Blogger templates

OTOPSI JENAZAH DALAM TINJAUAN SYARIAH

 OTOPSI JENAZAH DALAM TINJAUAN SYARIAH


Praktek yang dilakukan oleh fakultas kedokteran untuk mengetahui seluk beluk organ tubuh manusia agar bisa mendeteksi setiap organ tubuh yang tidak normal dan terserang penyakit serta mengobatinya sedini mungkin atau untuk tujuan lainnya adalah dengan membedah jasad mayat manusia. Apakah ini dibolehkan dalam pandangan syara’ ataukah tidak ? Karena praktek ini dilakukan hampir di semua fakultas kedokteran maka dengan memohon taufiq kepada Alloh Ta’ala, saya turunkan pembahasan ini dengan mengacu pada tulisan Lajnah Hai’ah Kibarul Ulama’ Arab Saudi dengan beberapa tambahan.
Tulisan ini saya bagi menjadi beberapa pokok pembahasan :
  • Kehormatan seorang muslim baik hidup maupun mati
  • Macam-macam tujuan membedah jenazah
  • Hukum membedah perut mayat wanita untuk menyelamatkan bayi yang masih dalam perut
  • Hukum memakan mayat dalam keadaan terpaksa
  • Hukum otopsi jenazah untuk tujuan belajar ilmu kedokteran
  • Hukum membongkar kuburan seorang muslim
Allahumma, tunjukanlah kepada kami jalan yang Engkau ridloi dan jauhkanlah kami dari jalan yang Engkau murkai.

Kehormatan seorang muslim baik hidup maupun mati

Termasuk sesuatu yang sangat jelas hukumnya dalam syariat islam adalah kehormatan seorang muslim baik hidup maupun mati. Maka tidak boleh membunuh, melukai dan menyakitinya serta tidak boleh mematahkan tulang atau mencincang tubuhnya setelah dia meninggal. Banyak dalil yang berhubungan dengan hal ini, diantaranya :
1. Alloh Ta’ala berfirman :
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam, kekal ia didalamnya dan Alloh murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya.”
(QS. An Nisa’ : 93)
2. Dari Ibnu Umar berkata :
“Rosululloh bersabda : “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada TuhanYang Berhak disembah kecuali Alloh dan Muhamad adalah utusan Nya, mendirikan sholat serta menunaikan zakat. Maka apabila mereka melaksanakannya niscaya akan terjada darah dan harta mereka kecuali dengan hak islam dan hisab mereka pada Alloh.”
(HR. Bukhori 1/70, Muslim 22)
3.
Dari Abdulloh bin Mas’ud berkata :
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Alloh dan saya adalah utusannya kecuali dengan karena tiga perkara : 1. Orang yang membunuh maka diqishos, 2. Orang yang pernah menikah lalu berzina, 3. Orang yang murtad dari agama (islam) dan meninggalkan jamaah.”
(HR. Bukhori Muslim)
4.
Dari Aisyah berkata :
“Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mu’min yang sudah meninggal seperti mematahkan tulangnya saat dia masih hidup.”
(HR. Abu Dawud 2/69, Ibnu Majah 1/492, Ibnu Hibban 776, Baihaqi 4/58, Ahmad 6/58 dengan sanad shohih, lihat Ahkamul Janaiz Imam Al Albani hal : 295)
Berkata Al Hafidl Ibnu Hajar dalam Fathul Bari : “Hadits ini menunjukkan bahwa kehormatan seorang mu’min setelah dia meninggal sama sebagaimana tatkala dia masih hidup.”

Macam-macam tujuan membedah jenazah

Dilihat dari tujuannya praktek bedah dan otopsi mayat ada beberapa macam. Namun yang paling sering dilakukan ada tiga macam, yaitu :
  • Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindakan kriminalitas
    Untuk keperluan ini seorang dokter melakukan otopsi jenazah. Apakah memang dia meninggal karena tindakan kriminalitas atau karena mati biasa, kalau memang karena tindakan kriminalitas maka akan dicari tanda-tanda yang memungkinkan akan bisa mengungkap siapa pelakunya. Namun jika meninggal dengan cara yang wajar maka berarti tidak perlu dicari pelakunya atau kalau mungkin sudak ditangkap pihak kepolisian bisa segera di bebaskan.
  • Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian secara umum
    Dengan otopsi ini seorang dokter bisa mengetahui penyakit yang menyebabkan kematian pasien, sehingga kalau memang ini adalah sebuah wabah dan dikhawatirkan terjangkit pada masyarakat lainnya bisa segera dilakukan tindakan preventif agar tidak menyebar.
  • Otopsi untuk keperluan praktek ilmu kedokteran.
    Otopsi ini diperlukan mahasiswa fakultas kedokteran untuk mengetahui seluk beluk organ tubuh manusia. Ini sangat diperlukan sekali agar bisa mengetahui adanya penyakit pada organ tubuh tertentu secara tepat.
    Dan masih banyak tujuan-tujuan lain.
Secara umum hukum dari masalah ini berangkat dari apakah otopsi jenazah seorang muslim itu memang terpaksa harus dilakukan ? karena pada dasarnya tidak boleh melukai, mematahkan tulang dan lainnya dari jasad seorang muslim berdasarkan hadits Aisyah diatas terkecuali kalau memang dalam keadaan dlorurot harus melakukan itu maka boleh dilakukan berdasarkan firman Alloh Ta’ala tentang makanan yang haram dimakan :
“Tetapi barang siapa dalam keadan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.”
(QS. Al Baqoroh : 173)
juga berdasarkan sebuah kaidah fiqh yang masyhur bahwasannya keadaan dlorurot (terpaksa) itu bisa menghalalkan sesuatu yang haram.
Namun untuk memprediksikan apakah ini sudah dalam keadaan dlorurot ataukah belum sering terjadi perbedaan pandangan diantara para ulama’ yang menjadikan merekapun berselisih dalam hukumnya. Untuk lebih jelasnya, kita bahas satu persatu permasalahan yang ada :
Hukum membedah perut mayat wanita untuk menyelamatkan bayi yang dikandungnya.
Apabila ada ibu meningal dunia dalam keadaan mengandung sedangkan bayi yang dikandungnya masih hidup, para ulama berselisih apakah harus di bedah perut ibu atau bagaimana?
Imam Malik dan Ahmad mengatakan tidak boleh di bedah perut seorang wanita meskipun bayi yang ada dalam pertnya masih hidup namun dikeluarkan dengan cara diambil dari jalan farji oleh tenaga medis. (Lihat Syarah Mukhtashor Kholil Syaikh Ahmad Dirdir dan Al Inshof Imam Al Mardawi 2/556, Kasyaful Qina’ 2/130).
Berkata Imam Ibnu Qudamah :
“Hal ini karena bayi itu belum pasti masih hidup dan memang biasanya tidak bisa hidup, maka tidak diperbolehkan melanggar suatu yang sudah jelas keharamannya demi sesuatu yang masih belum jelas.
Rosululloh bersabda : “Mematahkan tulang orang mu’min yang telah meninggal sama seperti mematahkan tulang seorang mu’min yang masih hidup.” Juga karena Rosululloh melarang untuk mencincang mayat.
Namun Imam Syafi’i, Ibnu Hazm dan sebagian ulama’ Malikiyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah perut ibu demi keselamatan bayi yang masih dalam kandungannya. (Lihat Al Majmu’ Syarah Muhadzab Imam Nawawi 5/301, Al Muhalla 5/166) Dan ini adalah madzhab yang Rojih insya Alloh.
Berkata Syaikh Rosyid Ridlo menanggapi madzhab Imam Malik dan Ahmad :
“Berdalil dengan hadits Aisyah untuk membiarkan bayi yang masih hidup dalam perut ibu sampai meninggal adalah sesuatu yang aneh bila ditinjau dari dua segi :
  • Bahwasannya membedah perut tidak akan mematahkan tulangnya.
  • Bahwasannya hidupnya janin apabila telah sempurna bentuknya lalu dikeluarkan dengan jalur oprasi bedah. Hal ini sering terjadi. Dari sini ada dua hal yang bertentangan antara menyelamatkan nyawa bayi itu ataukah menjaga kehormatan sang ibu untuk tidak dilakukan pembedahan dan mematahkan tulangnya ? tidak diragukan lagi bahwa kemungkinan pertana itulah yang lebih rajih. Ditambah lagi bahwasannya pembedahan perut sang ibu untuk tujuan ini bukanlah sebuah bentuk penghinaan terhadap mayat. Maka yang benar adalah pendapat yang mewajibkan pembedahan perut ibu jika para dokter menguatkan kemungkinan bayi itu bisa hidup selepas operasi bedah tersebut.”
Berkata Syaikh Al Albani :
“Apa yang dipilih oleh Syaikh Rosyid Ridlo adalah madzhab Syafi’iyah sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi, dan beliau mengatakan bahwa ini adalah madzhab Abu Hanifah dan jumhur ulama’ juga madzhab Ibnu Hazm dan ini adalah sesuatu yang benar Insya Alloh.”
(Lihat Ahkamul Janaiz hal : 297)
Berkata Syaikh Ahmad Syakir dalam Ta’liq Al Muhalla :
“Adapun mengeluarkan bayi yang masih hidup dalam kandungan sang ibu maka hal ini wajib dilakukan. Adapun bagaimana caranya, hal itu terserah kepada para ahlinya baik seorang dokter maupun dukun bayi.”

Hukum memakan mayat dalam keadaan terpaksa

Jika ada seseorang dalam keadaan sangat kelaparan yang mana kalau tidak makan akan meninggal dunia lalu dia tidak menemukan apa-apa kecuali daging mayat manusia, maka para ulama’ berselisih pendapat apakah boleh baginya memakan dagingnya ataukah tidak ?
Berkata Imam Nawawi :
“Boleh memakan daging manusia yang tidak ma’shum,(1) semacam orang kafir harbi,(2) orang murtad, pezina muhshon dan lainnya. Adapun orang yang terjaga kehormatannya seperti mayat muslim, kafir dzimmi atau musta’man (3) maka haram memakan daging mereka. Terkecuali kalau memang tidak mendapatkan apa-apa kecuali daging mayat manusia yang ma’shum maka dibolehkan memakan dagingnya.”
(Lihat Roudlotut Tholibin 2/284 dengan ringkas)
Berkata Syaikh Ahmad Dirdir :
“Tidak boleh bagi orang yang dalam keadaan terpaksa memakan daging manusia meskipun mayat itu orang kafir. Namun Imam Ibnu Arafah membolehkannya.”
(Lihat Syarah Kabir Ala Mukhtashor Al Kholil 1/)
Berkata Imam Ibnu Qudamah :
“Ulama’ madzhab Hambali mengharamkan memakan daging manusia yang ma’shum karena kehormatannya meskipun dalam keadaan terpaksa, namun boleh memakan daging mayat orang kafir harbi dan orang murtad karena keduanya tidak memiliki kehormatan baik dia temukan dalam keadaan sudah meninggal atau dia membunuhnya terlebih dahulu. Imam Syafi’I dan sebagian Hanafiyah berkata : “boleh memakan daging manusia ma’shum.” Dan pendapat inilah yang lebih benar karena kehormatan orang yang masih hidup lebih utama daripada kehormatan yang telah meninggal.”
(Al Mughni 11/79 dengan ringkas dan lihat pula Al Inshof oleh Al Mardawi 10/376)
Berkata Imam Ibnu Hazm :
“Semua yang diharamkan baik berupa makanan ataupun minuman seperti babi, binatang buruan di daerah haram, bangkai, darah, daging binatang buas, khomer dan lainnya kalau dalam keadaan terpaksa menjadi halal untuk memakannya selain daging manusia, maka tidak boleh memakannya baik dalam keadaan terpaksa maupun tidak karena kewajiban terhadap mayat adalah menguburnya yang berarti haram diperlakukan dengan selainnya.”
(Al Muhalla 5/426)

Hukum otopsi jenazah muslim untuk belajar ilmu kedokteran

Islam sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Alloh telah menetapkan beberapa kaedah untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi pada zaman Rosululloh. Diantara kaedah tersebut adalah
“Apabila berbenturan antara dua kemaslahatan maka di lakukan yang paling banyak maslahatnya juga apabila berbenturan antara dua mafsadah maka di lakukan yang paling ringan mafsadahnya”
(Lihat Al Qowaid Al Fiqhiyah Syaikh As Sa’di hal : 45-48)
Masalah otopsi dan bedah mayat muslim atau dzimmi masuk dalam kaedah ini, karena otopsi banyak mengandung faedah yang sangat besar seperti mengungkap tindakan kriminalitas, mendeteksi sedini mungkin adanya wabah menular sehingga cepat bisa diatasi dan beberapa manfaat lainnya. Juga apa yang lakukan oleh mahasiswa kedokteran untuk melakukan bedah mayat dalam rangka belajar banyak mengandung manfaat untuk ummat.
Semua ini kalau bertentangan dengan maslahat menjaga kehormatan mayat, maka harus dilihat mana yang lebih kuat masalahatnya sehingga bisa dihukumi boleh ataukah tidak ?
Kalau dilihat secara umum tentang keharusan menjaga kelangsungan hidup manusia maka prektek bedah semacam ini diperbolehkan. Wallahu A’lam
Jika ada yang bertanya : Kenapa tidak digunakan jasad binatang saja ?
Jawab : Ada perbedaan yang sangat tajam antara organ tubuh manusia dengan organ tubuh binatang yang dengannya tidak mungkin dijadikan dasar dalam belajar kedokteran. Sebagaimana dengan sangat jelas bagi mahasiswa fakultas kedokteran. (Lihat secara lengkap pembahasan ini di Abhats Haiah Fatwa Kibarul Ulama’ hal :48-67)
Namun kalau jasad yang di bedah itu mayat yang tidak ma’shum, maka itulah yang lebih selamat. Berkata Syaikh Al Albani disela-sela ucapan beliau tentang keharaman membongkar kuburan muslim :
“Dengan ini terjawablah pertanyaan yang sering dilontarkan mahasiswa fakultas kedokteran yaitu : “Apakah boleh memecahkan tulang mayat untuk dijadikan bahan penelitian kedokteran ?
Jawabnya : “Tidak boleh dilakukan terhadap mayat muslim namun boleh terhadap lainnya.
(Ahkamul Janaiz hal : 299)
Ada baiknya kita turunkan teks fatwa Haiah kibarul Ulama’ no 47 tanggal 20/8/1396 H tentang pandangan Hai’ah terhadap praktek otopsi dan pembedahan mayat muslim untuk tujuan kemaslahatan medis.
Jawab :
Setelah ditelaah ternyata masalah ini mengandung tiga unsur, yaitu :
  • Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindakan kriminalitas
  • Otopsi mayat untuk mengetahui adanya wabah penyakit agar bisa diambil tindakan preventif secara dini
  • Otopsi mayat untuk belajar ilmu kedokteran
Setelah di bahas dan saling mengutarakan pendapat, maka majlis memutuskan sebagai berikut :
Untuk masalah pertama dan kedua, majlis berpendapat tentang diperbolehkannya untuk mewujudkan banyak kemaslahatan dalam bidang keamanan, keadilan dan tindakan preventif dari wabah penyakit. Adapun mafsadah merusak kehormatan mayat yang di otopsi bisa tertutupi kalau dibandingkan dengan kemaslahatannya yang sangat banyak. Maka majlis sepakat menetapkan diperbolehkan melakukan otopsi mayat untuk dua tujuan ini, baik mayat itu ma’shum ataukah tidak.
Adapun yang ketiga yaitu yang berhubungan dengan tujuan pendidikan medis, maka memandang bahwa syariat islam datang dengan membawa serta memperbanyak kemaslahatan dan mencegah serta memperkecil mafsadah dengan cara melakukan mafsadah yang paling ringan serta maslahat yang paling besar, juga karena tidak bisa diganti dengan membedah binatang juga karena pembedahan ini banyak mengandung maslahat seiring dengan perkembangan ilmu medis, maka majlis berpendapat bahwa secara umum diperbolehkan untuk membedah mayat muslim. Hanya saja karena memang islam menghormati seorang muslim baik hidup maupun mati sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu majah dari Aisyah bahwa Rosululloh bersabda :
“Mematahkan tulang mayit sebagaimana mematahkannya tatkala masih hidup.”
Juga melihat bahwa bedah itu mengihanakan kehormatan jenazah muslim, padahal itu semua bisa dilakukan terhadap jasad orang yang tidak ma’shum, maka majlis berpendapat bahwa bedah tersebut harus Cuma dilakukan terhadap mayat yang tidak ma’shum bukan terhadap mayat orang yang ma’shum. Wallahul Muwaffiq.

Faedah :

Karena sedikit ada keterkaitan dengan masalah ini, maka kita bahas juga masalah :

Hukum membongkar kuburan muslim

Hadits Aisyah diatas menunjukkan keharaman membongkar kuburan seorang muslim karena akan bisa memecahkan tulangnya. (Lihat Ahkamul Janaiz Imam Al Albani hal : 298)
Berkata Imam Nawawi :
“Tidak boleh membongkar kuburan muslim tanpa ada sebab syar’I. Dan dibolehkan kalau ada ada sebab syari seperti kalau mayat dalam kuburan itu sudah hancur dan berubah menjadi tanah. Kalau memang sudah demikian boleh mengubur orang lain di situ juga boleh menanam tanaman atau membangun bangunan atau lainnya jika sudah tidak lagi terdapat tulang belulang mayat disitu. Dan untuk menentukan hal ini tergantung pada daerah masing-masing.”
(Al Majmu’ :5/303)
Berkata Syaikh Al Albani :
“Dengan ini dapat diketahui haramnya perbuatan yang dilakukan sebagian pemerintah muslim yang mana mereka membongkar kuburan muslim untuk dijadikan perumahan atau lainnya.”
(Ahkamul Janaiz hal : 198)
Namun jika kuburan itu kuburan orang-orang kafir maka sama sekali tidak dilarang membongkar kuburan mereka, karena mereka sama sekali tidak punya kehormatan, berdasarkan mafhum mukholafah dari hadits Aisyah tersebut diatas. Juga berdasarkan hadits Anas bin Malik yang sangat panjang yang intinya :
“Tatkala Rosululloh datang ke kota madinah, beliau memerintahakn untk membangun masjid dan beliau mendapatkan tanah wakaf dari Bani Najjar yang didalamnya ada kuburan orang-orang musyrik maka Rosululloh memerintahkan untuk membongkar kuburan itu dan meratakannya.”
(HR. Bukhori Muslim)
Berkata Al Hafidl Ibnu Hajar :
“Dalam hadits ini terdapat hukum dibolehkannya mengelola tanah kuburan yang didapat lewat hibah atau jual beli, juga boleh membongkar kuburan tua apabila tidak ada kehormatannya juga dibolehkan sholat di bekas kuburan orang-orang musyrik setelah dibongkar dan dikeluarkan isinya juga dibolehkan membangun masjid ditanah tersebut.”
Wallahu A’lam

_______________________________________
  • (1) Ma’shum disini berarti orang yang terjaga harta, jiwa dan kehormatannya, dalam artian tidak boleh dibunuh, dirampas hartanya kecuali dengan haknya. Mereka adalah orang islam dan orang kafir yang tidak memerangi ummat islam. (Lihat Al Qowaid Al Fiqhiyah Syaikh As Sa’di hal : 56)
  • (2) Yaitu orang-orang kafir yang memerangi ummat islam, mereka boleh dibunuh dimanapun berada sebagaimana firman Nya : “Dan bunuhlah mereka dimanapun kamu jumpai mereka.” (QS. Al Baqoroh : 191)
  • (3) Yaitu orang kafir yang hidup di negri muslim, mereka tunduk dan patuh kepada pemerintah muslim dan membayar jizyah, sebagaimana firman Alloh surat At Taubah : 29
    Kafir Musta’man adalah orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan daro orang islam. Keduanya haram dibunuh dan di rampas hartanya.
  • HAL YANG PERLU DIPAHAMI DALAM MASALAH MENGKAFIRKAN

     HAL YANG PERLU DIPAHAMI DALAM MASALAH MENGKAFIRKAN
     
     
    Ini adalah satu kaedah penting yang banyak dilalaikan oleh sebagian orang. Maksud dari kaedah ini adalah, sesuatu itu dihukumi sebagai kekufuran karena sesuatu itu termasuk jenis yang dihukumi nash atau ijma’ sebagai kekufuran. Bukan karena jumlah atau banyaknya sesuatu itu. Lebih jelasnya adalah sebagai berikut :
    Seandainya ada pertanyaan : Apa hukumnya orang yang sujud pada berhala meski hanya sekali saja ?. Jawabnya adalah kafir akbar (yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam). Kemudian jika ditanyakan : Apa hukumnya orang yang semenjak lahir hingga meninggal dunia sujud pada berhala ?. Jawabnya sama, kafir akbar. Lantas apa bedanya antara yang pertama dengan kedua ?. Tidak ada bedanya, karena jenis perbuatan sujud pada berhala itu merupakan kekufuran. Sujud hanya diperbolehkan dilakukan kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Allah ta’ala berfirman :

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
    “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan” [QS. Al-Hajj : 77].
    أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ يَتَفَيَّأُ ظِلالُهُ عَنِ الْيَمِينِ وَالشَّمَائِلِ سُجَّدًا لِلَّهِ وَهُمْ دَاخِرُونَ
    “Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam keadaan sujud kepada Allah, sedang mereka berendah diri?” [QS. An-Nahl : 48].
    Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
    لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
    Seandainya aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1159, Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 1466, Ibnu Hibbaan no. 4162, Al-Haakim 4/171-172, Al-Baihaqiy 7/291, dan yang lainnya. Hadits ini mempunyai banyak jalan, dan dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 3366].
    Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah :
    لَا، إنَّهُ لَا يَسْجُدُ أَحَدٌ لِأَحَدٍ وَلَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا يَسْجُدُ لِأَحَدٍ ؛ لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ
    Jangan !. Tidak boleh seseorang sujud kepada orang lain. Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan para wanita untuk sujud kepada suami-suami mereka”.
    An-Nawawiy rahimahullah berkata :
    هي قطع الإسلام ، ويحصل ذلك تارةً بالقول الذي هو كفرٌ ، وتارةً بالفعل ، والأفعال الموجبة للكفر هي التي تصدر عن تعمُّد واستهزاءٍ بالدِّين صريحٌ ، كالسُّجود للصَّنم أو للشمس ، وإلقاء المصحف في القاذورات
    “Yaitu memotong Islam. Dan hal itu terjadi kadangkala dengan perkataan yang merupakan kekafiran, dan kadangkala dengan perbuatan. Berbagai perbuatan yang mengkonsekuensikan kekafiran adalah yang terjadi karena kesengajaan dan ejekan terhadap agama dengan terang-terangan. Seperti sujud kepada berhala atau matahari, dan membuang mushhaf ke tempat sampah...” [Raudlatuth-Thaalibiin, 2/283].
    Pertanyaan lain : Apa hukumnya orang yang mengingkari satu ayat dari Al-Qur’an ?. Jawabnya adalah kafir. Kemudian ditanyakan : Apa hukumnya orang yang mengingkari seluruh ayat dalam Al-Qur’an ?. Jawabnya juga sama, kafir. Tidak ada bedanya antara mengingkari satu ayat, dua ayat, seratus ayat, atau bahkan seluruh ayat dalam Al-Qur’an; karena jenis perbuatan itu merupakan kekufuran. Allah ta’ala berfirman :
    إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ
    “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Qur'an ketika Al Qur'an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al Qur'an itu adalah kitab yang mulia” [QS. Fushshilat : 41].
    أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
    “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” [QS. Al-Baqarah : 85].
    وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا الْكَافِرُونَ
    “Dan tidak adalah yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir” [QS. Al-Ankabuut : 47].
    Dua contoh di atas merupakan penjelasan satu kaedah menurut Ahlus-Sunnah bahwasannya kekufuran adalah kekufuran berdasarkan jenis perbuatannya, bukan berdasarkan nisbahnya : sedikit atau banyaknya. Seandainya asal perbuatan, perkataan, atau keyakinan itu merupakan kekufuran, maka ia tidak berubah statusnya oleh nisbah/jumlahnya.
    Kebalikan dari dua contoh di atas, seandainya ditanyakan : Apa hukumnya seseorang yang terbuai dengan hawa nafsu minum khamr sepanjang hidupnya namun ia senantiasa berharap agar Allah mengampuninya; kafir atau tidak kafir ?. Jawabnya tidak kafir, karena jenis perbuatan yang ia lakukan bukan merupakan kekafiran yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Apalagi kalau ia minum khamr hanya sekali, dua kali, atau sebagian dari umurnya saja, tentu lebih pantas untuk dikatakan tidak kafir – meskipun harus kita katakan perbuatan itu termasuk dosa besar yang mengancam pelakunya adzab neraka.
    Pertanyaan lain : Apa hukumnya seseorang yang mencuri sandal jepit sebanyak seribu kali; kafir atau tidak kafir ?. Jawabnya tidak kafir. Jika demikian, tentu saja lebih layak untuk tidak dikafirkan jika orang tersebut hanya mencuri sandal sekali saja. Tidak ada bedanya mencuri sandal sebanyak sekali, dua kali, seribu kali, atau lebih dari itu – selama ia tidak menghalalkan perbuatannya - ; hukumnya adalah tidak kafir, karena jenis perbuatan yang ia lakukan bukan termasuk perbuatan yang dapat mengkafirkan pelakunya. Inilah ‘aqidah Ahlus-Sunnah yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.
    Jika telah jelas perbedaan di atas, maka kita dapat mendudukkan beberapa permasalahan kontemporer, salah satunya adalah masalah berhukum dengan selain hukum Allah ta’ala.
    Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbaad hafidhahullah pernah ditanya :
    هل استبدال الشريعة الإسلامية بالقوانين الوضعية كفر في ذاته؟ أم يحتاج إلى الاستحلال القلبي والاعتقاد بجواز ذلك؟ وهل هناك فرق في الحكم مرة بغير ما أنزل الله، وجعل القوانين تشريعاً عاماً مع اعتقاد عدم جواز ذلك؟
    “Apakah mengganti syari’at Islam dengan undang-undang buatan adalah kekafiran secara dzatnya ?. Ataukah ia membutuhkan adanya istihlaal (penghalalan) dalam hati dan keyakinan diperbolehkannya hal itu ?. Apakah ada perbedaan antara berhukum dengan selain hukum Allah dengan perbuatan menjadikan undang-undang sebagai tasyrii’ ‘aam[1] bersamaan dengan keyakinannya akan ketidakbolehan perbuatan tersebut ?.
    Beliau hafidhahullah menjawab :
    يبدو أنه لا فرق بين الحكم في مسألة، أو عشرة، أو مئة، أو ألف – أو أقل أو أكثر - لا فرق؛ ما دام الإنسان يعتبر نفسه أنه مخطئ، وأنه فعل أمراً منكراً، وأنه فعل معصية، وانه خائف من الذنب، فهذا كفر دون كفر. وأما مع الاستحلال – ولو كان في مسألة واحدة، يستحل فيها الحكم بغير ما أنزل الله، يعتبر نفسه حلالاً-؛ فإنه يكون كافراً
    “Tidak ada perbedaan antara berhukum satu permasalahan, sepuluh permasalahan, seratus permasalahan, atau seribu permasalahan – atau lebih sedikit atau lebih banyak dari itu - . Tidak ada bedanya, selama seseorang menganggap dirinya bersalah, menganggap dirinya telah melakukan perkara munkar dan maksiat, dan ia takut akan dosa (atas perbuatannya). Ini adalah kekufuran di bawah kekufuran (kufrun duuna kufrin)[2]. Adapun jika perbuatan itu disertai dengan penghalalan (istihlaal)[3] - meskipun hanya dalam satu permasalahan saja, yang ia menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah dan dirinya menganggapnya halal – maka ia dihukumi kafir” [Disampaikan dalam pelajaran Syarh Sunan Abi Daawud di Masjid Nabawiy, tanggal 16-11-1420 H].
    Catatan untuk perenungan :
    Tersisa satu kemusykilan dalam bab ini (bagi saya), yaitu mengenai hukum meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, terutama mereka yang menyatakan kekafirannya. Beberapa ulama mengatakan kekafiran itu baru jatuh jika meninggalkan seluruh shalat sepanjang hidupnya atau dengan kata lain : tidak pernah shalat sama sekali. Jika menilik kaedah di atas, seandainya meninggalkan shalat itu adalah kekafiran menurut jenisnya, maka tidak ada bedanya meninggalkan sekali shalat, dua kali shalat, seratus kali shalat, seribu kali shalat, atau lebih dari itu; semuanya itu dihukumi dengan kekafiran (keluar dari Islam). Jika tidak pernah shalat sepanjang hidupnya adalah syarat jatuhnya kekafiran, maka bagaimana halnya dengan seorang muslim yang hanya shalat sekali saja, kemudian ia meninggalkannya selama belasan atau puluhan tahun hingga ajal menjemputnya ?. Apakah shalat yang ia lakukan sekali di awal kehidupannya bisa melepaskan status kekafiran karena ia meninggalkan shalat selama belasan atau bahkan puluhan tahun setelahnya ?. Sangat musykil, setidaknya bagi saya......
    Ini saja yang dapat saya tuliskan. Tulisan ini banyak mengambil faedah dari penjelasan Asy-Syaikh Khaalid bin ‘Abdillah Al-Mishriy hafidhahullah sebagaimana dipublikasikan di sini.
    Wallaahu a’lam.
    Semoga ada manfaatnya.
    [abul-jauzaa’ – ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].


    [1]      Gambarannya adalah :
    أن يحكم بغير ما أنزل الله ويجعلَ هذا الحكمَ عامّاً على كلِّ من تحته
    “Berhukum dengan selain hukum Allah dan menjadikan hukum tersebut umum berlaku bagi setiap orang yang ada di bawahnya” [Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah oleh Bundar bin Naayif Al-‘Utaibiy, hal. 34].
    [2]      Kufur ashghar yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam.
    [3]      Silakan baca penjelasannya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/08/istihlaal.html.

    KEABSAHAN Riwayat Umar radliyallaahu ‘anhu yang Membunuh Orang yang Tidak Berhukum dengan Keputusan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam

     KEABSAHAN Riwayat Umar radliyallaahu ‘anhu yang Membunuh Orang yang Tidak Berhukum dengan Keputusan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam

    redaksi www.millahmuhammad.blogspot.com 


    Hamuud bin ‘Uqalaa Asy-Syu’abiy berfatwa yang di dalamnya ia membawakan atsar di atas, yang kemudian ia jadikan salah satu pondasi bangunan pemahaman dalam pengkafiran orang yang berhukum dengan selain hukum Allah secara mutlak. Benarkah dakwaannya tersebut ?. Mari kita sama-sama cek validitasnya. Riwayat dimaksud adalah riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Abi Haatim rahimahullah dalam Tafsiir-nya :

    أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، قِرَاءَةً، أَنْبَأَ ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ قَالَ: " اخْتَصَمَ رَجُلانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى بَيْنَهُمَا، فَقَالَ الَّذِي قَضَى عَلَيْهِ: رُدَّنَا إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ، انْطَلِقَا إِلَى عُمَرَ، فَلَمَّا أَتَيَا عُمَرَ قَالَ الرَّجُلُ: يَا ابْنَ الْخَطَّابِ قَضَى لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا، فَقَالَ: رُدَّنَا إِلَى عُمَرَ حَتَّى أَخْرُجَ إِلَيْكُمَا فَأَقْضِيَ بَيْنَكُمَا، فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا، مُشْتَمِلا عَلَى سَيْفِهِ فَضَرَبَ الَّذِي قَالَ: رُدَّنَا إِلَى عُمَرَ فَقَتَلَهُ، وَأَدْبَرَ الآخَرُ فَارًّا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَتَلَ عُمَرُ وَاللَّهِ صَاحِبِي وَلَوْ مَا أَنِّي أَعْجَزْتُهُ لَقَتَلَنِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا كُنْتُ أَظُنُّ يَجْتَرِئُ عُمَرُ عَلَى قَتْلِ مُؤْمِنَيْنِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا فَهَدَرَ دَمَ ذَلِكَ الرَّجُلِ وَبَرِئَ عُمَرُ مِنْ قَتْلِهِ، فَكَرِهَ اللَّهُ أَنْ يَسُنَّ ذَلِكَ بَعْدُ، فَقَالَ: وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلا قَلِيلٌ مِنْهُمْ إِلَى قَوْلِهِ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا "
    Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa secara qira’at : Telah memberitakan Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin Lahii’ah, dari Abul-Aswad, ia berkata : “Dua orang laki-laki bertengkar dan mengadukan perkaranya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memutuskan perkara tersebut antara keduanya. Maka orang yang perkaranya dikalahkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Kembalikan kami kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Baik”. Maka keduanya pergi menuju ‘Umar. Ketika keduanya mendatangi ‘Umar, laki-laki tadi berkata : “Wahai Ibnul-Khaththaab, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keputusan untuk memenangkanku atas orang ini, lalu ia berkata : ‘Kembalikanlah kami kepada ‘Umar’. Lalu ‘Umar berkata : “Tunggulah, hingga aku keluar dan memutuskan perkara kalian berdua”. ‘Umar kemudian keluar menuju mereka berdua dengan menyandang pedangnya. Lalu ia memukulkan pedangnya tersebut pada orang yang berkata : ‘Kembalikanlah kami kepada ‘Umar’. ‘Umar pun membunuhnya. Maka, laki-laki yang satunya lari menghadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Wahai Rasulullah, demi Allah ‘Umar telah membunuh shahabatku tadi. Seandainya aku bukan orang yang lemah menghadapinya, niscaya ia membunuhku juga”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah aku menduga ‘Umar berani membunuh orang mukmin”. Maka turunlah ayat : ‘Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya’ (QS. An-Nisaa’ : 65). Maka sia-sialah darah laki-laki yang terbunuh, dan ‘Umar bebas dari tuntutan hukuman pembunuhan laki-laki tersebut. Allah membenci seandainya perbuatan tersebut dijadikan contoh setelahnya. Lalu Allah ta’ala berfirman : ‘Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)’ (QS. An-Nisaa’ : 66)” [Tafsiir Al-Qur’aanil-‘Adhiim li-Ibni Abi Haatim, hal. 994 no. 5560].
    ‘Abdullah bin Wahb mempunyai mutaba’ah dari Abu Zakariyyaa (Yahyaa bin Ishaaq Al-Bajaliy, tsiqah), sebagaimana diriwayatkan Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy no. 18.
    Ibnu Katsiir menghukumi riwayat ini sangat ghariib; mursal [Tafsiir Ibnu Katsiir, 4/145, 146].
    Sanad riwayat di atas tidak valid, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsiir rahimahullah. Abul-Aswad, namanya Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Naufal bin Khuwailid bin Asad Al-Qurasyiy Al-Asadiy, Abul-Aswad Al-Madaniy; seorang yang tsiqah. Termasuk generasi shighaarut-taabi’iy, thabaqah ke-6, dan wafat tahun 131 H/137 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 871 no.6125]. Jelas saja tidak pernah mendengar riwayat dari ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, apalagi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Riwayat ini bahkan mu’dlal.
    Ibnu Katsiir rahimahullah membawakan riwayat lain :
    قال الحافظ أبو إسحاق إبراهيم بن عبد الرحمن بن إبراهيم بن دُحَيْم في تفسيره: حدثنا شُعَيب بن شعيب حدثنا أبو المغيرة، حدثنا عتبة بن ضَمْرَة، حدثني أبي: أن رجلين اختصما إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقضى للمحق على المبطل، فقال المقضيّ عليه: لا أرضى. فقال صاحبه: فما تريد؟ قال: أن نذهب إلى أبي بكر الصديق، فذهبا إليه، فقال الذي قُضي له: قد اختصمنا إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقضى لي فقال أبو بكر: فأنتما على ما قضى به النبي صلى الله عليه وسلم فأبى صاحبه أن يرضى، قال: نأتي عمر بن الخطاب، فأتياه، فقال المقضى له: قد اختصمنا إلى النبي صلى الله عليه وسلم، فقضى لي عليه، فأبى أن يرضى، [ثم أتينا أبا بكر، فقال: أنتما على ما قضى به رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأبى أن يرضى] فسأله عمر، فقال: كذلك، فدخل عمر منزله وخرج والسيف في يده قدْ سَلَّه، فضرب به رأس الذي أبى أن يرضى، فقتله، فأنزل الله: { فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ } [إلى آخر] الآية
    Telah berkata Al-Haafidh Abu Ishaaq Ibraahiim bin ‘Abdirrahmaan bin Ibraahiim bin Duhaim dalam Tafsiir-nya : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Syu’aib : Telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah : Telah menceritakan kepada kami ‘Utbah bin Dlamrah : Telah menceritakan kepadaku ayahku : Bahwasannya ada dua orang laki-laki yang bertengkar dan mengadukan berpakaranya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau dan memenangkan orang yang benar atas orang yang salah. Berkata orang yang dikalahkan perkaranya : “Aku tidak ridla”. Shahabatnya berkata : “Lantas, apa maumu ?”. Ia berkata : “Hendaknya kita pergi menemui Abu Bakr Ash-Shiddiiq”. Lalu mereka berdua pergi menemui Abu Bakr. Orang yang dimenangkan perkaranya berkata : “Sesungguhnya kami bertengkar dan mengadukan perkaranya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau memenangkanku”. Lalu Abu Bakr berkata : “Kalian berdua diputuskan berdasarkan apa yang diputuskan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tapi laki-laki yang kalah tadi tetap enggan untuk ridla. Ia berkata : “Kami akan mendatangi ‘Umar bin Al-Khaththaab”. Orang yang dimenangkan perkaranya berkata kepada ‘Umar : “Sesungguhnya kami bertengkar dan mengadukan perkaranya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memenangkanku. Kemudian kami mendatangi Abu Bakr, lalu ia berkata : ‘Kalian berdua diputuskan berdasarkan apa yang diputuskan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Tapi ia enggan untuk ridla”. Lalu ‘Umar berkata : “Begitukah ?”. Kemudian ‘Umar masuk ke rumahnya dan keluar dengan membawa pedang di tangannya dan menghunusnya. Lalu ia memenggal kepala orang yang enggan untuk ridla tadi, dan membunuhnya. Lalu turunlah ayat : ‘Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya’ (QS. An-Nisaa’ : 65)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 4/146-147].
    Riwayat ini juga ndak valid - sebagaimana riwayat sebelumnya - dengan sebab mursal. Dlamrah bin Habiib  bin Shuhaib Az-Zubaidiy, Abu ‘Utbah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 130 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 460 no. 3003]. Ia tidak pernah bertemu ‘Umar dan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa.
    Dua riwayat ghariib ini bertentangan dengan riwayat shahih yang menyebutkan bahwa dua laki-laki yang bertengkar dan berperkara adalah Az-Zubair dan seorang laki-laki Anshaar radliyallaahu ‘anhumaa.
    حدثنا عبد الله بن يوسف: حدثنا الليث قال: حدثني ابن شهاب، عن عروة، عن عبد الله بن الزبير رضي الله عنهما أنه حدثه: أن رجلا من الأنصار، خاصم الزبير عند النبي صلى الله عليه وسلم في شراج الحرة، التي يسقون بها النخل، فقال الأنصاري: سرح الماء يمر، فأبى عليه، فاختصما عند النبي صلى الله عليه وسلم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم للزبير: (اسق يا زبير، ثم أرسل الماء إلى جارك). فغضب الأنصاري فقال: أن كان ابن عمتك؟ فتلون وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثم قال: (اسق يا زبير، ثم احبس الماء حتى يرجع إلى الجدر). فقال الزبير: والله إني لأحسب هذه الآية نزلت في ذلك: {فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم}.
    Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah menceritakan kepada kami Al-Laits, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihaab, dari ‘Urwah, dari ‘Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa bahwasannya ia menceritakan kepadanya : Ada seorang laki-laki dari kalangan Anshaar yang bertengkar dengan Az-Zubair di samping Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang aliran air di daerah Al-Harrah yang mereka gunakan untuk menyirami kebun kurma. Orang Anshaar tersebut berkata : “Bukalah air agar bisa mengalir”. Az-Zubair menolaknya lalu keduanya bertengkar di hadapan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Az-Zubair : “Wahai Az-Zubair, berilah air (untuk kebunmu dulu), kemudian alirkanlah buat tetanggamu”. Orang Anshaar itu marah dan berkata : “Tentu saja kamu bela dia karena dia putra bibimu”. Maka wajah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerah kemudian berkata : “Wahai Zubair, (untuk kebunmu dulu) kemudian bendunglah hingga air itu kembali ke dasar kebun". Maka Az-Zubair berkata : “Demi Allah, sungguh aku menganggap bahwa ayat ini turun tentang peristiwa tersebut (yaitu firman Allah QS. An-Nisaa’ : 65) : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan”… [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2359-2360].
    Walhasil, riwayat sababun-nuzuul QS. An-Nisaa’ ayat 65 tentang kisah pembunuhan yang dilakukan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu di atas adalah munkar, tidak shahih.
    Wallaahu a’lam.

    DIALOG BERSAMA KHOWARIJ

     DIALOG BERSAMA KHOWARIJ

    OLEH: Asy Syeikh Bundar al Mahyani

    Suatu hari aku bersama dua orang dai ahli sunnah duduk bareng untuk berdiskusi dengan seorang yang terpengaruh dengan faham takfiri. Sebelumnya dia datang ke acara tersebut ada yang memberi tahu kepada kami bahwa dia adalah orang yang sangat semangat dengan pemikiran takfiri sampai pada tingkat semangat yang ngawur plus membabi buta dan dia kemana-mana selalu membawa sebuah buku yang digunakan sebagai argumen dalam setiap diskusi dengan siapa pun.
    Sebelum orang tersebut menyelesaikan ceritanya datanglah seorang anak muda berusia 23 tahun dengan mengapit sebuah buku di ketiaknya. Kami tidak antusias untuk mengetahui namanya sebanding dengan tawa kami disebabkan perkataan seorang yang memperkenalkan siapakah dirinya sebelum kehadirannya di forum tersebut.
    Fokus diskusi para dai ahli sunnah bersamanya ditujukan kepada pendapatnya yang paling menonjol yaitu menolak adanya faktor penghalang adanya vonis kafir kepada person tertentu sehingga dia memvonis kafir semua orang yang terjerumus dalam kekafiran tanpa menimbang apakah orang tersebut tidak tahu, dipaksa, salah tidak sengaja atau salah dalam memahami dalil [baca: takwil].
    Setelah diskusi berjalan selama satu setengah jam tibalah giliranku untuk ikut nimbrung dalam diskusi tersebut. Dengan memohon pertolongan kepada Allah, kukatakan kepadanya, “Sebelum aku berdialog dengan anda aku ingin menyampaikan secara ringkas pendapat anda dalam masalah vonis kafir”.
    Dengan penuh ketenangan dan santun dia berkata kepadaku, “Silahkan”.
    Kukatakan, “Anda berpendapat bahwa hujjah telah tegak pada semua manusia sehingga tidak ada alasan apapun untuk memaklumi orang yang terjerumus dalam kekafiran?”
    Dengan PD-nya dia menjawab, “Benar, tidak ada alasan untuk memaklumi orang yang terjerumus dalam kekafiran”.
    Kukatakan, “Hasilnya, anda tidak mengakui dan menerima adanya faktor penghalang atau pencegah vonis kafir”.
    Dengan singkat dia katakan, “Ya”.
    Kutanyakan kepadanya, “Apa pendapat anda mengenai orang yang mengingkari atau tidak mengetahui bahwa Allah itu mengetahui hal yang gaib?”
    Sebelum selesai pertanyaanku, segera dia menjawab, “Kafir”.
    Kutanyakan kepadanya, “Tanpa perlu iqomah hujjah dan tanpa menimbang adanya faktor pencegah vonis kafir untuk personal tertentu?”
    Sambil tersenyum dia menegaskan, “Tidak ada alasan untuk memaklumi orang yang terjerumus dalam kekafiran”.
    Di sinilah kukatakan kepadanya, “Dengarkan”. Lantas kuceritakan kepadanya bahwa Nabi tatkala keluar dari rumah Aisyah untuk mendoakan kaum muslimin yang dimakamkan di pemakaman Baqi’, Aisyah lantas menyusul Nabi. Dalam hadits tersebut Nabi berkata kepada Aisyah,
    “لتخبريني أو ليخبرنّي اللطيف الخبير”
    “Jujur dan ceritakan kepadaku jika tidak niscaya Allah sendiri yang akan menceritakannya kepadaku!”
    وأنها قالت: مهما يكتم الناس يعلمه الله؟! قال: “نعم
    Aisyah lantas berkata, “Bagaimana pun manusia berupaya untuk menutup-nutupi suatu hal Allah pasti mengetahuinya?!
    Jawaban Nabi, “Ya”.
    Lantas kukatakan kepadanya, “Kemungkinan yang paling mendekati dari perkataan Aisyah itu menunjukkan bahwa beliau mengingkari atau tidak mengetahui bahwa Allah itu mengetahui hal yang gaib tepatnya gaib dalam pengertian ada di dalam hati. Anda punya dua pilihan, anda vonis Aisyah sebagai orang kafir atau anda ralat pendapat anda di atas dan anda mengakui adanya faktor penghalang vonis kafir untuk person yang terjerumus dalam kekafiran”.
    Kupandangi wajahnya, kutangkap nampaknya dia merasa asing yang hadits yang kusampaikan seakan-akan dia baru mendengar hadits tersebut untuk pertama kalinya saat itu. Segera kukatakan kepadanya, “Hadits di atas ada dalam Sahih Muslim” sehingga tidak ada jalan baginya untuk menganggap lemah hadits tersebut.
    Pandangan heran dan tercengang sangat jelas pada wajahnya. Aku merasa bahwa keyakinan yang ada dalam dirinya mulai terurai dan hatinya nampak sudah siap untuk merespons positif kebenaran yang sampai kepadanya.
    Saat itulah kukatakan kepadanya, “Renungkanlah. Silahkan kaukafirkan diriku, kau kafirkan pemerintah. Kafirkan siapa saja yang kau mau. Akan tetapi demi Allah jika kau kafirkan ibu orang-orang beriman, Aisyah maka aku akan menjadi musuhmu pada hari Kiamat nanti. Akan kupegang kainmu di hadapan Allah lantas kukatakan, ‘Ya Allah hukumlah orang ini karena dia telah memvonis kafir ummul mukimin Aisyah di hadapan mataku’.
    Hampir kuselesaikan ucapanku yang tidak sampai memakan waktu tiga menit hingga dia tundukkan kepalanya dan dia tidak mengangkatnya melainkan air mata telah memenuhi kedua bola matanya. Akupun lantas memuji Allah dan kudoakan agar dia mendapatkan limpahan barokah dari Allah. Akhirnya kami semua meninggalkan forum tersebut.
    Yang ingin kusampaikan saat ini adalah banyak orang yang menyelisihi keyakinan ahlu sunnah itu tidak mau mendengar alasan dan hujah ahlu sunnah, pihak yang mereka selisihi. Seandainya mereka mendengarnya namun sejak awal sudah ada niatan untuk membantah dan mendebat, bukan dengan niatan mencari ilmu dan kebenaran. Mengaku bersikap objektif dan memiliki moto hidup mengikuti dalil, semuanya tidaklah manfaat jika seorang itu tidak serius mencari dalil dengan benar dan patuh kepada petunjuk wahyu.
    Petunjuk wahyu tidaklah terpatri kecuali pada hati yang tulus mencari kebenaran dan menundukkan diri di hadapan Allah meminta hidayah dan bimbingan meniti jalan yang benar. Itulah hamba yang memiliki kekuatan dan tekad yang menyebabkan dia siap untuk menyalahkan pendapat yang pernah dia pegangi lantas meralatnya mana kala dia melihat bahwa kebenaran ternyata tidak sejalan dengan pendapatnya selama ini.
    Merenunglah, evaluasilah pemikiran-pemikiranmu lantas ceklah satu demi satu sesungguh fanatisme adalah diantara faktor penghalang untuk menerima kebenaran. Jangan tertipu dengan diri sendiri, jangan mengandalkan kawan-kawanmu. Jangan silau dengan banyaknya kawan karena itu semua bukanlah tolak ukur kebenaran.
    Timbanglah dirinya dengan timbangan yang benar dan jalan yang adil, itulah sunnah dan jejak ulama salaf. pemahaman orang terhadap dalil Qur’an dan sunnah itu bertingkat-tingkat. Kebenaran itu bersama orang yang pemahamannya selaras dengan salaf shalih.
    قالت عائشة رضي الله عنها: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا قام من الليل افتتح صلاتهاللهم رب جبرائيل وميكائيل وإسرافيل، فاطر السماوات والأرض عالم الغيب والشهادة، أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون؛ اهدني لما اختلف فيه من الحق بإذنك، إنك تهدي من تشاء إلى صراط مستقيمرواه مسلم
    Aisyah mengatakan bahwa jika Nabi berdiri mengerjakan shalat malam beliau membuka shalatnya dengan doa yang artinya, “Ya Allah, tuhannya Jibril, Mikail dan Israfil pencipta langit dan bumi, yang mengetahui hal yang gaib dan yang nampak. Engkaulah yang akan memberi keputusan di antara hamba-hamba-Mu dalam semua hal yang mereka perselisihkan. Berilah aku petunjuk tentang hal yang benar dengan izin-Mu di antara berbagai perkara yang diperselisihkan sesungguhnya Engkau itu memberi pentunjuk kepada siapa saja yang Engkau kehendaki menuju jalan yang lurus” [HR Muslim].
    وقال علي رضي الله عنه: قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم: “قل اللهم اهدني وسددني؛ واذكر بالهدى هدايتك الطريق، والسداد سداد السهمرواه مسلم
    Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah pernah berkata kepadaku, “Ucapkanlah doa ‘Ya Allah berilah hidayah kepada-Ku, bimbinglah langkah-langkahku” [HR Muslim].
    وقال عبادة بن الصامت رضي الله عنه: (إن على الحق نوراً)
    Ubadah bin Shamit mengatakan, “Sesungguhnya kebenaran itu memiliki cahaya”.
    وقال ابن عمر رضي الله عنه: (ما فرحت بشيء في الإسلام أشد فرحاً بأن قلبي لم يدخله شيء من هذه الأهواء)
    Ibnu Umar mengatakan, “Selama menjadi muslim tidak ada yang lebih membuatku gembira dibandingkan realita bahwa tidak ada satu pun pemikiran sesat yang pernah bercokol dalam hatiku”.
    وسُئل أبو بكر بن عياش رحمه الله: (مَن السُّنِّي)؟ فقال: (الذي إذا ذُكرت الأهواء لم يتعصب لشيء منها)
    Abu Bakr bin ‘Iyyas ditanya mengenai siapakah itu ahlu sunnah. Jawaban beliau, “Dia adalah orang yang manakala berbagai pemikiran sesat dibahas di hadapannya tidak ada satu pun pemikiran sesat yang dia fanatik dengannya”
    Catatan:
    Berdalil dengan hadits Aisyah dalam kisah di atas sebenarnya adalah satu hal yang bisa diperdebatkan. Perlu diketahui bahwa terdapat banyak dalil yang menunjukkan adanya faktor penghalang vonis kekafiran kepada person tertentu yang terjerumus dalam kekafiran.
    Maksud dari pemaparan kisah di atas adalah memotivasi orang-orang yang menyelisihi keyakinan ahlu sunnah agar mau mendengar kebenaran kemudian menerimanya.
    Kisah di atas terjadi empat atau lima tahun yang lewat.
    Bundar al Mahyani
    24 Dzulqa’dah 1432 H.
    Sumber:
    http://islamancient.com/articles,item,827.html