Blogger templates

HUKUM ASURANSI

Asuransi adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa, properti, kesehatan dan lain sebagainya mendapatkan penggantian dari kejadian-kejadian yang tidak dapat diduga yang dapat terjadi seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, di mana melibatkan pembayaran premi secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai ganti polis yang menjamin perlindungan tersebut. (Wikipedia)
Berbagai Alasan Terlarangnya Asuransi
Berbagai jenis asuransi asalnya haram baik asuransi jiwa, asuransi barang, asuransi dagang, asuransi mobil, dan asuransi kecelakaan. Secara ringkas, asuransi menjadi bermasalah karena di dalamnya terdapat riba, qimar (unsur judi), dan ghoror (ketidak jelasan atau spekulasi tinggi).
Berikut adalah rincian mengapa asuransi menjadi terlarang:
1. Akad yang terjadi dalam asuransi adalah akad untuk mencari keuntungan (mu’awadhot). Jika kita tinjau lebih mendalam, akad asuransi sendiri mengandung ghoror (unsur ketidak jelasan). Ketidak jelasan pertama dari kapan waktu nasahab akan menerima timbal balik berupa klaim. Tidak setiap orang yang menjadi nasabah bisa mendapatkan klaim. Ketika ia mendapatkan accident atau resiko, baru ia bisa meminta klaim. Padahal accident di sini bersifat tak tentu, tidak ada yang bisa mengetahuinya. Boleh jadi seseorang mendapatkan accident setiap tahunnya, boleh jadi selama bertahun-tahun ia tidak mendapatkan accident. Ini sisi ghoror pada waktu.
Sisi ghoror lainnya adalah dari sisi besaran klaim sebagai timbal balik yang akan diperoleh. Tidak diketahui pula besaran klaim tersebut. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual beli yang mengandung ghoror atau spekulasi tinggi sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).
2. Dari sisi lain, asuransi mengandung qimar atau unsur judi. Bisa saja nasabah tidak mendapatkan accident atau bisa pula terjadi sekali, dan seterusnya. Di sini berarti ada spekulasi yang besar. Pihak pemberi asuransi bisa jadi untung karena tidak mengeluarkan ganti rugi apa-apa. Suatu waktu pihak asuransi bisa rugi besar karena banyak yang mendapatkan musibah atau accident. Dari sisi nasabah sendiri, ia bisa jadi tidak mendapatkan klaim apa-apa karena tidak pernah sekali pun mengalami accident atau mendapatkan resiko. Bahkan ada nasabah yang baru membayar premi beberapa kali, namun ia berhak mendapatkan klaimnya secara utuh, atau sebaliknya. Inilah judi yang mengandung spekulasi tinggi. Padahal Allah jelas-jelas telah melarang judi berdasarkan keumuman ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjudi), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90). Di antara bentuk maysir adalah judi.
3. Asuransi mengandung unsur riba fadhel (riba perniagaan karena adanya sesuatu yang berlebih) dan riba nasi’ah (riba karena penundaan) secara bersamaan. Bila perusahaan asuransi membayar ke nasabahnya atau ke ahli warisnya uang klaim yang disepakati, dalam jumlah lebih besar dari nominal premi yang ia terima, maka itu adalah riba fadhel. Adapun bila perusahaan membayar klaim sebesar premi  yang ia terima namun ada penundaan, maka itu adalah riba nasi’ah (penundaan). Dalam hal ini nasabah seolah-olah memberi pinjaman pada pihak asuransi. Tidak diragukan kedua riba tersebut haram menurut dalil dan ijma’ (kesepakatan ulama).
4. Asuransi termasuk bentuk judi dengan taruhan yang terlarang. Judi kita ketahui terdapat taruhan, maka ini sama halnya dengan premi yang ditanam. Premi di sini sama dengan taruhan dalam judi. Namun yang mendapatkan klaim atau timbal balik tidak setiap orang, ada yang mendapatkan, ada yang tidak sama sekali. Bentuk seperti ini diharamkan karena bentuk judi yang terdapat taruhan hanya dibolehkan pada tiga permainan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ
Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda” (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574, Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Para ulama memisalkan tiga permainan di atas dengan segala hal yang menolong dalam perjuangan Islam, seperti lomba untuk menghafal Al Qur’an dan lomba menghafal hadits. Sedangkan asuransi tidak termasuk dalam hal ini.
5. Di dalam asuransi terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu memberikan timbal  balik. Padahal dalam akad mu’awadhot (yang ada syarat mendapatkan keuntungan) harus ada timbal balik. Jika tidak, maka termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di antara kamu” (QS. An Nisa’: 29). Tentu setiap orang tidak ridho jika telah memberikan uang, namun tidak mendapatkan timbal balik atau keuntungan.
6. Di dalam asuransi ada bentuk pemaksaan tanpa ada sebab yang syar’i. Seakan-akan nasabah itu memaksa accident itu terjadi. Lalu nasabah mengklaim pada pihak asuransi untuk memberikan ganti rugi padahal penyebab accident bukan dari mereka. Pemaksaan seperti ini jelas haramnya.
[Dikembangkan dari penjelasan Majlis Majma Fikhi di Makkah Al Mukarromah, KSA]
Masa Depan Selalu Suram” Ganti dengan “Tawakkal
Dalam rangka promosi, yang ditanam di benak kita oleh pihak asuransi adalah masa depan yang selalu suram. “Engkau bisa saja mendapatkan kecelakaan”, “Pendidikan anak bisa saja membengkak dan kita tidak ada persiapan”, “Kita bisa saja butuh pengobatan yang tiba-tiba dengan biaya yang besar”. Itu slogan-slogan demi menarik kita untuk menjadi nasabah di perusahaan asuransi. Tidak ada ajaran bertawakkal dengan benar. Padahal tawakkal adalah jalan keluar sebenarnya dari segala kesulitan dan kekhawatiran masa depan yang suram. Karena Allah Ta’ala sendiri yang menjanjikan,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. Ath Tholaq: 2-3).
Tawakkal adalah dengan menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala. Namun bukan cukup itu saja, dalam tawakkal juga seseorang mengambil sebab atau melakukan usaha. Tentu saja, sebab yang diambil adalah usaha yang disetujui oleh syari’at. Dan asuransi sudah diterangkan adalah sebab yang haram, tidak boleh seorang muslim menempuh jalan tersebut. Untuk membiayai anak sekolah, bisa dengan menabung. Untuk pengobatan yang mendadak tidak selamanya dengan solusi asuransi kesehatan. Dengan menjaga diri agar selalu fit, juga persiapan keuangan untuk menjaga kondisi kecelakaan tak tentu, itu bisa sebagai solusi dan preventif yang halal. Begitu pula dalam hal kecelakaan pada kendaraan, kita mesti berhati-hati dalam mengemudi dan hindari kebut-kebutan, itu kuncinya.
Yang kami saksikan sendiri betapa banyak kecelakaan terjadi di Saudi Arabia dikarenakan banyak yang sudah mengansuransikan kendaraannya. Jadi, dengan alasan “kan, ada asuransi”, itu jadi di antara sebab di mana mereka asal-asalan dalam berkendaraan. Jika mobil rusak, sudah ada ganti ruginya. Oleh karenanya, sebab kecelakaan meningkat bisa jadi pula karena janji manis dari asuransi.
Ingatlah setiap rizki tidak mungkin akan luput dari kita jika memang itu sudah Allah takdirkan. Kenapa selalu terbenak dalam pikiran dengan masa depan yang suram? Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram” (HR. Ibnu Majah no. 2144, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani).
Penutup
Dari penjelasan di atas tentu saja kita dapat menyimpulkan haramnya asuransi, apa pun jenisnya jika terdapat penyimpangan-penyimpangan di atas meskipun mengatasnamakan “asuransi syari’ah” sekali pun. Yang kita lihat adalah hakekatnya dan bukan sekedar nama dan slogan. Seorang muslim jangan tertipu dengan embel syar’i belaka. Betapa banyak orang memakai slogan “syar’i”, namun nyatanya hanya sekedar bualan.
Nasehat kami, seorang muslim tidak perlu mengajukan premi untuk tujuan asuransi tersebut. Klaim yang diperoleh pun jelas tidak halal dan tidak boleh dimanfaatkan. Kecuali jika dalam keadaan terpaksa mendapatkannya dan sudah terikat dalam kontrak kerja, maka hanya boleh memanfaatkan sebesar premi yang disetorkan semacam dalam asuransi kesehatan dan tidak boleh lebih dari itu. Jika seorang muslim sudah terlanjur terjerumus, berusahalah meninggalkannya, perbanyaklah istighfar dan taubat serta perbanyak amalan kebaikan. Jika uang yang ditanam bisa ditarik, itu pun lebih ahsan (baik).
Catatan: Asuransi yang kami bahas di atas adalah asuransi yang bermasalah karena terdapat pelanggaran-pelanggaran sebagaimana yang telah disebutkan. Ada asuransi yang disebut dengan asuransi ta’awuni yang di dalamnya hanyalah tabarru’at (akad tolong menolong) dan asuransi seperti ini tidaklah bermasalah. Barangkali perlu ada bahasan khusus untuk mengulas lebih jauh mengenai asuransi tersebut. Semoga Allah mudahkan dan memberikan kelonggaran waktu untuk membahasnya.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi: Akhthou Sya-i’ah fil Buyu’, Sa’id ‘Abdul ‘Azhim, terbitan Darul Iman.

GARIS PEMBEDA ANTARA KETA’ATAN SALAFI DAN TAKFIRI


GARIS PEMBEDA ANTARA KETA’ATAN SALAFI DAN TAKFIRI

Oleh: Mujahid as Salafi
(pengelola website www.millahmuhammad.blogspot.com)

            Pujian kita haturkan hanya kepada Alloh, Robb semesta alam dan yang menjadikan manusia berilmu dan berakal agar merenungi ayat – ayatNya. Sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi akhir zaman, penuntun dari kegelapan dan pemberi kabar gembira serta peringatan dari Dzat yang Maha Rohman.
            Saudaraku, kali ini kami akan menyuguhkan sebuah tulisan yang kami ringkas dari risalah Syeikh Abdul ‘Aziz Bin Royyis ar Royyis yang berjudul “As Sam’ah wath Tho’ah bainas Sururiyyah was Salafiyyah” yang kemudian kami beri judul “GARIS PEMBEDA ANTARA KETA’ATAN SALAFI DAN TAKFIRI”.
            Semoga uraian singkat ini bermanfaat dan menjadi pembeda antara Salafi dan Takfiri. Dan semoga Alloh memberi kekuatan iman, ilmu dan kekokohan terhadap Syeikh Abdul Aziz bin Royyis ar Royyis. Amin
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

            Mencela dan mengkafirkan pemerintah tanpa hak adalah merupakan hasil dari awal bid’ah yang menimpa ummat dan kelompok ini yaitu bid’ah khowarij, sebagaimana dijelaskan bahwa mereka-lah kelompok sesat pertama kali yang keluar dari tubuh islam. Hal ini sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau yang berjudul “Al Istiqomah” dan ”Majmu’ Fatawa” dan juga Ibnu Katsir dalam tafsirnya serta Ibnu Rojab al Hanbali dalam Jami’ul Ulum wal Hikam.
            Kita hidup hampir 20 tahun sejak perang teluk II (yaitu penyerangan Saddam Husain terhadap Kuwait dan Arab yang mengakibatkan keluarnya sebagian orang dari ketaatan terhadap pemerintah islam).
            Maka Sururi (pengikut Muhammad Surur) dan pengikut Sayyi Quthb hamper sejak tahun 1392 H adalah asal dari pemberontakan terhadap pemerintah Saudi dan Riyadh yang mana hal ini dihasung oleh Muhammad Surur Zainal Abidin yang mengaku sendiri dalam wawancara bahwa ia telah menyelenggarakan jaringan di Arab yang melibatkan orang – orang dan beberapa pemuda yang awalnya beraqidah Sunni dalam hal ketaatan kepada pemerintah. Karena hal ini banyak termuat di kitab – kitab Aqidah, seperti: Ushulus Sunnah imam Ahmad, Asy Syari’ah Imam al Ajurri, Al Ibanah Kubro dan Sugro iamam Ibnu Baththoh, Syarah ushulus Sunnah imam al Barbahari, Aqidah Salaf ashabul Hadits imam Ash Shobuni, Lumatul I’tiqod Ibnu Qudamah, Aqidah wasithiyyah Ibnu Taimiyyah dll. Yang intinya keyakinan Ahlu Sunnah  bahwa mereka memutuskan apa yang diputuskan al Qur’an dan as Sunnah berdasarkan pemahaman para shahabat Nabi dan pemahaman orang yang mengikutinya dalam kebenaran untuk taat pada pemerintah muslim, selama tidak dalam hal maksiat kepada Alloh, meskipun pemerintah tersebut jahat dan fasiq serta Nampak padanya minum khomer. Berkeyakinan pula untuk berbaiat dan siapa yang menyelisihinya maka ia mati dalam eadaan jahiliyyah dan bertemu Alloh tidak ada hujjah atasnya. Oleh karena itu tidak cocok menukil perkataan ulama’ salaf dalam masalah ini dalam artikel yang ringkas ini. Tapi anda akan menemui sebagian perkataan imam – imam ahlus sunnah tersebut dalam kitab bantahan terhadap Dr. Abdul Aziz Alu Abdul Lathif –semoga Alloh memberinya hidayah- yang berjudul “Al Bayan wal Idza’ah li Idl’ati Abdul Aziz Alu Abdul Lathif li Ashlis Sam’ah wath Tho’ah” di http://www.islamancient.com/lectures,item,789.html
            Diantara perkara – perkara aneh yang menyelisihi Ahlu Sunnah ang perlu dibahas adalah dua makalah yang diterbitkan oleh Dr. Abdul Aziz Alu Abdul Lathif yaitu makalah yang berjudul “dlowabith wa masail fith Tho’ah” dan “Muqoddimat fi masailith tho’ah”
            Dalam dua makalah tersebut ia menukil beberapa nukilan yang sangat menyedihkan sekali bagi seorang doctor dibidang aqidah. Nukilan yang ia nukil adalah shohih tapi yang dia inginan adalah kebathilan sehingga ia menyerupai khowarij dan mu’tazilah. Sebagaimana contoh kecil yang ia nukil tentang wajibnya ta’at tapi ia selewengkan dengan “tidak ada keta’atan secara muthlaq kecuali kepada Rosululloh”. Inilah ucapan haq tapi pengkhususan taat hanya kepada Rosululloh adalah sebuah kebatilan yang menyelisihi seluruh perkataan ulama’, yang mana para ulama’ menyatakan bahwa taat disitu bisa juga ketaatan terhadap pemerintah selain dalam hal maksiat.
            Betapa banayak para Sururi menukil ucapan Ahlus Sunnah agar mengajak manusia mendengar nukilannya dan untuk membela kebid’ahannya. (padahal) ucapan – ucapan imam Salaf banyak sekali dalam hal ketaatan terhadap pemerintah muslim selain maksiat kepada Alloh, diantara pemimpin kaum muslimin adalah pelayan dua tanah suci raja Abdulloh bi Abdul ‘Aziz yang semoga Alloh menolong sunnah dengan beliau.
            Diantara ucapan bathil Dr. Abdul Lthif adalah bahwasanya tidak ada ketaatan tehadap pemerintah yang bodoh   akan syariat, penukilan ini menyerupai ushul Mu’tazilah dan Khowarij serta ini merupakan ushul yang rusak-kami memohon kepada Alloh keselamatan-
            Dalam deretan ucapannya  Dr. Abdul Lathif juga menukil ucapan Ibnu Taimiyyah yang dipahami secara salah. Sungguh aku melihat Dr. Abdul Lathif menukil ucapan Ahlul Ilmi yang dia pahami dengan pemahamn yang salah, hal ini sebagaimana saya jelaskan dalam kajian saya yang berjudul “Al Hukmu bighoiri maa anzalalloh wa Munaqosah ad Dukturaini al Mahmud wa Abdul Lathif” (http://islamancient.com/lectures,item,52.html).
            Kajian tersebut bermuara pada dua perkara:
  1. Laki – laki tersebut tidak menuntut ilmu disisi ulama Ahlus Sunnah
  2. Laki – laki tersebut sering beristidlal yang kemudian disimpulkan sendiri.

Kesimpulan kebid’ahannya itu berawqal dari sikap melampaui batas dalam masalah hakimiyyah. Sebab yang lain karena dia berpemahaman bahwa pada saat ini tidak ada negeri islam. Penyebabnya karena ia menta’liq ucapan Ali bin Abi tholib rodliyallohu ‘anhu tentang negeri perang, bahwa beliau berkata:
“manusia tidak mengapa berlepas diri atau memerangi negeri perang”,(selesai penukilan) lantas Dr. Abdul Lathif berkata: “semisal dengan ucapan ini yaitu keadaan pada masa sekarang ini, tidaklah terdapat kepemimpinan didalamnya sehingga memerangi negeri lebih baik daripada berlepas diri darinya. Semoga Alloh member pertolongan (Muqoddimat fii masaili Al Imamah)”
            Pernyataannya ini telah aku bantah dalam kitab “Kasyfusy Syubuhat ‘Ashriyyah ‘Anid Da’watil Ishlahiyyah as Salafiyyah” (http://islamancient.com/books,item,29.html). Terakhir aku mengajak Ahlul Ilmi dari kalangan Ahlus Sunnah yang bijaksana membantu dengan sekuat tenaga membantah kitab – kitab, makalah – makalah dan kajian – kajian para Ahlul Bid’ah sebagai wujud amar ma’ruf dan nahi munkar. Alloh berfirman:
لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنۢ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوا۟ وَّكَانُوا۟ يَعْتَدُونَ *كَانُوا۟ لَا يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍۢ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا۟ يَفْعَلُونَ
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. Al Maidah 05: 78-79)
Ibnu taimiyyah berkata: membantah Ahlul Bid’ah adalah jihad, sehingga Yahya bin Yahya berkata: membela sunnah lebih mulia dari pada jihad. (Tarikhur Rusul, IBnu Jarir 4/340)
            Saya memohon kepada Alloh agar mengumpulkan Ahlus sunnah dan mengokohkan agama mereka atas ahlul Bid’ah, sesungguhnya Dia dzat yang maha mendengar lagi maha mengabulkan.


PENGERTIAN IMAN

Pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk. Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il muta’addi (butuh objek) (Lihat Syarh Arba’in, hal. 34)
Adapun secara istilah, dalam mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi beragam pendapat [dikutip dari Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 131-132 dengan sedikit perubahan redaksional] :
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka- demikian juga para pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).
Kedua
Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun tambahan saja dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al Maturidi rahimahullah, dan Abu Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini.
Keempat
Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan saja! Maka dari definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang-orang beriman yang sempurna keimanannya, akan tetapi menurut mereka orang-orang munafiq itu berhak mendapatkan ancaman yang dijanjikan oleh Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat jelas kekeliruannya.
Kelima
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi –salah satu dedengkot sekte Qadariyah- berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada di dalam hati! [Dan inilah yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat. Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163]. Pendapat ini jauh lebih jelas kerusakannya daripada pendapat sebelumnya! Sebab kalau pendapat ini dibenarkan maka konsekuensinya Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk golongan orang-orang yang beriman, karena mereka telah mengetahui kebenaran Musa dan Harun ‘alaihimash sholatu was salam dan mereka tidak mau beriman kepada keduanya. Karena itulah Musa mengatakan kepada Fir’aun, ”Sungguh kamu telah mengetahui dengan jelas bahwa tidaklah menurunkan itu semua melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al Israa’ [17] : 102). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Mereka telah menentangnya, padahal diri mereka pun meyakininya, hal itu dikarenakan sikap zalim dan perasaan sombong. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang melakukan kerusakan itu.” (QS. An Naml [27] : 14). Bahkan iblis pun dalam pengertian Jahm ini juga termasuk kaum beriman yang sempurna imannya! Karena ia tidaklah bodoh tentang Rabbnya, bahkan dia adalah sosok yang sangat mengenal Allah (yang artinya), ”Iblis berkata,’Rabbku, tundalah kematianku hingga hari mereka dibangkitkan nanti.’.” (QS. Al Hijr [15] : 36). Dan hakekat kekufuran dalam pandangan Jahm ini adalah ketidaktahuan tentang Allah ta’ala, padahal tidak ada yang lebih bodoh tentang Rabbnya daripada dia!!
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan amal.” (Perkataan dua orang imam ini bisa dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 101-102) Bahkan Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.” (Lihat Fathul Baari, I/60)
Penjelasan definisi iman
‘Iman itu berupa pembenaran hati’ artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. ‘Pengakuan dengan lisan’ artinya mengucapkan dua kalimat syahadat ‘asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’. Sedangkan ‘perbuatan dengan anggota badan’ artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota badan yang lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan kemampuannya (Lihat Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9)
Dan salah satu pokok penting dari aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah ialah keyakinan bahwa iman itu bertambah dan berkurang (Lihat Fathu Rabbbil Bariyah, hal. 102). Hal ini telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al Kitab maupun As Sunnah. Salah satu dalil dari Al Kitab yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Agar bertambah keimanan mereka di atas keimanan mereka yang sudah ada.” (QS. Al Fath [48] : 4).
Dalil dari As Sunnah di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sosok kaum perempuan, ”Tidaklah aku melihat suatu kaum yang kurang akal dan agamanya dan lebih cepat membuat hilang akal pada diri seorang lelaki yang kuat daripada kalian ini (kaum perempuan).” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Maka ayat di atas menunjukkan penetapan bahwa iman itu bisa bertambah, sedangkan di dalam hadits tersebut terdapat penetapan tentang berkurangnya agama. Sehingga masing-masing dalil ini menunjukkan adanya pertambahan iman. Dan secara otomatis hal itu juga mengandung penetapan bisa berkurangnya iman, begitu pula sebaliknya. Sebab pertambahan dan pengurangan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tidak masuk akal keberadaan salah satunya tanpa diiringi oleh yang lainnya.
Dengan demikian dalam pandangan ahlus sunnah definisi iman memiliki 5 karakter : keyakinan, ucapan, amal, bisa bertambah, dan bisa berkurang. Atau bisa diringkas menjadi 3 : keyakinan, ucapan, dan amal. Karena amal bagian dari iman, secara otomatis iman bisa bertambah dan berkurang. Atau bisa diringkas lebih sedikit lagi menjadi 2 : ucapan dan amal, sebab keyakinan sudah termasuk dalam amal yaitu amal hati. Wallahu a’lam.
Penyimpangan dalam mendefinisikan iman
Keyakinan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang adalah aqidah yang sudah paten, tidak bisa diutak-atik atau ditawar-tawar lagi. Meskipun demikian, ada juga orang-orang yang menyimpang dari pemahaman yang lurus ini. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang tersebut terbagi menjadi dua kelompok yaitu : Murji’ah dan Wai’diyah.
Murji’ah tulen mengatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan di dalam hati, dan pengakuan hati itu menurut mereka tidak bertingkat-tingkat. Sehingga menurut mereka orang yang gemar bermaksiat (fasik) dengan orang yang salih dan taat sama saja dalam hal iman. Menurut orang-orang Murji’ah amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati dan ucapan lisan saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163, Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 162).
Wa’idiyah yaitu kaum Mu’tazilah [Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akherat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163] dan Khawarij mengatakan bahwa pelaku dosa besar telah keluar dari lingkaran iman. Mereka mengatakan bahwa iman itu kalau ada maka ada seluruhnya dan kalau hilang maka hilang seluruhnya. Mereka menolak keyakinan bahwa iman itu bertingkat-tingkat. Orang-orang Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat bahwa iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan, akan tetapi iman tidak bertambah dan tidak berkurang (lihat Thariqul wushul ila idhahi Tsalatsati Ushul, hal. 169). Sehingga orang Mu’tazilah menganggap semua amal adalah syarat sah iman (lihat catatan kaki Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 133). Dengan kata lain, menurut mereka pelaku dosa besar keluar dari Islam dan kekal di neraka (lihat Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163).
Kedua kelompok ini sudah jelas terbukti kekeliruannya baik dengan dalil wahyu maupun dalil akal. Adapun wahyu, maka dalil-dalil yang menunjukkan bertambah dan berkurangnya iman sudah disebutkan… (Lebih lengkap lihat Fathu Rabbil Bariyah, hal. 103-104).


HUKUM MENABRAK KUCING YANG MELINTAS DI JALAN

 HUKUM MENABRAK KUCING YANG MELINTAS DI JALAN

أحياناً وأنا أقود سيارتي بسرعة تعرض لي بعض القطط أو الكلاب، فلا أستطيع السيطرة على السيارة؛ فأدهسها على الرغم مني، فهل علي إثم في هذا أم لا؟
Pertanyaan:
Terkadang saat aku mengemudikan mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi ada kucing atau anjing yang melintas dan aku tidak mampu menghentikan mobilku.
Apakah aku berdosa jika menelindas hewan tersebut ataukah tidak?
الحيوانات لها حرمة، ولا يجوز الاعتداء عليها وقتلها إلا إذا كانت مؤذية، كالسباع والحيات والأشياء المؤذية،
Jawaban Syaikh Dr Shalih al Fauzan:
Hewan itu memiliki kehormatan yang wajib diperhatikan sehingga tidak boleh menzaliminya atau pun membunuhnya kecuali jika hewan tersebut adalah hewan pengganggu semisal binatang buas, ular dan hewan pengganggu lainnya.
أما الحيوانات غير المؤذية فهذه لا يجوز قتلها،
Sedangkan hewan yang tidak mengganggu tentu saja tidak boleh dibunuh.
وإذا كانت عرضت لك في طريق وأنت في السيارة؛ فعليك أن تحافظ على حياتها، وأن تترك لها فرصة المرور،
Oleh karena itu manakala ada hewan yang melintas di jalan saat anda berkendaraan maka anda wajib melindungi kehidupan hewan tersebut dengan cara memberikan kesempatan kepadanya untuk melintas dengan aman.
أما إذا لم تتمكن من ذلك ودهستها من غير قصد ولم تتمكن من الامتناع عنها فلا حرج عليك من ذلك، وإنما تأثم لو تعمدت قتلها بدون مسوّغ؛ لأنها حيوانات لها حرمة وليست مؤذية.
Namun jika hal tersebut tidak memungkinkan lalu anda menelindasnya tanpa kesengajaan ingin menghabisi nyawanya karena anda tidak bisa menghentikan kendaraan secara mendadak maka anda tidak berdosa.
Anda berdosa karena membunuh hewan manakala anda dengan sengaja membunuhnya tanpa adanya alasan pembenar yang bisa dibenarkan karena hewan itu memiliki kehormatan dan dia tidak menyakiti anda
Sumber:

MUROQOBAH[1] DAN RASA TAKUT YANG DIPRAKTEKKAN KAUM SALAF

 MUROQOBAH[1] DAN RASA TAKUT YANG DIPRAKTEKKAN KAUM SALAF



Dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ’anhu bahwasannya ia pernah berkata suatu saat ketika sedang duduk :
إنكم في ممرِّ الليل والنهار في اجال منقوصة، وأعمال محفوظة، والموتُ يأتي بغتة، من زرع خيراًَ يُوشكُ أن يَحصُدَ رغبة، ومن زرع شرًَّا يُوشكُ أن يحصد ندامةًَ، ولكل زارع مثل ما زرع، ولا يسبق بطيءٌ بحظه، ولا يُدرك ُ حريص ما لم يُقدَّرْ له، فمن أُعطيَ خيرًا، فاللهُ أَعطاه، ومن وُقي شرًَّا، فاللهُ وقاه، المتقون سادة، والفقهاءُ قادة، ومجالستهم زيادة
”Sesungguhnya kalian berada di tengah perjalanan malam dan siang, dalam ajal/usia yang selalu berkurang, dalam amal-amal yang selalu dalam penjagaan (Allah). Sedangkan maut senantiasa datang dengan tiba-tiba. Barangsiapa yang menanam kebaikan, niscaya ia akan menuai kebahagiaan. Dan barangsiapa yang menanam kejelekan, niscaya ia akan menuai penyesalan. Setiap orang yang menanam akan menuai hasil sebagaimana yang ia tanam. Seorang yang lambat tidaklah mendahului (orang lain) dengan keberuntungannya. Begitu juga seorang yang tamak tidaklah mendapatkan apa-apa yang tidak ditetapkan baginya. Barangsiapa yang diberikan kebaikan, maka Allah lah yang memberikan (kebaikan itu) kepadanya. Dan barangsiapa yang dijauhkan dari kejelekan, maka Allah lah yang menjauhkan (kejelekan ) itu darinya. Orang-orang yang bertaqwa itu adalah orang-orang yang mulia, dan para fuqahaa (ahli fiqh) para pembimbung umat. Adapun duduk bermajelis dengan mereka semua adalah keutamaan” [2].

Dari Ibnu Syaudzab ia berkata : ”Ketika menjelang kematiannya, Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu sempat menangis. Maka dikatakan kepadanya : ”Apa gerangan yang membuatmu menangis (wahai Abu Hurairah) ?”. Maka ia menjawab :
بُعد المفازة وقلة الزاد وعَقبة كؤود، المهبط منها إلى الجنة أو النا
”Jauhnya perjalanan, sedikitnya bekal, dan banyaknya rintangan yang menyusahkan. Sedangkan akhir persinggahan itu bisa ke surga ataupun ke neraka” [3].

Dari ’Ubaidillah bin Sirriy ia berkata : Ibnu Sirrin pernah berkata : ”Sungguh akhirnya aku mengetahui dosa yang telah membawaku terlanda hutang ini. Aku pernah berkata kepada seorang laki-laki sekitar empat puluh tahun yang lalu : ’Wahai orang yang bangkrut !’. Maka aku menceritakan hal tersebut kepada Abu Sulaiman Ad-Daraniy, maka ia berkata :
قلَّت ذنوبهم فعرفوا من أين يُؤتَون، وكثرت ذنوبي وذنوبك فليس ندري من أين نُؤتى
”Betapa sedikit dosa yang mereka perbuat namun mereka mengetahui darimana datangnya. Dan betapa banyak dosaku dosamu, namun kita tidak mengetahui darimana datangnya dosa itu” [4] .

Dari Qabishah bin Qais Al-’Anbariy ia berkata : ”Adalah Adl-Dlahhak bin Muzaahim apabila datang waktu sore ia menangis. Maka dikatakan kepadanya : ’Apa gerangan yang membuatmu menangis (wahai Adl-Dlahhak) ?’. Maka ia menjawab :
لا أدري ما صَعَدَ اليوم من عملي
’Aku tidak tahu amalku yang mana yang naik pada hari ini” [5].

Dari Kinanah bin Jibillah As-Sulamiy ia berkata : Telah berkata Bakr bin ’Abdillah :
إذا رأيت مَن هو أكبر منك، فقل : هذا سبقني بالإيمان والعمل الصالح فهو خير منى، وإذا رأيت مَن هو أصغر منك فقل : سبقْتُه إلى الذنوب والمعاصي فهو خير مني، وإذا رأيت إخوانك يكرمونك ويعظّمونك فقل : هذا فضل أُخذوا به، وإذا رأيت منهم تقصيرًَا فقل : هذا ذنب أحدثته
”Apabila engkau melihat orang yang lebih tua darimu maka katakanlah : Ia telah mendahuluiku dalam keimanan dan amal shalih yang dengan ia ia lebih baik daripadaku. Dan jika engkau melihat orang yang lebih muda darimu maka katakanlah : Aku telah mendahuluinya dalam hal dosa dan maksiat yang dengan itu ia lebih baik daripadaku. Apabila engkau melihat saudara-saudaramu memuliakanmu dan menghormatimu maka katakanlah : Ini adalah keutamaan yang akan diambil (hisabnya kelak). Dan apabila engkau melihat mereka merendahkanmu, maka katakanlah : ’Ini adalah dosa (dari apa) yang aku perbuat” [6].

Dari Al-Qaasim bin Muhammad ia berkata :
كنا نسافر مع ابن المبارك فكثيرا ما كان يخطر ببالي فأقول في نفسي : بأيّ شيء فُضِّل هذا الرجل علينا حتى اشتهر في الناس هذه الشهر؟ إن كان يصلّي إنا لنصلي، ولإن كان يصوم إنا لنصوم، وإن كان يغزُو فإنَّا نغزو، وإن كان يحجّ إنَّا لنحجُّ. قال فكنَّا في بعض مَسيرنا في طريق الشام ليلةًَ نتعشَّى في بيت إذ طفىء السراجُ فقام بعضنا فأخذ السراج [وخرج يستصبح فمكث هنيهة ثم جاء بالسراج] فنظرت إلى وجه ابن المبارك ولحيته قد ابتلَّت من الدموع، فقلت في نسي : بهذه الخشية فُضِّل هذا الرجل علينا، ولعله حين فَقَد السراج فصار إلى الظلمة ذكر القيامة
”Kami pernah melakukan suatu perjalanan bersama Ibnul-Mubarak. Maka, seringkali terlintas dalam pikiranku (tentang kemasyhuran Ibnul-Mubarak) hingga aku berkata pada diriku sendiri : ’Apakah gerangan yang membuatnya laki-laki ini mempunyai keutamaan yang lebih dibandingkan kami sehingga ia begitu masyhur/terkenal di kalangan manusia ?. Apabila ia shalat, kami pun juga melakukan shalat. Jika ia berpuasa, kami pun berpuasa. Jika ia berjihad, kami pun berjihad. Dan jika ia melakukan haji, kami pun juga melakukannya”.
Al-Qaasim pun melanjutkan : ”Maka satu ketika saat kami berada dalam sebagian perjalanan kami menuju Syam di waktu malam, kami sedang makan malam di sebuah rumah. Ketika itu lampu padam. Maka sebagian di antara kami berdiri untuk mengambil lampu [keluar untuk beberapa saat untuk menyalakan lampu, kemudian datang membawa lampu yang telah menyala]. (Setelah keadaan menjadi terang), maka aku melihat wajah dan jenggot Ibnul-Mubarak telah basah karena air mata. Maka akupun berkata pada diriku sendiri : ”Rasa takut inilah yang membuatnya mempunyai keutamaan lebih dibandingkan kami. Mungkin ketika lampu tadi padam, ia teringat akan kedahsyatan hari kiamat”
[7].

Dari Al-Marrudzi ia berkata : ”Aku pernah bertanya kepada Ahmad (bin Hanbal) : Bagaimana kabarmu di pagi hari ini ?”. Maka ia menjawab :
كيف أصبح مَن ربُّهُ يُطالبه بأداء الفرائض، ونبيه يُطالبه بأداء السنة، والملكان يُطَلبانه بتصحيح العمل، ونفسه تُطالبه بهواها، وإبليس يُطالبه بالفحشاء، والملكُ المَوت يقارب قبض روحه، وعياله يُطالبونه بالنفقة؟
”Bagaimanakah keadaan pagi seorang hamba dimana Rabb-nya senantiasa menuntutnya untuk menunaikan kewajiban-kewajiban (yang telah ditetapkan-Nya), Nabi-nya yang senantiasa menuntutnya untuk menunaikan Sunnah, dua orang malaikat yang senantiasa menuntutnya untuk mengerjakan amal yang benar, nafsunya yang senantiasa menuntutnya untuk memenuhi hawa nafsu, iblis yang senantiasa menuntutnya untuk mengerjakan berbagai macam kekejian, malaikat maut yang senantiasa siap mendekat untuk mencabut ruhnya, dan keluarganya yang senantiasa menuntutnya untuk pemenuhan nafkah ?” [8]


Catatan kaki :
[1] Perasaan merasa selalu diawasi oleh Allah ta’ala.
[2] Siyaru A’lamin-Nubalaa’ 1/497.
[3] Shifatush-Shafwah 1/694.
[4] Shifatush-Shafwah 3/246.
[5] Shifatush-Shafwah 4/150.
[6] Shifatush-Shafwah 3/248.
[7] Shifatush-Shafwah 4/145.
[8] Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 11/227.