Blogger templates

SURO/MuHARROM


Bulan Suro disebut Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu Muharram.” (HR. Muslim no. 2812)
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengansyahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) adalah untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah – Muharram. (Dinukil dari Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, 3/206)
Anggapan Masyarakat Mengenai Bulan Suro
Bulan suro adalah bulan penuh musibah, penuh bencana, penuh kesialan, bulan keramat dan sangat sakral. Itulah berbagai tanggapan masyarakat mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: ”Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.”
Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.
Mencela Waktu atau Bulan
Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ’larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Allah ’Azza wa Jalla berfirman, ’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan ’Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.
Dari pemaparan ini, jelaslah bagi kita bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.
Merasa Sial dengan Waktu Tertentu
Beranggapan sial dalam agama ini dikenal dengan istilah tathoyyur. Istilah ini berasal dari perbuatan orang Arab. Ketika mereka melakukan sesuatu, mereka membentak burung terlebih dahulu. Jika burung tersebut ke arah kiri, ini berarti pertanda sial sehingga mereka mengurungkan niat mereka untuk melakukan sesuatu tadi.
Perlu diketahui bahwa merasa sial seperti di atas dan contoh lainnya bukan hal yang biasa-biasa saja bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan sebagaimana yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam nyatakan sendiri. Beliaushallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda): Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429)
Ringkasnya, beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.
Musibah Datang Bukanlah Karena Bulan Suro
Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ’Azza wa Jalla (yang artinya), ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa [42] : 30)
Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, ”Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.” (Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah)
Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ’Azza wa Jalla.
Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.

MENYINGKAP KABAR DUSTA YANG DIALAMATKAN KEPADA SAUDARA KITA




MENYINGKAP KABAR DUSTA YANG DIALAMATKAN KEPADA SAUDARA KITA



telah tersebar kabar ditelinga kami, bahwa saudara kita Salafiyyin di Dammaj yang diblokade syi'ah yahudi bahwasanya meminta mereka meminta bantuan kepada Al Qaeda untuk menyerang Syi'ah. oleh karena itu pada kesempatan kali ini kita akan menyingkap kedustaan kabar tersebut. 


Telah dikabarkan kepada kami , dari Abu Ayyub (ngawi) dari al-Akh Khidir al-Limbory al-Mulky (dammaj) (ketika ditanya tentang bantuan al-Qaeda di sisi Ahlussunnah di Dammaj) berkata “ yang mau datang jihad disini bersama qobilah-qobilah saja itu murni ahlussunnah yang bersama syaikhuna dari sebelumnya, yang mau datang disini harus turuti aturan syariat dan kami yaqin alqaeda sarat teroris lainnya bakalan tidak sanggup kesini -biidznillah- karena perbedaan aqidah, kedua firqoh (rofidhoh dan alqaeda) tersebut sama-sama menganggap Darul Hadits Dammaj budak-budak penguasa dan penguasa budak AS-Israel. Apa yang mereka sebarkan itu haknya, untuk menghancurkan Dammaj -selesai-  9 Muharram 1433H pukul 18:06 wib

Darul Hadits Dammaj tidak terkait sama sekali dengan terorisme, AL–Qaeda atau Usamah bin Laden, ini pun sudah tercermin dari ucapan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi -rahimahulloh- terhadap Usamah bin laden : “ (Usamah bin Laden) termasuk dari orang tertipu dan terkelabui “ dan beliau juga mengucapkan “ Tidak sepantasnya mengambil ’Ilmu dari Usamah bin laden atau Al Misyari..” -selesai- sumber
Berkata asy-Syaikh Ahmad an-Najmi -semoga Alloh merahmatinya- ketika ditanya : ” Beberapa orang mengklaim bahwa Bin Ladin adalah mahdi yang ditunggu (pemimpin) dan mereka memberinya judul “Pemimpin orang-orang yang beriman”. Jadi apa nasehat anda dalam hal ini ?”
Syaikh Menjawab:
dia ini adalah setan. Mereka adalah setan. Bin Ladin adalah Iblis Khobits (kotor)Khawarij(pemberontak). Hal ini tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk memuji-nya. Siapapun yang memujinya, maka ini adalah bukti bahwa ia adalah seorang Khawarij seperti dia … siapa saja yang memujinya, maka ini adalah bukti bahwa ia adalah seorang Khawarij seperti dia
Saudara kami yang mulia Abu Fairuz -semoga Alloh menjaganya- dalam surat yang dikirim pada tanggal  9 Muharram 1433H menerangkan:
Adapun celaan dari sebagian hizbiyyun bahwasanya Darul Hadits Salafiyyah di Dammaj minta bantuan pada teroris Al Qoidah, maka celaan itu bukanlah pada tempatnya, berdasarkan beberapa sisi:
  1. Kalaupun benar bahwasanya Asy Syaikh Al Muhaddits Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله minta bantuan pada mereka, maka tidaklah hal itu salah, karena minta bantuan pada orang fasiq ataupun kafir untuk menghadapi keganasan orang kafir yang lain (yang lebih kafir dan lebih berbahaya dsb) adalah boleh berdasarkan syariat dan fatwa para ulama Sunnah.
  2. Kalaupun benar bahwasanya Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy minta bantuan pada mereka, maka tidaklah hal itu salah, karena minta bantuan pada selain Alloh pada saat terpaksa demi mempertahankan hidup yang telah sangat terancam adalah diperbolehkan, dengan syarat hamba Alloh yang dimintai tolong itu masih hidup, hadir, dan punya kemampuan.
  3. Kalaupun benar bahwasanya Asy Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy minta bantuan pada mereka, maka tidaklah hal itu salah, jika berdasarkan ijtihad dan ketajaman pandangan beliau bahwasanya kemaslahatannya lebih besar daripada mafsadahnya.
  4. Pertempuran ini, sebagaimana fatwa para ulama, merupakan pertempuran antara Islam dan kufur, bukan semata-mata antara Ahlussunnah dengan Ahlul bid’ah. Makanya yang bangkit untuk menghadang kejahatan Rofidhoh bukanlah Ahlussunnah saja. Banyak hizbiyyun di Yaman (yang bukan Mar’iyyun) telah menyatakan bahwasanya jika Dammaj sampai dikuasai Rofidhoh, pastilah seluruh propinsi So’dah akan dikuasai mereka. Jika itu terjadi, dalam waktu yang dekat mereka akan menguasai seluruh Yaman, sebagaimana dalam rencana rahasia mereka yang telah tersingkap. Yang demikian itu dikarenakan Rofidhoh juga tersebar di berbagai propinsi di Yaman, seperti di Dzammar, Roda’, Hajjah dan yang lainnya. Jika So’dah berhasil mereka kuasai, yang lainpun akan bangkit semangatnya. Oleh karena itulah makanya para hizbiyyun (yang bukan Al Mar’iyyun Al Hussad Al Mukhodzdzilun) pada bulan ini juga memfatwakan wajibnya jihad memerangi Rofidhoh, bukan karena permintaan dari Darul Hadits Dammaj.
  5. Para ulama yang memfatwakan jihad melawan Rofidhoh, pandangan mereka lebih tajam, hati nurani mereka lebih peka, dan rasa kasih sayang mereka lebih besar daripada para masyayikh yang dipenuhi oleh rasa dengki semacam Muhammad Al Imam dan Abdul Aziz Al Buro’iy yang mengatakan bahwasanya peperangan antara Darul Hadits di Dammaj dengan Rofidhoh hanyalah sekedar rebutan gunung. Bukan demikian! Justru peperangan ini adalah perang antara Islam dan kekufuran. Makanya yang diseru untuk bangkit adalah seluruh Muslimin secara umum, sebagaimana Kholifah Harun Ar Rosyid dulunya menyeru seluruh lapisan Muslimin untuk bersatu memerangi Nashoro yang sedang menyerang perbatasan wilayah Muslimin.
  6. Contoh yang lain adalah: seruan Amirul Mukminin Al Mu’tashim billah seluruh lapisan Muslimin untuk berangkat memerangi Romawi yang menyerang perbatasan, hingga berbuntut penaklukan benteng Ammoriyyah yang terkenal itu yang menyebabkan Al Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله memuji dan memaafkan Al Mu’tashim.
  7. Contoh yang lain adalah: seruan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah kepada raja Mesir dan pasukannya, dan seluruh lapisan Muslimin di Syam untuk bangkit memerangi pengepungan tartar.
  8. Sengaja ana tidak menampilkan pemakaian Rosululloh صلى الله عليه وسلم Abdulloh bin ‘uroiqith sebagai penunjuk jalan ke Madinah karena diperselisihkan, apakah dia pada waktu itu telah masuk Islam ataukah belum. Akan tetapi contoh-contoh di atas merupakan pemahaman salaf yang tepat.
  9. Telah lewat penjelasan tentang bolehnya minta bantuan pada orang kafir untuk menghadapi orang kafir yang lain. Maka bagaimana jika yang dimintai bantuan tadi adalah orang yang masih muslim?
  10. Jika minta bantuan orang yang masih Muslim untuk memerangi orang Nashoro saja boleh ketika keadaan mengharuskan demikian, maka bagaimana dengan meminta bantuan Muslim untuk memerangi orang-orang yang lebih kafir daripada Nashoro? Syaikhul Islam رحمه الله dan yang lainnya telah menetapkan dengan dalil-dalil bahwasanya Rofidhoh lebih kafir daripada yahudi dan Nashoro
  11. Itu tadi jika Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy meminta bantuan pada Al Qoidah. Kenyataannya adalah bahwasanya beliau sama sekali tidak minta bantuan pada mereka. Merekalah yang bangkit untuk memerangi Rofidhoh tanpa beliau meminta.
  12. Hampir setiap tahun di wilayah selatan terjadi perang antara Al Qoidah dengan Rofidhoh. Sama-sama rebutan kekuasaan. Bukan karena Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy meminta bantuan pada Al Qoidah.
  13. Sebagian orang-orang Al Qoidah dulunya adalah murid Al Imam Al Wadi’iy. Manakala Usamah bin Ladin datang dan menawarkan bantuan bersyarat, beliaupun menolaknya. Akan tetapi beberapa murid beliau tergiur besarnya gaji sehingga meninggalkan beliau dan bergabung dengan dengan Al Qoidah. Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله menghukumi mereka semua sebagai mubtadi’ah. Hanya saja manakala Rofidhoh dengan amat kejam menyerang Dammaj yang sehari-harinya cuma sibuk dengan ilmu dan dakwah, tergeraklah hati para mantan murid tadi untuk membela bekas tempat belajar mereka yang dulu. Asy Syaikh Yahya sudah mengumumkan berlepas diri dari mereka, dan bahwasanya orang-orang Al Qoidah tidak boleh menempel Ahlussunnah. Hanya saja sudut pandang kita di sini adalah: masih ada di kalangan Ahlul bida’ yang punya rohmat pada bekas tempat dia belajar yang dulu, beda dengan beberapa masyayikh dan ustadz-ustadz yang mengaku sebagai murid Al Imam Al Wadi’iy yang tidak peduli akan hancur atau selamatnya markiz beliau sekarang ini.
  14. Sebagaian hizb Mar’iyyun mengejek kami karena salah satu pemimpin pasukan penyelamatan yang datang dari luar adalah anggota Al Qoidah. Ini tidak benar! Beliau telah bertobat dari Al Qoidah sekian lama sebelum Rofidhoh mengganggu Dammaj. Dan beliau telah mengumumkan tobatnya itu sekian lama. Saat Rofidhoh menyerang Dammaj bangkitlah beliau membuktikan kecintaannya pada Sunnah dan salafiyyah walaupun harus mengorbankan nyawa.

JAWABAN BAGI ORANG YANG MENYATAKAN BAHWA “THOGUT” IDENTIK DENGAN KEKAFIRAN



JAWABAN BAGI ORANG YANG MENYATAKAN BAHWA “THOGUT” IDENTIK DENGAN KEKAFIRAN

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا, من يهده الله فهو المهتد, ومن يضلل فلا هادي له, وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، اللهم صلِّ على محمدٍ النبي وأزواجه أمهات المؤمنين وذريته وأهل بيته كما صليت على آل إبراهيم إنك حميد مجيد.
أما بعد:
Sudah merupakan sunnatulloh yang ditaqdirkan atas makhluk-Nya, bahwasanya Dia menjadikan fitnah sebagian makhluk terhadap sebagian yang lain, menjadikan diantara mereka mu’min dan kafir, kaya dan miskin, pandai dan bodoh, selamat dan sesat. Semua itu merupakan diantara sebab – sebab yang menjadikan mereka berselisih, sebagaimana firman-Nya azza wa Jalla:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ
Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. (QS Hud : 83-84)
        Untuk itu kita diperintahkan untuk berjihad melawan penyelewengan ahlul Bathil, Alloh ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya. (QS. At Taubah : 73)
Ibnul Qoyyim menyatakan: Jihad dengan Ilmu dan hujjah merupakan jihadnya para Nabi dan Rosul-Nya. (Qosidah Nuniyyah)
Kami  memuji kepada Alloh ta’ala yang telah memberi kekuatan dan ilmu kepada kami untuk mejaga din-Nya dengan Hujjah dan ilmu dari penyelewengan Ahlul Batil, meskipun mereka banyak bertebaran dimuka bumi akan tetapi kelak akan lenyap dari dunia ini. Alloh ta’ala berfirman:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (QS. Al Isro’ : 81)
            Tulisan ini merupakan penyingkapan dari sebagian penyelewengan-penyelewengan para pengklaim Mujahidin, semisal Ishom Burqowiy dan para pengikutnya yang menyatakan bahwa “semua Thogut adalah Kafir”.
            Pendapat yang menyatakn bahwa Thogut adalah kafir adalah pendapat yang salah, oleh karena itu kami akan menjelaskan kesalahan pendapat tersebut dari tiga segi:
1.    Julukan Thogut ditujukan kepada setiap pemimpin kesesatan, imam Qurthubi menyatakan:
Thogut adalah semua yang diibadahi selain Alloh ta’ala, seperti setan, dukun, berhala dan (dinamakan thogut pula yaitu) setiap orang yang menyeru pada kesesatan. (Tafsir Qurthubi 5/75)
Telah kita ketahui bahwa 72 dua firqoh yang ada adalah penyeru kesesatan akan tetapi para Ulama’ tidaklah mengkafirkan mereka kecuali jahmiyyah al ghullat.
2.    Sesungguhnya para Ahlul Ilmi mensifati seseorang itu Thogut disebabkan segala sesuatu yang menyebabkan kelewat batas, Syeikhnya Mufassirin Ibnu Jarir ath Thobari mengatakan:
Dan yang benar menurutku tentang perkataan Thogut, bahwa ia adalah segala sesuatu yang melampui batas terhadap Alloh ta’ala lalu diibadahi selain-NYa…. Sesuatu itu bisa berupa manusia, syaithon, berhala, patung dan selainnya. (Tafsir ath Thobari 5/419)
Dari sini kita ketahui bahwa pensifatan thogut tidak mesti kafir, karena diantara Thogut sebagaimana yang disebutkan diatas adalah patungsedangkan patung adalah benda mati yang tidak dapat disifati dengan kekafiran dan tidak pula dapat disifati dengan keimanan. (al Hukmu Bighoiri maa Anzalalloh Munaqoshah Ta’siliyyah, Syeikh ‘Uthaibi hal 35)
3.    Ahlul Ilmi mensifati orang yang melakukan dosa besar sebagai Thogut akan tetapi mereka tidak mengkafirkannya, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab menyatakan:
Thogut itu banyak dan yang kami jelaskan ada lima: setan, hakim curang pemakan suap, orang yang diibadahi sedangkan ia ridlo dan orang yang beramal tanpa ilmu. (Durorus Saniyyah 1/137)
Hakim curang pemakan suap adalah Thogut karena melakukan dosa besar, sedangkan madzhab Ahlus Sunnah bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir. Ibnu abdil Barr menyatakan:
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan mereka adalah Ahlul Fiqih wal Atsar telah sepakat bahwa seseorang tidaklah dikeluarkan dari islam(kafir) akibat dosa yang ia perbuat, meskipun itu aalah dosa besar. (At Tamhid 16/315)

            Demikian jawaban bagi orang yang menyatakan Thogut identik dengan kekafiran. Semoga Uraian Ringkas ini menjadi penerang bagi muwahhidin salafiyyin dan pembatal syubhat para pengklaim Mujahidin.
اللهم إنا نسألك الهدى و السداد

Sabtu 7 Muharrom 1433H
Mujahid as Salafi

ISIM MUDZAKKAR DAN MUANNATS


مُذَكَّر - مُؤَنَّث
MUDZAKKAR (Laki-laki) - MUANNATS (Perempuan)
Dalam tata bahasa Arab, dikenal adanya penggolongan Isim ke dalam Mudzakkar (laki-laki) atau Muannats (perempuan). Penggolongan ini ada yang memang sesuai dengan jenis kelaminnya (untuk manusia dan hewan) dan adapula yang merupakan penggolongan secara bahasa saja (untuk benda dan lain-lain).
Contoh Isim Mudzakkar Contoh Isim Muannats
عِيْسَى (= 'Isa) مَرْيَم
(= Maryam)
اِبْنٌ
(= putera)
بِنْتٌ (= puteri)
بَقَرٌ (= sapi jantan) بَقَرَةٌ (= sapi betina)
بَحْرٌ (= laut) رِيْحٌ (= angin)
Dari segi bentuknya, Isim Muannats biasanya ditandai dengan adanya tiga jenis huruf di belakangnya yaitu:
a) Ta Marbuthah ( ة ). Misalnya: فَاطِمَة (=Fathimah), مَدْرَسَة (=sekolah)
b) Alif Maqshurah ( ى ). Misalnya: سَلْمَى (=Salma), حَلْوَى (=manisan)
c) Alif Mamdudah ( اء ). Misalnya: أَسْمَاء (=Asma'),  سَمْرَاء (=pirang)
Namun adapula Isim Muannats yang tidak menggunakan tanda-tanda di atas.
Misalnya: رِيْحٌ (= angin), نَفْسٌ (= jiwa, diri), شَمْسٌ (= matahari)
Bahkan ada pula beberapa Isim Mudzakkar yang menggunakan Ta Marbuthah.
Contoh: حَمْزَة (= Hamzah), طَلْحَة (= Thalhah), مُعَاوِيَة (= Muawiyah)
Ingat, jangan melangkah ke halaman selanjutnya sebelum mengerti pelajaran di atas dan menghafal kosakata yang baru anda temukan!

PEMBATAL - PEMBATAL KEISLAMAN

PEMBATAL - PEMBATAL KEISLAMAN

penyusun: Abu Usamah al Jawi
An Nawaqidh adalah jamak dari Naqidh, yang dimaksud adalah pembatal-pembatal, seperti Nawaqidhul Wudhu yaitu pembatal-pembatal wudhu. Pembatal-pembatal Islam dinamakan dengan nawaqidh, juga dinamakan dengan sebab-sebab kemurtadan atau jenis-jenis kemurtadan. Dan mengetahui pembatal-pembatal Islam tersebut adalah perkara yang sangat penting bagi setiap muslim dalam rangka menjauhinya dan berhati-hati darinya, karena apabila seorang muslim tidak mengetahuinya dikhawatirkan dia akan terjatuh kepada sesuatu darinya dan ini termasuk perkara yang sangat berbahaya, karena hal tersebut adalah pembatal-pembatal Islam. Oleh karena itu mengetahui sebab-sebab kemurtadan dari Islam adalah perkara yang sangat penting sekali.
Murtad dari Islam maknanya mencabut kembali keislamannya, diambil dari fi’il madhinya irtadda (dia telah murtad) apabila dia mencabut kembali keislamannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ
“Dan janganlah kalian kembali (lari) ke belakang (karena takut kepada musuh) maka kalian menjadi orang-orang yang merugi.” (Al Maidah: 21)
Dan Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 217)
Ini merupakan peringatan keras dari Allah kepada orang-orang yang beriman, (Dan barangsiapa yang murtad diantara kalian) wahai orang-orang yang beriman (dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran) dan tidak bertaubat sebelum kematiannya dan kembali kepada Islam, maka sungguh (sia-sia amalan mereka) yaitu batal amalan-amalan mereka (di dunia dan di akhirat, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.)
Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَىٰ أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى ۙ الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَىٰ لَهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syetan telah menjadikan mereka rendah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (Muhammad: 25)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kalian murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah, bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (Al-Maidah: 54)
(Dan barangsiapa yang murtad dari agamanya) yaitu mencabut kembali agamanya, dalam ayat ini terdapat peringatan yang keras dari kemurtadan dan ancaman atasnya.
Adapun (dalil-dalil) dari al Hadits:
Maka sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، والنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، والتَّارِكُ لِدِيْنِهِ –هذا هوالشاهد- المُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim melainkan dengan salah satu dari tiga perkara: (1) orang yang telah menikah berzina, (2) jiwa dengan jiwa (qishosh), (3) orang yang meninggalkan agamanya –ini sisi pendalilannya- memisahkan diri dari al jama’ah.”1
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah dia.” (HR. Al Bukhari)2
Apabila yang murtad adalah satu kelompok yang memiliki kekuatan maka mereka diperangi, sebagaimana Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu memerangi orang-orang yang murtad, sehingga beliau menundukkan mereka kepada Islam dan terbunuhlah sebagian mereka di atas kemurtadannya dan bertaubatlah sebagian mereka. Maka dengan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memerangi mereka, hal itu membenarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍۚ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kalian murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah, bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (Al-Maidah: 54)
Para ulama berkata: “Ayat ini turun mengenai Abu Bakar dan para sahabatnya yang memerangi orang-orang murtad, karena dalam ayat ini Allah mengabarkan tentang perkara yang akan datang (barangsiapa yang murtad) ini tentang perkara yang akan datang (maka kelak Allah mendatangkan) Allah mendatangkan Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, kemudian mereka memerangi orang-orang murtad.
Namun apabila yang murtad adalah satu individu, maka dia diambil dan dimintai taubatnya, jika dia bertaubat diterima taubatnya, jika enggan maka dia dihukum dibunuh. Orang ini berbeda dengan orang yang asalnya memang kafir, karena orang yang murtad mengetahui kebenaran dan dia masuk ke dalam agama Allah dengan pilihan dan ketundukannya, dia juga mengakui bahwa Islam adalah agama yang benar. Apabila dia murtad maka ini adalah sikap mempermainkan agama dari orang tersebut, karena dia mengetahui kebenaran dan masuk ke dalamnya, apabila dia murtad maka dia dihukum dibunuh dalam rangka menjaga akidah, dan ini merupakan penjagaan terhadap Adh Dhoruriyaatul Khomsi (perkara-perkara penting yang lima)3, yang pertama yaitu agama.
Maka agama ini tidak boleh ditinggalkan karena bermain-main, bagi orang yang masuk Islam kemudian murtad, bahkan dia dibunuh sebagai penjagaan terhadap akidah dari permainan. Ada di antara orang-orang yang murtad dibunuh tanpa dimintai taubatnya, hal itu disebabkan karena besarnya kemurtadannya, dia dibunuh tanpa dimintai taubat sebagai penjagaan terhadap agama yang merupakan perkara pertama dari lima perkara penting yang Islam datang untuk menjaganya.
Mempelajari pembatal-pembatal ini sangat penting, para ulama menyusun karya-karya yang berkenaan dengannya, dan mereka menjadikan (pembahasan tentang-ed) pembatal-pembatal ini pada tempat yang khusus (bagian tersendiri-ed) dalam kitab-kitab fiqh yaitu (hukum murtad). Di dalam setiap kitab dari kitab-kitab fiqh mereka membuat satu kitab yang mereka namakan Kitab Hukmil Murtad (kitab tentang hukum orang yang murtad) atau Bab Hukmil Murtad (bab tentang hukum orang yang murtad) baik dalam karya-karya yang panjang maupun yang ringkas.
Para ulama berkata: Orang yang murtad adalah orang yang kafir setelah keislamannya, bisa jadi karena keyakinan hatinya atau keraguannya dalam perkara agama atau karena perbuatan, seperti sujud untuk selain Allah, menyembelih untuk selain Allah atau nadzar untuk selain Allah. Barangsiapa melakukan (perbuatan-perbuatan) ini berarti dia telah murtad. Atau karena ucapan seperti berbicara dengan mencela Allah, mencela Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau mencela agama Islam.
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ,لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ
“Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok, tidak usah kalian meminta maaf, karena sungguh kalian telah kafir setelah keimanan kalian.” (At Taubah: 65-66)
Maka murtad itu bisa terjadi karena ucapan, perbuatan, keyakinan atau karena ragu terhadap suatu perkara dari agama ini, seperti orang yang ragu tentang wajibnya sholat, wajibnya zakat atau ragu dalam masalah tauhid, maka dia dikafirkan. Yang dimaksud dengan ragu adalah berbolak-balik di antara 2 (dua) perkara.
Jenis-jenis murtad sangatlah banyak, dan Asy Syaikh rahimahullah menyebutkan dalam risalah ini yang paling penting dan paling besarnya, kalau tidak demikian maka pembatal-pembatal keislaman itu sangatlah banyak, kalian akan mendapatinya dalam kitab-kitab Fiqh bab Hukum Murtad. Asy Syaikh Abdullah bin Muhammad rahimahullah memiliki risalah yang berjudul al Kalimatun Nafi’ah fil Mukaffirotil Waqi’ah (kalimat-kaliamat yang bermanfaat tentang perkara-perkara yang dapat mengkafirkan yang terjadi pada realita) dan risalah ini tercetak dalam Ad Duror As Saniyah dan yang selainnya.
Saat ini, tatkala kebodohan telah tersebar dan keterasingan agama ini semakin kuat, sekelompok manusia yang menamakan diri mereka ulama memunculkan diri dan mengatakan:
“Jangan kalian mengkafirkan manusia, cukup bagi mereka nama Islam, cukup baginya untuk mengatakan, ‘Saya seorang muslim’, walaupun dia berbuat apa saja, walaupun dia menyembelih untuk selain Allah, walaupun dia mencela Allah dan Rasul-Nya, walaupun dia berbuat apa saja selama dia masih mengatakan, ‘Saya muslim!’ Maka jangan engkau kafirkan dia.”
Atas dasar ini maka akan masuk ke dalam nama Islam kelompok-kelompok sesat seperti Al Bathiniyah, Al Qaramithah, Al Quburiyun (para penyembah kubur), Ar Rafidhoh dan Al Qodyaniyah, serta akan masuk ke dalam nama Islam seluruh kelompok yang mengaku Islam.
Mereka mengatakan:
“Janganlah kalian mengkafirkan seorangpun walaupun dia berbuat apa saja atau berkeyakinan apa saja, janganlah kalian memecah belah kaum muslimin.”
Subhanallah (Maha Suci Allah)!!! Kami tidak memecah belah kaum muslimin, akan tetapi mereka itu bukanlah muslimin, karena tatkala mereka melakukan pembatal-pembatal keislaman berarti mereka telah keluar dari Islam.
Kalimat “janganlah kalian memecah belah kaum muslimin” adalah kalimat haq (benar) tapi yang diinginkan dengannya adalah kebatilan, karena para shahabat radhiyallahu ‘anhum memerangi orang-orang arab yang murtad sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Para shahabat tidak ada yang mengatakan,
“Jangan kalian memecah belah kaum muslimin”,
Karena mereka bukan muslimin lagi selama mereka masih murtad. Dan perkara ini lebih berat daripada engkau menghukumi orang kafir sebagai muslim, dan akan datang kepada kalian penjelasan bahwa termasuk kemurtadan adalah barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir atau ragu tentang kekafirannya maka dia kafir seperti orang kafir tersebut.
Mereka mengatakan:
“Janganlah kalian mengkafirkan seorangpun walaupun dia berbuat apa saja selama orang tersebut masih mengucapkan Laa ilaaha illallah. Silahkan kalian menghadapi orang-orang atheis dan tinggalkanlah orang-orang yang mengaku Islam.”
Kita katakan kepada mereka:
“Orang-orang yang mengaku Islam itu lebih berbahaya dari atheis, karena atheis tidak mengaku Islam dan tidak menganggap apa yang mereka lakukan adalah Islam. Adapun orang-orang yang mengaku Islam, mereka telah mengelabui, mereka menyerukan bahwa kekafiran itu adalah Islam, mereka itu lebih berbahaya daripada atheis, maka kemurtadan itu lebih berbahaya dari atheis -kita berlindung kepada Allah-.”
Maka wajib bagi kita mengetahui sikap yang benar terhadap perkara-perkara ini, kita membedakannya dan memperjelasnya, karena kita sekarang dalam kesamaran, di sana ada orang yang mengarang, menulis, mengkritik dan berpidato dan mengatakan: “Janganlah kalian mengkafirkan muslimin”.
Kita katakan: “Kami mengkafirkan orang-orang yang keluar dari Islam” adapun muslim maka tidak boleh mengkafirkannya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini adanya perkara-perkara yang dapat membatalkan keislaman seseorang. Berikut ini akan kami sebutkan sebagiannya:

1. Menyekutukan Allah (syirik).
Yaitu menjadikan sekutu atau menjadikannya sebagai perantara antara dirinya dengan Allah. Misalnya berdo’a, memohon syafa’at, bertawakkal, beristighatsah, bernadzar, menyembelih yang ditujukan kepada selain Allah, seperti menyembelih untuk jin atau untuk penghuni kubur, dengan keyakinan bahwa para sesembahan selain Allah itu dapat menolak bahaya atau dapat mendatangkan manfaat.

Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya...” [An-Nisaa': 48]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“... Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya adalah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maa-idah: 72]

2. Orang yang membuat perantara antara dirinya dengan Allah, yaitu dengan berdo’a, memohon syafa’at, serta bertawakkal kepada mereka.
Perbuatan-perbuatan tersebut termasuk amalan kekufuran menurut ijma’ (kesepakatan para ulama).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

“Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sekutu) selain Allah, maka tidaklah mereka memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula dapat memindahkannya.’ Yang mereka seru itu mencari sendiri jalan yang lebih dekat menuju Rabb-nya, dan mereka mengharapkan rahmat serta takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Rabb-mu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” [Al-Israa': 56-57][2]

3. Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan pendapat me-reka.
Yaitu orang yang tidak mengkafirkan orang-orang kafir -baik dari Yahudi, Nasrani maupun Majusi-, orang-orang musyrik, atau orang-orang mulhid (Atheis), atau selain itu dari berbagai macam kekufuran, atau ia meragukan kekufuran mereka, atau ia membenarkan pendapat mereka, maka ia telah kafir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...” [Ali ‘Imran: 19][3]

Termasuk juga seseorang yang memilih kepercayaan selain Islam, seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Komunis, sekularisme, Masuni, Ba’ats atau keyakinan (kepercayaan) lainnya yang jelas kufur, maka ia telah kafir.

Juga firman-Nya:

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]

Hal ini dikarenakan Allah Ta’ala telah mengkafirkan mereka, namun ia menyelisihi Allah dan Rasul-Nya, ia tidak mau mengkafirkan mereka, atau meragukan kekufuran mereka, atau ia membenarkan pendapat mereka, sedangkan kekufuran mereka itu telah menentang Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” [Al-Bayyinah: 6]

Yang dimaksud Ahlul Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan kaum musyrikin adalah orang-orang yang menyembah ilah yang lain bersama Allah.[4]

4. Meyakini adanya petunjuk yang lebih sempurna dari Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Orang yang meyakini bahwa ada petunjuk lain yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau orang meyakini bahwa ada hukum lain yang lebih baik daripada hukum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti orang-orang yang lebih memilih hukum-hukum Thaghut daripada hukum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia telah kafir.

Termasuk juga di dalamnya adalah orang-orang yang meyakini bahwa peraturan dan undang-undang yang dibuat manusia lebih afdhal (utama) daripada sya’riat Islam, atau orang meyakini bahwa hukum Islam tidak relevan (sesuai) lagi untuk diterapkan di zaman sekarang ini, atau orang meyakini bahwa Islam sebagai sebab ketertinggalan ummat. Termasuk juga orang-orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum rajam bagi orang yang (sudah menikah lalu) berzina sudah tidak sesuai lagi di zaman sekarang.

Juga orang-orang yang menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam berdasarkan dalil-dalil syar’i yang telah tetap, seperti zina, riba, meminum khamr, dan berhukum dengan selain hukum Allah atau selain itu, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama.

Allah Ta’ala berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al-Maa-idah: 50]

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“... Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” [Al-Maa-idah: 44]

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 45]

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” [Al-Maa-idah: 47]

5. Tidak senang dan membenci hal-hal yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun ia melaksanakannya, maka ia telah kafir.
Yaitu orang yang marah, murka, atau benci terhadap apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun ia melakukannya, maka ia telah kafir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَّهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang di-turunkan Allah (Al-Qur-an), lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” [Muhammad: 8-9]

Juga firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَىٰ أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى ۙ الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَىٰ لَهُمْ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ ۖ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ 

“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (murtad) setelah jelas petunjuk bagi mereka, syaithan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): ‘Kami akan mematuhimu dalam beberapa urusan,’ sedangkan Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila Malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka dan punggung mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” [Muhammad: 25-28]

6. Menghina Islam
Yaitu orang yang mengolok-olok (menghina) Allah dan Rasul-Nya, Al-Qur-an, agama Islam, Malaikat atau para ulama karena ilmu yang mereka miliki. Atau menghina salah satu syi’ar dari syi’ar-syi’ar Islam, seperti shalat, zakat, puasa, haji, thawaf di Ka’bah, wukuf di ‘Arafah atau menghina masjid, adzan, memelihara jenggot atau Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya, dan syi’ar-syi’ar agama Allah pada tempat-tempat yang disucikan dalam keyakinan Islam serta terdapat keberkahan padanya, maka dia telah kafir.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ 

“… Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” [At-Taubah: 65-66]

Dan firman Allah Ta’ala:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaithan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” [Al-An’aam: 68]

7. Melakukan Sihir
Yaitu melakukan praktek-praktek sihir, termasuk di dalamnya ash-sharfu dan al-‘athfu.
Ash-sharfu adalah perbuatan sihir yang dimaksudkan dengannya untuk merubah keadaan seseorang dari apa yang dicintainya, seperti memalingkan kecintaan seorang suami terhadap isterinya menjadi kebencian terhadapnya.

Adapun al-‘athfu adalah amalan sihir yang dimaksudkan untuk memacu dan mendorong seseorang dari apa yang tidak dicintainya sehingga ia mencintainya dengan cara-cara syaithan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ 

“...Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir...’” [Al-Baqarah: 102]

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ.

‘Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah (pelet) adalah perbuatan syirik.’” [5]

8. Memberikan pertolongan kepada orang kafir dan membantu mereka dalam rangka memerangi kaum Muslimin

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin bagimu; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 51][6]

Juga firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan sebagai pemimpin, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu dan dari orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertawakkallah kepada Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman.” [Al-Maa-idah: 57]

9. Meyakini bahwa manusia bebas keluar dari syari’at Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Yaitu orang yang mempunyai keyakinan bahwa sebagian manusia diberikan keleluasaan untuk keluar dari sya’riat (ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana Nabi Khidir dibolehkan keluar dari sya’riat Nabi Musa Alaihissallam, maka ia telah kafir.

Karena seorang Nabi diutus secara khusus kepada kaumnya, maka tidak wajib bagi seluruh menusia untuk mengikutinya. Adapun Nabi kita, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus kepada seluruh manusia secara kaffah (menyeluruh), maka tidak halal bagi manusia untuk menyelisihi dan keluar dari syari’at beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua...’” [Al-A’raaf: 158]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Saba’: 28]

Juga firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

“Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [Al-Anbiyaa': 107]

Allah Ta’ala berfirman:

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” [Ali ‘Imran: 83]

Dan dalam hadits disebutkan:

وَاللهِ، لَوْ أَنَّ مُوْسَى حَيًّا لَمَا وَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِيْ.

“Demi Allah, jika seandainya Musa  hidup di tengah-tengah kalian, niscaya tidak ada keleluasaan baginya kecuali ia wajib mengikuti syari’atku.”[7]

10. Berpaling dari agama Allah Ta’ala, ia tidak mempelajarinya dan tidak beramal dengannya.
Yang dimaksud dari berpaling yang termasuk pembatal dari pembatal-pembatal keislaman adalah berpaling dari mempelajari pokok agama yang seseorang dapat dikatakan Muslim dengannya, meskipun ia jahil (bodoh) terhadap perkara-perkara agama yang sifatnya terperinci. Karena ilmu terhadap agama secara terperinci terkadang tidak ada yang sanggup melaksanakannya kecuali para ulama dan para penuntut ilmu.

Firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنذِرُوا مُعْرِضُونَ

“... Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.” [Al-Ahqaaf: 3]

Firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا ۚ إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ

“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabb-nya, kemudian ia berpaling daripadanya. Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” [As-Sajdah: 22]

Firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” [Thaahaa: 124]

Yang mulia ‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alusy Syaikh ketika memulai Syarah Nawaaqidhil Islaam, beliau berkata: “Setiap Muslim harus mengetahui bahwa membicarakan pembatal-pembatal keislaman dan hal-hal yang menyebabkan kufur dan kesesatan termasuk dari perkara-perkara yang besar dan penting yang harus dijalani sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Tidak boleh berbicara tentang takfir dengan mengikuti hawa nafsu dan syahwat, karena bahayanya yang sangat besar. Sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh dikafirkan dan dihukumi sebagai kafir kecuali sesudah ditegakkan dalil syar’i dari Al-Qur-an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebab jika tidak demikian orang akan mudah mengkafirkan manusia, fulan dan fulan, dan menghukuminya dengan kafir atau fasiq dengan mengikuti hawa nafsu dan apa yang diinginkan oleh hatinya. Sesungguhnya yang demikian termasuk perkara yang diharamkan.

Allah berfirman:

فَضْلًا مِّنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Al-Hujuraat: 8]

Maka, wajib bagi setiap Muslim untuk berhati-hati, tidak boleh melafazhkan ucapan atau menuduh seseorang dengan kafir atau fasiq kecuali apa yang telah ada dalilnya dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Sesungguhnya perkara takfir (menghukumi seseorang sebagai kafir) dan tafsiq (menghukumi seseorang sebagai fasiq) telah banyak membuat orang tergelincir dan mengikuti pemahaman yang sesat. Sesungguhnya ada sebagian hamba Allah yang dengan mudahnya mengkafirkan kaum Muslimin hanya dengan suatu perbuatan dosa yang mereka lakukan atau kesalahan yang mereka terjatuh padanya, maka pemahaman takfir ini telah membuat mereka sesat dan keluar dari jalan yang lurus.” [8]

Imam asy-Syaukani (Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani, hidup tahun 1173-1250 H) rahimahullah berkata: “Menghukumi seorang Muslim keluar dari agama Islam dan masuk dalam kekufuran tidak layak dilakukan oleh seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, melainkan dengan bukti dan keterangan yang sangat jelas -lebih jelas daripada terangnya sinar matahari di siang hari-. Karena sesungguhnya telah ada hadits-hadits yang shahih yang diriwayatkan dari beberapa Sahabat, bahwa apabila seseorang berkata kepada saudaranya: ‘Wahai kafir,’ maka (ucapan itu) akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Dan pada lafazh lain dalam Shahiihul Bukhari dan Shahiih Muslim dan selain keduanya disebutkan, ‘Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekufuran, atau berkata musuh Allah padahal ia tidak demikian maka akan kembali kepadanya.’

Hadits-hadits tersebut menunjukkan tentang besarnya ancaman dan nasihat yang besar, agar kita tidak terburu-buru dalam masalah kafir mengkafirkan.” [9]

Pembatal-pembatal keislaman yang disebutkan di atas adalah hukum yang bersifat umum. Maka, tidak diperbolehkan bagi seseorang tergesa-gesa dalam menetapkan bahwa orang yang melakukannya langsung keluar dari Islam. Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya pengkafiran secara umum sama dengan ancaman secara umum. Wajib bagi kita untuk berpegang kepada kemutlakan dan keumumannya. Adapun hukum kepada orang tertentu bahwa ia kafir atau dia masuk Neraka, maka harus diketahui dalil yang jelas atas orang tersebut, karena dalam menghukumi seseorang harus terpenuhi dahulu syarat-syaratnya serta tidak adanya penghalang.” [10]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Syarat-syarat seseorang dapat dihukumi sebagai kafir adalah:
1. Mengetahui (dengan jelas),
2. Dilakukan dengan sengaja, dan
3. Tidak ada paksaan.

Sedangkan intifaa-ul mawaani’ (penghalang-penghalang yang menjadikan seseorang dihukumi kafir ) yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas: (1) Tidak mengetahui, (2) tidak disengaja, dan (3) karena dipaksa. [11]

_______
[1]. Pembahasan ini dinukil dari Silsilah Syarhil Rasaa-il lil Imaam al-Mujaddid Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab v (hal. 209-238) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, cet. I, th. 1424 H; Majmuu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah lisy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin ‘Abdirrahman bin Baaz v (I/130-132) dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’d asy-Syuwai’ir, cet. I/ Darul Qasim, th. 1420 H; al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid (hal. 45-53) oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bin ‘Ali al-Yamani al-Washabi al-‘Abdali, cet. VII/ Maktabah al-Irsyad Shan’a, th. 1422 H; dan at-Tanbiihatul Mukhtasharah Syarhil Waajibaat al-Mutahattimaat al-Ma’rifah ‘alaa Kulli Muslim wa Muslimah (hal. 63-82) oleh Ibrahim bin asy-Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khurasyi, cet. I/ Daar ash-Shuma’i, th. 1417 H.

[2]. Lihat juga QS. Saba’: 22-23 dan az-Zumar: 3.
[3]. Lihat juga QS. Al-Baqarah: 217, al-Maa-idah: 54, Muhammad: 25-30,
[4]. Lihat QS. Al-Maa-idah: 17, al-Maa-dah: 54, al-Maa-idah: 72-73, an-Nisaa': 140, al-Baqarah: 217, Muhammad: 25-30,
[5]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3883) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (no. 1632) dan Silsilah ash-Shohiihah (no. 331). Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim (IV/217), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad (I/381), ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir (X/262), Ibnu Hibban (XIII/456) dan al-Baihaqi (IX/350).
[6]. Lihat QS. Ali ‘Imran: 100-101 dan QS. Mumtahanah: 13.
[7]. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa’ (VI/34, no. 1589) dan ia menyebutkan delapan jalan dari hadits tersebut. Dan jalan ini telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsiirnya pada ayat 81 dan 82 dari surat Ali ‘Imran.
[8]. Dinukil dari at-Tabshiir bi Qawaa-idit Takfiir (hal. 42-44) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi.
[9]. Sailul Jarraar al-Mutadaffiq ‘alaa Hadaa-iqil Az-haar (IV/578).
[10]. Majmuu’ Fataawaa (XII/498) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[11]. Lihat Majmuu’ Fataawaa (XII/498), Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr al-‘Ilmiy-yah fii Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 28-35, cet. II, th. 1424 H) dan at-Tab-shiir bi Qawaa-idit Takfiir (hal. 42-44).