Blogger templates

MEWASPADAI SIKAP HIZBIYYAH DAN FIKRAH TAHAZZUB DALAM MENYIKAPI PERSELISIHAN bag I


MANHAJ DAKWAH


MEWASPADAI SIKAP HIZBIYYAH DAN FIKRAH TAHAZZUB DALAM MENYIKAPI PERSELISIHAN bag I


Penulis : Abu Ukasyah Ilham Gorontalo
Catatan kaki: Mujahid as Salafiy


KALIMATUL IFTITAH
            Puji syukur kita panjatkan kepada Allah ta’ala, yang telah memberi nikmat kepada kita, Allah –ta’ala- berfirman:
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍۢ فَمِنَ ٱللَّهِ
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). (QS. An Nahl : 53).
            Dan janganlah kita berlaku sebaliknya yakni kufur atas nikmat Allah –ta’ala-, Allah berfirman:
وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ
dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al Baqarah : 152)
            Segala puji hanyalah milik Allah yang telah mempertautkan hati kaum mukminin dan menganjurkan mereka supaya bersatu padu dan saling berhimpun serta memperingatkan dari perpecahan dan perselisihan.
            Ya Allah limpahkan shalawat, salam dan berkah kepada Penutup para Nabi dan Rasul –Muhammad- ,kepada keluarganya yang suci dan kepada para sahabatnya yang mana Allah mensifatkan mereka sebagai kaum yang keras terhadap kaum kafir dan lemah lembut diantara mereka, serta kepada siapa saja yang mengikuti mereka hingga hari kiamat kelak.
            Ya Allah bersihkanlah hatiku dari rasa dengki, dan luruskanlah lidahku dalam menyampaikan kebenaran, Ya Allah aku berselindung dengan-Mu bahwa aku   menyesatkan
(orang lain) atau disesatkan orang lain, atau menggelincir orang lain dari kebenaran)atau digelincirkan orang lain dari kebenaran, atau menzholimi orang lain atau dizholimi orang lain, atau mejahili orang lain atau dijahili orang lain.
Amma ba’du ;
sesunnguhnya Allah –ta’ala- memperingatkan kita dengan peringatan yang sangat keras agar menjauhi sunnah – sunnah jahiliyyah, diantara sunnah jahiliyyah yang paling buruk adalah “HIZBIYYAH”, dia adalah sunnahnya Iblis –la’natullah ‘alaihi-, dan pertamakali pencetus Hizbi adalah Iblis –la’natullah ‘alaihi-, dia melakukan tahazzub dan ta’ashshub atas dirinya, Allah berfirman:
﴿قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ * قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ[صّ: 75-76].
Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?". Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah". (QS. Shaad : 75-76)
            Sudah selayaknya bagi kaum muslimin dan terkhusus orang yang menisbahkan dirinya kepada “Salafiy”agar menjauhi sifat “HIZBIY”dan “TAHAZZUB”, karena Tahazzub merupakan thagut yang harus dijauhi, berkata Syaikh al ‘Alamah Naashihul Amin Yahya al Hajuri:
Tahazzub adalah bagian dari Thagut, maka perhatikanlah apa yang telah dikhabarkan Allah ta’ala tentang kaum Nabi Nuh, Nabi Nuh –‘alaihis salam- telah berdakwah kepada kaumnya Sembilan ratus lima puluh tahun,
﴿وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحاً إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَاماً فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ﴾[العنكبوت:14]
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun.

            Ini adalah waktu yang sangat lama, bersamaan dengan itu pula Allah menerangkan diantara hikmah Nabi Nuh –‘alaihis salam-, beragam dakwah kepada kaumnya beliau tempuh, malam, siang, sembunyi – sembunyi maupun terang – terangan…. Lihatlah sekarang bentuk ta’ashshub dan tahazzub (kaum Nabi Nuh adalah ) kepada batu – batu dan berhala-berhala.
﴿وَقَالُوا لا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلا سُوَاعاً وَلا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً﴾[نوح:23]
Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr". –selesai nukilan dari kitab beliau berjudul “Adlrarul Hizbiyyah ‘alaa Ummatil Islamiyyah”-           
            Maka sebagai wujud kewaspadaan kita dan dalam upaya penjagaan diri agar tidak terjatuh dalam “HIZBIYYAH DAN TAHAZZUB”, alangkah baiknya kita mengetahui point – point atau kerangka berfikir yang mengarah kesana, karena hizbiyyah dan tahazzub dapat merusak dakwah Salafiyyah, berkata Syaikh Yahya al Hajuriy:
Diantara wasilah yang dapat merusak dakwah salafiyyah adalah masuknya Hizbiyyun di tengah – tengah mereka dan pada cara berfikir mereka. ( adlrarul HIzbiyyah hlm 46 )
Na’alullaha as salamah wal ‘afiyah
Wabillahit taufiq wal ‘ilmu ‘indallah
Mujahid as Salafiy



Ketahuilah bahwa sumber penyebab fitnah pertikaian ini menjadi meluap dan berkembang adalah disebabkan oleh orang ke tiga, ke empat, ke lima, dan seterusnya. Yakni disebabkan mereka tidak mengikuti tuntunan Nabi dalam menyikapi perselisihan[1] tersebut atau dengan kata lain tidak diatas hikmah[2], karena suatu sikap yang benar yang dibangun diatas hikmah tentunya akan menghasilkan maslahat yang besar, begitu pun sebaliknya sikap yang batil yang tidak hikmah yang di bangun di atas kejahilan atau kesombongan atau tahazzub dan ta’ashub atau kedengkian , atau melampaui batas , itu akan menghasilkan mafsadah dan kerusakan yang besar.[3]
Mari kita simak bersama firman Allah :
يُؤْتِى ٱلْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ ٱلْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِىَ خَيْرًۭا كَثِيرًۭا
Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak.[4]
Mafhum dari ayat diatas adalah bahwa siapa saja yang tidak diberikan sikap hikmah, maka kebaikan dan maslahat yang terhasilkan dari sikapnya itu akan menjadi sedikit, hal itu dalam semua BAB , termasuk jika dia tidak bersikap hikmah dalam BAB “ Amar ma’ruf Nahi munkar “ termasuk bab “Tahdzir dan Hajr “, sehingga dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki, berbeda dengan sikap hikmah, yang terhasilkan adalah manfaat dan mashlahat yang lebih besar.
Kita tidak menuduh yang telah membuat fitnah dan kerusakan ini adalah si fulan atau si allan , tapi marilah kita mengoreksi diri masing – masing[5] dan berusaha melakukan pembenahan[6] dan perbaikan[7] , dengan mengamalkan hadits :
 Beruntunglah orang yang tersibukkan mengurus aib dirinya sendiri daripada mengurus aib orang lain.
Dan termasuk syarat dari taubat adalah memperbaiki apa yang telah dirusaknya, bahkan diantara cirri – cirri Ahlus Sunnah adalah seperti dalam hadits : (Orang – orang yang membuat perbaikan ketika manusia rusak). Bukan malah menambah Rusak atau membiarkannya rusak.

Dan janganlah kita bertindak seperti orang munafik[8] :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
Jika dikatakan kepada mereka “ Janganlah kalian membuat kerusakan di bumi “ , mereka menjawab “ Sesungguhnya kami hanyalah membuat perbaikan”, Ketahuilah sesungguhnya mereka adalah orang – orang yang membuat kerusakan tapi mereka tidak menyadarinya. [9]

Mari kita koreksi diri kita , jangan sampai kita banyak membuat kerusakan dalam dakwah namun tidak merasa, bahkan justru sebaliknya merasa telah membuat perbaikan, merasa telah menolong Agama, merasa telah mencocoki amalan salaf, tapi secara praktek dan hasilnya ternyata lebih banyak merusak daripada memperbaiki.

Dan jangan pula kita bertindak seperti orang – orang yang angkuh dan keras kepala[10], tidak mau menerima kritikan dan nasehat seperti dalam ayat :
وَإِذَا قِيلَ لَهُ ٱتَّقِ ٱللَّهَ أَخَذَتْهُ ٱلْعِزَّةُ بِٱلْإِثْمِ ۚ
Dan apabila dikatakan kepadanya:"Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. (QS. Al BAqarah : 206)

Maksud “izzah” adalah congkak, sombong itu membuatnya menolak nasehat ketakwaan tersebut.

Secara umum kita tidak menyalahkan sikap para Ulama yang mentahdzir dan memvonis, karena perkara ini memang bidang mereka , dan wajib bagi kita mendahulukan Husnuzhan kepada mereka bahwa itu semua mereka lakukan karena ingin menjaga Agama yang mulia ini dari berbagai macam penyimpangan dan juga karena ingin menasihati ummat dan menyelamatkan mereka agar tidak terjerembab di dalam penyimpangan tersebut, kecuali jika telah tampak ada diantara mereka yang berkeinginan di luar dari tujuan baik itu, atau menggunakan metode – metode yang menyimpang, maka kita hukumi secara dzahir.  Tapi yang kita salahkan dan koreksi adalah sebagian sikap orang – orang yang ada di bawah mereka dari kalangan para ustadz dan thullabul ‘ilmi, yang membuat fitnah ini semakin buruk dan semakin meluas kerusakannya yang itu bisa kita rasakan dalam medan dakwah ini. [11]
Mungkin ada diantara kita yang bertanya, apakah bentuk kerusakan dan mafsadah yang muncul itu ? fakta yang menjawabnya , kita saksikan adanya perpecahan di tubuh kaum Ahlus Sunnah berupa terkotak – kotak yang masing – masing kotak mengaku hanya dipihaknyalah yang benar dan menjatuhkan yang lainnya tanpa hak[12], saling menuduh dengan tuduhan dusta[13], saling memvonis[14], saling fitnah memfitnah, saling jauh menjauhkan, saling mengumbar aib[15], saling berdebat yang tidak sehat sampai – sampai menggunakan ungkapan – ungkapan yang keji dan meremehkan penjelasan dari pihak lainnya[16] , saling memperolok olok[17] , saling musuh memusuhi dan menambah musuh lebih banyak, dan juga berdampak negatif pada orang – orang awam dan orang – orang yang ada di luar Ahlus Sunnah , yang asalnya mereka memang tidak senang terhadap Ahlus Sunnah malah semakin jengkel dan menjauh dan tambah lari dari dakwah , setelah mereka melihat adanya praktek saling sikap menyikapi yang tidak sehat di kalangan Ahlus Sunnah.

Marilah kita bersama – sama menyimak dan mengambil faedah dari hadits berikut, tentang ucapan Nabi ketika mengutus Mu’adz dan Abu Musa ke Yaman : (Mudahkanlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan buat lari, dan bersatulah atau kompaklah kalian dalam dakwah dan jangan berselisih atau berpecah). Hadits diatas adalah nasehat Nabi kepada para Da’I secara umum, yang ternyata kita saksikan dalam penerapan amat jauh, Nabi memerintah untuk mempermudah malah kita mempersulit , Nabi melarang jangan membuat lari malah kita membuat lari,  Nabi memerintah kita harus kompak dan bersatu malah kita berselisih dan bertikai dan berpecah , ini fakta. Setelah ditelusuri ternyata mereka memiliki segudang syubhat yang mereka sebut dengan alas an dan hujjah untuk membenarkan sikapnya sehingga buta melihat kenyataan dari hasil pergerakan dakwah mereka.  




[1]  Diantara petunjuk dalam menyikapi perselisihan adalah:
-          Bersikap obyektif dalam menyikapi perselisihan
-          Berhusnuzhan terhadap para Ulama’ dan thalabul ‘ilmi serta mengutamakan ukhuwah
-          Apa yang dinyatakan dari seseorang ahlus sunnah berupa kejelekan, hendaknya dibawa kepada makna yang baik
-          Menerima segala kritik dalam rangka kebaikan
-          Komitmen dengan adab – adab islam dalam memilih kata – kata yang bagus serta menghindari kata – kata yang tidak pantas. ( mengambil Faedah dari an Nushhul Amin, Imam asy Syaikh Muqbil bin Haadi al Wadi’I )
[2]  Hikmah adalah sebuah ungkapan tentang bagaimana menyelesaikan setiap masalah dengan ilmu yang benar dan bijak.
[3]  Diantara kerusakan yang timbul adalah: Saudara kita saling bercerai berai antara satu dengan yang lain, sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa dahulu dakwah salaf di Indonesia bersatu, tidak berpecah belah. Setelah munculnya kerangka berfikir tahazzub dan hizbiy, saling meyakini bahwa dirinya lah yang berada diatas kebenaran dan mengajak yang lain untuk bersamanya serta memusuhi orang yang tidak bersamanya, saling hujat sana – sini. akhirnya diketahui banyak orang bahwa dakwah salafi di Indonesia menyebar dakwah hajr dan tahdzirnya bukan dakwah tauhid. Laa haula wa laa quwwata illa billah
 maka dengan yang demikian itu Allah menjadikan bercerai berai, sudah sepatutnya kita merenungi firman Allah:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًۭا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ
dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. (QS. Al ‘An’am : 153 )
[4] QS. Al Baqarah : 269
[5]  Ini lah yang tertuntut dalam syariat yang mulia ini, seorang hamba seharusnya senantiasa muhasabah atas apa yang telah dia lakukan bukan tersibukkan dengan muhasabah orang lain, Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌۭ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۢ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Hasyr : 18)
Berkata Syaikh Abdul Muhsin : Hendaknya orang yang menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu serta mentahzir terhadap mereka tersebut hendaklah ia merasa takut kepada Allah, lebih baik ia menyibukan diri dengan memeriksa aib aibnya supaya ia terlepas dari aibnya tersebut, dari pada ia sibuk denga aib-aib orang lain, dan menjaga kekekalan amalan baiknya jangan sampai ia membuangnya secara siasia dan membagi-bagiakannya kepada orang yang dicela dan dicacinya, sedangkan ia sangat butuh dari pada orang lain terhadap amal kebaikan tersebut pada hari yang tiada bermanfaat pada hari itu harta dan anak keturunan kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang suci. Hendaklah ia menyibukan dirinya dengan mencari ilmu yang bermanafaat dari pada ia sibuk melakukan celaan dan tahziran, dan giat serta bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu tersebut supaya ia mendapat faedah dan memberikan faedah, mendapat manfa,at dan bermanfa’at, maka dianatra pintu kebaikan bagi seorang manusia adalah bahwa ia sibuk dengan ilmu, belajar, mengajar, berda’wah dan menulis, apabila ia mampu melakukan hal yang demikian maka hendaknya ia menjadi golongan yang membangun, dan tidak menyibukkan dirinya dengan mencela para ulama dan para penuntut ilmu dari Ahlus Sunnah serta menutup jalan yang menghubungkan untuk mengambil faedah dari mereka sehingga ia menjadi golongan penghancur, orang yang sibuk dengan celaan seperti ini, tentu ia tidak akan meninggalkan sesudahnya ilmu yang dapat memberi manfa’at serta manusia tidak akan merasa kehilangan atas kepergiannya sebagai seorang ulama yang memberi mereka manfa’at, justru dengan kepergiannya mereka merasa selamat dari kejahatannya. (Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah)
[6] Mungkin yang dimaksud penulis adalah pembenahan diri dalam artian taubat kepada Allah ta’ala
[7]  Allah berfirman:
فَمَن تَابَ مِنۢ بَعْدِ ظُلْمِهِۦ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌ
Maka barang siapa bertobat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Maidah : 39)
[8] Dan jangan pula kita bertindak seperti Fir’aun dan bala tentaranya, mereka mengaku berbuat kebaikan padahal mereka berbuat kerusakan dan bertolak belakang dari dakwah Nabi Musa-‘alaihis salam-, Allah mengkisahkan Fir’aun sebagaimana dalam firmanNYa:
قَالَ فِرْعَوْنُ مَآ أُرِيكُمْ إِلَّا مَآ أَرَىٰ وَمَآ أَهْدِيكُمْ إِلَّا سَبِيلَ ٱلرَّشَادِ
Firaun berkata: "Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar". (QS. Ghafir : 29)
[9] QS. AL Baqarah : 11
[10]  Jangan pula kita bertindak seperti kaum musyrikmin dan orang – orang kafir, sebagaimana yang difirmankan Allah:
أَفَلَمْ تَكُنْ ءَايَٰتِى تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ فَٱسْتَكْبَرْتُمْ وَكُنتُمْ قَوْمًۭا مُّجْرِمِينَ
"Maka apakah belum ada ayat-ayat-Ku yang dibacakan kepadamu lalu kamu menyombongkan diri dan kamu jadi kaum yang berbuat dosa?" ( QS. Al Jatsiyah : 31 )
وَإِذَا ذُكِّرُوا۟ لَا يَذْكُرُونَوَإِذَا رَأَوْا۟ ءَايَةًۭ يَسْتَسْخِرُونَ.
Dan apabila mereka diberi pelajaran mereka tiada mengingatnya. Dan apabila mereka melihat sesuatu ayat Allah, mereka sangat menghinakan. ( QS. Ash Shafat : 13-14 )
[11] Yaitu sibuknya mereka dalam emncaci dan kurang dalam menjaga lisan serta ghuluw dalam memvonis, berkata Syaikh Abdul Muhsin:
Terjadi pada zaman ini sibuknya sebagian Ahlus Sunnah terhadap sebagian yang lainnya sikap saling caci dan saling tahzir (waspada), hal demikian telah menimbulkan perpecahan dan perselisihan serta sikap saling Hajr (menjauhi), sepantasnya yang ada diantara mereka bahkan suatu keharusan adalah saling kasih dan saling sayang, dan mereka menyatukan barisan mereka dalam menghadapi para ahli bid’ah dan Ahli Ahwa’ (pengikut nafsu sesat) yang mereka tersebut para penentang Ahlus Sunnah wal Jam’ah. ( Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah )
[12] Bermusuhan antara sesama penisbah salafiy, padahal hal ini jelas – jelas akan memadamkan dakwah salafiyyah, berkata Syaikh Yahya: (diantara wasilah yang dapat menghancurkan dakwah salafiyyah adalah, pent) saling bermusuhan, antara ulama’ dan dai serta mengumbarnya/membeberkan ditengah – tengah mereka. Perkara ini bukanlah perkara yang bau tetapi perkara yang sudah sejak zaman dahulu terjadi, misalnya di zaman Imam Bukhari dan Gurunya syaikh Muhammad bin Yahya ad Duhliy, zaman Imam Malik dan Ibnu Ishaq, ‘Abbas bin ‘Abdul ‘Azhim, Abdur Razzaq dan Ulama’ – Ulama’ terdahulu, hal ini termasuk Juhdusy Syaithan (Jihad Syaitan).
Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya dari hadits Jabir bin Abdillah –Radliyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah bersabda: sesungguhnya setan telah putus asa agar dirinya disembah oleh orang – orang yang rajin shalat di jazirah arab, akan tetapi dia menebar permusuhan. (Adlrarul HIzbiyyah hlm 34)
[13]  Berkata Syaikh Yahya bin Ali al Hajuriy: (diantara wasilah yang dapat menghancurkan dakwah salafiyyah adalah, pent) menebar kabar dusta, memotong pembicaraan dan dusta diantara mereka. ( Adlrarul Hizbiyyah hlm 36 )
[14] Berkata Syaikh Yahya bin Ali al Hajuriy : (diantara wasilah yang dapat menghancurkan dakwah salafiyyah adalah, pent) mengkafirkan, ghuluw dalam memvonis Tabdi’ dan Tafsiq tanpa hak sebagaimana yang terjadi terhadap hadadiyyah dan semisal mereka. (Adlrarul Hizbiyyah hlm 52)

[15]  Berkata Syaikh Shalih al Fauzan: saya katakan tinggalkan pembicaraan tentang manusia !, tinggalkan pembicaraan tentang manusia !  si Fulan adalah Hizbi, si Fulan demikian….
Adapun sibuk membicarakan ini dan itu, si fulan salah, si fulan benar, si fulan demikian maka inilah yang menyebarkan kejelekan, memecah persatuan  dan menyebabkan fitnah.
Jika engkau melihat seseorang yang melakukan kesalahan maka nasehati antara dia dan kamu. Bukan dengan kamu duduk di majlis kemudian mengatakan si fulan demikian, si fulan demikian…
nasehati antara dia dan kamu!, inilah nasehat yang benar. Adapun perkataan kamu di majlis itu bukan nasehat, ini namanya mengumbar kesalahan, ini ghibah, ini kejelekan. ( transkrip dan suara asli Syaikh Fauzan bisa di lihat di www.islamgold.com/view.php?gid=2&rid=145 )
[16] Berkata Syaikh Yahya bin Ali al Hajuriy: (diantara wasilah yang dapat menghancurkan dakwah salafiyyah adalah, pent) menumbuhkan debat di tengah – tengah Salafiyyah dengan lafadz – lafadz mujmal, telah Tsabit dari hadits Abi Umamah –radliyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: Tidaklah sesat suatu kaum ddan jauhnya dari petunjuk kecuali suka berdebat. ( Adlrarul Hizbiyyah 49 )
[17]  Mereka menamakan hal ini sebagai Jarh wa ta’dil, padahal bukan. Syaikh Shalih al Fauzan berkata: jarh wa ta’dil bukanlah dengan menjelek – jelekkan dan mendeskreditkan orang lain, misalnya dengan mengatakan fulan demikian dan demikian, atau memuji sebagian orang dan mencela lainnya. Ini adalah ghibah, dan namimah bukanlah jarh wa ta’dil. ( www.youtube.com/watch?)(v=CLHUdyln3Y8 )

INTROPEKSI DIRI

POTRET SALAFI SEJATI



INTROPEKSI DIRI


Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata:


“Sesungguhnya seorang mukmin adalah penanggung jawab atas dirinya, (karenanya hendaknya ia senantiasa) mengintrospeksi diri karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.”
“Adalah hisab (perhitungan amal) di Yaumul Qiyamah nanti akan terasa lebih ringan bagi suatu kaum yang (terbiasa) mengintrospeksi diri mereka selama masih di dunia, dan sungguh hisab tersebut akan menjadi perkara yang sangat memberatkan bagi kaum yang menjadikan masalah ini sebagai sesuatu yang tidak diperhitungkan.”
“Sesungguhnya seorang mukmin (apabila) dikejutkan oleh sesuatu yang dikaguminya maka dia pun berbisik: ‘Demi Allah, sungguh aku benar-benar sangat menginginkanmu, dan sungguh kamulah yang sangat aku butuhkan. Akan tetapi demi Allah, tiada (alasan syar’i) yang dapat menyampaikanku kepadamu, maka menjauhlah dariku sejauh-jauhnya. Ada yang menghalangi antara aku denganmu’.”
“Dan (jika) tanpa sengaja dia melakukan sesuatu yang melampaui batas, segera dia kembalikan pada dirinya sendiri sembari berucap: ‘Apa yang aku maukan dengan ini semua, ada apa denganku dan dengan ini? Demi Allah, tidak ada udzur (alasan) bagiku untuk melakukannya, dan demi Allah aku tidak akan mengulangi lagi selama-lamanya, insya Allah’.”
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah suatu kaum yang berpegang erat kepada Al Qur`an dan memaksa amalan-amalannya agar sesuai dengan Al Qur`an serta berpaling dari (hal-hal) yang dapat membinasakan diri mereka.”
“Sesungguhnya seorang mukmin di dunia ini bagaikan tawanan yang (selalu) berusaha untuk terlepas dari perbudakan. Dia tidak pernah merasa aman dari sesuatupun hingga dia menghadap Allah, karena dia mengetahui bahwa dirinya akan dimintai pertanggungjawaban atas semua itu.”
“Seorang hamba akan senantiasa dalam kebaikan selama dia memiliki penasehat dari dalam dirinya sendiri. Dan mengintrospeksi diri merupakan perkara yang paling diutamakan.”

(Mawa’izh Lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 39-41)