Blogger templates

MEREKA BERTANYA TENTANG TAHDZIR

MEREKA BERTANYA TENTANG TAHDZIR
Oleh: Abu Ukasya Ilham Gorontalo
Catatan kaki: Mujahid As Salafiy

                        Tahdzir berasal dari kata hadzara- yuhadziru- tahdziran yang artinya memperingatkan orang lain dari suatu kemungkaran atau pelakunya agar waspada berhati – hati dan menjauh darinya .
Dilihat  dari definisi diatas maka tahdzir merupakan bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar[1] , tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang – orang yang kurang akalnya. Tahdzir ada dua jenis yaitu tahdzir nau’ dan tahdzir syakhshun. Tahdzir  nau’ adalah berupa menyebutkan kejelekan dari perkara – perkara yang munkar atau yang dilarang oleh syari’at , contohnya menyebutkan kejelekan syirik , bid’ah dan maksiat dan termasuk juga menyebutkan pelakunya secara umum bukan secara peson tertentu , contohnya perkataan Nabi “ Ada hal apa suatu kaum yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada dalam kitabullah “, dan sabda nya tentang tafsir Surat Ali Imron tentang orang – orang yang mentakwil ayat – ayat Allah “ Maka waspadalah kalian dari mereka “[2].
            Contohnya perkataan “barang siapa yang menjadikan orang mati sebagai perantara dalam berdoa, maka dia telah kafir” atau perkataan “Jauhilah orang – orang yang berkeyakinan bahwa Al Qur’an adalah makhluk” dan perkataan – perkataan semisal tanpa mengaitkannya dengan person tertentu.
            Jenis yang ini jika tujuannya untuk menjauhkannya dari kejelekan tersebut, maka menjadi wajib dan itu tidak termasuk ghibah sedikitpun.[3]
            Adapun jenis yang kedua yaitu Tahdzir Syakhshun yakni menyebut kejelekan person tertentu, contoh si fulan melakukan hal ini dan itu, si fulan seperti ini dan itu, si fulan berbuat kesyirikan, si fulan punya pemikiran sesat atau kebid’ahan, atau maksiat dan atau akhlaq yang buruk.
            Jenis yang kedua ini termasuk ghibah, namun jika tujuannya untuk merubah kemungkaran tersebut, maka itu adalah perkara yang diperintahkan sehingga hukumnya menjadi ghibah yang diperbolehkan.[4]
            Disana para Ulama’ menyebutkan ada enam perkara yang menyebabkan bolehnya ghibah, satu diantaranya adalah tahdzir dan hajr.[5]
            Namun mereka memberikan batasan – batasan dan tidak boleh melebihinya, diantaranya adalah menyebutkan kejelekannya sesuai kebutuhan Tahdzir bukan sesuai kebutuhan hawa nafsu, misalnya jika dia memiliki dua kesalahan dengan menyebutkan salah satunya sudah mencukupi untuk kebutuhan tahdzir maka tidak boleh menyebutkan kesalahan yang lainnya[6], jadi harus dibedakan antara tahdzir dan mengumbar aib atau mencela.[7]
            Oleh sebab itulah para ulama’ Jarh wat Ta’dil dalam lafadz Jahr mereka sangat singkat, contohnya “Fulan Sayyiul Hifdz (jelek hafalannya)”, “Tarakahun Nas (manusia meninggalkannya)”, “Fiihi Syaiun (dia ada cacat)”, “Tasyayya’a (terpengaruh dengan syiah)”, “Kadzdzab(pendusta)”, “Dajjal” dan lafadz – lafadz lainnya. Tidak seperti model dan cara yang ada pada sebagian Da’I dan Murid – muridnya yang ada pada jaman kita sekarang, yang dibungkus dengan kata tahdzir tanpa rasa malu.[8]
            Padahal ulama’ tidaklah menyebutkan kecuali yang berkaitan dengan Tahdzir, itupun jika dibutuhkan untuk mashlahat yang lebih besar atau tertolaknya mafsadah yang besar. Jika hal itu dipandang tidak akan tercapai, maka mereka itu tidak akan menyebutkannya, terlebih pada perkara yang tidak berkaitan dengan tahdzir tersebut.[9] Karena para Ulama’ adalah orang yang takut berbuat dosa, disebabkan jarh dan tahdzir mereka adalah ghibah, maka mereka sangat hati – hati agar tidak terjerumus pada ghibah yang diharamkan, inilah sikap wara’ yang jauh dari kita. Wallahu a’lam
            Itu semua karena kehormatan kaum muslimin wajib dijaga dan haram dicoreng[10], bahkan kehormatan kaum muslimin lebih agung dari pada baitullah ka’bah[11], terlebih kehormatan para Ulama’ yang mereka disifati Rassulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- dagingnya beracun.
            Ditinjau dari sisi lain tahdzir juga memiliki keadaan sesuai dengan tingkat perkara yang ditahdzir, orang yang ditahdzir dan orang yang mentahdzir. Maka dari sini akan terjawab sebuah pertanyaan “Apakah Tahdzir Hak khusus bagi Ulama’ ”?! atau semua kaum muslimin punya Hak akan hal itu?! Maka jawabnya perlu diperinci, jika berkaitan dengan perkara besar, misalnya mentahdzir rawi hadits atau orang berilmu yang menyimpang atau Da’I kondang yang sesat, maka ini adalah hak orang berilmu untuk mentadzir bukan orang bodoh atau orang awwam dan atau orang yang tidak dianggap perkataannya atau dia tidak berilmu akan hal itu. Sebab mashlahatnya tidak akan terhasilkan bahkan madlaratnya lebih besar.
            Beda halnya jika perkaranya diketahui oleh semua orang, seperti mencuri, berzina, menipu dalam mu’amalah, minum khamr, meninggalkan shalat, adu domba dan perkara – perkara jelas yang lain, maka bagi orang awwam boleh mentahdzir para pelaku dosa tersebut jika dianggap perlu dan tertuntut akan hal itu.[12] Contohnya mentahdzir saudaranya, keluarganya dan tetangganya agar berhati – hati dari orang yang suka mabuk-mabukan. Dan tentunya semua itu dilakukan dengan kadar kesanggupannya dan tidak boleh melampaui batas. Karena merubah kemungkaran memiliki kadar ukuran, jika tidak bisa dengan tangan, maka dengan lisan, jika dengan lisan tidak bisa, maka dengan hati yaitu membencinya, mengingkarinya dan menjauhi pelakunya.

-wallahu a’lam wal ‘ilmu ‘indallah-



[1]  Berkata Syaikhul Islam: sesungguhnya hal ini merupakan bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. (Majmu’ Fatawa 27/414)
Diantara dalil tentang hal ini adalah, Firman Allah ta’ala:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. (QS. Ali Imron:104)
[2]  Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah –radliyallahu ‘anha-
[3] Maksud penulis adalah tidak termasuk ghibah yang dilarang dan bahkan wajib hukumnya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal:
“tidak dikatakan ghibah ketika menyebut kejelekan Ahlul Bida’ ” ( Ushulus Sunnah, hlm 293 )
[4] Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: adapun menyebut kejelekan person tertuntu….. diantaranya untuk menasehati kaum muslimin dalam urusan agama dan dunia mereka……. Maka jika demikian merupakan nasehat yang wajib dalam kebaikan agama secara khusus dan dunia secara umum, misalnya menyebutkan hadits yang di dalamnya terdapat orang – orang yang berdusta. Sebagaimana yang dikatakan Yahya bin Sa’id: aku bertanya kepada Imam Malik, Sufyan ats Tsauri, Laits bin Sa’id –aku berprasangka dia juga bertanya kepada imam al Auza’i- tentang laki – laki yang jelek hafalan haditsnya dan tidak pula hafal, maka mereka menjawab: jelaskan perkaranya !. ( Majmu’ Fatawa 28/230-232  )
[5] Diantaranya adalah imam Nawawi dalam Riyadhush Shalihin
[6]
وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ كَانَ لِلْإِنسَٰنِ عَدُوًّۭا مُّبِينًۭا
Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: " Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (QS. Al Isra’ : 53)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Maidah: 08)
[7] Syaikh Shalih al Fauzan menggambarkan perbedaan antara nasehat dan mengumbar aib,
Berkata Syaikh Shalih al Fauzan: saya katakan tinggalkan pembicaraan tentang manusia !, tinggalkan pembicaraan tentang manusia !  si Fulan adalah Hizbi, si Fulan demikian….
Adapun sibuk membicarakan ini dan itu, si fulan salah, si fulan benar, si fulan demikian maka inilah yang menyebarkan kejelekan, memecah persatuan  dan menyebabkan fitnah.
Jika engkau melihat seseorang yang melakukan kesalahan maka nasehati antara dia dan kamu. Bukan dengan kamu duduk di majlis kemudian mengatakan si fulan demikian, si fulan demikian…
nasehati antara dia dan kamu!, inilah nasehat yang benar. Adapun perkataan kamu di majlis itu bukan nasehat, ini namanya mengumbar kesalahan, ini ghibah, ini kejelekan. ( transkrip dan suara asli Syaikh Fauzan bisa di lihat di www.islamgold.com/view.php?gid=2&rid=145 )
[8] Syaikh Shalih al Fauzan berkata: jarh wa ta’dil bukanlah dengan menjelek – jelekkan dan mendeskreditkan orang lain, misalnya dengan mengatakan fulan demikian dan demikian, atau memuji sebagian orang dan mencela lainnya. Ini adalah ghibah, dan namimah bukanlah jarh wa ta’dil. ( www.youtube.com/watch?)(v=CLHUdyln3Y8 )

[9] Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: tidak dibenarkan menghindari kerusakan kecil dengan melakukan kerusakan yang lebih besar, juga tidak dibenarkan mencegah kerugian kecil dengan melakukan kerugian yang lebih besar, karena syariat islam datang dengan tujuan mendatangkan mashlahat dan menyempurnakannya. ( al Masail al Mardiniyyah 63-64 )
[10] Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau mengucapkan laa ilaaha illallah (Tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah), menegakkan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan semua itu, berarti mereka telah memelihara harta dan jiwanya dariku kecuali ada alasan yang hak menurut Islam (bagiku untuk memerangi mereka) dan kelak perhitungannya terserah kepada Alloh subhanahu wata’ala.” (HR. Bukhori dan Muslim)
[11] Sepengetahuan kami bahwa yang lebih mulia dari Baitullah adalah darah seorang muslim, sebagaimana dinukil Syaikh al Bani dalam silsilah ash Shahihah no 3420. Wallahu a’lam
[12] Hal ini senada dengan apa yang diutarakan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Ar Raddu ‘alal Mukhalif hlm 53-68