjung Ketika Lebaran


oleh: Ummu Abdillah al Wadi’iyyah, (putri Syeikh Muqbil, serta Pengajar di Darul Hadits Dammaj Yaman) :


“Sebagian orang ketika ada momen tertentu semisal hari raya atau ada yang baru pulang dari bepergian pergi menemui kerabatnya baik masih mahram ataukah tidak dan berjabat tangan dengan perempuan yang masih kerabatnya tersebut. Hal ini boleh jadi dilakukan dengan maksud mendekatkan diri kepada Alloh atau hanya sebagai tradisi. Demikian pula yang dilakukan oleh perempuan.

Ini adalah sebuah kekeliruan yaitu berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Sedangkan mengkhususkan saling berkunjung dan berjabat tangan pada saat hari raya demikian pula ucapan selamat hari raya bukanlah amal yang disyariatkan (baca: dianjurkan apalagi diwajibkan) baik bagi laki-laki ataupun perempuan. Namun tidak sampai derajat bid’ah kecuali jika acara tersebut dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Pada saat demikian maka berstatus bid’ah karena ibadah dengan bentuk demikian tidak pernah dilakukan di masa Nabi.

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mengada-ada dalam agama kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya maka sesuatu tersebut pasti tertolak”.

Juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ



“Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah firman Alloh sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara dalam agama adalah perkara yang baru. Setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bidah adalah kesesatan”.

Lafazh ‘kullu’ yang berarti setiap atau seluruh adalah kata yang menunjukkan makna yang luas sehingga tercakup di dalamnya semua bid’ah dan semua bidah adalah kesesatan.

Tradisi itu sendiri jika tidak memiliki landasan dalam agama sebaiknya dimusnahkan saja.

Lebih-lebih acara saling berkunjung saat hari raya itu banyak membuang-buang waktu secara percuma. Sedangkan perempuan tidaklah dibolehkan sering keluar rumah.


وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Yang artinya, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS al Ahzab:33).

Realitanya perempuan yang berkunjung saat lebaran keluar masuk dari suatu rumah ke rumah yang lain.
Namun perlu diperhatikan, kami tidaklah melarang kegembiraan dan bersenang-senang ketika lebaran dan idul adha. Bahkan hal ini disyariatkan (baca:dianjurkan) selama tidak menyelisihi ajaran al Qur’an dan sunnah” (Nasihati lin Nisa’ hal 124-125).

SEKALI LAGI BANTAHAN UNTUK ISHOM BURQOWI

SEKALI LAGI BANTAHAN UNTUK ISHOM BURQOWI
oleh: Mujahid as Salafiy

Berikut ini adalah sedikit lanjutan bantahan terhadap Burqowiy dalam makalahnya yang berjudul "Peringatan kepada manusia dari kesesatan kelompok jaamiyah dan madkholiyah". adapun bantahan yang terperinci silahkan pembaca lihat di . adapun pada kali ini kita melanjutkan sedikit terhadap apa yang dia tulis mengenai kedustaannya atas nama syeikh Bakr Abu Zaid, berikut ini adalah ucapannya:
sesungguhnya saya menasehati Fadlilatul Akh Fillah agar mengurungkan niat dari pencetakan buku ini "Adlwaaul Islamiyyah" dan bahwa tidak boleh menyebarkan dan mencetaknya karena di dalamnya terdapat sikap aniaya yang dahsyat dan pelatihan yang keras bagi para pemuda umat ini untuk mencela-cela para ulama, mencerca mereka, dan menjatuhkan derajat mereka serta menjauhi kebaikan-kebaikan mereka. Dan memaafkan saya-semoga Allah memberkati anda- bila saya telah keras dalam ungkapan, karena ia adalah dengan sebab apa yang saya lihat berupa sikap aniaya anda yang sangat dan rasa khawatir saya terhadap anda serta keinginan anda yang sangat untuk mengetahui apa yang ada pada saya prihal hal itu. Pena telah menggoreskan apa yang telah lalu, semoga Allah meluruskan langkah-langkah kita Wassalaamu'alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakatuh...

Saudaramu Bakr Abu Zaid.

Syaikh Bakr menjawab sebagai pernyataan ini berikut:”Mereka (Hizbiyun) menghendaki perpecahan diantara dua orang yang saling mencintai”.
Maka lihatlah wahai hizbi, dimana kalian letakkan wajah-wajah kalian dengan jawaban syaikh rahimahullah ini!! Inilah jawaban Syaikh rahimahullah terhadap selebaran yang engkau sebarkan dengan mengatasnamakan nama beliau rahimahullah. Ketahuilah, bahwasanya Syaikh rahimahullah tidak ridlo dengan tersebar dan digandakannya selebaran ini, hal ini sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkholiy.

TELADAN SALAF DI BULAN ROMADLON




TELADAN SALAF DI BULAN ROMADLON

disusun oleh: Abu Usamah

pembaca yang dirohmati Alloh, kali ini kita sampai di Bulan Ramadlon. karenanya kami membawakan sebuah artikel berisi teladan Salaf di Bulan Ramadlon, semoga kita bisa mencontoh amalan - amalan mereka. amin

Abdul Aziz bin Abi Daud berkata : “Aku mendapati mereka bersungguh-sungguh dalam beramal shalih. Ketika mereka telah melakukannya, mereka pun ditimpa kekhawatiran, apakah amalan mereka diterima atau tidak.”

Maka kemarilah wahai saudaraku yang mulia! Kita lihat sebagian keadaan para salaf ketika bulan Ramadhan dan bagaimana semangat, keinginan yang kuat, dan kesungguhan mereka dalam beribadah agar kita bisa berupaya meneladaninya, dan agar kita termasuk orang yang mengerti kedudukan bulan Ramadhan ini sehingga kita pun mau serius beramal shalih padanya.

Pertama : ‘Ulama Salaf dan Membaca Al-Quran.

Ibnu Rajab bekata: Dalam hadits Fathimah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau mengabarkan kepadanya:

أنّ جبريل عليه السلام كان يعارضه القرآن كل عام مرةً وأنّه عارضه في عام وفاته مرتين

Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam menyimak Al-Qur’an yang dibacakan Nabi sekali pada setiap tahunnya, dan pada tahun wafatnya Nabi, Jibril menyimaknya dua kali. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dan dalam hadits Ibnu Abbas:

أنّ المدارسة بينه وبين جبريل كانت ليلاً

Bahwasanya pengkajian terhadap Al-Qur’an antara beliau dengan Jibril terjadi pada malam bulan Ramadhan. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Hadits ini menunjukkan disunnahkannya memperbanyak membaca Al-Quran pada malam bulan Ramadhan, karena waktu malam terputus segala kesibukan, terkumpul pada malam itu berbagai harapan, hati dan lisan pada malam bisa berpadau untuk bertaddabur, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءاً وَأَقْوَمُ قِيلاً

Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Al-Muzammil: 6)

Bulan Ramadhan mempunyai kekhususan tersendiri dengan (diturunkannya) Al-Qur’an, sebagaimana Allah ta’ala berfirman

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (Al-Baqarah: 185) Latha’iful Ma’arif hal. 315.

Oleh kerena itulah para ‘ulama salaf rahimahumullah sangat bersemangat untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Siyar A’lamin Nubala’, di antaranya:

o Dahulu Al-Aswad bin Yazid mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan setiap dua malam, beliau tidur antara Magrib dan Isya’. Sedangkan pada selain bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan Al Qur’an selama 6 hari.

o Al-Imam Malik bin Anas jika memasuki bulan Ramadhan beliau meninggalkan pelajaran hadits dan majelis ahlul ilmi, dan beliau mengkonsentrasikan kepada membaca Al Qur’an dari mushaf.

o Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri jika datang bulan Ramadhan beliau meninggalkan manusia dan mengkonsentrasikan diri untuk membaca Al Qur’an.

o Said bin Zubair mangkhatamkan Al-Qur’an pada setiap 2 malam.

o Zabid Al-Yami jika datang bulan Ramadhan beliau menghadirkan mushaf dan murid-muridnya berkumpul di sekitarnya.

o Al-Walid bin Abdil Malik mengkhatamkan Al-Qur’an setiap 3 malam sekali, dan mengkhatamkannya sebanyak 17 kali selama bulan Ramadhan.

o Abu ‘Awanah berkata : Aku menyaksikan Qatadah mempelajari Al-Qur’an pada bulan Ramadhan.

o Qatadah mengkhatamkan Al-Qur’an pada hari-hari biasa selama 7 hari, jika datang bulan Ramadhan beliau mengkhatamkannya selama 3 hari, dan pada 10 terakhir Ramadhan beliau mengkhatamkannya pada setiap malam.

o Rabi’ bin Sulaiman berkata: Dahulu Al-Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan sebanyak 60 kali, dan pada setiap bulannya (selain Ramadhan) sebanyak 30 kali.

o Waki’ bin Al-Jarrah membaca Al-Quran pada malam bulan Ramadhan serta mengkhatamkannya ketika itu juga dan ditambah sepertiga dari Al Qur’an, shalat 12 rakaat pada waktu dhuha, dan shalat sunnah sejak ba’da zhuhur hingga ashar.

o Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengkhatamkan Al Qur’an pada siang bulan Ramadhan setiap harinya dan setelah melakukan shalat tarawih beliau mengkhatamkannya setiap 3 malam sekali.

o Al-Qasim bin ‘Ali berkata menceritakan ayahnya Ibnu ‘Asakir (pengarang kitab Tarikh Dimasyqi): Beliau adalah seorang yang sangat rajin melakukan shalat berjama’ah dan rajin membaca Al-Qur’an, beliau mengkhatamkannya setiap Jum’at, dan mengkhatamkannya setiap hari pada bulan Ramadhan serta beri’tikaf di menara timur.

Faidah

Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata: Bahwasanya larangan mengkhatamkan Al-Quran kurang dari tiga hari itu adalah apabila dilakukan secara terus menerus. Adapun pada waktu-waktu yang terdapat keutamaan padanya seperti bulan Ramadhan terutama pada malam-malam yang dicari/diburu padanya lailatul qadr atau pada tempat-tempat yang memiliki keutamaan seperti Makkah bagi siapa saja yang memasukinya selain penduduk negeri itu, maka disukainya untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an, dalam rangka memanfaatkan (keutamaan) waktu dan tempat tersebut. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan selainnya dari kalangan ulama’ . (Latha’iful Ma’arif).

Kedua : ‘Ulama Salaf dan shalat malam (tarawih).

Shalat tarawih ini merupakan kebiasaan orang-orang shalih, perniagaan kaum mu’minin, dan amalannya orang-orang yang meraih kemenangan. Pada waktu malam orang-orang yang beriman menyendiri dengan Rabbnya, menghadap kepada Penciptanya, mengadukan keadaan mereka seraya memohon kepada-Nya keutamaan-Nya. Jiwa-jiwa mereka berada di antara kedua tangan Pencitanya, beri’tikaf untuk bermunajat kepada Penciptanya. Mereka berupaya mendapat percikan cahaya dari ibadah tersebut, berharap dan bersimpuh diri atas adanya berbagai pemberian dan karunia (dari Rabbnya).

o Al-Hasan Al-Bashri berkata : Aku tidak mendapati suatu ibadah pun yang lebih besar nilainya daripada shalat pada pertengahan malam.

o Abu ‘Utsman An-Nahdi berkata: Aku bertamu kepada Abu Hurairah selama 7 hari, maka beliau, istri dan pembantunya membagi malam menjadi 3 bagian, yang satu shalat ini kemudian membangunkan yang lainnya.

o Dahulu Syaddad bin Aus jika beranjak untuk beristirahat di ranjangnya, kondisinya bagaikan biji yang berada di atas penggorengan (yakni tidak tenang) kemudian berdoa : Ya Allah! Sesungguhnya Jahannam (terus mengancam)! Jangan Engkau biarkan aku tidur. Maka beliau pun bangun dan langsung menuju tempat shalatnya.

o Dahulu Thawus melompat dari atas tempat tidurnya kemudian langsung bersuci dan menghadap qiblat (melakukan shalat) hingga datang waktu shubuh dan berkata : Mengingat Jahannam akan menghentikan tidurnya para ahli ibadah.

o Dari As-Saib bin Yazid dia berkata: Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhuma mengimami manusia pada malam Ramadhan (dalam shalat tarawih). Kemudian sang imam membaca 200 ayat, hingga kami bersandar kepada tongkat-tongkat karena lamanya berdiri, tidaklah kami selesai dari shalat kecuali telah mendekati waktu shubuh. (HR. Al-Baihaqi).

o Dari Malik bin ‘Abdillah bin Abi Bakr, dia bekata : Aku mendengar ayahku berkata: Dahulu kami selesai dari shalat malam pada bulan Ramadhan, kami pun bersegera mempersiapkan makan karena takut datangnya waktu shubuh. (HR. Malik dalam Al Muwaththa’).

o Dari Dawud bin Al-Hushain, dari ‘Abdurrahman bin Hurmuz, dia berkata: Para qari’ (para imam tarawih) dahulu membaca surat Al-Baqarah dalam delapan raka’at. Maka ketika para qari’ (para imam tarawih) membacanya dalam 12 raka’at, orang-orang melihat bahwa para imam tersebut telah meringankan bacaan untuk mereka. (HR. Al Baihaqi)

o Nafi’ berkata: Dahulu Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tinggal di rumahnya pada bulan Ramadhan. Ketika orang-orang telah pergi dari masjid, beliau mengambil sebuah wadah yang berisi air kemudian keluar menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tidak keluar dari masjid sampai tiba waktu shalat shubuh di masjid tersebut. (HR. Al Baihaqi)

o Dari Nafi’ bin ‘Umar bin Abdillah, dia berkata: aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah berkata: Dahulu aku pernah mengimami manusia pada bulan Ramadhan, aku membaca pada suatu raka’at surat Alhamdulillahi Fathir (surat Fathir) dan yang semisalnya. Tidak sampai kepadaku bahwa ada seorang pun yang merasa keberatan dengannya. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

o Dari ‘Imran bin Hudair, dia berkata: Dahulu Abu Mijlaz tinggal di sebuah perkampungan, pada bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh hari. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

o Dari Abdush Shamad, dia berkata: Abul Asyhab telah memberitakan kepadaku, dia berkata: Dahulu Abu Raja’ mengkhatamkan Al Qur’an ketika mengimami kami pada sholat malam bulan Ramadhan setiap sepuluh hari.

Sebab-sebab bathiniyah untuk seseorang bisa bangun malam ada empat perkara

Pertama: Selamatnya hati dari hasad terhadap kaum muslimin, selamatnya hati dari kebid’ahan dan sesuatu yang tidak bermanfaat dari perkara duniawi.

Kedua: Senantiasa hatinya terbiasa takut disertai dengan pendek angan-angan.

Ketiga: Mengetahui keutamaan shalat malam.

Keempat: Ini adalah faktor pendorong yang paling mulia, yaitu cinta karena Allah dan kuatnya iman bahwasanya dalam shalatnya tersebut tidaklah dia berucap dengan satu huruf pun melainkan dia sedang bermunajat kepada Rabbnya.

Ketiga : ‘Ulama Salaf dan sifat pemurah dan dermawan ketika menyambut bulan Ramadhan

1. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس بالخير، وكان أجود ما يكون في شهر رمضان، إنّ جبريل عليه السلام كان يلقاه في كل سنة في رمضان حتى ينسلخ فيعرض عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم القرآن، فإذا لقيه جبريل كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود بالخير من الريح المرسلة.

Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling pemurah dalam memberikan kebaikan, dan sifat pemurah beliau yang paling besar adalah ketika Ramadhan. Sesungguhnya Jibril biasa berjumpa dengan beliau, dan Jibril ‘alaihis salam senantiasa menjumpai beliau setiap malam bulan Ramadhan sampai selesai (habis bulan Ramadhan), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan padanya Al Qur’an. Ketika berjumpa dengan Jibril’ alaihissalam, beliau sangat dermawan kepada kebaikan daripada angin yang berhembus. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Al-Muhallab berkata: “Dalam hadits tersebut menunjukkan barakahnya beramal kebajikan dan sebagian amalan kebajikan itu akan membuka dan membantu untuk dikerjakannya bentuk amalan kebajikan yang lain. Tidakkah kamu tahu bahwa barakahnya puasa, perjumpaan (Nabi) dengan Jibril, dan dibacakannya Al-Qur’an kepadanya akan menambah kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beribadah dan bershadaqah sampai-sampai digambarkan lebih cepat daripada angin yang berhembus.”

Az-Zain bin Al-Munayyir berkata: Yakni semua bentuk kebaikan beliau, baik tatkala dalam kondisi fakir dan butuh maupun dalam kondisi kaya dan berkecukupan merata lebih daripada meratanya air hujan menimpa bumi yang dihembuskan angin.

Ibnu Rajab berkata : Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: Yang paling dicintai bagi seseorang adalah semakin bertambah kedermawanannya pada bulan Ramadhan dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena kebutuhan manusia agar tercukupi keperluan-keperluan mereka, serta agar mereka tersibukkan dengan ibadah puasa dan shalat dari pekerjaan mereka.”

2- Adalah Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berpuasa dan tidak berbuka kecuali bersama orang-orang miskin, namun jika keluarganya menghalangi mereka darinya, maka ia tidak makan pada malam itu. Jika ada seorang peminta datang kepada beliau dalam keadaan beliau sedang makan, beliau mengambil bagiannya dan memberikan kepada si peminta tersebut, beliau pun kembali dan keluarganya telah memakan apa yang tersisa di mangkuk tempat makanan. Maka beliau berpuasa pada pagi harinya dan tidak memakan sesuatu apapun.

3- Yunus bin Yazid berkata: Dahulu Al-Imam Ibnu Syihab rahimahullah jika memasuki bulan Ramadhan, beliau isi bulan tersebut dengan membaca Al-Quran dan memberi makan.

4- Adalah Hammad bin Abi Salamah rahimahullah memberi jamuan berbuka pada bulan Ramadhan kepada 500 orang dan setelah ‘idul fithri beliau memberi masing-masing mereka dengan 500 dirham.

Keempat : Sedikit makan

1. Ibrahim bin Abi Ayyub berkata : Dahulu Muhammad bin ‘Amr Al-Ghazy pada bulan Ramadhan makan hanya dua kali.

2. Abul ‘Abbas Hasyim bin Al-Qasim berkata : Dahulu aku pernah di sisi Al-Muhtadi (salah satu khalifah Bani ‘Abbas) pada sore hari di bulan Ramadhan, kemudian aku berdiri untuk pergi, maka dia (Al Muhtadi) berkata: duduklah. Maka aku pun duduk, kemudian dia mengimami shalat. Setelah itu dia meminta untuk dihidangkan makanan, maka dihidangkanlah kepada dia satu nampan yang di dalamnya terdapat roti dan tempat yang yang berisi garam, minyak, dan cuka. Kemudian dia mengundangku untuk makan, maka aku pun makan layaknya orang yang menunggu hidangan makanan yang lain. Dia berkata: bukankah besok engkau masih berpuasa? Aku katakan: tentu. Dia berkata: makanlah dan cukupkan makanmu karena tidak ada makanan yang lain selain apa yang kamu lihat ini.

Kelima : Menjaga lisan, sedikit bicara, menjaga diri dari dusta

1. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجةٌ في أن يدع طعامه وشرابه

Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang haram dan melakukan perbuatan haram, maka Allah tidak butuh kepada jerih payahnya meninggalkan makan dan minumnya. (HR. Al-Bukhari)

Al-Muhallab berkata: Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa hukum puasa itu adalah menahan diri dari perbuatan keji dan perkataan dusta sebagaimana dia menahan diri dari makan dan minum. Barangsiapa yang tidak menahan dirinya dari perkara-perkara tersebut, maka sungguh hal itu akan mengurangi nilai puasanya, menyebabkan murka Allah dan tidak diterimanya puasa dia.

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إذا أصبح أحدكم يوماً صائماً فلا يرفث ولا يجهل فإن امرؤٌ شاتمه أو قاتله فليقل: إني صائمٌ إني صائمٌ

Jika pada suatu hari salah seorang dari kalian berpuasa, maka janganlah berbuat keji ataupun bertindak jahil, jika ada seseorang yang mencelanya atau memusuhinya, maka katakanlah: aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa. (HR. Muslim)

Al-Maziri berkata -menjelaskan kalimat ‘aku sedang berpuasa’-: mungkin juga yang dimaksud dengannya adalah dia mengajak bicara kepada dirinya sendiri dalam rangka memperingatkan dari perbuatan mencela ataupun bermusuhan.

3. ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata :

ليس الصيام من الطعام والشراب وحده ولكنه من الكذب والباطل واللغو والحلف
Bukanlah puasa itu sebatas menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi puasa itu menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan bathil, sia-sia, dan sumpah yang tidak ada gunanya. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

4. Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :

إنّ الصيام ليس من الطعام والشراب ولكن من الكذب والباطل واللغو

Sesungguhnya puasa itu tidaklah sebatas menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi puasa itu menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan batil dan sia-sia. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

5. Dari Thalq bin Qais, dia berkata: Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu berkata :

إذا صمت فتحفظ ما استطعت

Jika kamu berpuasa, maka jagalah dirimu semaksimal kemampuanmu.

Adalah Thalq ketika berpuasa, dia masuk rumahnya dan tidak pernah keluar kecuali untuk mengerjakan shalat. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

6. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Jika kamu berpuasa, maka jagalah pendengaran, penglihatan, dan lisanmu dari berdusta dan jagalah dirimu dari perbuatan dosa, jangan menyakiti pembantu, wajib atas kamu untuk bersikap tenang, (terlebih) pada saat kamu berpuasa, jangan kamu jadikan hari berbukamu (tidak puasa) dengan hari berpuasamu sama. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Ash-Shiyam Bab ‘Perkara yang diperintahkan kepada orang yang berpuasa berupa sedikit bicara dan menjaga diri dari berdusta’, II/422)

7. Dan dari ‘Atha’, dia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: Jika kamu berpuasa, maka janganlah bertindak jahil, dan jangan mencaci maki. Jika kamu diperlakukan jahil, maka katakanlah: aku sedang berpuasa. (HR. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf)

8. Dan dari Mujahid, dia berkata: ada dua perangai yang barangsiapa menjaga diri darinya, puasanya akan selamat, yakni (1) ghibah, dan (2) berdusta. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

9. Dan dari Abul ‘Aliyah, dia berkata: Puasa itu akan bernilai ibadah selama pelakunya tidak berbuat ghibah. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Keadaan Salaf terkait dengan waktu

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata : Wahai anak Adam! Sesungguhnya kamu itu adalah seperti hari-hari, jika satu hari telah pergi, maka telah hilanglah sebagian dari dirimu.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga berkata : Wahai anak Adam! Waktu siangmu adalah tamumu, maka berbuat baiklah kepadanya, karena sesungguhnya jika kamu berbuat baik kepadanya, dia akan pergi dengan memujimu, dan jika kamu bersikap jelek padanya, maka dia akan pergi dalam keadaan mencelamu, demikian juga waktu malammu.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga berkata : Dunia itu ada tiga hari: (1) Adapun kemarin, maka dia telah pergi dengan amalan-amalan yang kamu lakukan padanya, (2) adapun besok, mungkin saja kamu tidak akan menjumpainya lagi, (3) dan adapun hari ini, maka ini untukmu, maka beramallah pada saat itu juga.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: Tidaklah aku menyesal terhadap sesuatu sebagaimana menyesalku ketika pada hari yang matahari telah tenggelam sementara umurku berkurang padahal amalanku tidak bertambah pada hari itu.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Menyia-nyiakan waktu itu lebih buruk daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu itu memutuskan kamu dari Allah dan negeri akhirat, sementara kematian itu memutuskan kamu dari dunia dan penghuninya.

As-Suri bin Al-Muflis rahimahullah berkata: Jika kamu merasa sedih karena hartamu berkurang, maka menangislah karena berkurangnya umurmu.

ANTARA PANITIA DAN AMIL ZAKAT




ANTARA PANITIA DAN AMIL ZAKAT

oleh: Abu Usamah
amil adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat (bukan sekedar menerima zakat, pent).
Sehingga ayat di atas adalah dalil tegas yang menunjukkan bahwa penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengambil harta zakat. Kebenaran pernyataan ini semakin kuat dengan firman Allah,

خُذْ مِنْ أموالهم صَدَقَةً

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka” (QS at Taubah:103).

Oleh karena itu mengatakan bahwa pemilik harta itu diperbolehkan untuk membayarkan zakat hartanya yang tersembunyi (yaitu zakat uang, pent) secara langsung adalah berdasarkan dalil yang lain. Mungkin di antara dalil yang menunjukkan pernyataan ini adalah firman Allah,

وَفِى أموالهم حَقٌّ لَّلسَّائِلِ والمحروم

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta-minta” (QS adz Dzariyat:19).

Jika zakat adalah hak orang miskin yang meminta-minta dan yang tidak meminta-minta maka tentu dibolehkan menyerahkan zakat secara langsung kepada yang berhak menerima” (Mafatiih al Ghaib atau Tafsir ar Razi 8/77, Maktabah Syamilah).

Ketika membahas hadits Ibnu Abbas tentang pengutusan Muadz bin Jabal ke Yaman, Ibnu Hajar al Asqolani berkata, “Hadits ini bisa dijadikan dalil bahwa penguasalah yang memiliki otoritas untuk mengambil zakat dan menditribusikannya baik secara langsung ataupun melalui orang yang dia angkat. Barang siapa yang menolak untuk membayar zakat maka akan diambil secara paksa” (Fathul Bari 5/123 hadits no 1401, Maktabah Syamilah).
Ibnu Humam al Hanafi mengatakan, “Makna tekstual dari firman Allah yang artinya, ‘Ambillah zakat dari harta mereka’ (QS at Taubah:103) menunjukkan bahwa hak mengambil zakat itu secara mutlak berada di tangan penguasa” (Fath al Qodir 3/478).

Ketika menjelaskan firman Allah dalam surat at Taubah ayat yang ke-60, al Qurthubi al Maliki mengatakan, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang diangkat oleh penguasa untuk mengumpulkan zakat dengan status sebagai wakil penguasa dalam masalah tersebut” (al Jami’ li Ahkam al Qur’an, 8/177 Maktabah Syamilah).

Asy Syaerozi asy Syafii mengatakan, “Penguasa memiliki kewajiban untuk mengangkat amil untuk mengambil zakat karena Nabi dan para khalifah setelahnya selalu mengangkat petugas zakat. Alasan lainnya adalah karena di tengah masyarakat ada orang yang memiliki harta namun tidak mengatahui kadar zakat yang wajib dikeluarkan. Demikian pula diantara mereka ada yang memiliki sifat pelit sehingga penguasa wajib mengangkat petugas. Petugas yang diangkat penguasa haruslah orang yang merdeka (bukan budak), baik agamanya dan bisa dipercaya karena status sebagai amil zakat adalah sebuah kekuasaan dan amanah. Sedangkan seorang budak dan orang yang fasik tidak berhak diberi kekuasaan dan amanah. Penguasa tidak boleh mengangkat sebagai amil zakat kecuali orang yang faham fiqih karena hal ini membutuhkan pengetahuan tentang harta yang wajib dizakati dan yang tidak wajib dizakati serta perlu adanya ijtihad berkaitan dengan berbagai permasalahan dan hukum zakat yang dihadapi”(al Muhadzab hal 308 dan al Majmu’ Syarh al Muhadzab 6/167, Maktabah Syamilah)

Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala…. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat” (Majalis Syahri Ramadhan hal 163-164, cet Darul Hadits Kairo).
Sayid Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat” (Fiqh Sunnah 1/327, terbitan Dar al Fikr Beirut).

Syeikh Shalih al Fauzan, salah seorang ulama dari Arab Saudi, menjelaskan, “Amil zakat adalah para pekerja yang bertugas mengumpulkan harta zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat lalu menjaganya dan mendistribusikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka bekerja berdasarkan perintah yang diberikan oleh penguasa kaum muslimin. Mereka diberi dari sebagian zakat sesuai dengan upah yang layak diberikan untuk pekerjaan yang mereka jalani kecuali jika pemerintah telah menetapkan gaji bulanan untuk mereka yang diambilkan dari kas Negara karena pekerjaan mereka tersebut. Jika demikian keadaannya, sebagaimana yang berlaku saat ini (di Saudi, pent), maka mereka tidak diberi sedikitpun dari harta zakat karena mereka telah mendapatkan gaji dari negara” (al Mulakhash al Fiqhi 1/361-362, cet Dar al ‘Ashimah Riyadh).

‘Adil bin Yusuf al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya” (Tamam al Minnah fi Fiqh al Kitab wa Shahih al Sunnah 2/290, terbitan Muassasah Qurthubah Mesir).

Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.

Sayid Sabiq berkata, “Siapa yang menolak untuk membayar zakat padahal dia menyakini kewajibannya maka dia berdosa karena tidak mau membayar zakat meski hal ini tidak mengeluarkannya dari Islam. Penguasa memiliki kewajiban untuk mengambil harta zakat tersebut secara paksa darinya serta memberikan hukuman atas sikap orang tersebut” (Fiqh Sunnah 1/281).

SALAF DAN SALAFIYAH SECARA BAHASA ISTILAH DAN PERIODISASI ZAMAN




SALAF DAN SALAFIYAH SECARA BAHASA ISTILAH DAN PERIODISASI ZAMAN


Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly




Saya menginginkan orang yang berjalan di atas manhaj salaf dengan ilmu, dan ini syaratnya :

"Artinya : Katakanlah : Inilah (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik" [Yusuf : 108]

Untuk mengetahui bahwa penunjukkan dan pecahan kata ini mengalahkan ikatan fanatisme kelompok yang merusak dan melampui lorong sempit kerahasiaan karena dia itu sangat jelas seperti jelasnya matahari di siang hari.

"Artinya : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang salih dan berkata : 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" [Fush shilat : 33]

Kata salaf secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan.

Berkata Ibnul Mandzur (Lisanul Arab 9/159) : Salaf juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang, orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu dan memiliki umur lebih serta keutamaan yang lebih banyak. Oleh karena itu, generasi pertama dari Tabi'in dinamakan As-Salafush Shalih.

Saya berkata : Dan dengan makna ini adalah perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada putrinya Fathimah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Sesungguhnya sebaik-baik pendahulu (salaf) bagimu adalah aku"
[Hadits Shahih Riwayat Muslim No. 2450]

Dan diriwayatkan dari beliau Shallallahu 'alihi wa sallam bahwa beliau berkata kepada putri beliau Zainab Radhiyallahu 'anha ketika dia meninggal.

"Artinya : Susullah salaf shalih (pendahulu kita yang sholeh) kita Utsman bin Madz'un" [Hadits Shahih Riwayat Ahmad 1/237-238 dan Ibnu Saad dalam Thobaqaat 8/37 dan di shahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Syarah Musnad No. 3103, akan tetapi dimasukkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Dhoifh No. 1715]

Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus untuk para sahabat ketika dimutlakkan dan yang selain mereka diikutsertakan karena mengikuti mereka.

Al-Qalsyaany berkata dalam Tahrirul Maqaalah min Syarhir Risalah (q 36) : As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi pertama yang mendalam ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga sunnahnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memilih mereka untuk menegakkan agamaNya dan meridhoi mereka sebagai imam-imam umat. Mereka telah benar-benar berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menghabiskan umurnya untuk memberikan nasihat dan manfaat kepada umat, serta mengorbankan dirinya untuk mencari keridhoan-Nya.

Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji mereka dalam kitabNya dengan firmanNya.

"Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka" [Al-Fath : 29]

Dan firman Allah.
"Artinya : (Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar" [Al-Hasr : 8]

Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut kaum muhajirin dan Anshor kemudian memuji itiba' (sikap ikut) kepada mereka dan meridhoi hal tersebut demikian juga orang yang menyusul setelah mereka dan Allah Subahanahu wa Ta'ala mengancam dengan adzab orang yang menyelisihi mereka dan mengikuti jalan selain jalan mereka, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali" [An-Nisa' : 115]

Maka merupakan suatu kewajiban mengikuti mereka pada hal-hal yang telah mereka nukilkan dan mencontoh jejak mereka pada hal-hal yang telah mereka amalkan serta memohonkan ampunan bagi mereka, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) mereka berkata : "Ya Rabb kami, beri ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang" [Al-Hasr : 10]

Istilah ini pun diakui oleh orang-orang terdahulu dan mutaakhirin dari ahli kalam.

Al-Ghazaali berkata dalam kitab Iljaamul Awaam an Ilmil Kalaam hal 62 ketika mendefnisikan kata As-Salaf : Saya maksudkan adalah madzhab sahabat dan tabiin.

Al-Bajuuri berkata dalam kitab Syarah Jauharuttauhid hal. 111 : Yang dimaksud dengan salaf adalah orang-orang yang terdahulu yaitu para Nabi, sahabat, tabi'in dan tabiit-tabiin.

Istilah inipun telah dipakai oleh para ulama pada generasi-generasi yang utama untuk menunjukkan masa shohabat dan manhaj mereka, diantaranya :

[1]. Berkata Imam Bukhari (6/66 Fathul Bariy) : Rasyid bin Sa'ad berkata : Dulu para salaf menyukai kuda jantan, karena dia lebih cepat dan lebih kuat.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menafsirkan perkataan Rasyid ini dengan mengatakan : Yaitu dari para sahabat dan orang setelah mereka.

Saya berkata : Yang dimaksud adalah shahabat karena Rasyid bin Saad adalah seorang Tabi'in maka sudah tentu yang dimaksud di sini adalah shahabat.

[2]. Berkata Imam Bukhari (9/552 Fathul Bariy) : Bab As-Salaf tidak pernah menyimpan di rumah atau di perjalanan mereka makanan daging dan yang lainnya.

Saya berkata ; Yang dimaksud adalah shahabat.

[3]. Imam Bukhari berkata (1/342 Fathul Bariy) : Dan Az-Zuhri berkata tentang tulang-tulang bangkai seperti gajah dan yang sejenisnya : Saya menjumpai orang-orang dari kalangan ulama Salaf bersisir dan berminyak dengannya dan mereka tidak mempersoalkan hal itu.

Saya berkata : Yang dimaksud adalah sahabat karena Az-Zuhri adalah seorang tabiin.

[4]. Imam Muslim telah mengeluarkan dalam Muqadimah shahihnya hal.16 dari jalan periwayatan Muhammad bin Abdillah, beliau berkata aku telah mendengar Ali bin Syaqiiq berkata ; Saya telah mendengar Abdullah bin Almubarak berkata - di hadapan manusia banyak- : Tinggalkanlah hadits Amru bin Tsaabit, karena dia mencela salaf.

Saya berkata : Yang dimaksud adalah sahabat.

[5]. Al-Uza'iy berkata : Bersabarlah dirimu di atas sunnah, tetaplah berdiri di tempat kaum tersebut berdiri, katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tinggalkanlah apa yang mereka tinggalkan dan tempuhlah jalannya As-Salaf Ash-Shalih, karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka [Dikeluarkan oleh Al-Aajury dalam As-Syari'at hal.57]

Saya berkata : Yang dimaksud adalah sahabat. Oleh karena itu, kata As-Salaf telah mengambil makna istilah ini dan tidak lebih dari itu. Adapun dari sisi periodisasi (perkembangan zaman), maka dia dipergunakan untuk menunjukkan generasi terbaik dan yang paling benar untuk dicontoh dan diikuti, yaitu tiga generasi pertama yang telah dipersaksikan dari lisan sebaik-baiknya manusia Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa mereka memiliki keutamaan dengan sabdanya.

"Artinya : Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi kemudian datang kaum yang syahadahnya salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului syahadahnya" [Dan dia adalah hadits Mutawatir akan datang Takhrijnya]

Akan tetapi periodisasi ini kurang sempurna untuk membatasi pengertian salaf ketika kita lihat banyak dari kelompok-kelompok sesat telah muncul pada zaman-zaman tersebut, oleh karena itu keberadaan seseorang pada zaman tersebut tidaklah cukup untuk menghukum keberadaannnya di atas manhaj salaf kalau tidak sesuai dengan para sahabat dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah. Oleh karena itu para Ulama mengkaitkan istilah ini dengan As-Salaf Ash-Shalih.

Dengan ini jelaslah bahwa istilah Salaf ketika dipakai tidaklah melihat kepada dahulunya zaman akan tetapi melihat kepada para sahabat Nabi dan yang mengikuti mereka dengan baik. Dan diatas tinjauan inilah dipakai istilah salaf yaitu dipakai untuk orang yang menjaga keselamatan aqidah dan manhaj di atas pemahaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu a'nhuma sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.

Adapun nisbat Salafiyah adalah nisbat kepada Salaf dan ini adalah penisbatan terpuji kepada manhaj yang benar dan bukanlah madzhab baru yang dibuat-buat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu' Fatawa 4/149 : Tidak ada celanya atas orang yang menampakkan manhaj Salaf, menisbatkan kepadanya dan bangga dengannya, bahkan pernyataan itu wajib diterima menurut kesepakatan Ulama, karena madzhab Salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.

Sebagian orang dari orang yang mengerti akan tetapi berpaling ketika menyebut Salafiyah, mereka terkadang menyangka bahwa Salafiyah adalah perkembangan baru dari Jama'ah Islamiyah yang baru yang melepaskan diri dari lingkungan Jama'ah Islam yang satu dengan mengambil untuk dirinya satu pengertian yang khusus dari makna nama ini saja sehingga berbeda dengan kaum muslimin yang lainnya dalam masalah hukum, kecenderungan-kecenderungan bahkan dalam tabia'at dan norma-norma etika (akhlak).[1]

Tidaklah demikian itu ada dalam manhaj salafi, karena salafiyah adalah Islam yang murni (bersih) secara sempurna dan menyeluruh baik kitab maupun sunnah dari pengaruh-pengaruh endapan peradaban lama dan warisan kelompok-kelompok sesat yang beraneka ragam sesuai dengan pemahaman Salaf yang telah dipuji oleh nash-nash al-Kitab dan As-Sunnah.

Prasangka itu hanyalah rekaan prasangka salah dari suatu kaum yang tidak menyukai kata yang baik dan penuh barokah ini, yang asal kata ini memiliki hubungan erat dengan sejarah umat Islam sampai bertemu generasi awal, sehingga mereka menganggap bahwa kata ini dilahirkan dari gerakan pembaharuan yang dikembangkan oleh Jamaluddin Al-Afghaniy dan Muhammad Abduh pada masa penjajahan Inggris di Mesir.[2]

Orang yang menyatakan persangkaan ini atau yang menukilkannya tidak mengetahui sejarah kata ini yang bersambung dengan As-Salaf Ash-Shalih secara makna, pecahan kata dan periodisasi. Padahal para ulama terdahulu telah mensifatkan setiap orang yang mengikuti pemahaman para sahabat dalam aqidah dan manhaj dengan Salafi. Seperti ahli sejarah Islam Al-Imam Adz-Dzahaabiy dalam Siyar 'Alam an-Nubala 16/457 menukil perkataan Ad-Daroquthniy : Tidak ada sesuatu yang paling aku benci melebihi ilmu kalam. Kemudian Adz-Dzahaabiy berkata : Dia tidak masuk sama sekali ke dalam ilmu kalam dan jidal (ilmu debat) dan tidak pula mendalami hal itu, bahkan di adalah seorang Salafi.


[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]
_________
Foote Note.
[1] Lihatlah tulisan Dr. Al-Buthiy dalam kitabnya As-Salafiyah Marhalatun Zamaniyatun Mubarokatun La Madzhabun Islamiyatun, kitab ini lahiriyahnya rahmat tetapimsebaliknya merupakan adzab.
[a] Dia berusaha mencela As-Salaf dalam manhaj ilmiyah mereka dalam talaqiy, pengambilan dalil (istidlal) dan penetapan hukum (istimbath), dengan demikian dia telah menjadikan mereka seperti orang-orang ummiy yang tidak mengerti Al-Kitab kecuali hanya dengan angan-angan.
[b] Dia telah menjadikan manhaj Salaf (As-Salafiyah) fase sejarah yang telah lalu dan hiloang tidak akan kembali ada kecuali kenangan dan angan-angan.
[c] Mengklaim bid'ahnya intisab (penisbatan) kepada salaf, maka dia telah mengingkari satu perkara yang sudah dikenal dan tersebar sepanjang zaman secara turun temurun.
[d] Dia berputar seputar manhaj Salaf dalam rangka membenarkan madzhab khalaf dimana akhirnya dia menetapkan bahwa manhaj khalaf adalah penjaga dari kesesatan hawa nafsu dan menyembunyikan kenyataan-kenyataan sejarah yang membuktikan bahwa manhaj khalaf telah mengantar kepada kerusakan peribadi muslim dan pelecehan manhaj Islam.
[2] Dakwaan-dakwaan ini memiliki beberapa kesalahan :
[a] Gerakan yang dipelopori oleh Jamaludin Al-Afghaniy dan Muhammad Abduh bukanlah salafiyah akan tetapi dia adalah gerakan aqliyah kholafiyah dimana mereka menjadikan akal sebagai penentu daripada naql (nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah).
[b] Telah muncul penelitian yang banyak seputar hakikat Al-Afghaniy dan pendorong gerakannya yang memberikan syubhat (keraguan) yang banyak seputar sosok ini yang membuat orang yang memperhatikan sejarahnya untuk was-was dan berhati-hati darinya.
[c] Bukti-bukti sejarah telah menegaskan keterlibatan Muhammad Abduh pada gerakan Al-Masuniyah dan dia dianggap tertipu oleh propagandanya dan tidak mengerti hakikat gerakan Masoni tersebut.
[d] Pengkaitan As-Salafiyah dengan gerakan Al-Afghaniy dan Muhammad Abduh adalah tuduhan jelek terhadapnya walaupun secara tersembunyi dari apa yang telah dituduhkan mereka kepadanya dari keterikatan dan motivasi yang tidak jelas.

AMALAN DI BULAN RAMADHAN


AMALAN DI BULAN RAMADHAN


Bulan Ramadhan yang ditunggu oleh kaum Muslimin telah tiba. Kerinduan telah terobati dan penantian telah berakhir. Selayaknya setiap insane Muslim memanfaatkan kesempatan emas ini sebelum Ramadhan berlalu. Marilah kita mengoreksi diri agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan di masa silam. Semoga sisa usia yang terbatas dengan ajal ini bisa termanfaatkan dengan baik untuk meraih pahala sebanyak-banyaknya dan menjadi penghapus segala dosa.

Kedatangan bulan Ramadhan teramat sangat sayang bila dibiarkan begitu saja. Itulah sebabnya, semangat berlomba melakukan kebaikan bergelora pada bulan yang penuh barakah ini. Namun, haruskah semangat berlomba-lomba ini hanya ada di bulan ini saja ? Ingat, Allah Azza wa Jalla berfirman :

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan [al-Baqarah/2:148]

Sebagai upaya mengingatkan diri, kami mencoba menyajikan beberapa masalah yang biasa dilakukan oleh kaum Muslimin di bulan Ramadhan. Selamat menelaah!

1. SEMANGAT BERIBADAH
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah ditanya tentang sebagian kaum Muslimin yang kurang perhatian terhadap ibadah shalat sepanjang tahun. Namun, ketika Ramadhan tiba, mereka bergegas melakukan shalat, puasa dan membaca al-Qur’ân serta mengerjakan berbagai ibadah yang lain. Terhadap orang seperti ini, Syaikh rahimahullah mengatakan : “Hendaknya mereka senantiasa menanamkan ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla di dalam hati mereka. Hendaklah mereka beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan melaksanakan semua yang menjadikan kewajiban mereka di setiap waktu dan dimanapun juga. Karena, tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan maut menjemputnya? Bisa jadi, seseorang mengharapkan kedatangan bulan Ramadhan. Namun, ternyata dia tidak mendapatkannya. Allah Azza wa Jalla tidak menentukan batas akhir ibadah kecuali kematian. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan sembahlah Rabb kalian sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) [al-Hijr/15:99]

Pengertian al-Yaqîn dalam ayat di atas adalah kematian.[1]

Bagi yang masih bermalasan-malasan melakukan ibadah di luar bulan Ramadhan, hendaklah ingatbahwa kematian bisa mendatangi seseorang dimana saja dan kapan saja. Ketika kematian sudah tiba, kesempatan beramal sudah berakhir, dan tiba waktunya mempertanggungjawabkan kesempatan yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada kita. Sudah siapkah kita empertanggungjawabkan amalan kita, jika sewaktu-waktu dipanggil oleh Allah Azza wa Jalla ? Allah Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Serta tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [Luqmân/31:34]

Renungkanlah pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abdullâh bin ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu ‘anhu, seorang Sahabat dan putra dari seorang Sahabat pula yang berbunyi :

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلِ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَا تِكَ لِمَوْ تِكَ

Jadilah kamu di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan !” Ibnu Umar mengatakan : “Jika engkau berada di waktu sore, jangan menunggu waktu pagi dan jika engkau berada di waktu pagi, jangan menunggu waktu sore. Ambillah (kesempatan) dari waktu sehat untuk (bekal) di waktu sakitmu dan ambillah kesempatan dari waktu hidupmu untuk bekal matimu [HR. Bukhâri]

Banyak lagi ayat dan hadits senada dengannya yang menganjurkan kita agar bertakwa setiap saat. Ya Allah Azza wa Jalla, tanamkanlah ketakwaan dalam jiwa-jiwa kami dan bersihkanlah jiwa-jiwa kami ! Sesungguhnya tidak ada yang bisa membersihkan jiwa-jiwa kecuali Engkau.

2. ZAKAT MÂL
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn ditanya: “Apakah sedekah dan zakat hanya dikeluarkan pada bulan Ramadhan?” Beliau rahimahullah menjawab : “Sedekah tidak hanya pada bulan Ramadhan. Amalan ini disunnahkan dan disyariatkan pada setiap waktu. Sedangkan zakat, maka wajib dikeluarkan ketika harta itu telah genap setahun, tanpa harus menunggu bulan Ramadhan, kecuali kalau Ramadhan sudah dekat. Misalnya, hartanya akan genap setahun (menjadi miliknya) pada bulan Sya’ban, lalu dia menunggu bulan Ramadhan untuk mengeluarkan zakat, ini tidak masalah. Namun, jika haulnya (genap setahunnya) pada bulan Muharram, maka zakatnya tidak boleh ditunda sampai Ramadhan. Namun, si pemilik harta, bisa juga mengeluarkan zakatnya lebih awal, misalnya dibayarkan pada bulan Ramadhan, dua bulan sebelum genap setahun. Memajukan waktu pembayaran zakat tidak masalah, akan tetapi menunda penyerahan zakat dari waktu yang telah diwajibkan itu tidak boleh. Karena kewajiban yang terkait dengan suatu sebab, maka kewajiban itu wajib dilaksanakan ketika apa yang menjadi penyebabnya ada. Kemudian alasan lain, tidak ada seorang pun yang bisa menjamin bahwa dia akan masih hidup sampai batas waktu yang direncanakan untuk melaksanakan ibadahnya yang tertunda. Terkadang dia meninggal (sebelum bisa melaksanakannya-pent), sehingga zakat masih menjadi tanggungannya sementara para ahli waris terkadang tidak tahu bahwa si mayit masih memiliki tanggungan zakat.[2]

Keistimewaan bulan Ramadhan memang menggiurkan setiap insan yang beriman dengan hari Akhir. Mungkin inilah sebabnya, sehingga sebagian orang yang terkena kewajiban zakat menunda zakatnya, padahal mestinya tidak. Apalagi kalau melihat kepentingan orang-orang yang berhak menerima zakat. Dan biasanya, mereka lebih membutuhkan zakat di luar bulan Ramadhan, karena sedikit orang bershadaqah, berbeda dengan pada bulan Ramadhan, banyak sekali orang-orang yang mau bershadaqah. Dan ini memang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di luar Ramadhan, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkenal dermawan, dan ketika Ramadhan tiba beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan lagi [3], sampai dikatakan : Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan dibandingkan dengan angin yang bertiup.[4]

3. MENGKHATAMKAN AL-QUR’ÂN ?
Di antara hal yang sangat menggembirakan dan menyejukkan hati ketika memasuki bulan Ramadhan yaitu semangat kaum Muslimin dalam melaksanakan ibadah, termasuk di antaranya membaca al-Qur’ân. Hampir tidak ada masjid yang kosong dari kaum Muslimin yang membaca al-Qur’ân. Pemandangan seperti ini jarang bisa didapatkan di luar bulan Ramadhan, kecuali di beberapa tempat tertentu. Yang menjadi pertanyaan, haruskah seorang Muslim mengkhatamkan bacaan al-Qur’ânnya di bulan Ramadhan ?

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah menjawab : “Mengkhatamkan al-Qur’ân pada bulan Ramadhan bagi orang yang sedang berpuasa bukan suatu hal yang wajib. Namun, pada bulan Ramadhan, semestinya kaum Muslimin memperbanyak membaca al-Qur’ân, sebagaimana Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh malaikat Jibrîl pada setiap bulan Ramadhan untuk mendengarkan bacaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[5]

Dalam hadits shahîh dijelaskan :

إِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمَ كَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ سَنَةٍ فِي رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ فَيَعْرِضُ عَلَيْهِ رَسُوْل ُاللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْ آنَ فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيْلُ كَان رَسُوْل ُاللَّهِ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ َ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّ يْحِ المُرْ سَلَةِ

Sesungguhnya Jibril mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap tahun pada bulan Ramadhan sampai habis bulan Ramadhan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperdengarkan bacaan al-Qur’ân kepada Jibril. Ketika Jibril menjumpai Rasulullah, beliau lebih pemurah dibandingkan dengan angin yang ditiupkan [HR Muslim]

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Dalam hadits ini terdapat beberapa faidah, di antaranya ; menjelaskan kedermawanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga menjelaskan tentang anjuran untuk memperbanyak kebaikan pada bulan Ramadhan; dianjurkan untuk semakin baik ketika berjumpa dengan orang-orang shalih; di antaranya juga anjuran untuk bertadarrus al-Qur’ân”[6]

4. ZIARAH KUBUR
Sudah menjadi pemandangan yang biasa terjadi di lingkungan kita, khususnya Indonesia, pada harihari menjelang bulan Ramadhan ataupun di penghujung bulan yang penuh barakah ini, sebagian kaum Muslimin berbondong-bondong pergi ke kuburan untuk ziarah. Waktu dan biaya yang mereka keluarkan seakan tidak menjadi masalah, asalkan bisa menziarahi kubur sanak famili. Bagaimanakah sebenarnya tuntunan dalam ziarah kubur ? Bolehkah kita menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan ziarah kubur?

Ziarah kubur itu disyari’at supaya yang masih hidup bisa mengambil pelajaran dan bisa membantu mengingat akhirat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَ كِّرُكُمْ الآخِرَةَ

Hendaklah kalian ziarah kubur, karena ziarah kubur bisa membuat kalian mengingat akhirat. [HR Ibnu Mâjah] [7]

Dalam hadits ini dijelaskan dengan gambling bahwa tujuan ziarah kubur itu supaya bisa mengingat akhirat. Jadi, manfaatnya untuk yang masih hidup. Dalam hadits lain dijelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan do’a kepada para Sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hendak ziarah kubur.

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الذِّيَارِ مِنَ الْمُؤْ مِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَا ءَاللّهُ لاَ حِقُوْنَ أَسْاَلُ اللَّهَِ لَنَا وَلَكُمْ الْعَا فِيَةَ

Semoga keselamatan bagi kalian wahai kaum Mukminin dan kaum Muslimin, penghuni kuburan. Sesungguhnya kami pasti akan menyusul kalian insya Allah. Aku memohon keselamatan buat kami dan buat kalian [HR Muslim]

Ini menunjukkan manfaat lain dari ziarah kubur yaitu berkesempatan untuk mendo’akan kaum Muslimin yang sudah meninggal, meskipun untuk mendo’akan mereka tidak harus ziarah ke kuburan mereka.

Sedangkan mengenai penentuan hari-hari tertentu untuk ziarah kubur, para Ulama menyatakan tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menentuan hari-hari tertentu untuk ziarah kubur.[8] Ziarah kubur bisa dilakukan kapan saja dan hari apa saja. Ziarah kubur bisa dilakukan ketika ada kesempatan, tanpa menentukan waktu-waktu tertentu. Mengkhususkan hari tertentu untuk ziarah kubur bisa menyebabkan pelakunya terseret ke dalam perbuatan bid’ah. Apalagi jika disertai dengan halhal menyimpang, seperti ziarah kubur dengan tujuan meminta sesuatu kepada penghuni kubur atau meyakini si penghuni kubur memiliki kemampuan untuk menangkal bahaya atau memberi manfaat. Jika demikian, maka si pelaku bisa terjebak dalam perbuatan syirik, iyâdzan billâh.

5. I’TIKAF
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn ketika ditanya : “Apakah disyari’at I’tikâf pada di luar bulan Ramadhan ?

Beliau rahimahullah menjawab : “I’tikaf yang disyari’atkan yaitu pada bulan Ramadhan saja, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan I’tikaf di luar Ramadhan, kecuali pada bulan Syawâl, saat beliau tidak bisa melakukan I’tikâf pada bulan Ramadhan tahun itu.[9] Namun, seandainya ada yang melakukan I’tikâf di luar bulan Ramadhan, maka itu boleh. Karena Umar Radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Aku bernadzar untuk melakukan I’tikâf selama satu malam atau satu hari di Masjidil Haram.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Penuhilah nadzarmu !”[10] Namun kaum Muslimin tidak dituntut untuk melakukannya di luar Ramadhan.[11]

Demikian beberapa hal yang berkait dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin, semoga menjadi renungan bagi kita semua.(Redaksi)

_______
Footnote
[1]. Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil, Syaikh Muhammad bin Shâlih al Utsaimîn , 20/88
[2]. Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil, Syaikh Muhammad bin Shâlih al Utsaimin , 18/459. fatwa tentang larangan menunda pembayaran
zakat mal dari waktu wajibnya juga dikeluarkan oleh lajnah Dâimah, 9/392-393
[3]. Dikeluarkan oleh al-Bukhâri dan Muslim
[4]. HR al-Bukhâri, no. 1902 dan Muslim
[5]. Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil, Syaikh Muhammad bin Shâlih al Utsaimîn , 20/184
[6]. Syarhun Nawawi,15/69
[7]. Fatâwâ Lajnatud Dâimah Lil Buhûts wal Iftâ‘, 9/113
[8]. Lihat Fatâwâ Lajnah Dâimah, 9/113
[9]. HR Bukhâri, no. 2041 dan Muslim, no. 1173
[10]. HR Bukhâri, no. 2032 dan Muslim, no. 1656
[11]. Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn , 20/15

AGAMA ISLAM


AGAMA ISLAM

oleh: Syeikh MUhammad bin Sholeh al Utsaimin

pembaca yang dirahmati Alloh, pada rubrik Aqidah ini kami mengambil dari kitab Syeikh MUhammad bin Sholeh al Utsaimin yang berjudul Syarah Utsulil Iman dan insya Alloh akan kami bahas secara berseri. semoga Alloh memudahkan, red............


Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan Islam, Allah mengakhiri serta menyempurnakan agama-agama lain untuk para hamba-Nya. Dengan Islam pula, Allah menyempurnakan kenikmatan-Nya dan meridhoi Islam sebagai dinnya. Oleh karena itu tidak ada yang lain yang patut diterima, selain Islam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

" Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi "[Al-Ahzab:40]

" Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu " [Al Maidah : 3]

" Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam" [Ali Imran : 19]

" Siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi" [Ali Imran : 85]

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mewajibkan seluruh umat manusia agar memeluk agama Islam karena Allah. Hal ini sebagaimana telah difirmankan-Nya kepada rasul-Nya.

Katakanlah ; "Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk." [Al A'raaf : 158]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

" Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorangpun dari umat ini, Yahudi maupun Nashrani, yang mendengar tentangaku, kemudian mati tidak mengimani sesuatu yang aku diutus karenanya, kecuali dia termasuk penghuni neraka." [Hadits Riwayat Muslim]

Mengimani Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam artinya membenarkan dengan penuh penerimaan dan kepatuhan terhadap segala yang dibawanya, bukan hanya membenarkan semata. Oleh karena itulah Abu Thalib (paman Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) dikatakan bukan orang yang mengimani Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, walaupun ia membenarkan apa yang dibawa oleh keponakannya itu dan dia juga mengakui bahwa Islam adalah agama yang terbaik.

Agama Islam mencakup seluruh kemaslahatan yang dikandung oleh agama-agama terdahulu. Islam mempunyai keistimewaan, yaitu relevan untuk setiap masa, tempat dan umat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada rasul-Nya.

" Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab itu " [Al Maidah :48]

Islam dikatakan relevan untuk setiap masa, tempat dan umat, maksudnya adalah berpegang teguh pada Islam tidak akan menghilangkan kemaslahatan umum di setiap waktu dan tempat. Bahkan dengan Islam, umat akan menjadi baik. Tetapi bukan berarti Islam tunduk pada waktu, tempat dan umat, seperti yang dikehendaki sebagian orang.

Agama Islam adalah agama yang benar. Allah menjamin kemenangan kepada orang yang memegangnya dengan baik. Hal ini dikatakan-Nya dalam firman-Nya.

" Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai." [At Taubah : 33]

" Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoi-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." [An Nuur : 55]

Agama Islam merupakan aqidah dan syariat. Islam adalah agama yang sempurna dalam aqidah dan syariat, karena:

1. Memerintahkan bertauhid dan melarang syirik.

2. Memerintahkan bersikap jujur dan melarang berbuat bohong/dusta.

3. Memerintahkan berbuat adil[1] dan melarang perbuatan lalim.

4. Memerintahkan untuk bersikap amanat dan melarang khianat.

5. Memerintahkan untuk menepati janji dan melarang ingkar janji.

6. Memerintahkan untuk berbakti kepada ibu-bapak serta melarang menyakitinya.

7. Memerintahkan bersilaturrahim/menyambung hubungan dengan kerabat dekat,serta melarang memutuskannya.

8. Memerintahkan berbuat baik dengan tetangga dan melarang berbuat jahat kepada mereka.

Secara umum Islam memerintahkan agar bermoral baik dan melarang bermoral buruk. Islam juga memerintahkan setiap perbuatan baik, dan melarang perbuatan yang buruk.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

" Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." [An Nahl : 90]



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Adil artinya menyamakan yang sama dan membedakan yang berbeda, bukan persamaan secara mutlak seperti yang dikatakan sebagian orang yang mengatakan bahwa Islam adalah agama persamaan yang mutlak. Menyamakan hal-hal yang berbeda merupakan kelaliman yang tidak dianjurkan oleh Islam, dan pelakunya pun tidak terpuji.

BEKAL ROMADLON




BEKAL ROMADLON

OLEH: aSY Syeikh Jamil Zainu

Sesungguhnya, bulan Ramadhan adalah bulan mulia lagi berbarakah yang ditunggu-tunggu oleh kaum muslimin. Namun, sudahkah kaum muslimin mempersiapkan dirinya di dalam menyambut tamu yang agung ini? Sungguh, tidak mempersiapkan diri di dalam menyambut tamu yang agung ini adalah suatu kerugian dan ketidakhormatan.

Oleh karena itulah, di dalamnya menyambut bulan yang mulia ini, kami mempersembahkan kepada kaum muslimin bekal-bekal dan panduan singkat di dalam menghadapi bulan Ramadhan yang kami ringkaskan dari risalah Karya Syeikh JAmil Zainu

Semoga apa yang kami lakukan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi bekal bagi penterjemah di dalam menghadapi hari, dimana harta dan anak-anak tidaklah befaidah sedikitpun, kecuali hati yang selamat. Semoga Alloh membalas penulis risalah ini, Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dengan pahala yang berlimpah, atas jerih payahnya di dalam menyebarkan dakwah dan ilmu.
Kewajiban Anda Di Ramadhan



Ketahuilah wahai saudaraku seislam, bahwa Alloh mewajibkan atas kita berpuasa sebagai ibadah bagi-Nya, dan agar puasa anda menjadi sempurna dan bermanfaat, maka lakukanlah hal-hal berikut ini :

1. Jagalah sholat anda. Diantara orang-orang yang berpuasa ada orang yang menelantarkan sholat padahal sholat merupakan tiangnya agama dan meninggalkannya termasuk kekufuran.

2. Jagalah puasa Ramadhan. Latihlah anak-anak anda untuk berpuasa kapan saja mereka mampu dan berhati-hatilah dari berbuka (membatalkan puasa) di bulan Ramadhan tanpa ada udzur.

Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam pernah melihat di dalam mimpinya sebuah kaum :

معلقين بعراقيبهم مشققة اشداقهم تسيل اشداقهم دما قال قلت من هؤلاء قال هؤلاء الذين يفطرون قبل تحلة صومهم

Yang digantung terbalik dengan kepada di bawah, mulut-mulut mereka robek dan dari mulut mereka darah bercucuran. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam berkata : ”Siapakah mereka ini?” (Malaikat) menjawab : ”mereka adalah orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka.” [Sebelum halal puasa mereka yaitu sebelum waktu berbuka]. (dishahihkah al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi).

Barangsiapa yang membatalkan puasanya sehari dengan sengaja maka wajib atasnya menggantinya dan bertaubat.

3. Berhati-hatilah dari berbuka puasa di hadapan manusia, sebagai implementasi sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa salam :

كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافىً إِلاَّ المُجاَهِرِيْنَ

”Seluruh umatku terampuni kecuali mujahirin (orang yang menampakkan kemaksiatan).” (muttafaq ’alayhi).

Ath-Thibi berkata : ”Setiap umatku diampuni dari ghibah kecuali orang-orang yang menampakkan (dosa). Membatalkan puasa adalah suatu keberanian atas Alloh, meremehkan Islam dan kelancangan terhadap manusia. Ketahuilah barangsiapa yang tidak berpuasa maka tidak ada ied atasnya, karena ied itu adalah suatu kegembiraan besar dengan menyempurnakan puasa dan diterimanya ibadah.”

4. Jadilah orang yang berakhlak baik, jauhilah kekufuran dan mencela agama serta mu`amalah yang buruk terhadap manusia, berhujjah dengan puasa anda. Puasa itu mendidik jiwa dan tidak memperburuk akhlak. Nabi Shallallahu ’alaihi wa salam bersabda :

إِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ

”Apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa, maka janganlah mengumpat (yarfuts) dan jangan pula membentak-bentak (yaskhob). Apabila ada seorang yang mencela atau menganiayanya, maka katakanlah : sesungguhnya aku seorang yang sedang berpuasa.” (muttafaq ’alayhi).

[mengumpat : mengucapkan kata kotor, membentak : mengangkat suara].

5. Menjaga lisan dari ghibah (menggunjing), berdusta dan selainnya. Nabi Shallallahu ’alaihi wa salam bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَعَمِلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةً فِى أَنْ يَدَعْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

”Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta atau melakukan kedustaan, maka Alloh tidak butuh akan (puasanya yang) meninggalkan makan dan minum.” (HR Bukhari)

Dan sabda beliau :

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَمِهِ إِلاَّ الظَّمَأ

”Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidaklah mendapatkan dari puasanya melainkan hanya dahaga.” [Shahih, HR ad-Darimi].

6. Bacalah risalah seputar masalah puasa dan selainnya, supaya anda dapat mengetahui hukum-hukum seputar puasa sehingga anda dapat mengetahui bahwa makan dan minum karena lupa tidaklah membatalkan puasa, jinabah (berkumpul dengan isteri atau mimpi) pada malam hari tidaklah mencegah puasa, walaupun yang wajib adalah menghilangkan junub-nya untuk berthoharoh dan sholat.

Sunnah dan Adab Berpuasa



1. Sahur, berbuka dan berdo’a.

a.) Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam bersabda :

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

”Bersahurlah karena di dalam sahur itu adalah berkah.” (muttafaq ’alaihi)

b.) Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam bersabda :

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

”Manusia senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka.” (muttafaq ’alaihi)

c.) Hadits Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٍ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

”Adalah Nabi Shallallahu ’alaihi wa salam berbuka sebelum menunaikan sholat dengan beberapa ruthob (kurma basah), dan apabila tidak memiliki ruthob beliau berbuka dengan beberapa tamr (kurma kering), dan apabila tidak memiliki tamr beliau berbuka dengan menenggak seteguk air.” (Shahih¸ HR Turmudzi).

d.) Sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa salam :

ثَلاثٌ لا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ ، وَ الإِمَامُ الْعَادِلُ ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

”Tiga orang yang tidak ditolak do’a mereka, yaitu : seorang yang berpuasa ketika berbuka, seorang imam yang adik dan do’a orang yang teraniaya.” (Shahih, HR Turmudzi dan selainnya).

e.) Adalah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam apabila berbuka, beliau mengucapkan :

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

”Telah sirna dahaga dan telah basah urat-urat serta telah ditetapkan pahala dengan kehendak Alloh.” (Hasan, HR Abu Dawud).

2. Perbanyaklah berdzikir kepada Alloh, mem-baca dan mendengar Al-Qur`an, men-tadabburi maknanya dan mengamalkannya, dan pergilah ke Masjid-Masjid untuk men-dengarkan pengajian-pengajian yang bermanfaat.

3. Perbanyaklah sedekah terhadap kerabat dan orang-orang yang papa, kunjungilah karib keluarga dan berbuat baiklah terhadap musuh. Jadilah orang yang berhati lapang lagi mulia. Sungguh Nabi Shallallahu ’alaihi wa salam adalah orang yang paling lapang dengan kebaikan dan yang paling murah hati perbuatannya di Ramadhan.

4. Janganlah berlebih-lebihan di dalam makan dan minum ketika berbuka, sehingga anda menyia-nyiakan faidah puasa dan memperburuk kesehatan anda. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam bersabda :

مَا مَلَأَ ابْنُ آدَمُ وِعَاءً شَرً مِنْ بَطْنِهِ

”Tidaklah Ibnu Adam memenuhi suatu wadah yang lebih buruk daripada perutnya.” (Shahih, HR Turmudzi).

5. Jangan mendengarkan nyanyian dan musik-musik, karena ia adalah seruling syaithan.

6. Jangan pergi ke bioskop dan janganlah menonton televisi yang bisa jadi anda akan melihat sesuatu yang merusak akhlak dan menghilangkan pahala puasa.

7. Jangan banyak begadang sehingga anda melewatkan sahur dan sholat fajar (shubuh) dan lebih utama bagi anda beraktivitas di pagi hari. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa salam bersabda :

اللُّهمَّ بَارِكْ لِأٌمَّتِيْ بُكُرِهَا

”Ya Alloh berkahilah umatku di pagi hari mereka.” (Shahih, HR Ahmad).

Yang Dibolehkan Tidak Berpuasa



1. Orang yang sakit dan musafir, maka wajib atas mereka qodho’ (menggantinya), sebagaimana firman Alloh Ta’ala :

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqoroh : 183).

Adapun seorang yang sakitnya tidak ada harapan untuk sembuh, maka wajib atasnya memberikan makan orang miskin setiap harinya sebanyak satu mud gandum (makanan pokok).

2. Wanita haidh dan nifas, maka wajib atas mereka qodho’, sebagaimana ucapan ‘A`isyah radhiyallahu ‘anha :

كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Kami diperintahkan untuk mengganti puasa namun tidak diperintahkan untuk mengganti sholat.” (muttafaq ‘alayhi)

3. Lelaki dan pria tua yang telah jompo yang sudah tidak mampu lagi berpuasa, maka wajib atas mereka memberi maka orang miskin setiap harinya.

4. Wanita hamil dan wanita menyusui yang khawatir atas (kesehatan) dirinya dan bayinya, maka wajib atas mereka memberi makan orang miskin setiap harinya. Dari ibnu ‘Abbas bahwasanya beliau melihat Ummu Walad yang tengah hamil atau menyusui, lantas beliau berkata :

أَنْتِ مِنَ الَّذِيْنَ لاَ يُطِيْقُونَهُ عَلَيْكِ الجَزَاء وَلَيْسَ عَلَيْكِ القَضَاء

“Engkau adalah termasuk orang yang tidak mampu melaksanakan puasa, maka wajib atasmu al-jazaa’ (membayar) namun tidak wajib atasmu qodho’ (mengganti).” (Shahih, HR ad-Daruquthni).

Pembatal Puasa



Hal-hal yang membatalkan puasa ada dua macam, yaitu :

a. Yang membatalkan puasa dan hanya wajib mengqodho-nya saja, yaitu :

1. Makan, minum dan merokok secara sengaja (dan wajib atas pelakunya bertaubat).

2. Muntah dengan sengaja, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam :

مَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ القَضَاء

”Barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib atasnya qodho’.” (Shahih, HR Hakim dan selainnya).

3. Wanita haidh atau nifas, walaupun ia berada pada waktu akhir menjelang terbenamnya matahari.

b. Yang membatalkan puasa dan wajib mengqodho’ serta membayar kafarat, yaitu : Jima’ (bersetubuh) dan tidak ada selainnya menurut mayoritas ulama.

Kafarat-nya yaitu : membebaskan budak, apabila tidak ada budak maka berpuasa dua bulan berturut-turut, apabila tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin. Sebagian ulama tidak mensyaratkan harus berurutan di dalam kafarat (maksudnya boleh memilih salah satu diantara tiga, pent.)


Hal-Hal Yang Tidak Membatalkan Puasa



1. Makan dan minum karena lupa, keliru (maksudnya, mengira sudah waktunya buka ternyata belum, pent.) atau terpaksa. Tidak wajib mengqodho’-nya ataupun membayar kafarat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam :

”Barangsiapa yang lupa sedangkan ia berpuasa, lalu ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Alloh telah memberinya makan dan minum.” (muttafaq ’alayhi).

Dan sabda beliau : ”Sesungguhnya Alloh mengangkat (beban taklif) dari umatku (dengan sebab) kekeliruan, lupa dan keterpaksaan.” (Shahih, HR Thabrani).

2. Muntah tanpa disengaja, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam :

”Barangsiapa yang mengalami muntah sedangkan ia dalam keadaan puasa maka tidak wajib atasnya mengqodho’.” (Shahih, HR Hakim).

3. Mencium isteri, baik untuk orang yang telah tua maupun pemuda selama tidak sampai menyebabkan terjadinya jima’. Dari ’A`isyah radhiyallahu ’anha beliau berkata : ”Rasulullah pernah menciumi (isteri-isteri beliau) sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa, beliau juga pernah bermesraan sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. Namun beliau adalah orang yang paling mampu menahan hasratnya.” (muttafaq ’alayhi)

4. Mimpi basah di siang hari walaupun keluar air mani.

5. Keluarnya air mani tanpa sengaja seperti orang yang sedang berkhayal lalu keluar (air mani).

6. Mengakhirkan mandi janabat, haidh atau nifas dari malam hari hingga terbitnya fajar. Namun yang wajib adalah menyegerakannya untuk menunaikan sholat.

7. Berkumur dan istinsyaq (menghirup air ke dalam rongga hidung) secara tidak berlebihan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam kepada Laqith bin Shabrah :

أَسْبِغْ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

”Sempurnakan wudhu’ dan sela-selailah jari jemari serta hiruplah air dengan kuat (istinsyaq) kecuali apabila engkau sedang berpuasa.” (Shahih, HR ahlus sunan).

8. Menggunakan siwak kapan saja, dan yang semisal dengan siwak adalah sikat gigi dan pasta gigi, dengan syarat selama tidak masuk ke dalam perut.

9. Mencicipi makanan dengan syarat selama tidak ada sedikitpun yang masuk ke dalam perut.

10. Bercelak dan meneteskan obat mata ke dalam mata atau telinga walaupun ia merasakan rasanya di tenggorokan.

11. Suntikan (injeksi) selain injeksi nutrisi dalam berbagai jenisknya. Karena sesungguhnya, sekiranya injeksi tersebut sampai ke lambung, namun sampainya tidak melalui jalur (pencernaan) yang lazim/biasa.

12. Menelan air ludah yang berlendir (dahak), dan segala (benda) yang tidak mungkin menghindar darinya, seperti debu, tepung atau selainnya (partikel-partikel kecil yang terhirup hingga masuk tenggorokan dan sampai perut, pent.).

13. Menggunakan obat-obatan yang tidak masuk ke dalam pencernaan seperti salep, celak mata, atau obat semprot (inhaler) bagi penderita asma.

14. Gigi putus, atau keluarnya darah dari hidung (mimisan), mulut atau tempat lainnya.

15. Mandi pada siang hari untuk menyejukkan diri dari kehausan, kepanasan atau selainnya.

16. menggunakan wewangian di siang hari pada bulan Ramadhan, baik dengan dupa, minyak maupun parfum.

17. Apabila fajar telah terbit sedangkan gelas ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkan-nya melainkan setelah ia menyelesaikan hajat-nya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam :

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

”Apabila salah seorang dari kalian telah mendengar adzan dikumandangkan sedangkan gelas masih berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajat­-nya tersebut.” (Shahih, HR Abu Dawud).

18. Berbekam, ”karena Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam pernah berbekam sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa.” (muttafaq ’alayhi). Adapun hadits yang berbunyi : ”Orang yang membekam dan dibekam batal puasanya” (Shahih, HR Ahmad) maka statusnya mansukh (terhapus) dengan hadits sebelumnya dan dalil-dalil yang lainnya.

Ibnu Hazm berkata : ”Hadits ”orang yang membekam dan dibekam batal puasanya” adalah shahih tanpa diragukan lagi, akan tetapi kami mendapatkan di dalam hadits Abu Sa’id : ”Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam memberikan keringanan berbekam bagi orang yang berpuasa” dan sanad hadits ini shahih sehingga wajib menerimanya. Oleh sebab keringanan (rukhshah) itu terjadi setelah ’azimah (ketetapan), maka (hal ini) menunjukkan atas dinaskh (dihapusnya) hadits yang menjelaskan batalnya puasa karena bekam, baik itu orang yang membekam maupun yang dibekam.” (Lihat Fathul Bari 4:178).

MEMBONGKAR KEDUSTAAN AL – MAQDISIY DALAM KITABNYA PEMBONGKARAN YANG JELAS ATAS PENGKAFIRAN NEGERI SAUDI bag III


MEMBONGKAR KEDUSTAAN AL – MAQDISIY DALAM KITABNYA PEMBONGKARAN YANG JELAS ATAS PENGKAFIRAN NEGERI SAUDI bag III

OLEH: Asy – Syeikh Abdul ‘Aziz Ar Royyis

Penerjemah: Abu Ammar as – Salafi

Editor dan Peneliti: Mujahid as - Salafi


BANTAHAN POINT I ""PENGKAFIRAN AL MAQDISIY TERHADAP SYEIKH BIN BAZ DAN SYEIKH UTSAIMIN" bag II

Dan inilah nash/konteks omongan Asy Syaikh Abdulloh Assabt – semoga Alloh membalas kebaikan padanya –

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Kepada saudara yang mulia Asy Syaikh / Abdul Aziz Ar Ro’ys – semoga Alloh selalu memberinya taufiq – amin

السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Saya mohon kepada Alloh yang maha besar lagi maha tinggi agar suratku ini sampai kepada antum dan juga kepada orang – orang yang antum cintai Diatas kebaikan.

Dan selanjutnya:

Terkait kepada apa yang telah berlalu diantara kita seputar pembicaraan tentang (al Maqdisiy/Ishom Burqowi) beserta penyelewengan penyelewengannya. Bahwa ia dahulu pernah tinggal di Negara Kuwait pada awal masa pertumbuhannya. Karena itu aku berpandangan untuk menulis apa – apa yang saya sebutkan tentangnya:
maka saya katakan: dahulu ia memang pernah tinggal di Kuwait, dan dia waktu itu bekerja di kantor percetakan Ash Shohabah miliknya Qu’ad Ar Rifa’I pada awal pembukaan kantor tersebut. Kemudian ia meninggalkan bekerja di kantor tersebut dan berpindah kepada bekerja bebas tanpa ada ikatan dari seseorang. Kemudian dia tinggal di Ash Shohabiyah suatu daerah di Negara Kuwait. Kemudian sekitar kurang lebih tahun 1986 dia pergi berangkat ke Negara Afghonistan dan berjumpa dengan perkemahan tentara prajurit yang gemar mengkafirkan, dan ia ikut berlatih bersama mereka.

Kemudian setelah itu ia kembali lagi ke Negara Kuwait, maka mulailah Nampak padanya pemikiran baru dan berubah dari pemikiran sebelumnya. Sehingga Nampak padanya tanda – tanda at Taqiyah (kamuflase) didalam menampakkan keyakinannya, maka ketika dia berbicara yang bedasarkan keyakinannya, dia pun menunggu dan menantikan apa yang akan dibantah oleh seorang lawan bicaranya, ketika lawan bicaranya mensepakati dan mencocoki pembicaraannya maka diapun menampakkan apa – apa yang telah diyakininya kepada lawan bicaranya, namun jikalau apbila lawan bicarnya tidak mensepakati pembicaraannya, maka diapun berkata padanya “ saya Cuma ingin bercanda bersamamu saja”. Demikian ia mulai berubah-ubah, dan sebelumnya ia telah belajar pada Muhammad Surur di daerah Haithon, serta berada dalam kelompoknya. Sebagaimana yang telah ia akui dalam kitabnya yang berjudul “I’DADUL QODATIL FAWARISY FII BAYANI FASADIL MADARIS” dan didalam kitab tersebut ia membuat bantahan terhadap Muhammad surur (sebagaimana terlampir dalam contoh - contoh) sebatas yang saya ketahui ia telah mengarang sebuah kitab yang belum disebarkannya dan masih berupa tulisan tangan yang isinya menyanggah dan memprotes Muhammad Surur terkait dengan keadaan atas kelomok Muhammad susur yang tawaqquf, dan ia juga menuduh Muhammad Surur mempunyai dua Madzhab.

Disamping itu ia juga mengarang kitab yang berjudul “MIILATA IBROHIM”, kekita kitab itu diperlihatkan kepada Asy Syeikh Abu BAkar al Jazairi pada permulaan ziarohnya ke Negara Kuwait. Maka syeikh abu Bakar Al Jazairi-pun mengatakan tentang kirtab itu ”INI ADALAH PEMIKIRAN KHOWARIJ”.

Kemudian ia juga mengarang kitab lain yang berjudul “KAWASYIFUL JALIYYAH FII KUFRI DAULATIS SU’UDIYYAH” (yang sekarang ini kami membantahnya secara berseri insya Alloh, red) dan dalam kitab itu ia menamakan dirinya dengan nama Abul Baro’ al ‘Utaibiy serta ia mengatakan bahwa panggilannya adalah ‘Utaibiy, adapaun saya (Syeikh Abdulloh Sabt) mengiranya adalah Syarkasyi dari kalangan umat islam pemersatuan As Sufaitiyyah yaitu orang – orang yang berpindah ke Negara Paletina. Demikiannlah bentuk pemikiran dan sifatnya, dan ilmu hanya pada Alloh.

Kemudian pemikiran ia berkembang kepada penghalalan harta – harta, sebagaimana bukti berdasarkan pengakuan temannya yang melakukan pencurian pada salah satu yayasan di Kuwait. Setelah itu ia lari ke Yordania dan membangun rumah disana, serta ia juga menikah dengan istri kedua. Sehingga dengan itu ia berlindung di sana. Karena dengan sebab itu menjadilah suatu pengetahuan di media masa pemerintahan Yordania dan akhirnya ia dipenjara sekitar 7 tahun dan dibebaskan, kemudian dipenjara lagi dan dibebaskan lagi.

Dan terakhir di Mahkama Pengadilan kemarin membebaskannya dari tuduhan pencetus kelompok az Zarqowiy dan pencetus orang – orang yang gemar mengkafirkan. Sungguh perkara ini sangat mengherankan karena ia pada hakekatnya adalah syeikh yang dipanngil dengan sebutan az Zarqowiy. Sedangkan yang menjadi masalah adalah bahwa ialah yang menghasut orang – orang untuk memberontak pemerintah, anehnya mereka tidak menghukumi guna untuk menyesatkan para pemuda.

Sedangkan menurut surat kabar Timur Tengah pada hari selasa menyebutkan bahwa ia adalah Shidiq az Zarqowiy. Karena itu memungkinkan bagimu untuk melihat surat kabar tersebut.

Inilah secara singkat yang saya ketahui tentang Abu Muhammad al Maqdisiy ishom Burqowiy dan apabila kamu nenginginkan tambahan keterangan tentangnya, maka memungkinkan untukmu bertanya dan kamu akan mendapat jawabannya, dan segala puji hanya milik Alloh.

(selesai Surat Syeikh Abdulloh Sabt mengenai Abu Muhammad al Maqdisiy ishom Burqowiy penulis kitab Kawasyiful Jaliyyah Fii Kufri Daulatis Su’udiyyah, insya Alloh pada kesempatan yang akan dating akan kami sajikan keterangan lebih lanjut mengenai Abu Muhammad al Maqdisiy ishom Burqowiy )