Blogger templates

Apa yang mereka dendamkan terhdap negeri al Haramain

Oleh
Syaikh Muhammad Musa Al-Nasr

Banyak sekali orang yang dengki dan dendam dengan biladul haramain (negeri dua tanah suci) Kerajaan Arab Saudi. Mereka mencela dan menghujatnya dikarenakan pemerintah yang menjalankan negeri ini adalah suatu kaum yang mereka sebut dengan nama ”Wahhabi”. Tentu saja mereka merasa dendam, dengki dan marah kepada Wahhabi, karena mereka tidak bisa tenang melaksanakan kesesatan dan kebid’ahannya apabila dakwah wahabiyah ini masih ada. Untuk menciptakan tanfir (larinya manusia kepada kebenaran), mereka membuat istilah-istilah bid’ah, menyematkan istilah Wahhabi kepada siapa saja yang menyerukan tauhid murni, tidak hanya sampai di sana, mereka fitnah dan buat kedustaan atas negeri ini. Di lain fihak, atas ulah sebagian oknum yang terdidik dengan jiwa terorisme dan khowarij, mereka mengaku-ngaku sebagai pengikut dakwah Syaikhul islam Muhammad bin ’Abdul Wahhab, namun mereka melakukan takfir, irhab, tafjir dan tadmir di negara-negara muslim atapun negeri kafir. Sehingga akhirnya biladul haramain pun dicap sebagai negerinya sarang teroris. (Abu Salma)

Syaikh Musa Nashr hafizhahullahu berkata :

Allah telah menjadikan negeri Makkah dan Madinah sebagai tempat yang aman hingga hari kiamat, semenjak Allah memerintahkan kepada kekasih-Nya nabi Ibrahim agar mengumumkan kepada manusia untuk menunaikan ibadah haji, mereka datang ke Baitul Haram (Ka’bah) dari segala penjuru negeri ; sebagaimana Allah berfirman.

“Artinya : Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka”‌ [Al-Haj : 27]

Dan Allah berfirman sembari memberi nikmat kepada penduduk negeri Haramain.

“Artinya : Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah Haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan)”‌ [Al-Qashas : 57]

Demikianlah firman-Nya.

“Artinya : Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”‌ [Al-Quraisy : 3-4]

Pelajaran dalan ayat itu diambil dari keumuman lafadh, (dan) bukan dari kekhususan sebab, walaupun sebagian ayat ini turun pada kaum musrikin Makkah, hanya saja ayat ini mencakup kepada penduduk Makkah hingga hari kiamat. Demikianlah Allah berkehendak untuk rumah-Nya agar senantiasa menjadi tempat dengan kedamaian dan keamanan, agar orang yang berhaji, berumrah dan orang yang berkunjung datang ke negeri itu dengan tanpa merasa takut dan gelisan.

Akan tetapi (kaum Khawarij modern) para da’i dan penyeru peledakan tidak ingin suasana seperti itu terjadi, tetapi yang mereka inginkan adalah kegoncangan keamanan negeri Al-Haramain. Mereka melanggar ayat-ayat dan hadits-hadits yang memperingatkan akan larangan mengganggu kaum muslimin, menakut-nakuti dan membunuh mereka ! Maka bagaimanakah jika hal itu (yaitu mengganggu, menakut-nakuti dan membunuh kaum muslimin) terjadi di bumi yang paling suci dan paling mulia di muka bumi ini, yaitu negeri Makkah yang aman dan daerah sekitarnya ?!

Allah berfirman.

“Artinya : Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih”‌ [Al-Haj : 25]

Sesungguhnya hanya sekedar berniat melakukan kejahatan di Makkah adalah sebuah kejahatan dan dosa yang besar, maka bagaimanakah dengan mereka yang menumpahkan darah yang haram di negeri Al-Haram ?

Bagaimanakah halnya orang yang meletakkan dan menaruh senjata dan bahan peledak dalam tumpukan mushaf Al-Qur’an, dan menyangka bahwasanya hal ini adalah jihad dan pengorbanan ?

Sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu, yang berusaha membuat kerusakana di negeri Al-Haramain (Saudi Arabia) dan negeri Islam lainnya, pada hakikatnya mereka itu adalah orang-orang yang berkhidmat (pada) musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Nashara serta seluruh musuh-musuh Islam, karena musuh-musuh Islam itu bergembira dan menabuh genderang bahkan menari-nari ketika gangguan menimpa negeri Islam, khususnya negeri Islam, yang memelihara dan menjaga Makkah dan Madinah, negara yang menyebarkan aqidah Tauhid di negeri Arab dan selain negeri Arab.

Maka kenapa penyerangan yang keji ini dilakukan dari dalam dan dari luar, atas negeri Al-Haramain ? Karena Saudi Arabia adalah benteng terakhir bagi Islam, dan karena dinegeri itu pula ditegakkan syariat Allah diatas asas Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, dan karena di negeri itu disebarkan tauhid disegenap penjuru bumi. Maka (negeri ini) harus diperangi serta dilemahkan, dan disibukkan dengan fitnah-fitnah !! (negeri itu) harus digoncangkan keamanannya, karena kegoncangan kepercayaan pada negeri itu dan menampakkannya dalam keadaan lemah dari menjaga tempat-tempat yang suci, benar-benar akan mencegah para jama’ah haji dan pengunjung serta orang yang berumrah untuk mendatanginya. Maka lemahlah perekonomiannya, dan tersibukkan negeri Saudi Arabia dari kewajibannya yang suci yaitu melayani dua tempat suci (Makkah dan Madinah) melayani Islam dan kaum muslimin.

Kemudian mereka yang menuduh negeri itu dengan kedzaliman dan kedustaan, (bahwa negeri Saudi Arabia ) membina teroris, diri merekalah yang bergembira dengan perbuatan orang-orang bodoh pembunuh dari kalangan kaum Khawarij masa kini, maka lihatlah bagaimana mereka (orang kafir yang menuduh negeri Saudi Arabia membina teroris dan kaum Khawarij yang meledakkan Al-Haramain) bertemu dalam satu sasaran dan satu tujuan, walaupun tanpa sengaja ?!

Dan Maha benar Allah dimana Dia berfirman.

“Artinya : Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”‌. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”‌ [Al-Baqarah : 120]

Musuh-musuh Islam di timur dan barat tidak meridhai kecuali umat ini meninggalkan agamanya sebagaimana terkelupasnya ular dari kulitnya, baik pemerintah ataupun rakyatnya, dan (mereka menginginkan) umat Islam menyerupai negeri barat baik itu akidahnya, peradabannya, kebudayaannya dan akhlaknya.

Dan hal ini (umat Islam meninggalkan agamanya) “dengan izin Allah- tidak akan terjadi selama pada kita terdapat Kitabullah dan Sunnah nabiNya, dan selama pada kita terdapat ulama rabbani yang menyuruh berbuat baik dan melarang dari kemungkaran, berjihad dengan lisan mereka, jari-jemari mereka dan keterangan mereka, mereka benamkan setiap fitnah Khawarij dan ahli bid’ah yang sesat, dan mereka memperingatkan dari persengkokolan musuh-musuh Islam, menasehati para penguasa kaum muslimin dengan cara yang baik dan cara yang paling lurus, dengan kelembutan dan hikmah, agar mereka dapat membantu para penguasa melawan syaitan dan mereka tidak membantu syaitan melawan penguasa kaum muslimin, mereka (para ulama itu) akan mendo’akan penguasa kaum muslimin dengan kebaikan, dan tidak mendoakan penguasa dengan kejelekan dan kebinasaan.

Semoga Allah menjaga negeri Al-Haramain khususnya dan negeri-negeri Islam secara umum dari segala rencana-rencana jahat yang dilakukan oleh musuh-musuh kita yang nampak atau dari kalangan kaum muslimin yang bersembunyi dibelakang Islam ““mereka menyangkanya- dan Allah benci dan berlepas diri dari mereka dan amal perbuatan mereka, dan Allah-lah meliputi mereka semuanya tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia dan tiada Rabb selain Dia.

[Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi No. 08/Th. II/1424H, 21-22. dari http ://www.m-alnaser.com]

Nasehat bagi Kaum Muslimin

Segala puji hanya milik Allah ta’ala yang menjadikan kebaikan di dalam sesuatu yang tidak disukai jiwa….. Segala sanjungan hanya pantas ditujukan kepada Allah yang telah mengajarkan ilmu kepahaman akan dien di balik perjuangan… Bagi-Nyalah pujian di awal dan di akhir atas karunia kenikmatan iman di balik penderitaan di jalan-Nya…

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada penghulu muwahhidien, pengajar kebaikan dan Rasul panutan yang menjadi uswah hasanah di dalam memikul beban dakwah tauhid, keluarganya, para sahabatnya serta orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat…. Wa ba’du:

Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Keselamatan hidup kita, dunia dan akhirat, hanya akan diperoleh dengan cara kita tunduk dan patuh kepada keduanya (baca kembali “ Majalah Fatawa” edisi ke-2). Namun kenyataan di lapangan menunjukan bahwa kaum muslimin terpecah-belah dalam berbagai pemahaman. Semua mengklaim dirinyalah yang berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Masing-masing mengaku paling benar dan menyalahkan orang lain yang menyelisihinya. Pertanyaan kita adalah siapakah yang paling benar dan paling tepat dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga kita tidak boleh meyelisihi mereka? Jawabannya adalah para sahabat Nabi. Para sahabat itulah orang-orang yang paling paham tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah karena mereka hidup di zaman turunnya kedua wahyu tersebut kepada Nabi. Maka wajib bagi kita mengikuti petunjuk dan bimbingan mereka.

Dalil-Dalil Bahwa Pemahaman Salaf Wajib Menjadi Rujukan
(lihat Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafi hal. 86-98, dengan perubahan).

Beberapa dalil di bawah ini menunjukkan bahwa pemahaman salaf wajib menjadi rujukan umat Islam dalam memahami agamanya.

1. Allah berfirman,

“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka (dalam melaksanakan) kebaikan, Allah ridha kepada mereka; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 100)

Dalam ayat di atas Allah memuji generasi Salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka. Maka, dari sini dapat diketahui bahwa bila Salaf mengemukakan suatu pendapat kemudian diikuti oleh orang-orang pada generasi berikutnya, maka mereka menjadi orang-orang yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhaan dari Allah sebagaimana yang didapatkan oleh generasi Salaf. Kalaulah mengikuti jejak Salaf tidak berbeda dengan mengikuti jejak selainnya, niscaya mereka tidak pantas untuk dipuji dan diridhai; dan hal seperti itu jelas bertentangan dengan ayat di atas. Dengan demikian, berdasarkan ayat di atas telah jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.

2. Allah berfirman,

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; menyuruh kepada yang ma‘ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Namun, di antara mereka ternyata ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110)

Dalam ayat ini Allah menetapkan adanya keutamaan generasi Salaf dibanding keseluruhan umat karena pernyataan dalam ayat tersebut tertuju kepada kaum muslimin, yang waktu itu tiada lain adalah para sahabat, generasi salaf pertama yang mendulang ilmu langsung dari Rasulullah tanpa perantara. Adanya pemberian gelar kepada mereka sebagai umat terbaik menunjukkan bahwa mereka itu senantiasa istiqamah dalam segala hal, sehingga tidak akan menyimpang dari kebenaran. Allah juga menjelaskan sifat mereka sebagai bukti kelurusan jalan hidup mereka, yaitu bahwa mereka selalu memerintahkan kepada yang ma‘ruf dan melarang seluruh yang mungkar. Berdasarkan ayat di atas, juga jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi hujjah dan rujukan bagi generasi sesudah mereka sampai Hari Kiamat.

3. Rasulullah bersabda,

“Sebaik–baik manusia adalah generasiku; kemudian generasi sesudahnya; kemudian generasi sesudahnya lagi. Selanjutnya akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang di antara mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (Hadits mutawatir, di antaranya dengan lafal di atas yang diriwayatkan oleh Bukhari no. 2509, 3451, dan 6065, Muslim no. 1533, dan lainnya)

Apakah yang menjadi ukuran kebaikan pada diri mereka (tiga generasi Salaf) dalam hadits Rasulullah tersebut adalah warna kulit, bentuk tubuh, harta, atau yang sejenisnya? Jelas bukan! Dan tidak diragukan lagi bahwa ukuran kebaikan yang dimaksud tidak lain adalah ketakwaan hati dan amal saleh. Mengenai hal ini Allah berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian menurut pandangan Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan melihat rupa dan harta kekayaan kalian. Allah hanya akan melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim no. 2564)

Salah seorang sahabat Nabi, Ibnu Mas‘ud, menceritakan bahwa Allah telah menjelaskan kepada umat ini bahwa hati para sahabat adalah sebaik-baik hati setelah hati Nabi Muhammad. Allah menganugerahkan kepada mereka pemahaman yang tidak akan pernah dicapai oleh generasi berikutnya. Sehingga, apa-apa yang mereka nilai baik, maka akan baik menurut Allah dan apa-apa yang mereka nilai buruk, juga menjadi buruk menurut Allah. (Lihat Musnad Ahmad I/379)

Jadi jelaslah, pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya sampai Hari Akhir nanti.

4. Allah berfirman,

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)

Kata wasath pada ayat di atas artinya adil dan pilihan. Sebagaimana halnya kandungan ayat pada poin dua, walaupun sifat yang terkandung dalam ayat di atas adalah kaum muslimin secara umum, namun generasi Salaf masuk dalam barisan pertama yang mendapatkan gelaran sifat tersebut. Mereka adalah manusia yang paling adil dan pilihan. Mereka adalah generasi utama dalam umat ini. Mereka paling adil dalam berbuat, dalam berkata-kata, dan dalam berkehendak. Memang sangat pantaslah mereka dijadikan saksi atas seluruh umat. Persaksian mereka akan diterima di hadapan Allah karena persaksian mereka berdasarkan ilmu dan kejujuran. Mengenai hal ini Allah berfirman,

“Dan sembahan-sembahan selain Allah yang mereka sembah itu tidak dapat memberi pembelaan. (Orang yang dapat memberi pembelaan adalah) tidak lain orang yang bersaksi dengan benar (yaitu orang yang bertauhid) dan meyakini(nya).” (QS. Az-Zukhruf: 86)

Jika persaksian mereka diterima di hadapan Allah, tentu tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya. Memang umat Islam telah bersepakat bahwa tidak ada generasi yang berpredikat adil secara mutlak kecuali para sahabat. Sehingga, berita mereka pasti diterima dan tidak perlu diteliti lagi kebenarannya. Dari situ jelaslah, bahwa pemahaman mereka menjadi rujukan bagi yang lainnya dalam memahami nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak dan jalan hidup mereka.

5. Allah berfirman,

“… dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (QS. Luqman: 15)

Para sahabat adalah orang-orang yang senantiasa kembali kepada Allah, sehingga Allah memberikan bimbingan kepada mereka bagaimana berkata dan beramal yang baik. Mengenai hal ini Allah berfirman,

“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan mau kembali kepada Allah, mereka mendapatkan kabar gembira; oleh sebab itu, sampaikanlah kabar tersebut kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan-perkataan lalu mengikuti mana yang paling baik di antara perkataan tersebut. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang- orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zummar: 17-18)

Orang yang menelaah perjalanan hidup para sahabat pasti akan mengetahui bahwa seluruh sifat yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut dimiliki oleh mereka. Jadi, memang sudah seharusnyalah kita mengikuti jejak mereka dalam memahami agama Allah ini, baik dalam memahami Kitab-Nya maupun Sunnah Nabi-Nya. Allah mengancam orang yang tidak mau mengikuti jalan mereka dengan api neraka, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

“Barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan tidak mengikuti jalan orang-orang beriman, maka Kami biarkan dia dikuasai oleh kesesatan dan akan Kami masukkan ke dalam neraka Jahannam. Padahal neraka Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)

Dalam ayat tersebut, Allah mengancam orang yang tidak mengikuti jalan orang-orang beriman. Yaitu, jalan para sahabat -sebagai generasi pertama yang dimaksudkan dalam ayat tersebut- dan generasi sesudahnya. Ini menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka dalam memahami syariat Allah adalah wajib. Barangsiapa berpaling dari jalan mereka, maka dia akan menuai kesesatan dan diancam dengan neraka Jahanam. Tidak ada jalan lain yang harus kita tempuh selain jalan kaum mukminin, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

“Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya. Tidak ada yang lain setelah kebenaran itu, kecuali kesesatan. Maka, mengapa kamu mau dipalingkan (dari kebenaran).” (QS. Yunus: 32)

Siapapun yang tidak mengikuti jalan orang-orang beriman pasti dia mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Siapa saja yang mau mengikuti jalan orang-orang beriman -jalannya para sahabat - jelas akan mendapatkan keselamatan. Jelaslah, pemahaman para sahabat -sebagai generasi salaf pertama- dalam memahami agama adalah menjadi rujukan bagi kita semuanya. Barangsiapa berpaling darinya, maka sesungguhnya dia telah memilih kebengkokan dan kesempitan. Cukuplah neraka Jahannam sebagai balasan baginya; padahal Jahannam itu sejelek-jelek tempat kembali dan tempat tinggal.

6. Rasulullah pernah bersabda dalam hadits yang menyebutkan tentang perpecahan umat. Dalam hadits tersebut beliau memerintahkan kepada kita agar memegang teguh sunnah beliau dan sunnah Khulafa’ Rasyidin. Beliau bersabda,

“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada perikehidipanku dan perikehidupan Khulafa’ Rasyidin sepeninggalku.”

Beliau menyatakan bahwa dari sekian banyak kelompok Islam hanya ada satu yang selamat dan menjadi ahli surga, yaitu mereka yang menempuh perikehidupan sesuai dengan bimbingan Rasulullah dan para sahabatnya. Hal ini beliau tegaskan dalam sabdanya,

“Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja yaitu golongan yang pada saat itu mengikuti peri kehidupanku dan peri kehidupan para sahabatku.”

Berdasarkan riwayat-riwayat di atas kita mengetahui bahwa perikehidupan seluruh sahabat adalah perikehidupan Khulafa’ Rasyidin dan perikehidupan Rasulullah. Jadi jelaslah, pemahaman sahabat -sebagai generasi salaf pertama- menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.

Para Salafi Pengikut Jalan Hidup Rasulullah dan Para Sahabatnya

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas jelaslah bahwa mengikuti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat adalah satu-satunya jalan keluar dan pilihan yang tepat. Lalu, siapakah di antara sekian banyak kelompok dalam Islam yang jalan hidupnya mengikuti Rasulullah dan para sahabat? Jawabannya tidak lain adalah para salafi.

Jawaban tersebut disimpulkan dari dua hal berikut:

Pertama, paham-paham sesat seperti Khawarij, Rafidhah (Syi‘ah), Murji‘ah, Jahmiyah, Qadariyah, Mu‘tazilah, dan lain-lain muncul setelah masa kenabian dan masa Khulafa’ Rasyidin. Paham-paham sesat seperti itu bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan jalan hidup Rasulullah dan para sahabat. Bukankah tidak mungkin kita mengatakan bahwa jalan hidup para sahabat sama dengan jalan hidup mereka? Jelas tidak mungkin. Dengan demikian jelaslah bahwa yang benar dan perlu kita ikuti jalan hidupnya bukanlah kelompok-kelompok sesat di atas. Kalau bukan mereka itu, siapa? Jelas, para salafi, yaitu orang-orang yang selalu berpegang erat dengan jalan hidup Rasulullah dan para sahabat.

Kedua, tidak kita dapati kelompok-kelompok dalam Islam yang mempunyai jalan hidup seperti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat kecuali Ahlus Sunnah. Ahlus Sunnah ini tidak lain adalah para salafi. Mengapa? Perlu diketahui, bahwa kelompok-kelompok sesat tersebut sebagian dari mereka meragukan keadilan sikap sahabat; sebagian yang lain bahkan mengkafirkan sahabat; sebagian yang lainnya lagi lebih mendewakan akal daripada harus kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Bagaimana mungkin kelompok-kelompok itu mau mengikuti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat, sementara jalan hidup mereka seperti itu? Wallahu a‘lam bish shawab.

Koreksi Buku “Siapa Teroris? Siapa Khowarij?” 1

BUKAN PEMBELAAN TEHADAP BA’ABDUH, NAMUN PEMBELAAN TERHADAP SALAFIYAH

(Koreksi Singkat Buku “Siapa Teroris? Siapa Khowarij?” Karya Abduh Zulfidar Akaha, Lc.)

(Bagian 1)

Oleh :
Abu Salma at-Tirnatiy



Pendahuluan

بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونستهديه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا ،من يهده الله فهو المهتد ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمد عبده ورسوله ،بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح الأمة وتركنا على البيضاء، ليلها كنهارها لا يزيغ عنها إلا هالك ،أما بعد:

Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Alloh yang kita senatiasa memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, memohon ampunan dari-Nya dan memohon petunjuk-Nya serta kita senantiasa memohon perlindungan kepada Alloh dari keburukan jiwa-jiwa kita dan kejelekan amal-amal kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh maka dia telah mendapatkan petunjuk dan barangsiapa yang dibiarkannya tersesat maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Alloh semata yang tiada memiliki sekutu dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, yang menyampaikan risalah-Nya, mengemban amanah dan menasehati ummat-Nya. Beliau tinggalkan kita dalam keadaan terang benderang, malamnya bagaikan siangnya dan tidak ada seorangpun yang menyeleweng darinya melainkan ia pasti binasa. Amma Ba’du :


قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي الله ورسوله فهجرته الي الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلي ما هاجر إليه )) .

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya dan pada tiap orang itu akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Alloh dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Alloh dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk memperoleh dunia atau menikahi wanita, maka hijrahnya adalah kepada apa yang ia niatkan hijrahnya untuknya.” (Muttafaq ‘alaihi)
Dari Sufyan ats-Tsauri beliau berkata :

ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي لأنها تتقلب علي
“Aku tidak pernah mengurus sesuatu yang lebih berat daripada niatku, karena ia selalu berubah-ubah.”(1)
Dari Muthorif bin ‘Abdillah beliau berkata :

صلاح القلب بصلاح العمل وصلاح العمل صلاح النية
“Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan dan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat.”(2)
Dari Abdullah bin Mubarok beliau berkata :

رب عمل صغير تعظمه النية ورب عمل كبير تصغره النية
“Banyak perbuatan kecil menjadi besar karena niat, dan banyak perbuatan besar menjadi kecil juga karena niat.”(3)
Ya Alloh, luruskanlah niatku dan jadikanlah seluruh amalku hanyalah untuk-Mu…

Buku “Siapa Teroris Siapa Khowarij” (berikutnya disingkat STSK) karya al-Ustadz Abduh Zulfidar Akaha (berikutnya disingkat Abduh ZA) wafaqohullahu wa iyaya adalah buku yang saat ini sedang “naik daun” alias ngetrend di kalangan para aktivis dakwah. Tak ketinggalan beberapa bedah buku dilaksanakan secara berkali-kali mulai dari jawa hingga sumatera. Tampak adanya tanda-tanda bahwa buku ini akan menjadi best seller (wallohu a’lam). Buku ini ditulis sebagai respon atas buku “Mereka Adalah Teroris” karya al-Ustadz Luqman Ba’abduh.
Setelah membaca buku ini, saya melihat adanya beberapa hal yang perlu dikoreksi dan dikritisi, apalagi ada beberapa hal yang dapat meng’kabur’kan dakwah salafiyah. Walau di tengah kesibukan yang tengah melanda, saya berusaha untuk meluangkan waktu sedikit demi sedikit untuk memberikan catatan ringan sebagai koreksi terhadap buku ini. Memang, mungkin isi risalah ini bisa dikatakan

لاَ يُسْمِنُ وَلاََ يُغْنِيْ مِنْ جُوْع
(Tidaklah mengenyangkan dan tidak pula dapat menghilangkan dahaga)
Namun berangkat dari suatu kaidah di dalam ushul fiqh, dikatakan :

لاَ يُدْرَكُ كُلُّهُ لاِ يُتْرَكُ جُلُّهُ
(Sesuatu yang tidak dapat diperoleh seluruhnya tidaklah ditinggalkan sebagiannya).

Sebenarnya, niat saya ini sempat terhenti setelah mendengar dua orang saudara senior saya sekaligus ustadz yang tengah menuntut ilmu di Islamic University of Madinah tengah menulis bantahan terhadap al-Ustadz Abduh (juga al-Ustadz Ba’abduh). Mengingat mereka lebih memiliki kapabilitas dan jauh lebih mumpumi dari saya, maka saya tunda dulu niat saya untuk menggoreskan beberapa catatan ringkas terhadap buku STSK ini.
Setelah membaca tulisan ilmiah kedua ustadz yang dimuat di website muslim.or.id ini, ada beberapa hal yang belum tersentuh. Karena keduanya menuliskan suatu risalah yang sangat umum dan memaparkan kaidah-kaidah penting sebagai pijakan dan frame dalam diskusi berikutnya. Oleh karena itu, saya luangkan sedikit waktu saya untuk turut memberikan koreksi dan kritik, terutama bagi diri saya sendiri, bagi al-Ustadz Abduh ZA dan bagi seluruh kaum muslimin.
Judul risalah ini, yaitu Laa Difa’an ‘an Ba’abduh bal Difa’an ‘anis Salafiyyah merupakan modifikasi dari buku Laa Difa’an ‘anil Albaani fahasbi bal Difa’an ‘anis Salafiyyah karya Fadhilatus Syaikh ‘Amru ‘Abdul Mun’im Salim yang membantah Hasan Ali as-Saqqof ghofarollahu lahu. Sengaja saya memilih judul di atas, untuk menunjukkan bahwa saya sedang tidak membela al-Ustadz Ba’abduh sebagai seorang individu yang terkadang bisa salah dan bisa benar, namun saya berupaya untuk membela dakwah dan manhaj salaf secara umum –insya Alloh wa biidznillah-.
Semoga Alloh menjadikan apa yang saya lakukan ini dapat bermanfaat bagi diri saya dan kaum muslimin dan menjadikan apa yang saya lakukan ini adalah dalam rangka mencari wajah Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

كيف ينجيني عملي وأنا بين حسنة وسيئة فسيئاتي لاحسنة فيها وحسناتي مخلوطة بالسيئات وأنت لا تقبل إلا الإخلاص من العمل فما بقي بعد هذا إلا جودك.
“Bagaimana mungkin aku diselamatkan oleh amal perbuatanku sedangkan aku berada di antara kebaikan dan kejelekan? Perbuatan jelekku tiada kebaikan padanya sedangkan perbuatan baikku tercemar oleh kejelekan dan Engkau (Ya Alloh) tidaklah menerima kecuali amal yang murni yang hanya dipersembahkan untuk-Mu. Tiada harapan setelah ini melainkan hanyalah kemurahan-Mu.” (4)

Catatan 1 : Pengantar Penulis

Al-Ustadz Abduh ZA berkata : “Jauh sebelum kami menulis buku ini, sudah ada aktivis dakwah di tanah air yang lebih dulu melakukan hal yang kurang lebih sama dengan apa yang kami lakukan… diantara mereka, yaitu Ustadz Fauzan al-Anshori dengan tulisannya yang berjudul “Salafiyyun dalam sorotan, Benarkah gerakan salafiyyah paling ahlussunnah?”… dst.” (hal. xv-xvi)

Tanggapan :
Hanya sebagai informasi belaka, bahwa apa yang ditulis oleh para pendahulu Ustadz Abduh ZA sesungguhnya telah dijawab oleh beberapa penuntut ilmu, maka ada baiknya pula apabila Anda juga merujuk bantahan tulisan tersebut di atas. Diantaranya adalah :
1. “Menepis Tuduhan Membela Kebenaran” oleh Al-Ustadz Abu Abdirrahman bin Thayyib, Lc. (Staf pengajar Ma’had Ali Al-Irsyad dan Pimpinan Redaksi Majalah “Adz-Dzakhiirah”) sebagai bantahan atas Fauzan al-Anshori. Dimuat dua kali berturut-turut dalam Majalah adz-Dzakhiirah. (Artikel ini juga dapat dicopy di Maktabah saya, http://geocities.com/abu_amman)
2. Buku “Al-Ikhwanul Al-Muslimun” karya Farid Nu’man juga telah dijawab oleh saudara kami, Andi Abu Thalib dalam dua jilid bukunya yang tebal.
Oleh karena itu ada baiknya Anda turut merujuk kepada buku dan risalah bantahan di atas. Dan perlu diketahui juga, bantahan di atas juga merupakan reaksi atas tulisan orang-orang yang Anda sebutkan di atas. Apabila Anda mengklaim bahwa upaya Anda (dan orang-orang yang Anda sebutkan di atas) hanya merupakan reaksi belaka dan bukan dalam posisi memulai, maka para penuntut ilmu yang membantah buku dan risalah orang-orang yang Anda sebutkan di atas juga dalam posisi memberikan reaksi, bukan memulai.
Bicara masalah siapa yang memulai (beraksi) duluan, sehingga menimbulkan reaksi, insya Alloh akan saya bahas pada babnya mendatang.

Catatan 2 : Pengantar Penulis

Pada halaman xix dan seterusnya, Ustadz Abduh menukil ucapan para ulama tentang masalah tajassus (mencari-cari kesalahan) ulama dan tahdzir (warning/peringatan) atau tanfir (menyebabkan umat lari dari seorang ulama atau kelompok). Sang ustadz menukil ucapan Syaikh Ibnu Bazz, Syaikh Ibnu al-Utsaimin dan Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad tentang hal ini. Seakan-akan ada upaya penggiringan opini bahwa tahdzir itu hukumnya tidak boleh (terlarang) secara mutlak, dan ini adalah pendapat yang diperpegangi oleh para ulama yang disebutkan oleh sang ustadz.

Tanggapan :
Dalam hal ini, penukilan al-Ustadz saya khawatirkan termasuk bab كلمة الحق أريد بها باطل (Kalimat yang benar namun dikehendaki makna yang batil dengannya). Karena telah maklum, bagaimana sikap para masyaikh tersebut terhadap para tokoh yang memiliki penyimpangan dalam aqidah dan manhajnya. Seakan-akan al-Ustadz menafikan adanya tahdzir dan tasyhir, atau ada indikasi menyamakan antara tahdzir dengan menghujat atau mencela. Untuk itu sebelumnya, izinkan saya menukil beberapa kalimat dari para ulama di atas (yang dinukil oleh Ustadz Abduh) tentang sikapnya terhadap beberapa tokoh partai atau kelompok dan menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka dalam rangka tahdzir dan tanfir umat dari kesalahan-kesalahan mereka.

1. Kritikan dan Tahdzir Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu kepada Mukholif (penyeleweng).
Syaikh Ibnu Bazz rahimahullahu berkata tentang bolehnya mentahdzir dan mentasyhir suatu jama’ah atau kelompok yang menyeleweng dari sunnah, beliau rahimahullahu berkata :

(( فالواجب على علماء المسلمين توضيح الحقيقة ومناقشة كل جماعة أو جمعية ونصح الجميع بأن يسيروا في الخط الذي رسمه الله لعباده ودعا إليه نبينا محمد ، ومن تجاوز هذا واستمر في عناده لمصالح شخصية أو لمقاصد لا يعلمها إلا الله ، فإن الواجب التشهير به والتحذير منه ممن عرف الحقيقة ، حتى يتجنب الناس طريقهم وحتى لا يدخل معهم من لا يعرف حقيقة أمرهم فيضلوه ويصرفوه عن الطريق المستقيم الذي أمرنا الله باتباعه في قوله جل وعلا : { وأن هذا صراطي مستقيماً فاتبعوه ولاتتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله ذلك وصاكم به لعلكم تتقون } ))
“Maka wajib bagi para ulama kaum muslimin untuk menerangkan hakikat dan berdiskusi dengan seluruh jama’ah atau perhimpunan (organisasi), menasehati seluruhnya agar senantiasa menapaki jalan yang telah digariskan oleh Alloh dan diseru oleh Nabi kita Muhammad kepadanya. Barangsiapa yang menyeleweng darinya dan tetap bersikeras melanjutkan penyimpangannya hanya untuk kepentingan individu tertentu atau untuk suatu tujuan yang hanya Alloh saja yang tahu, maka wajib bagi yang mengetahui hakikatnya untuk mentasyhir (menerangkan kesalahan-kesalahan hingga jelas) dan mentahdzir darinya, sampai manusia menjauhi jalan mereka dan sampai tidak turut masuk pula orang-orang yang tidak mengetahui hakikat perkara mereka, sehingga mereka menjadi tersesat dan menyimpang dari jalan yang lurus yang diperintahkan oleh Alloh agar kita mengikutinya, sebagaimana dalam firman-Nya Jalla wa ‘Ala : Dan inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain sehingga memecahbelah kalian dari jalan yang lurus. Demikiankan Dia mewasiatkan kalian supaya kalian menjadi orang yang bertakwa.”(5)

1. Berikut ini adalah diantara bantahan-bantahan Syaikh Ibnu Bazz rahimahullahu kepada para mukhoolif (penyimpang) :
Makalah beliau yang berjudul “Ar-Roddu ‘ala Musthofa Amin” sebagai bantahan terhadap makalah Musthofa Amin yang berjudul “Atsar al-Madinah al-Munawwaroh” yang dimuat dalam Majalah “An-Nadwah” (edisi 24/06/1380).
Makalah beliau yang berjudul “Ar-Roddu ‘ala Sholih Muhammad Jamal” sebagai bantahan makalah Sholih Jamal yang berjudul “Atsar Islamiyyah” yang dimuat dalam Majalah “An-Nadwah” (edisi 24/05/1387).
Makalah beliau yang berjudul “Bayaanu Madzhab Ahlis Sunnah fil Istiwaa`” sebagai bantahan terhadap jawaban Syaikh Ahmad Mahmud Dahlub di dalam Majalah “Al-Balaagh” (no. 637) seputar masalah Istiwa`.
Makalah beliau yang berjudul “Ta’qiib wa Taudliih ‘ala Maqoolati ad-Daktur Muhyiddiin ash-Shoofi” sebagai bantahan atas makalah yang berjudul “Min ajli an Takuuna Aqwaa al-Ummah” yang dimuat di majalah “Syarqul Awsath” (no. 3383).
Makalah beliau yang berjudul “Tanbiihaat ‘ala Maa Katabahu Muhammad ‘Ali ash-Shoobuni fii Shifaatillahi Azza wa Jalla” sebagai bantahan terhadap Muhammad Ash-Shobuni dalam masalah Asma` wa Shifat.
Makalah beliau yang berjudul “Wujuubu ihfa`il Lihyah wa Tahriim hilqiha “ sebagai bantahan terhadap Muhammad ‘Ali ash-Shobuni.
Makalah beliau yang berjudul “Iidhohul Haqq fi Dukhuulil Jinni fil Insi” sebagai bantahan terhadap Syaikh ‘Ali ath-Thonthowi.
Makalah beliau yang berjudul “Al-Qoul biibahaati an-Nasl mukhoolifiu lisy Syari’ati wal Fithroti wa Mashoolihul Ummati” sebagai bantahan atas Mufti Al-Azhar.
Makalah beliau yang berjudul “Al-Adillah minal Kitaabi was Sunnati tahrimu al-Aghooni wal Malaahi wa tahdziru minhaa” sebagai bantahan terhadap Syaikh Abu Turob azh-Zhahiri yang menghalalkan musik dan alat-alat musik.
Makalah beliau yang berjudul “Iidhoh wa Ta’qiib ‘ala Maqooli Fadhilatis Syaikh Yusuf al-Qordhowi haula ash-Shulh ma’a al-Yahuudi” sebagai bantahan atas DR. Yusuf al-Qordhowi.
Makalah beliau yang berjudul “Ta’qiib ‘ala Washiyati Syaikhil Azhar ‘Abdul Halim Mahmud ‘inda Wafaatihi bidafnihi fil Masjid” sebagai bantahan wasiat Syaikh Abdul Halim Mahmud untuk menguburkannya ketika wafatnya di dalam Masjid.
dan lain-lain(6)

Syaikh Ibnu Bazz juga punya tahdzir khusus kepada individu-individu tertentu yang menyimpang, diantaranya adalah :
1. Tahdzir beliau kepada Rosyad Kholifah, beliau berkata tentangnya : “…Dia menegakkan pondasi dakwahnya jauh dari Islam, mengingkari sunnah Nabi dan meremehkan kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam…” (Majmu’ Fatawa wa Maqoolaat Mutanawwi’ah II/402-404)
Tahdzir beliau kepada Ghulam Ahmad Barwiz, beliau berkata tentangnya : “…Karena kekufuran orang mulhid ini (yaitu Ghulam Ahmad Barwiz)…” (Majmu’ Fatawa wa Maqoolaat Mutanawwi’ah III/268-273)
Tahdzir beliau kepada Muhammad al-Mas’ari, beliau berkata tentangnya : “… dia menyebarkan kaset-kaset buruk yang menyeru kepada furqoh (perpecahan) dan ikhtilaf (perselisihan), mencela para penguasa kaum muslimin dan ulama…” (Majmu’ Fatawa wa Maqoolaat Mutanawwi’ah VIII/410-411)
Tahdzir beliau kepada Sa’ad al-Faqih, beliau berkata tentangnya : “… Adapun yang dilakukan oleh Muhammad al-Mas’ari, Sa’ad al-Faqih dan orang-orang semisalnya dari para penyebar dakwah yang rusak lagi sesat, maka hal ini tidak diragukan lagi adalah termasuk keburukan yang besar, mereka adalah penyeru kejelekan yang sangat dan kerusakan yang besar…” (Majmu’ Fatawa wa Maqoolaat Mutanawwi’ah IX/100)
Tahdzir beliau kepada Usamah bin Ladin, beliau berkata tentangnya : “…dan bin Ladin serta orang-orang yang meniti jalan mereka, (aku nasehatkan) agar meninggalkan jalan mereka yang buruk ini, bertakwa kepada Alloh dan berhati-hati dari murka dan kemarahan Alloh…” (Majmu’ Fatawa wa Maqoolaat Mutanawwi’ah VIII/410-411)
Tahdzir beliau kepada Abdullah al-Qoshimi, beliau berkata tentangnya : “… al-Qoshimi yang sesat, yang jahat lagi terfitnah…” (Majmu’ Fatawa wa Maqoolaat Mutanawwi’ah IX/168-173)
Tahdzir beliau kepada Abdulloh al-Habsyi, beliau berkata tentangnya : “… Abdulloh al-Habsyi, terkenal akan penyimpangan dan kesesatannya…” (Majmu’ Fatawa wa Maqoolaat Mutanawwi’ah IX/315)
Tahdzir beliau kepada Sayyid Quthb, beliau berkata tentangnya : “Miskin dan lemah di dalam tafsir…” (Durus di kediaman beliau tahun 1413, direkam oleh Tasjilat Minhajus Sunnah Riyadh).
Tahdzir beliau kepada Zahid al-Kautsari dan murinya Abdul Fattah Abu Ghuddah, dalam taqdim beliau di dalam kitab Baro`atu Ahlis Sunnah minal Waqi’ati fi Ulama`il Ummah karya Syaikh Bakr Abu Zaed.
Tahdzir beliau kepada Safar Hawali dan Salman al-Audah. (Ucapan ini akan dimuat lebih lengkap dalam pembahasannya nanti Insya Alloh).
dan lain lain.(7)

Sebagai akhir nukilan, ada baiknya saya nukilkan juga ucapan Syaikh Ibnu Bazz rahimahullahu terhadap Ikhwanul Muslimin, beliau rahimahullahu berkata :

فينبغي للإخوان المسلمين أن تكون عندهم عناية بالدعوة السلفية ، الدعوة إلى توحيد الله ، وإنكار عبادة القبور والتعلق بالأموات والاستغاثة بأهل القبور كالحسين أو الحسن أو البدوي ، أو ما أشبه ذلك ، يجب أن يكون عندهم عناية بهذا الأصل الأصيل ، بمعنى لا إله إلا الله ، التي هي أصل الدين ، وأول ما دعا إليه النبي صلى الله عليه وسلم في مكة دعا إلى توحيد الله ، إلى معنى لا إله إلا الله ، فكثير من أهل العلم ينتقدون على الإخوان المسلمين هذا الأمر ، أي : عدم النشاط في الدعوة إلى توحيد الله ، والإخلاص له ، وإنكار ما أحدثه الجهال من التعلق بالأموات والاستغاثة بهم ، والنذر لهم والذبح لهم ، الذي هو الشرك الأكبر ، وكذلك ينتقدون عليهم عدم العناية بالسنة : تتبع السنة ، والعناية بالحديث …
“Maka sepatutnyalah bagi Ikhwanil Muslimin supaya mereka turut menyokong dakwah salafiyah, turut berdakwah menyeru kepada tauhidullah, mengingkari peribadatan kubur, bergantung kepada orang-orang mati, berisitighotsah kepada ahli kubur seperti kepada Husain, Hasan atau Badawi, ataupun amalan yang semisal dengan ini. Wajib atas mereka untuk turut menyokong pokok yang dasar ini, dengan makna Laa ilaaha illallohu yang mana ini merupakan pokok agama dan hal pertama yang diserukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam di Makkah adalah seruan kepada tauhidullah, kepada makna Laa ilaaha illallohu. Telah banyak para ahli ilmu yang mengkritik Ikhwanul Muslimin pada perkara ini, yaitu tidak adanya kesungguhan (semangat) di dalam dakwah kepada tauhidullah dan memurnikan (ibadah) hanya untuk-Nya, mengingkari perkara-perkara yang diada-adakan oleh orang-orang bodoh berupa bergantung kepada orang mati dan beristighotsah kepada mereka, bernadzar dan berkurban untuk mereka, yang mana hal ini merupakan syirik besar. Mereka (para ulama) juga mengkritik Ikhwanul Muslimin dikarenakan ketiadaan kesungguhan mereka di dalam menyokong sunnah, mengikuti sunnah dan menyokong hadits yang mulia…” (8)

2. Kritikan dan Tahdzir Syaikh Muhammad Shalih al-‘Utsaimin rahimahullahu kepada Mukholif (penyeleweng).

Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin rahimahullahu adalah orang yang paling jarang mengkritik dan menyebut-nyebut kesalahan seseorang, kecuali apabila kesalahan tersebut telah terang dan menyebar. Namun, beliau juga memiliki kritikan-kritikan terhadap ucapan para tokoh yang menyimpang, diantaranya :
1. Ucapan beliau terhadap Muhammad al-Maghrawi ketika tulisannya yang berjudul al-Aqidah as-Salafiyah fi Masirotiha wat Tarikhiyah disodorkan kepada syaikh tentang masalah baiat, syaikh ¬rahimahullahu berkata :
هذا رجل ثوري… هذا رجل ثوري… ما يفقه الواقع, ولا يعلم أن النبي صلى الله عليه وسلم أمرنا أن نسمع ونطيع وإن وجدنا أثرة علينا وإن ضرب الظهر وأخذ المال ولم يعلم ما جرى للأعلام كـ(الإمام أحمد) وغيره في معاملة الخلفاء الذين هم أشد من الموجودين الآن الذين يأمرون الناس بـ(خلق القرآن) احذر هذا وأمثاله…
“Orang ini pengobar revolusi (pemberontakan)… Orang ini pengobar revolusi (pemberontakan)… dia tidak faham realita dan tidak faham pula bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat walaupun kita dapatkan mereka berbuat keburukan terhadap kita, walaupun mereka memukul punggung kita dan merampas harta kita. Dia tidak tahu sikap yang diambil oleh para imam tuntunan seperti Imam Ahmad dan selain beliau di dalam berinteraksi dengan para kholifah, yang mana mereka lebih parah keadaannya ketimbang (para pemimpin) yang ada saat ini, dimana mereka memerintahkan manusia untuk (mengimani) kemakhlukan al-Qur’an, wasapadalah darinya dan orang yang serupa dengannya…” (9)
Ucapan beliau terhadap Sayyid Quthb rahimahullahu dan tafsirnya. Beliau rahimahullahu ditanya tentang hukum membaca tafsir Fi Zhilalil Qur’an, maka beliau rahimahullahu menjawab :
وقد ذكر بعض أهل العلم كالدويش والألباني الملاحظات على هذا الكتاب، وهي مدونة وموجودة، ولَم أطلع على هذا الكتاب بكامله وإنَّما قرأت تفسيره لسورة الإخلاص، وقد قال قولاً عظيمًا فيها مخالفًا لما عليه أهل السنة والجماعة، حيث إن تفسيره لها يدل على أنه يقول بوحدة الوجود. وكذلك تفسيره للاستواء بأنه الهيمنة والسيطرة علمًا بأن هذا الكتاب ليس كتاب تفسير وقد ذكر ذلك صاحبه، فقال: ظلال القرآن”. ويجب على طلاب العلم ألا يجعلوا هذا الرجل أو غيره سببًا للخلاف والشقاق بينهم، وأن يكون الولاء والبراء له أو عليه
“Sebagian ulama seperti ad-Duwaisy dan al-Albani telah menyebutkan beberapa koreksi/kritikan terhadap buku ini, dan koreksi ini telah tercetak dan ada. Aku belum menelaan seluruh buku (Fi Zhilalil Qur’an) ini secara utuh, namun aku hanya membaca tafsirnya tentang surat al-Ikhlash. Sungguh ia (Sayyid Quthb) telah mengucapkan suatu ucapan yang besar yang menyelisihi ahlus sunnah wal jama’ah, dimana tafsirnya tersebut mengindikasikan bahwa dia berkata tentang wahdatul wujud. Demikian pula dengan tafsirnya tentang istiwa’ yang diartikan menjaga dan menguasai. Perlu diketahui bahwasanya buku ini bukanlah buku tafsir, penulisnya juga berkata demikian, dia menyebutnya Fii Zhilaalil Qur’an (Di bawah bayang-bayang al-Qur’an). Wajib kiranya bagi para penuntut ilmu supaya tidak menjadikan orang ini -dan selainnya- sebagai sebab perselisihan dan percekcokan diantara mereka, dan menjadikannya sebagai tolok ukur di dalam berwala’ dan baro` dengannya.” (10)
Ucapan beliau terhadap Ahmad Salam, beliau rahimahullahu berkata : “…Aku tidak mengenalnya sedikitpun, tapi orang ini memiliki beberapa keganjilan dan kami tidak pernah memujinya. Aku katakan bahwa beberapa orang (ulama) memiliki kritikan terhadap orang ini…” (11)
Ucapan beliau terhadap ucapan DR. Yusuf al-Qodhowi tentang salah satu ceramahnya mengenai hukum merokok, dimana al-Qordhowi menyebutkan tentang buah dari pemilu Israiliyah, kejatuhan Berlin dan ucapan yang mengandung kekufuran di dalamnya, tatkala diperdengarkan ucapan ini ke hadapan Syaikh rahimahullahu, maka Syaikh mengatakan :
أعوذ بالله هذا يجب أن يتوب هذا وإلا فيقتل مرتدا لأنه جعل المخلوق أعلم من الخالق, فعليه أن يتوب إلى الله فإن تاب فالله يغفر الذنوب عن عباده…
“Aku memohon kepada Alloh dari ucapan ini. Wajib baginya untuk bertaubat karena apabila tidak maka ia dibunuh sebagai orang murtad, karena dirinya telah menjadikan makhluk itu lebih mengetahui daripada al-Kholiq. Maka wajib baginya bertaubat kepada Alloh, apabila ia mau bertaubat niscaya Alloh akan mengampuni segala dosa hamba-hamba-Nya…” (12)
Ucapan beliau terhadap ‘Abdurrahman ‘Abdul Kholiq, ketika ‘Abdurrahman ‘Abdul Kholiq menghujat murid-murid Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dan menuduh mereka sebagai ulama penguasa, tidak mau beramar ma’ruf nahi munkar, menuduh orang yang berjihad sebagai khowarij mu’tazilah, memberikan sifat ketuhanan kepada para penguasa dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Tulisan ini dimuat di Majalah “Al-Furqon”, Ihya’ut Turots, Kuwait edisi no. 52. Ketika ditanyakan ucapannya ini kepada Syaikh al-Utsaimin rahimahullohu, beliau menukas :
كذاب من وجه و ضلال من وجه…
“Dia pendusta dari satu sisi dan sesat dari sisi lain…” (13)
Ucapan beliau terhadap Salam al-‘Audah dan Safar Hawali. (akan datang kelengkapannya dalam pembahasannya nanti –insya Alloh-).
dan lain lain

3. Kritikan dan Tahdzir Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad rahimahullahu kepada Mukholif (penyeleweng).

Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr, memiliki sejumlah kritikan dan tahdzir kepada tokoh-tokoh (termasuk Ikhwanul Muslimin), beliau juga memiliki klarifikasi akan buku Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah untuk siapakah buku tersebut ditujukan, berikut ini adalah sikap beliau ¬hafizhahullahu terhadap mukholif :
Bantahan beliau terhadap Ar-Rifa’i dan Al-Buthi dalam kitab beliau yang berjudul Ar-Roddu ‘alar Rifa’i wal Buthi.
Bantahan beliau terhadap Hasan al-Maliki dalam buku beliau yang berjudul al-Intishor lish Shohabatil Akhyaar fi Roddi Abathil Hasan al-Maliki.
Ucapan beliau terhadap Muhammad Thoriq as-Suwaidan. Ketika beliau ditanya tentang kaset ceramah as-Suwaidan yang berisi masalah fitnah antara ‘Ali dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhuma, beliau hafizhahullahu berkata :
أنا أقول الشخص الذي كلامه غير سليم لا يجوز الاشتغال بكلامه ولا الالتفات إلى كلامه ، لأن أهل السنَّة والجماعة طريقتهم أن تكون ألسنتهم سليمة وقلوبهم سليمة ، يقول شيخ الإسلام ابن تيمية / في العقيدة الواسطية : ( ومن أصول أهل السنَّة والجماعة سلامة قلوبهم وألسنتهم لأصحاب رسول الله …
“Aku katakan, Seseorang yang perkataannya tidak selamat maka janganlah menyibukkan diri dengan ucapannya dan jangan pula mengarahkan perhatian kepada perkataannya. Karena ahlus sunnah wal jama’ah, jalan mereka adalah menjadikan lisan dan hati mereka selamat (dari membicarakan perseteruan sahabat, pent.). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Diantara pokok Ahlus Sunnah adalah selamatnya hati dan ucapan mereka dari sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam…” (14)
Ucapan beliau tentang Ikhwanul Muslimin, beliau hafizhahullahu berkata :
جماعة الإخوان ؛ من دخل معهم فهو منهم يوالونه ومن لم يكن معهم فإنهم يكونون على خلاف معه ، أما إن كان معهم ولو كان من أخبث الناس ، ولو كان من الرافضة ، فإنه يكون أخاهم ويكون صاحبهم…
“Jama’ah al-Ikhwan, barangsiapa yang masuk bersama mereka maka ia termasuk golongannya dan mereka akan berwala` kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak bersama mereka maka mereka akan senantiasa menyelisihi dirinya. Adapun sekiranya ada orang yang (bergabung) bersama mereka walaupun seburuk-buruk manusia, walaupun dari kelompok rofidloh, niscaya ia akan menjadi saudara dan teman mereka…” (15)
Ucapan beliau tentang Sayyid Quthb dan tafsirnya Fii Zhilalil Qur’an, beliau hafizhahullahu berkata :
كتاب ” ظلال القرآن ” أو ” في ظلال القرآن ” للشيخ سيّد قطب / هو من التفاسير الحديثة التي هي مبنية على الرأي ، وليست على النقل ، وليست على الأثر. ومن المعلوم أن أصحاب الرأي والذين يتكلمون بآرائهم ويتحدثون بأساليبهم يحصل فيهم الخطأ والصواب ، ويصيبون ويخطئون …
Kitab Zhilalul Qur’an atau Fi Zhilalil Qur’an karya Syaikh Sayyid Quthb adalah termasuk tafsir kontemporer yang dibangun atas akal, bukan atas naql (periwayatan). Telah diketahui bahwa para penganut akal dan orang-orang yang berbicara dengan akalnya serta orang-orang yang berkata-kata dengan metode mereka, bisa benar dan bisa pula salah, mereka bisa melakukan kesalahan dan kebenaran…
وأما الشيخ سيّد قطب فهو من الكتاب من الأدباء يعني يكتب بأسلوبه وبألفاظه ويتحدث ، ليس كلامه مبنياً على الأثر ولهذا إذا قرأه الإنسان لم يجده يقول : قال فلان وقال فلان وقال رسول الله كذا وكذا … الخ ، يعني من جمع الآثار والعناية بالآثار ؛ لأنه ما كان مبنيا على الأثر وإنما كان مبنياً على العقل والكلام بالرأي ، ولهذا يأتي منه كلام ليس بصحيح وكلام غير صواب…
Adapun Sayyid Quthb, beliau termasuk penulis dan sasterawan, beliau menulis dan berkata-kata dengan metode dan lafazh-lafazh sastera. Ucapannya tidak dibangun di atas atsar, oleh karena itu apabila ada orang membaca (bukunya ini) tidak akan mendapatkan bahwa (Sayyid) berkata : “Fulan berkata, Fulan berkata, Rasulullah bersabda ini dan ini…”, yaitu tidak mendapatkan kumpulan atsar dan sokongan dengan atsar, karena bukunya tidak dibangun di atas atsar, namun hanya dibangun atas akal dan ucapan-ucapan pendapat. Oleh karena itulah terdapat di dalam bukunya ini ucapan-ucapan yang tidak benar dan tidak tepat…” (16)
Ucapan beliau kepada Salman al-‘Audah dan Safar Hawali (akan datang kelengkapannya pada pembahasannya mendatang –insya Alloh-).
dan lain lain.

Adapun penjelasan beliau tentang Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, apakah benar buku beliau juga ditujuan kepada Ikhwanul Muslimin dan orang-orang yang disebut di dalam Madarikun Nazhor fis Siyasah karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani, yaitu Safar Hawali, Salman al-‘Audah, A`idh al-Qorni, dan lain lain, maka Syaikh hafizhahullahu berkata :

”Dan buku yang baru saya tulis akhir-akhir ini, Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, maka buku ini tidak ada hubungan sedikitpun dengan orang-orang yang saya sebutkan di Madarikun Nazhor. Jadi, buku yang saya tulis ini, tidaklah dimaksudkan untuk Ikhwanul Muslimin, tidak pula bagi Quthbiyun dan selainnya dari harokiyun. Buku ini juga tidak dimaksudkan bagi orang-orang yang gemar dengan fiqhul waqi, tidak pula bagi orang-orang yang berbicara buruk terhadap pemimpin kaum muslimin, ataupun bagi orang-orang yang merendahkan para ulama. Buku ini tidak dimaksudkan bagi mereka, baik dekat maupun jauh!!!
Namun buku ini ditujukan bagi Ahlus Sunnah saja!! Mereka yang mengambil jalan ahlus sunnah. Dimana tatkala tampak beberapa perkara yang mereka perselisihkan, anda lihat mereka saling menjarh, menghajr, dan menghancurkan… Jadi, saya katakan kembali bahwa buku ini tidaklah ditujukan bagi kelompok ataupun firqoh yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah ataupun jalannya ahlus sunnah. Bahkan buku ini ditujukan kepada kalangan ahlus sunnah yang mereka sibuk antara satu dengan lainnya sesama ahlus sunnah, dengan jarh, hajr, mencari-cari kesalahan dan mentahdzir dari manusia karena kesalahan-kesalahan ini.
Jika ada dua orang mulai berselisih mereka pun berpecah menjadi dua kelompok, kelompok yang ini berbangga diri dengan orang ini dan kelompok itu berbangga diri dengan orang itu. Sehingga tampak hajr dan muqotho’ah (memutuskan hubungan) antara satu dengan lainnya sesama pengikut ahlus sunnah di setiap tempat karena adanya perselisihan ini.
Hal ini adalah termasuk bencana dan fitnah yang paling besar. Sehingga ahlus sunnah akan terpecah belah berdasarkan pernyataan ketidaksepakatan antara orang ini dan orang itu : apa yang fulan katakan tentang fulan dan fulan!!! Apa pendapatmu tentang fulan dan fulan! Atau bagaimana sikapmu terhadap fulan dan fulan! Jika jawabanmu selaras dengan pendapat mereka, maka kamu akan selamat. Dan jika kamu tidak memiliki pendapat maka kamu akan dilabeli dengan sebutan mubtadi’, hajr akan dipraktekan dan ahlus sunnah akan terpecah belah menjadi kelompok-kelompok yang berbahaya!!! Inilah yang melatarbelakangi maksud penulisan buku ini (Rifqon).
Telah diketahui bersama bahwa buku ini tidaklah menyeru harokiyin, dan hal ini karena buku ini disukai, harokiyun senang jika ahlus sunnah sibuk antara satu dengan lainnya, hingga mereka merasa selamat dari ahlus sunnah. Dengan hal ini mereka merasa selamat dari ahlus sunnah, dan hal ini dikarenakan kita menyibukkan diri antar sesama ahlus sunnah. Buku ini menyerukan ishlah tentang hal-hal yang tengah melanda kita, agar kita lebih berlemah lembut antar sesama, dan kita berupaya untuk membenahi antara satu dengan lainnya. Ini yang terbetik di dalam fikiran saya tentang latar belakang penulisan buku ini.
Namun mereka dari kalangan harokiyun dan hizbiyun, yang jelas-jelas menyelisihi jalan ahlus sunnah, mereka sangat bergembira dengan perselisihan yang terjadi diantara kita. Karena ketika ahlus sunnah sibuk dengan sesamanya, mereka menjadi aman dari ahlus sunnah. Jadi… perpecahan dan perselisihan diantara ahlus sunnah inilah yang mereka kehendaki… Iya..” (17)

Dengan demikian, tidak tepatlah kiranya apabila Ustadz Abduh ZA menukil buku Rifqon dan menerapkannya kepada orang-orang yang tidak dimaksudkan oleh Syaikh ‘Abbad.
Dengan demikian tampaklah jelas bagaimana sikap para masyaikh yang dinukil oleh Abduh di kata pengantarnya, bahwa mereka mengharuskan tahdzir dan tasyhir akan kesalahan orang-orang yang telah jelas melakukan kesalahan, namun adapun mencari-cari kesalahan dan menyibukkan diri dengannya, melakukannya dengan tendensi pribadi atau niat buruk lainnya, maka inilah yang dicela oleh Islam dan para ulama tersebut di atas.
Namun, biar bagaimanapun, kami ucapkan Jazzakallohu Khoyron Katsiiron wahai Ustadz Abduh ZA, atas nasehat Anda kepada sebagian kalangan salafiyyin yang gemar mencari-cari kesalahan dan menghujat, dan ini adalah nasehat berharga bagi salafiyyin dengan nukilan Anda terhadap ucapan para masyaikh yang mulia di atas. Namun sekali lagi ada satu hal yang perlu kita ingat, yaitu :

لكل مقال مقام ولكل مقام مقال
“Setiap ucapan ada tempatnya dan setiap tempat ada ucapannya tersendiri.”

Nukilan Anda terhadap nasehat para masyaikh di atas adalah benar apabila ditempatkan pada tempatnya, yaitu bukan dalam rangka membela kelompok, partai atau tokoh-tokohnya yang memiliki penyimpangan. Nukilan Anda di atas benar wahai ustadz, apabila Anda menempatkannya sebagai nasehat supaya sebagian kalangan salafiyin untuk berhati-hati dan tidak menyibukkan diri dengan mencari-cari kesalahannya sesama ahlus sunnah, supaya lebih berlemah lembut di dalam dakwah dan bersikap tidak tergesa-gesa di dalam menvonis.

ولم أر في عيوب الناس عيبا كنقص القادرين على التمام
Tak kudapati pada manusia suatu cela
Melebihi cela orang yang sebenarnya mampu untuk sempurna

(Bersambung Insya Alloh)

Catatan Kaki :
———————–
Iqozhul Himam al-Muntaqo min Jaami`il Uluumi wal Hikami lil Hafizh Ibni Rajab al-Hanbali, oleh Syaikh Abu ‘Usamah Salim bin Ied al-Hilali, Daar Ibnul Jauzi, Cet III, Rabi’uts Tsani, 1417, hal. 34.
Ibid, hal. 35
Ibid, hal. 35
Ucapan Imam Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullahu, diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam asy-Syu’bah no. 824. Dinukil melalui perantaraan Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar, karya Fadhilatus Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani al-Jaza`iri, Maktabah al-Furqon, cet. VI, 1422/2001, hal. 41. Lihat pula terjemahannya yang berjudul “6 Pilar Utama Dakwah Salafiyah” oleh Fadilatul Ustadz Abu Abdillah Mubarok Bamu’allim, Lc., Pustaka Imam Syafi’I, Cet. I, Muharam 1425/Maret 2004, hal. 88.
Majmu’ Fatawa wa Maqoolat Mutanawwi’ah oleh Al-‘Allamah Abdul Aziz Bin Bazz, penghimpun : DR. Sa’ad bin Muhammad bin Sa’ad asy-Syuwai’ir, Darul Qosim, jili IV/136-137. Lihat pula Shuwarul Mudhi`ah min Juhudil Imam Abdil Aziz bin Bazz rahimahullahu fir Raddi ‘alal Mukhaalif oleh Ustadz Abdullah as-Salafy (soft copy dari www.sahab.org)
Lihat Shuwarul Mudhi`ah min Juhudil Imam Abdil Aziz bin Bazz rahimahullahu fir Raddi ‘alal Mukhaalif oleh Ustadz Abdullah as-Salafy (soft copy dari www.sahab.org)
Lihat Shuwarul Mudhi`ah min Juhudil Imam Abdil Aziz bin Bazz rahimahullahu fir Raddi ‘alal Mukhaalif oleh Ustadz Abdullah as-Salafy; dan I’laamul ‘Aam wal Khood biman Takallama fiihim al-‘Allamah Ibnu Bazz rahimahullahu minal Asykhash (soft copy dari www.sahab.org).
Fatwa tertanggal 23/2/1416; Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqolaat Mutanawwi’ah VIII/41-41; lihat pula Shuwarul Mudhi`ah min Juhudil Imam Abdil Aziz bin Bazz rahimahullahu fir Raddi ‘alal Mukhaalif.
Kaset rekaman yang berjudul Hukmul Ulama ‘alal Maghrowi, Tasjilat Minhajus Sunnah, Riyadh.
Kaset rekaman yang berjudul Ibthoolu Qowaid wal Maqolat Adnan Ar’ur tertanggal 24/2/1421. Lihat pula Daf’u Baghyi al-Ja`ir ash-Sho`il oleh Abu Abdil A’laa Khalid al-Mishri. (soft copy dari www.sahab.org).
Kaset rekaman berjudul Hukmul Ulama` ‘ala Ahmad Salam; Lihat pula Tahdzirul Anaam min Akhtho`i Ahmad Salam oleh Abu Nur al-Kurdi, hal. 188. (soft copy dari www.sahab.org).
Lihat Madza Yuriidu Ahlus Sunnah bi Ahlis Sunnah oleh Fauzi al-Bahraini*). (*NB : Fauzi al-Bahraini telah menyelisihi manhaj ahlus sunnah di dalam beberapa hal. Dia juga memiliki karakter keras, serampangan dan mudah mencela. Saya menukil darinya bukan untuk mentazkiyah bukunya atau penulisnya. Fauzi al-Bahraini telah dikritik oleh beberapa ulama, semisal Syaikh Khalid ar-Roddadi, Syaikh Walid bin Nashir al-Bahraini (murid Syaikh Albani di Bahrain), Syaikh Rabi’ bin Hadi, dll.).
Peringatan : Syaikh al-‘Utsaimin tidak mengkafirkan DR. Yusuf al-Qordhowi, beliau hanya menghukumi ucapan DR. al-Qordhowi yang dibawa oleh penanya.
Kaset rekaman berjudul Hukmul ‘Ulama` ‘ala ‘Abdirrahman ‘Abdil Kholiq. Lihat pula bantahan dari Syaikh Ibnu Bazz terhadap tuduhan ‘Abdurrahman ‘Abdul Kholiq ini dalam Majmu’ Fatawa wa Maqolat jilid VIII hal 240-245.
Lihat al-Iidloh wal Bayaan fi Akhtho`i Thoriq as-Suwaidaan, Cet. I, Maktabah Ahlul Hadits, hal. 49.
Lihat Wujuubu at-Taudliih wal Bayaan lit Talaamiidz wal Atbaa’, oleh Jamal bin Furaihan al-Haritsi, hal. 13.
Tanya Jawab setelah pelajaran “Sunan Nasa`i” di Masjid Nabawi, tertanggal 7/11/1414.
Tanya Jawab bersama Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad di Masjidil Haram pada hari Selasa, tanggal 8/5/1424 H. Dan inilah realita yang tengah terjadi, dimana para harokiyun dan hizbiyun bertepuk tangan bergembira ria dengan perpecahan ini. Sampai-sampai seorang mubaligh dengan mengejek mengatakan bahwa perselisihan antara salafiy bukanlah karena sebab beda pendapat namun karena beda pendapatan. Na’udzubillahi min dzaalik…

SAUDI DAN WAHHABISME DIFITNAH

MENGUNGKAP AGENDA PROPAGANDA NEO-CON DI DALAM MEMERANGI ISLAM TERUTAMA AHLUS SUNNAH



Oleh :

Abu Salma al-Atsari



Belum lama ini, saya sempat tergelitik dengan sebuah judul buku “Dinasti Bush Dinasti Saud” yang ditulis oleh salah seorang jurnalis Amerika Serikat. Saya sendiri sebenarnya belum sempat membaca dan menelaah isi buku tersebut, namun saya mendengar bahwa buku ini diterima secara luas oleh saudara-saudara kita kalangan hizbiyyin harokiyyin yang menjadikannya sebagai bumerang untuk menyerang dakwah salafiyyah dan negeri tauhid, Kerajaan Arab Saudi.


Hal serupa sebelumnya juga pernah terjadi dan dilakukan oleh Majalah Suara Hidayatullah (SAHID) pada akhir tahun 90-an yang memuat kesaksian ‘kontroversial’ dan dusta seorang ‘mantan’ agen Mossad yang memberikan ‘testimoni’ akan adanya hubungan antara salafiyyun dengan agen Mossad. Artikel ini dimuat di majalah SAHID yang akhirnya menuai kritikan dan bantahan dari salafiyyin. Setelah muncul bantahan dan klarifikasi kedustaan berita tersebut, beberapa staf majalah SAHID meminta maaf kepada fihak salafiyyin atas termuatnya berita yang tidak valid tersebut. Tahun 2007 ini, artikel ‘hoax’ ini diangkat kembali oleh “Risalah Mujahidin” untuk menyerang dakwah salafiyyah. Seakan-akan mereka ini tidak pernah membaca dan memahami firman Alloh Ta’ala surat al-Hujurat ayat 6 tentang kewajiban tabayyun dan tatsabbut di dalam menerima berita dari orang fasik, apalagi orang kafir.

Namun, pembahasan kita kali ini bukanlah ini. Saya di sini akan sedikit mengungkap pandangan para jurnalis eropa dan Amerika terhadap Wahhabisme dan Kerajaan Arab Saudi (KSA) itu sendiri yang berlawanan dengan analisa penulis Amerika yang menyatakan ”Dinasti Bush Dinasti Saud”. Hal ini menunjukkan bahwa, para jurnalis di Eropa dan Amerika, mereka memiliki kebebasan di dalam penulisan dan karya-karyanya. Sehingga, ’studi’ observasi antara satu penulis dengan penulis lainnya dalam satu masalah seringkali saling bertabrakan dan berbenturan.

Sebagai misal dalam hal ini adalah terbitnya essay, artikel, jurnal dan makalah pada media-media massa baik cetak maupun elektronik yang menghantam habis Saudi Arabia sebagai ’gudang’ penghasil teroris dan melahirkan teroris terbesar di dunia. Mark Silverburg misalnya, mengklaim bahwa Saudi Arabia mengeluarkan biaya 85 miliar dollar AS selama rentang 25 tahun untuk pembiayaan aktivitas yang ditengarai berbau radikalis dan fundamentalis. Tidak ketinggalan pula, Nina Shea dalam artikelnya berjudul ”Saudi Publication on Hate Ideology Fill American Mosques” [Washington : Center for Religious Freedom, 2005] menyatakan bahwa Saudi berada di belakang menyebarnya ‘ideologi kebencian’ yang merupakan cikal bakal tindakan terorisme.

Dalam artikel ringkas ini, saya akan memaparkan agenda dan bentuk permusuhan kaum neo con kuffar di dalam menghantam dan menghancurkan Islam, terutama ahlus sunnah. Artikel ini banyak mengambil faidah dari makalah “Hal tad’u al-Mamlakah al-‘Arobiyyah as-Su’udiyyah ila ‘adamit Tasaamuh wal Hiqd fil Ghorb” [salafimanhaj research, 2007].



NEO CON DAN AGENDA ZIONISME

Neo-con adalah sebutan bagi jelmaan partai konservatif gaya baru yang didirikan oleh George Bush Sr. di dalam mewujudkan agenda politik dan tendensi zionisme di Amerika Serikat. Semenjak didirikannya partai ini, ideologi neo-con ini menyebar ke penjuru Eropa dan menjadi suatu ideologi tersendiri yang membawa misi yahudisasi universal dengan bersikap skeptis terhadap Islam dan memusuhi Islam. Agenda memerangi Islam telah mulai dicanangkan dengan berbagai bentuk propaganda, diantaranya adalah jargon “War against terrorism” dan melabelkan Islam sebagai teroris.

Mantan kepala biro “Jerussalem Post” dan asisten ilmuwan di “Cato Institute”, Leon T. Hadar, telah mendokumentasikan indikasi kebijakan luar negeri AS yang dikuasai Neo Con dalam bukunya yang ditulis awal 90-an tentang kebijakan pemerintah AS sebagai berikut:

“Now that the Cold War is becoming a memory, America’s foreign policy establishment has begun searching for new enemies. Possible new villains include ‘instabilty’ in Europe – ranging from German resurgence to new Russian imperialism – the ‘vanishing’ ozone layer, nuclear proliferation and narcoterrorism. Toping the list of potential new global bogeymen, however are the Yellow Perril, the alleged threat to America economic security emanating from East Asia, and the so-called Green Peril (green is the color of Islam). The peril is symbolized by the Middle Eastern Moslem fundamentalist” [Leon T. Hadar, The ‘Green Peril” : Creating the Islamic Fundamentalist Threat, Policy Analysis, Cato Institute, no. 177, 27 Agustus 1992)

“Sekarang ini ketika Perang Dingin telah menjadi sebuah memori’ penentuan kebijakan luar negeri Amerika telah memulai pencarian musuh baru. Kemungkinan penjahat-penjahat baru termasuk ’ketidakstabilan’ di Eropa – berjejer mulai dari kebangkitan Jerman sampai kepada imperalisme Rusia baru -, ’lenyapnya’ lapisan ozon, proliferasi (pengembangan) nuklir dan narkoterorisme. Puncak tertinggi dari daftar ’hantu-hantu’ global baru yang berpotensi tersebut, biar bagaimanapun tetaplah ’bahaya kuning’ [komunis, pent.], ancaman yang diduga kuat berdampak pada keamanan ekonomi Amerika yang berasal dari Asia Timur, dan demikian pula dengan ancaman yang disebut ’Bahaya Hijau’ (warna hijau sering diidentikkan dengan Islam). Bahaya yang disimbolisasikan dengan fundamentalis muslim Timur Tengah.”

Untuk memenuhi ambisi dan agenda politik neo-con, upaya pembentukan opini dan pemburukan citra Islam terutama terhadap ahlus sunnah dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya adalah dengan bombardir opini publik via media-media baik cetak maupun elektronik. Artikel dan essay yang tersebar di majalah, surat kabar maupun jurnal ramai memperbincangkan tentang isu Islam dan terorisme.

Sayangnya, sebagian kaum muslimin menerima mentah-mentah isu semisal ini dan mengkambinghitamkan gerakan puritan pemurnian Islam, yang mereka sebagai Wahhabisme dan negara penyebar ’madzhab’ ini, Kerajaan Saudi Arabia. Muhammad Hisham Kabbani, seorang pembesar tokoh Naqshabandiyah Eropa dan Abdul Hakim Murad ash-Shufi adalah salah satu ’partner’ jurnalis eropa di dalam menghantam Wahhabisme.

Di lain pihak, secara kontradiksi, Hamim Nuh Keller –yang juga murid Kabbani- dan sebagian tokoh syiah, menuduh bahwa Wahhabi merupakan gerakan boneka propaganda Goebbel dan Goering, namun di sisi lain juga menyatakan bahwa Wahhabisme merupakan akar fundamentalisme Islam penyebar faham kekerasan, kebencian dan terorisme. Saya sendiri juga sempat membaca tuduhan ini di salah satu blog wordpress seorang jama’ah ahli bait Indonesia.

Apabila kita menelaah ulasan para jurnalis neo-con yang islamfobia, mereka banyak mengambil sumber informasi dari kalangan shufiyun Eropa semisal Kabbani, Murad, Keller, Yusuf Smith, dll. Seakan-akan di sini, ada suatu propaganda dan agenda terselubung dari neo-con dan shufi partnership.

Untuk itu mari kita mengenal sedikit beberapa jurnalis dan penulis neo-con yang anti Islam, untuk mengetahui keburukan bukan supaya mengiktinya, namun supaya waspada darinya. Sebagaimana seorang penyair mengatakan :

عرقت شرا لا لشر ولكن لتوقيه

Aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukannya

Namun aku mengetahuinya untuk memproteksi darinya



Beberapa jurnalis islamfobia yang diduga terlibat dengan neo-con

Berikut ini adalah beberapa jurnalis yang diduga kuat turut mempromosikan program agenda neo-con dan mendiskreditkan Islam terutama ahlus sunnah.

Nina Shea, seorang direktur ”Center for Religious Freedom” adalah satu propagandis utama yang mengklaim bahwa Arab Saudi secara sengaja menyebarkan ’ideologi kebencian’ melalui buku-buku pelajaran sekolah, masjid dan institusi lainnya. Ia menulis sebuah essay berjudul ”Saudi Publication on Hate Ideology Fill American Mosques” (Publikasi Saudi tentang ideologi kebencian memenuhi Masjid-Masjid Amerika) setelah melakukan studi yang inadequate (tidak memadai) dan absurd ridiculous (tidak masuk akan dan menggelikan). Ia hanya melakukan observasi pada 15 masjid di AS (yang tidak sampai 1 % dari jumlah keseluruhan Masjid di AS) lalu mengambil kesimpulan yang bias dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain itu, Nina Shea banyak melakukan penukilan-penukilan dengan memotongnya sehingga keluar dari konteks dan membawa alur studi kepada pemahamannya yang anti Islam. Belum lagi ia banyak merujuk kepada para pembesar sufi semisal Hisyam Kabbani untuk memperkuat pendiskreditannya kepada Wahhabi dan Saudi Arabia.

Daniel Pipes. Seorang kolumnis Amerika Zionis dan Islamfobia. Ia adalah direktur sebuah forum yang disebut dengan ”Middle East Forum”. Operasinya didukung oleh beberapa grup seperti ”Christian Coalition”, ”The America Israel Public Affair Commitee”, ”The American Jewish Congress” dan ”Zionist Organization of America”. Dia juga orang yang berada di belakang website “Campus Watch”. Ayahnya, Richard Pipes, adalah salah satu arsitek kebijaksanaan metodologi neo-con mantan seorang dosen di Harvard University selama lebih dari 46 tahun yang pensiun pada tahun 1996. Richard sendiri adalah seorang kelahiran Polandia yang lahir dari keluarga Yahudi yang kaya raya. Richard Pipes pernah menjabat sebagai “Tim B” CIA pada tahun 1976 dan mengklaim bahwa Soviet memiliki senjata pemusnah massal, yang memicu perang dingin berkepanjangan.

Robert Spencer, seorang katolik yang berideologi neo-con yang namanya melambung pasca peristiwa 11 September dan memproklamasikan dirinya sebagai ‘spesialis Islam’. Dia adalah editor buku The Myth of Islamic Tolerance : How Islamic Law Treat Non Muslims [Mitos tentang toleransi Islam : Bagaimana hukum Islam memperlakukan non muslim] (New York : Promotheus Books, 2005). Ia berada di belakang website “Jihad Watch” dan “Dhimmi Watch” bersama dengan rekannya, Hugh Fitzgerald.

Bat Ye’or, seorang konseptor utama pencipta istilah Dhimmitude yang ia formulasikan dalam bukunya yang berjudul “Islam and Dhimmitude : Where Civilisations Collide” [Islam dan Dzimmitude : Ketika peradaban hancur] (Cranbury, Ney Jersey : Associated University Presses, 2002). Bat Ye’or sendiri sebenarnya bukanlah nama aslinya, ini adalah nama samaran pseudonim dengan bahasa Ibrani. Nama aslinya adalah Giselle Littman, seorang kelahiran Mesir namun beragama Yahudi. Ia mengklaim sebagai ahli spesialis Timur Tengah. Ia juga pernah menulis buku yang berjudul “The Jews in Egypt” pada tahun 1971 dengan nama samaran Yahudiyya Masriya. Dia menuduh bahwa bangsa muslim merampas hak kaum Yahudi dan mengkhianati perjanjian-perjanjian mereka dengan Yahudi. Dia memiliki dendam pribadi terhadap Islam setelah dirinya diusir oleh pemerintahan Mesir dan tinggal di Inggris.

Stephen Schwarts, seorang Yahudi neo-con yang masuk ke dalam kelompok sufi Naqshabandiyah Hisyam Kabbani. Ia mengklaim dirinya sebagai ahli dalam masalah keislaman, terutama setelah belajar Islam melalui kelompok sufi naqshabandiyah Hisyam Kabbani. Schwarts sangat anti dengan Wahhabi dan Saudi Arabia. Di dalam bukunya yang berjudul “The Two Faces of Islam: The House of Saud from Tradition in Terror” (Dua wajah Islam : Rumah Saud dari tradisi menuju teror), Schwarts tidak pernah menyokong satupun pendapatnya tentang Islam dengan Al-Qur’an maupun Sunnah. Bahkan lebih parah lagi, sebagaimana diutarakan oleh Amir Butler, bahwa Schwarts bersikap kelewat batas dengan membandingkan antara Wahhabisme dengan Fascsime di Italia, Komunisme di Soviat atau Militerisme Jepang. Schwarts, yang berpindah dari agama Yahudi ke agama Islam ala sufi Naqshabandiyah, tetap menunjukkan sikap antipati terhadap dakwah Islam itu sendiri dan dia turut meramaikan ritual-ritual bid’ah ala sufi seperti meramaikan kuburan dan nyanyi-nyanyi dengan musik sufiyah yang dikatakan olehnya : “Music is perhaps the greatest glory of Islamic Civilitation” (Two Face, op.cit, hal. 72-73) [Musik itu, mungkin merupakan kemenangan terbesar peradaban Islam…]. Ketika interview dengan National Review, Schwarts dengan bodohnya menyatakan bahwa Saddam Hussein (seorang Ba’tsi beraliran nasionalis komunis, pen), Hamas (Organisasi pembebasan Palestina Ikhwani, pen) dan Hizbullah (Syiah, pen), semuanya adalah Wahhabi.

Oriana Falacci, seorang penulis Italia yang dikenal dengan buku best-sellernya Anger and Pride (Kemarahaan dan Kebanggan) ini menyamakan antara ayat suci Al-Qur’an dengan Mein Kampf-nya Hittler [Mein-Kampf = perjuanganku adalah catatan harian Hittler yang dianggap bibble-nya kaum NAZI]. Ia juga mengklaim tanpa bukti bahwa “millions and millions of Muslims marched in support of Bin Laden” [Berjuta-juta kaum muslimin berbaris mendukung Bin Ladin], lalu ia berkonklusi bahwa hampir keseluruhan kaum muslimin itu berpotensi seperti Bin Ladin di dalam melakukan terorisme dan menyebarkan ideologi kebencian.

Melanie Philips, penulis Londonistan : How Britain is Creating a Terror State within [Londonistan : Bagaimana Inggris menciptakan negara teror di dalamnya] (London : Gibson Square, 2006). Pada awal mulanya ia kesulitan mencari penerbit yang mau menerbitkan bukunya ini hingga akhirnya ia memperolehnya setelah penantian dan pencarian yang cukup panjang. Di dalam bukunya, Melanie banyak melakukan klaim-klaim tanpa bukti, seperti ia menyatakan bahwa toko-toko buku Islam turut menjual buku Mein Kampf-nya Hittler. Ia juga menyandarkan beberapa ucapan kepada Syaikh Abdurrahman as-Sudays (hal. 155-56) yang sangat aneh dan tidak menunjukkan dimana perujukan ucapan tersebut ia dapatkan. Banyak sekali sumber-sumber penukilan di buku ini yang tidak diketahui asal muasalnya.

Patrick Sookhdeo, mantan muslim asal Guyana yang murtad menjadi Kristen Anglikan Kanon. Ia menjadi direktur lembaga tidak jelas bernama “Institute for The Study of Islam and Christianity”. Dia memiliki beberapa tulisan, diantaranya “The Chalenge of The Church” [Tantangan Gereja] (2006), “Understanding Islamic Terrorist: The Islamic Doctrin of War” [Memahami teroris Islam : Doktrin Islam tentang peperangan] (2004) dan lainnya. Sookhdeo menulis artikel berjudul “The Myth of a Moderate Islam” [Mitos tentang Islam Moderat] yang menyatakan bahwa kaum teroris dan ekstrimis Islam melakukan tindakan teror adalah berangkat dari ajaran islam itu sendiri, sehingga aktivitas itu sendiri merupakan epresentasi dari Islam.

Ayaan Hirsi Ali, seorang wanita zindiq asal Somalia yang mengaku sebagai muslimah, namun tindak-tanduk dan karya tulisnya menunjukkan akan kebenciannya terhadap Islam. Ia hijrah ke Belanda dengan cara keimigrasian gelap, dan pernah menjadi mantan anggota partai sayap kanan Belanda. Hirsi Ali menyeru pemerintahan kafir untuk lebih waspada menghadapi kaum muslimin dan mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyudutkan kaum muslimin. Sikap anti islammnya inilah menyebabkan dirinya menjadi “one of the most influential people of 2005” versi majalah “Times”. Di dalam bukunya, “The Caged Virgin : An Emancipation for Women and Islam” [Keperawanan yang terkurung : sebuah emansipasi untuk wanita dan Islam] menunjukkan sikap zindiqnya dan kecenderungannya di dalam atheis dan menentang syariat-syariat Islam. Di bukunya ini ia lebih banyak mengejek dan menghina syariat islam terhadap perlindungan wanita, ia juga mengejek wanita-wanita muslimah yang multazimah (komitmen). Ia pernah menghadiri pertemuan tahunan Komite Yahudi Amerika.

Serge Trifkovic, seorang berdarah serbia kroasia yang juga anti Islam. Dia turut membandingkan antara Islam dengan Fasisme Italia dan mempertanyakan realitas pembantaian muslim di Bosnia? Dia menulis sejumlah buku diantaranya Sword of The Prophet (Pedang Nabi) dan Defeating Jihaad (jihad penakukan). Dia pernah menjadi saksi pembela dalam pengadilan internasional (International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia) politisi serbia yang dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap kaum muslimin Bosnia.

Mark Silverburg, seorang pengacara dan penulis sejumlah buku terbitan Ariel Center for Policy and Research. Di dalam bukunya yang berjudul “The Quartermasters of terror: Saudi Arabia and The Global Islamic Jihad” [Juru mudi teror : Arab Saudi dan Jihad Islam Global] mengklaim bahwa Saudi Arabia telah mengeluarkan dana hampir 87 miliar dollar selama lebih dari 25 tahun ini untuk membiayai propagasi ekstrimisme Islam. Silverburg juga menunjukkan bahwa dirinya pun dipengaruhi oleh Hisyam Kabbani di dalam pengumpulan informasi dan investigasinya, sebagaimana ia menyatakan di dalam pembukaan bukunya bahwa : “In the estimated 80% of mosques that the wahabist control in America…” [pada perkiraan 80% masjid-masjid yang dikendalikan oleh kaum Wahhabi di Amerika] dan Silverburg menerima klaim ini dari Kabbani. Ia juga menyatakan bahwa tidak ada satupun ulama Islam yang menolak tindakan Usamah bin Ladin, padahal Imam Ibnu Baz sudah memperingatkan dari perilaku Bin Ladin semenjak tahun 90-an.

Dan masih banyak lagi dari para jurnalis dan penulis neo-con yang islamfobia, yang mendiskreditkan dan menfitnah Islam… dalam hal ini yang menjadi sorotan utama adalah Wahhabisme dan Saudi Arabia. Sungguh lucu, banyak sekali orang yang mengatributkan tindakan kekerasan dan terorisme dengan Wahhabisme, padahal Wahhabi terlepas dari atribut-atribut semisal ini sebagaimana terlepasnya darah serigala dari pakaian Nabi Yusuf ‘alaihi Salam.

Ada suatu agenda tersembunyi dan propaganda terang-terangan di dalam menyudutkan shahwah (kebangkitan) Islam di dunia. Barat khawatir akan kebangkitan Islam, dan mereka faham dan yakin, bahwa musuh utama mereka dalam kebangkitan Islam ini adalah mereka yang disebut sebagai Wahhabi dan Wahhabisme.

Dalam hal ini Amerika memiliki kepentingan besar di dalam menjaga eksistensinya. Mereka menjadi paranoid dan ketakutan besar terhadap gerakan puritan dan revival kaum muslim. Mereka khawatir bangkitnya kembali Daulah Khilafah Islamiyyah sebagaimana pada masa-masa kegelapan Eropa. Untuk itulah, mereka berupaya mempersiapkan diri melawan suatu ’peperangan’ dan mencuri start dengan memerangi Islam dengan atas nama terorisme…

Madeline Albright, mantan dubes AS bagi PBB menyatakan ketika dirinya masih menjabat sekretaris negara :

”The Islamic terrorism threat will lead to a war of the future” (London : The Observer, 23 Oktober 1998, hal. 14)

“Ancaman terorisme Islam akan menyebabkan suatu peperangan di masa akan datang.”

Dan inilah yang mereka takutkan. Oleh karena itu mereka akan senantiasa menjaga ko-eksistensi mereka, mereka melakukan peperangan dan kekerasan terorganisir atas nama humanity (kemanusiaan) padahal merekalah yang pertama kali menginjak-injak humanity. Sikap arogan seperti inilah yang akan membenamkan Amerika ke dalam jurang kehancuran –dengan izin Alloh- ke dalam jurang kehinaan.

Samuel Huntington dalam bukunya Clash of Civilitation and the Remakingh of World Order (New York : Touchstone books: 1996) berkata (hal. 51) :

“The West won the world not by the superiority of its ideas or values or religion (to which few members of other civilization were converted) but rather by its superiority in applying organized violence. Westerners often forget this fact; non westerner never do.”

“Barat memenangkan dunia ini bukanlah karena keunggulan ide, nilai atau agamanya (dimana sejumlah kecil peradaban lainnya terpangaruh) namun lebih karena keunggulannya di dalam menerapkan kekerasan yang teroganisir. Orang barat sering melupakan hal ini sedangkan orang non barat tidak pernah melupakannya.”

Huntington benar, bahwa mereka –orang barat- tidak pernah menyadari kesalahan mereka ini, sedangkan lawan mereka tidak pernah melupakannya. Dan inilah yang akan menjadi bumerang bagi mereka, di saat itulah civilitation (peradaban) Amerika akan collide (runtuh) dan the new world order (kepemimpinan dunia baru) akan bangkit dan menggantikan posisi mereka.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا

“Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. ”

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”

إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ

“Jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (Tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu?”

وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ

“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.”

Di Balik Makar Khawarij dan Syi’ah, Merunut Aksi-aksi Jahat Yahudi

“Nenek moyang” Mossad (badan intelijen Yahudi) sesungguhnya sudah ada sejak zaman sahabat. Melalui provokasi agen Yahudi bernama Abdullah bin Saba`, lahirlah demonstrasi pertama dalam Islam berikut aksi teror yang berujung dengan wafatnya Khalifah ‘Utsman radhiyallahu 'anhu. Maka siapa pun yang menumbuhsuburkan demonstrasi menentang pemerintah Islam dan aksi-aksi terorisme, selain menebar fitnah atas kaum muslimin, ia juga tengah mempraktikkan cara-cara Yahudi dalam mengoyak persatuan umat.

Dalam lintasan sejarah, nama Abdullah bin Saba` sudah tak begitu asing didengar telinga kaum muslimin. Kiprahnya dalam tubuh umat ini telah menjadi bagian kelam sejarah umat Islam. Aksi-aksinya yang sedemikian jijik dan kotor telah menjerembabkan sebagian umat ke jurang kenistaan.
Abdullah bin Saba` adalah seorang Yahudi penduduk Shana’a, Yaman. Ibunya bernama Sauda` sehingga sering dia disebut dengan Ibnu Sauda`. Secara lahiriah, di hadapan kaum muslimin, dia menampilkan diri sebagai seorang yang bersosok keislaman. Namun senyatanya, apa yang meluncur dari lisan dan perbuatannya tak lebih dari seonggok kebid'ahan. (Lihat Taudhihu An-Naba` ‘an Mu`assis Asy-Syi’ah Abdillah bin Saba` baina Aqlam Ahli As-Sunnah wa Asy-Syi'ah wa Ghairihim, Abil Hasan Ali bin Ahmad bin Hasan Ar-Razihi, hal. 37)
Terjadinya gerakan demonstrasi besar-besaran dalam sejarah Islam, tiada lain didalangi Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi yang menyimpan bara dendam terhadap kaum muslimin. Apa yang telah dilakukannya lantas menyuburkan pemahaman Khawarij pada sebagian kaum muslimin di masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu. Melalui aksi provokasinya, sebagian umat terpancing untuk melakukan aksi demonstrasi menentang ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu yang berakhir dengan terbunuhnya beliau.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab dalam Mukhtashar Sirah Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal. 218) menyebutkan, pada tahun ke-35 H, sebagian penduduk Mesir dan yang sepaham dengan mereka, melakukan gerakan menentang terhadap pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu. Adapun sumber fitnah dari semua itu adalah Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi dari Shana’a. Secara zhahir dia menampakkan keislaman, namun dalam dirinya tersembunyi api dendam dan kekufuran. Hidupnya senantiasa berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya dalam upaya menyebarkan dan menyusupkan pemahaman-pemahaman sesatnya, sehingga menyesatkan sebagian kaum muslimin. Dia selalu berpindah dari Hijaz, Bashrah, Kufah, dan Syam.
Ketika dia tak berhasil dengan apa yang menjadi tergetnya di negeri-negeri tersebut, lantas Abdullah bin Saba` hengkang menuju Mesir. Di negeri inilah dia bisa menyemai pemahaman-pemahaman sesatnya dan berhasil mengelabui sebagian umat sehingga terprovokasi. Ibnu Sauda` lantas melakukan gerakan propaganda anti ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu. Masyarakat dihasut agar menentang pemerintah. Fitnah dan api kebencian terhadap pemerintah disebar. Mendorong umat untuk menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Sehingga terjadilah musibah besar dengan pengepungan terhadap ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu. Akhir dari peristiwa pengepungan tersebut, adalah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu kala membaca Al-Qur`an. Semua ini dilakukan oleh kalangan Khawarij yang dipicu pemikiran dan aksi jahat sang Yahudi, Abdullah bin Saba`.
Inilah aksi terorisme terjahat yang dilakukan kelompok Khawarij pada kurun keemasan Islam. Aksi terorisme yang mereka lakukan didalangi seorang agen Yahudi berwajah Islam. Kelihaian agen Yahudi satu ini dalam melakukan infiltrasi ke dalam tubuh umat, menjadikan sebagian kaum muslimin terseret pada tindakan-tindakan terorisme menjijikkan.
Berawal dari sinilah pintu-pintu fitnah terbuka luas. Kaum muslimin diselimuti kabut kelam. Api fitnah tak kunjung memadam, terlebih manuver Abdullah bin Saba` senantiasa meruyak di tubuh umat. Yahudi asal Shana’a ini terus meniupkan racunnya ke dalam tubuh kaum muslimin. Satu di antara sekian banyak racun yang telah ditebar di tubuh umat, yaitu membangkitkan fanatisme buta terhadap keimamahan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Lalu bergulir menjadi sebuah aqidah (keyakinan) di kalangan Saba`iyah (para pengikut Abdullah bin Saba`), bahwa keimamahan yang pertama dipegang oleh ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu dan berakhir pada Muhammad bin Al-Husain Al-Mahdi. Inilah keyakinan di kalangan Syi’ah yang merupakan keyakinan sesat. Kalangan Syiah meyakini hal itu sebagai bentuk aqidatu ar-raj’ah. (‘Aqa`idu Asy-Syi’ah, Asy-Syaikh Mahmud Abdulhamid Al-’Asqalani, hal 21)
Keyakinan terhadap keimamahan ini lahir dari bentuk dendam kesumat Abdullah bin Saba` terhadap Ahlu Sunnah wal Jamaah. Dendam ini hingga kini terus ditumbuhsuburkan oleh para pengikutnya dari kalangan Syi’ah Rafidhah. Karenanya, adalah sebuah kedustaan bila orang-orang Syi’ah dewasa ini bisa mengambil sikap permusuhan yang keras terhadap Yahudi. Bagaimana pun Syi’ah dan pemahamannya tidak akan bisa dilepaskan dari Yahudi. Becerminlah dari sejarah, wahai orang-orang yang berakal. Wallahu a’lam.

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=487

TUDUHAN SALAFY ANTEK & BUDAK PENGUASA : Mengapa Ahlus Sunnah anti-demokrasi namun tetap menaati pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi?

Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa
(Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah)

Penulis : Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray



Telah dimaklumi bersama bahwa merubah kemungkaran dan menasihati pelakunya adalah kewajiban setiap muslim sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:

من رأى منكم منكراً فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no. 186)

Akan tetapi, masih banyak kaum muslimin yang belum memahami bahwa untuk merubah kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah muslim tidak sama dengan merubah kemungkaran yang dilakukan oleh selainnya. Bahkan lebih parah lagi, kemungkaran yang dilakukan penguasa dijadikan sebagai komoditi untuk meraih keuntungan oleh sebagian media massa. Mahasiswa pun turun ke jalan untuk berdemonstrasi, tak ketinggalan pula para “aktivis Islam” atau “aktivis dakwah” melakukan “aksi damai” yang menurut mereka itulah demo Islami, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban.

Namun yang sangat mengherankan, ada sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, pengikut sunnah Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- pun turut serta melakukan demonstrasi (yang mereka namakan dengan aksi damai) dan mengkritik pemerintah muslim secara terang-terangan di media massa. Maka seperti apakah bimbingan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini?

Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- yang ma’shum, yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya. Semua perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-, beliau bersabda:

من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده فيخلوا به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه

“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak, maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-. Hadits ini di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- dalam Zhilalul Jannah, (no. 1096)]

Demikianlah bimbingan Nabi yang mulia teladan kita –shallallahu’alaihi wa sallam- dalam menasihati penguasa. Lalu seperti apakah pemahaman dan pengamalan terhadap hadits di atas oleh para pengikut sunnah yang sejati, yakni para sahabat dan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah?

Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim -rahimahumallah- dalam Shahih keduanya meriwayatkan:

قيل لأسامة لو أتيت فلانا (عند الامام مسلم: عثمان بن عفان –رضي الله عنه-) فكلمته . قال إنكم لترون أنى لا أكلمه إلا أسمعكم ، إنى أكلمه فى السر دون أن أفتح بابا لا أكون أول من فتحه

“Dikatakan kepada Usamah (bin Zaid) radhiyallahu’anhuma, “Kalau sekiranya engkau mendatangi si fulan (dalam riwayat Al-Imam Muslim, si fulan yang dimaksud adalah: Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu) lalu engkau menasihatinya?” Usamah menjawab, “Sesungguhnya kalian benar-benar mengira bahwa aku tidak menasihatinya, kecuali jika aku memperdengarkannya kepada kalian?! Sungguh aku telah menasihatinya secara diam-diam, tanpa aku membuka sebuah pintu yang semoga aku bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut.” [HR. Al-Bukhari, (no. 3267, 7098) dan Muslim, (no. 7408) dari Abu Wa’il radhiyallahu’anhu]

Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah berbicara (menasihati) beliau tanpa aku membuka sebuah pintu“, maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam perkara yang kalian isyaratkan tersebut, tetapi dengan memperhatikan maslahat dan adab (dalam menasihati penguasa), yakni secara rahasia, sehingga tidak terjadi pada perkataan (nasihatku) ini sesuatu yang bisa mengobarkan fitnah.” [Lihat Fathul Bari, (13/51)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- juga menukil penjelasan sebagian ulama tentang kemungkaran yang diisyaratkan kepada Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma- ternyata bukanlah kemungkaran yang tersembunyi dari masyarakat, tetapi kemungkaran yang zhahir dan telah tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat, yaitu tentang salah seorang pejabat Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- yang bernama Al-Walid bin ‘Uqbah yang tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar), kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan Usamah,

“Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia (tidak terang-terangan), tanpa aku membuka sebuah pintu”, makna (pintu) yang dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran atas kemungkaran para penguasa secara terang-terangan, karena khawatir akan memecah belah kalimat (yakni persatuan kaum muslimin di bawah seorang pemimpin)”, kemudian beliau (Usamah) memberitahu mereka bahwa ia tidak sedikitpun mencari muka pada seseorang meskipun pada seorang pemimpin, akan tetapi ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasihati pemimpin secara rahasia (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]

Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata, “Maksud Usamah, bahwa ia tidak ingin membuka pintu (memberi contoh) cara mengingkari penguasa dengan terang-terangan, karena ia khawatir dampak buruk dari cara tersebut. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah dengan lemah lembut dan menasihati secara rahasia, karena cara tersebut lebih dapat diterima”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]

Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi –rahimahullah- juga menjelaskan perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia“, maknanya, “Aku menasehati penguasa secara diam-diam, sehingga aku tidak membuka sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku (Usamah) menasihatinya demi meraih kemaslahatan bukan untuk memprovokasi munculnya fitnah (masalah), karena cara mengingkari para penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya. Sebab pada cara tersebut terdapat pencemaran nama baik para pemimpin yang mengantarkan kepada terpecahnya kalimat (persatuan kaum muslimin) dan tercerai-berainya jama’ah”. [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, (23/33)]

Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam menerangkan perkataan Usamah pada riwayat Muslim, beliau berkata: “Aku membuka perkara yang aku tidak suka jika akulah yang pertama membukanya (yakni mencontohkan keburukan),” maknanya adalah, “Terang-terangan dalam menasihati penguasa di depan khalayak, sebagaimana pernah terjadi pada para pembunuh ‘Utsman -radhiyallahu’anhu-. Dalam hadits ini terdapat adab bersama penguasa, lemah lembut terhadap mereka, menasihati mereka secara rahasia dan menyampaikan perkataan manusia tentang mereka agar mereka berhenti dari kemungkaran tersebut. Ini semua dilakukan jika memungkinkan, namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” [Lihat Syarah Muslim, (18/118)]

Peringatan: Perkataan Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- pada bagian akhir yang kami garisbawahi di atas maksudnya adalah jika keadaan memaksa untuk itu (bukan pada semua keadaan) karena hal tersebut bukanlah kebiasaan para sahabat, sebagaimana perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- yang dijadikan dalil oleh hizbiyun untuk membolehkan menasihati pemerintah secara terang-terangan, yang insya Allah akan kami jawab dalam penjelasan syubhat dan bantahannya.

Al-Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- menerangkan perkataan Usamah dalam riwayat Muslim: “Sungguh aku telah menasihatinya secara empat mata”, maksudnya adalah, “Ia (Usamah) telah menasihati Utsman -radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan perkataan yang lembut, karena yang demikian itu lebih hati-hati untuk menghindari cara terang-terangan dalam mengingkari penguasa dan menghindari sikap penentangan terhadap penguasa, sebab cara menasihati penguasa dengan terang-terangan sangat berpotensi melahirkan berbagai macam fitnah dan kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim, (6/619)]

Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata, “Sepatutnya bagi orang yang mengetahui kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa tersebut, dan janganlah ia menampakan celaan kepada penguasa di depan publik. Akan tetapi sebagaimana terdapat dalam hadits (yakni hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-), hendaklah ia meraih tangan sang penguasa dan menyepi dengannya, lalu menasihatinya, dan janganlah ia menghinakan sultan (penguasa) Allah”.[Lihat As-Sail Al-Jarrar, (4/556)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah- berkata, “Bagi siapa yang melihat suatu kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia memperingatkan mereka secara rahasia, tidak terang-terangan di khalayak, dengan cara yang lembut dan perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh An-Nadhirah, (hal. 50)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf, membeberkan aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada ketidakstabilan (negara), sehingga masyarakat tidak mau dengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah menasehati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan”. [Lihat Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)]

Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya. Kedua: Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]

Dari penjelasan para ulama di atas, telah sangat jelas bahwa dalam menasihati penguasa tidak boleh dilakukan secara terang-terangan, baik melalui demonstrasi, berbicara di mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui kolom opini dan artikel yang disebarkan secara terbuka di media-media. Apabila hal tersebut dilakukan, maka akan melahirkan mafsadat-mafsadat yang besar diantaranya:
Memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa, terlebih jika nasihat tersebut tidak diindahkan oleh penguasa, maka akibatnya akan menceraiberaikan kesatuan kaum muslimin (lihat penjelasan Ibnu Hajar, Al-‘Aini dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahumullah-)
Cara mengingkari kemungkaran penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini dan Al-Imam Al-Qurthubi –rahimahumallah-)
Pencemaran nama baik dan ghibah kepada penguasa yang dapat mengantarkan kepada perpecahan masyarakat dan pemerintah muslim (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini –rahimahullah-)
Membuat masyarakat tidak mau menaati penguasa dalam hal ma’ruf (lihat penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-)
Menyebabkan permusuhan antara pemimpin dan rakyatnya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 99)
Menjadi sebab ditolaknya nasihat oleh penguasa (lihat penjelasan Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah-)
Menyebabkan tertumpahnya darah seorang muslim, sebagaimana yang terjadi pada para pembunuh Utsman -radhiyallahu’anhu- (lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dan juga penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani -rahimahullah- dalam Mukhtashor Shahih Muslim, hal. 335)
Menghinakan sulthan Allah (lihat penjelasan Al-Imam Asy-Syaukani –rahimahullah-)
Munculnya riya’ dalam diri pelakunya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin -rahimahullah-)
Menyelisihi dalil dan jalan As-Salafus Shalih
Mengikuti jalan ahlul bid’ah (Khawarij)
Renungan Bagi para Pencela Pemerintah

Menasihati penguasa secara terang-terangan termasuk dalam kategori pemberontakan yang merupakan karakter Khawarij, yakni satu sekte sesat yang dikenal dengan sikap pemberontakannya kepada pemerintah muslim yang mereka anggap zalim dan tidak berhukum dengan hukum Allah. Maka janganlah sampai engkau tergolong dalam kelompok Khawarij -wahai pencela pemerintah- yang telah diperingatkan oleh Nabi –shallallahu’alaihi wa sallam-:

كلاب النار شر قتلى تحت أديم السماء خير قتلى من قتلوه

“Mereka adalah anjing-anjing neraka; seburuk-buruknya makhluk yang terbunuh di bawah kolong langit, sedang sebaik-baiknya makhluk yang terbunuh adalah yang dibunuh oleh mereka.” [HR. At-Tirmidzi, (no. 3000), dari Abu Umamah Al-Bahili -radhiyallahu’anhu-, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah, (no. 3554)]

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- berkata, “Nasihat kepada penguasa secara rahasia merupakan salah satu pokok dari pokok-pokok Manhaj Salaf yang diselisihi oleh ahlul ahwa’ wal bida’, seperti Khawarij.”

Beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-) juga menjelaskan bahwa menyebarkan aib-aib penguasa merupakan bentuk pertolongan kepada Khawarij dalam membunuh penguasa muslim, sehingga jelas bahwa pemberontakan itu tidak hanya dengan senjata, tapi juga dengan lisan.

Beliau berkata: “Hal tersebut dilarang karena bisa mengantarkan kepada perbuatan menumpahkan darah dan pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tabaqot, dari Abdullah bin Ukaim al-Juhani, bahwa beliau berkata:

“Aku tidak akan menolong pembunuhan seorang Khalifah selamanya setelah Utsman”, maka dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau telah membantu (Khawarij) dalam membunuh Utsman?” Maka beliau berkata, “Sungguh aku menganggap perbuatan membicarakan keburukan-keburukan beliau sebagai bentuk pertolongan kepada (Khawarij) dalam membunuhnya”.

Maka camkanlah baik-baik atsar ini, tatkala beliau menganggap pembicaraan tentang kejelekan-kejelekan penguasa termasuk perkara yang membantu pembunuhannya.”

Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah) memberikan komentar pada catatan kaki, “Atsar ini berfaedah pelajaran bahwa pemberontakan itu dapat terjadi dengan senjata (pedang), maupun dengan ucapan. Berbeda dengan pendapat (yang salah) bahwa pemberontakan itu tidak terjadi kecuali dengan senjata. Maka camkanlah ini baik-baik dan ingatlah selalu.”

Beliau juga menukil penegasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-, “Bukan termasuk manhaj Salaf menelanjangi aib-aib penguasa dan membicarakannya di atas mimbar-mimbar, karena hal tersebut mengantarkan kepada kudeta dan ketidaktaatan masyarakat dalam hal yang ma’ruf kepada penguasa. Lebih dari itu, mengantarkan kepada pemberontakan yang hanya membahayakan dan tidak bermanfaat.” [Lihat artikel As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-, softcopy dari www.sahab.net]
Syubhat dan Bantahannya

Keterangan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta penjelasan para ulama di atas sekaligus sebagai bantahan terhadap tuduhan hizbiyun bahwa:
Ahlus Sunnah mendiamkan kemungkaran penguasa. Karena para ulama Ahlus Sunnah adalah budak penguasa yang kerjanya hanya mencari muka kepada penguasa
Mengapa Ahlus Sunnah mengharamkan demokrasi namun tetap menaati pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi!?

Semua syubhat ini telah terjawab dalam keterangan di atas, yang ringkasnya:

Pertama: Ahlus Sunnah tidak menasihati penguasa secara terang-terangan di depan khalayak bukan berarti diam dengan kemungkaran penguasa, bukan pula karena mencari muka kepada penguasa, tetapi karena mengikuti tuntunan Islam dalam menasihati penguasa.

Kedua: Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan secara serampangan terhadap pemerintah muslim yang terlibat dalam system kufur demokrasi atau yang tidak berhukum dengan syari’at Islam, karena ada syarat-syarat pengkafiran yang harus terpenuhi dan terangkatnya penghalang-penghalang. Olehnya, Ahlus Sunnah tetap menaati seorang pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi karena menganggapnya masih muslim.

Masih ada beberapa syubhat yang sering dilontarkan oleh hizbiyun dan ingin kami jelaskan bantahannya –insya Allah- demi untuk menghilangkan kekaburan dalam masalah ini:

Syubhat pertama: Menasihati penguasa secara terang-terangan bukan termasuk pemberontakan dan bukan pula karakter Khawarij

Dari penjelasan di atas, jelaslah kesalahan sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, namun menganggap bahwa menasihati penguasa dengan membicarakan aib-aib penguasa secara terang-terangan bukan termasuk pemberontakan dan karakter Khawarij, sebagaimana yang dikatakan penulis buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij?:

“Lebih dari itu, sekedar melakukan demonstrasi saja sudah dianggap sebagai tindak pemberontakan dan dikatakan sebagai Khawarij dan teroris. Hal ini tercermin dalam perkataan beliau (Al-Ustadz Luqman Ba’abduh -pen), “Perlu ditekankan di sini, bahwa bentuk pemberontakan terhadap penguasa itu tidak hanya dalam bentuk gerakan fisik atau gerakan bersenjata saja”. Kemudian beliau (Al-Ustadz Luqman Ba’abduh -pen) mengutip pendapat Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al-Jazairi di buku Madarik An-Nazhar (tanpa penyebutan halaman) yang mengatakan, “Wal hasil, hanya sekedar memprovokasi massa untuk menentang penguasa muslim (walaupun penguasa tersebut seorang fasik) sudah layak dicap sebagai cara-cara khawarij.” [Lihat Siapa Teroris? Siapa Khawarij?, (hal. 224)]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullah- menjawab syubhat ini, dalam menjelaskan hadits tentang tuduhan kaum Khawarij kepada Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bahwa beliau belum berlaku adil dalam pembagian ghanimah. Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“Ini merupakan dalil terbesar bahwa pemberontakan terhadap pemerintah bisa dengan senjata, ucapan dan komentar. Yakni, orang ini (Dzul Khuwaisirah) tidak mengangkat pedang melawan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, tetapi hanya sekedar mengingkari beliau (dengan ucapan).

Kami sangat memahami bahwa biasanya tidak akan terjadi pemberontakan dengan senjata, kecuali telah didahului oleh pemberontakan dengan kata-kata. Manusia tidaklah mungkin menyandang senjata mereka untuk memerangi penguasa tanpa ada sesuatu yang dapat memprovokasi mereka. Pasti ada sesuatu yang bisa memprovokasi mereka, itulah ucapan (provokator). Maka pemberontakan kepada penguasa dengan kata-kata adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan sunnah dan kenyataan.” [Lihat Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, (hal. 96)]

Penjelasan di atas mengingatkan kita kepada salah satu sekte Khawarij yang bernama Al-Qo’adiyah. Mereka ini tidak ikut mengangkat senjata melawan penguasa dalam pemberontakan berdarah, tetapi kerjaan mereka hanyalah memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa dengan bait-bait syair maupun orasi-orasi di mimbar bebas.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Qa’adiyah memprovokasi pemberontakan kepada para penguasa, meskipun mereka tidak terlibat langsung.” [Lihat Hadyus Sari, oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah-, hal. 459, sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, hal. 20]

Bahkan sebenarnya merekalah yang paling berbahaya dan paling dahsyat fitnahnya, karena biasanya orang-orang yang bisa melakukan provokasi adalah yang memiliki sedikit ilmu yang dengannya dia menipu manusia. Seakan ia juga “termasuk dalam jajaran ulama terpandang”, sehingga disebutkan dalam satu atsar dari Abdullah bin Muhammad Adh-Dha’if –rahimahullah-, ia berkata: “Kelompok al-Qa’adiyah ini merupakan pecahan khawarij yang paling jelek!” [Riwayat Abu Dawud dalam Masaa’il Al-Imam Ahmad, (hal. 271), sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, (hal. 21)]

Syubhat kedua: Boleh menasihati penguasa secara terang-terangan jika kemungkaran tersebut dilakukan secara terang-terangan, dengan dalil perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri –radhiyallahu’anhu- dalam menasihati Marwan, walikota Madinah dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud –rahimahullah-

Adapun pembolehan menasihati penguasa secara terang-terangan, jika penyimpangan penguasa dilakukan terang-terangan sebagaimana dalam kisah sahabat yang mulia Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud –rahimahullah-, beliau berkata dalam salah satu fatwa beliau, “Karenanya, saya memandang jika perkara yang hendak disampaikan sebagai nasihat merupakan perkara zahir, jelas dan nampak dalam artian kemungkaran itu nampak dan jelas, maka tidak mengapa memberi nasehat kepada penguasa dengan cara berhadapan dengannya, atau melalui kolom opini di koran-koran (termasuk artikel), melalui mimbar-mimbar, atau dengan metode-metode lainnya jika kemungkaran tersebut jelas dan nampak di tengah-tengah manusia.”

Syubhat ini kami jawab dari beberapa sisi:

Pertama: Kalau fatwa ini benar dari beliau, maka beliau sendiri (dalam fatwa yang sama) telah memberikan batasan-batasan dan siapa yang berhak melakukannya, diantaranya:

1). Dengan memperhatikan maslahat dan mafsadat. Jika kita lihat mafsadat-mafsadat besar yang sangat mungkin ditimbulkan dari cara menasihati pemerintah dengan terang-terangan, tentunya hal tersebut tidak boleh untuk dilakukan.

2). Bukan semua orang yang boleh melakukannya, tetapi para ulama yang benar-benar memiliki ilmu dalam masalah tersebut dan memiliki kedudukan dalam pandangan pemerintah dan masyarakat. Hal ini jelas dari perkataan beliau dan pendalilan beliau dengan kisah Abu Sa’id al-Khudri -radhiyallahu’anhu-. Siapa Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu-, seorang ulama besar di kalangan sahabat dibandingkan dengan Marwan seorang Tabi’in[1]? Kedudukannya adalah guru (Sahabat) dan murid (Tabi’in). Demikian pula, tidak semua Sahabat dan Tabi’in yang hadir pada saat itu melakukan pengingkaran secara terang-terangan.

Kedua: Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu-, maka itu adalah perkara yang sangat mendesak dan sangat terkait dengan waktu yang singkat (yakni pelaksanaan shalat ‘ied) dan terjadi di depan matanya dan di depan khalayak ramai, sehingga tidak mungkin untuk ditunda. Karena kaidah yang disepakati, “Menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh”. Inilah maksud perkataan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- yang kami garis bawahi di atas.

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- menjelaskan perkataan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- tersebut, “Perkataan beliau, “Ini semua dilakukan jika memungkinkan”, yakni jika memungkinkan seseorang menasihati penguasa secara rahasia, maka inilah yang wajib atasnya, tidak yang lainnya (yakni tidak boleh terang-terangan).”

“Adapun perkataan beliau (An-Nawawi), “Namun jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.” Maknanya adalah, “Janganlah seseorang mengingkari kemungkaran penguasa secara terang-terangan, kecuali dalam keadaan sangat genting (daruroh syadidah).”

Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-) berkata dalam catatan kakinya, “Atas dasar inilah (yakni dalam keadaan darurat) dibawa perbuatan Salaf (dalam mengingkari kemungkaran penguasa terang-terangan), seperti kisah Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- bersama Marwan, walikota Madinah ketika ia mendahulukan khutbah atas shalat ‘ied.” [Lihat Shahih Al-Bukhari (2/449 no. 956 bersama Fathul Bari kitab Al-’Idain, bab Al-Khuruj ilal Musholla bi ghayri Minbar]

“Oleh karenanya, ketika ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- mengingkari perbuatan Hisyam -radhiyallahu’anhu- (yaitu, dengan menyampaikan hadits di atas) karena pengingkaran Hisyam terhadap kemungkaran penguasa secara terang-terangan, tanpa ada kebutuhan mendesak (darurat). Tidaklah yang dilakukan Hisyam -radhiyallahu’anhu-, kecuali tunduk (kepada hadits tersebut), wallahu A’lam.” (Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, softcopy dari www.sahab.net)

Ketiga: Pengingkaran Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu benar-benar di depan penguasa tersebut, sehingga memungkinkan bagi sang penguasa untuk mengambil faedah “secara langsung” dari nasihat beliau, atau sebaliknya sang penguasa bisa memberikan bantahan jika ia memiliki dalil atau pertimbangan khusus sebagai seorang pemimpin.

Adapun jika dengan menyebarkan artikel-artikel di media massa dan berorasi di mimbar-mimbar bebas yang tidak dihadiri oleh penguasa, maka belum tentu bisa dibaca atau didengarkan oleh penguasa (sebagai orang yang dinasihati), malah yang terjadi adalah ghibah atau buhtan, pencemaran nama baik dan provokasi untuk memberontak kepada penguasa. Bagaimana bisa seseorang mengharamkan ghibah dan pencemaran nama baik dirinya dan para tokoh idolanya sementara untuk penguasa dia bolehkan…Ma lakum kayfa tahkumun?!

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahullah- menjelaskan, “Sesungguhnya mengingkari kemungkaran yang tersebar adalah hal yang dituntut dan tidak ada masalah dalam hal ini. Tapi yang menjadi masalah dalam pembahasan kita adalah pengingkaran terhadap seorang penguasa, seperti jika seseorang berpidato di masjid, kemudian ia berkata misalnya, “Negara (pemerintahnya) ini telah berbuat zhalim”, “Pemerintah telah melakukan (kesalahan)”, ia terus berbicara tentang kemungkaran penguasa dengan cara terang-terangan ini, padahal para penguasa tersebut tidak hadir dalam majelis itu. Jelas berbeda jika pemimpin atau penguasa yang ingin engkau nasihati itu ada di hadapan Anda dan ketika dia tidak ada. Karena semua pengingkaran secara terang-terangan yang dilakukan oleh generasi Salaf terjadi langsung di hadapan pemimpin atau penguasa. Bedanya, jika ia hadir, memungkinkan baginya untuk membela diri dan menjelaskan sisi pandangnya, dan bisa jadi ia yang benar dan kita yang salah. Akan tetapi jika ia tidak hadir, tentunya ia tidak bisa membela diri dan ini termasuk kezhaliman. Maka wajib bagi setiap kita untuk tidak berbicara tentang kejelekan seorang penguasa tatkala ia tidak hadir. Olehnya, jika engkau sangat menginginkan kebaikan (bagi seorang penguasa) pergilah kepadanya, temuilah ia, lalu nasihati secara empat mata.” [Lihat Liqo’ Al-Babil Maftuh, pertemuan ke-62, hal. 46)

Keempat: Jika fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud –rahimahullah- diterima secara mutlak tanpa ada batasan-batasan sebagaimana yang beliau jelaskan sendiri dan batasan-batasan lain yang dijelaskan oleh para ulama lainnya, maka hal tersebut sangat jelas bertentangan dengan dalil dan fatwa-fatwa para ulama lainnya sebagaimana yang kami nukil di atas. Oleh karena itu kami mengingatkan kepada saudara-saudara kami yang menasihati penguasa secara terang-terangan karena mengikuti fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud –rahimahullah-. Ketahuilah –kami mencintai kebaikan untuk kalian sebagaimana kami cintai kebaikan itu untuk diri kami-:

Pertama: Kalaupun benar sebagaimana yang kalian katakan (bahwa ada khilaf dalam masalah ini), bukankah yang terbaik bagi kita untuk berhati-hati dengan memilih jalan yang lebih selamat?!

Kedua: Jika kita mencari setiap keringanan para ulama, niscaya kita akan binasa, sebagaimana diriwayatkan dari sebagian Salaf, “Barangsiapa yang mencari-cari keringanan para ulama, maka dia telah mengarah kepada kemunafikan”.

Ketiga: Tidakkah kalian memikirkan mafsadat yang besar –terutama bagi orang-orang awam- jika pintu ini dibuka?!

Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- menerangkan, sedikitnya tiga kemungkaran besar yang menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah ketika seseorang menasihati penguasa secara terang-terangan, padahal masih memungkinkan untuk dinasihati secara rahasia,

Pertama: Menyelisihi hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- yang memerintahkan untuk diam-diam dalam menasihati penguasa.

Kedua: Menyelisihi atsar-atsar dan manhaj Salaf, seperti atsar Usamah bin Zaid dan Abdullah bin Abi Aufa dan selainnya radhiyallahu’anhum.

Ketiga: Menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.” (HR. Al-Bukhari)

(Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, softcopy dari www.sahab.net)

Syubhat ketiga: Tidak mungkin menasihati penguasa seperti hadits ‘Iyadh bin Ganm maupun atsar Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhum- di zaman ini, dikarenakan aturan protokoler pemerintahan modern terlalu berbelit-belit, sehingga tidak memungkinkan setiap orang bisa bertemu empat mata dengan seorang pejabat, maka terpaksa diambil jalan terakhir, yaitu dengan melakukan demonstrasi, tapi demo yang Islami atau aksi damai.

Menjawab syubhat ini kami katakan:

Pertama: Hadits ‘Iyadh bin Ganm dan atsar Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhum itu tidak bermakna harus persis seperti teksnya, yaitu setiap orang yang ingin menasihati harus memegang tangan penguasa, menyepi dengannya atau bertemu empat mata dengannya. Masih ada cara lain yang dibolehkan, asalkan tidak terang-terangan, seperti penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-, “Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah: menasihati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan.” (Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, hal. 27)

Kedua: Jika ternyata memang semua jalan yang disebutkan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah- tidak bisa sama sekali atau penguasa tidak mau menuruti nasihat dan merubah kebijakannya yang zalim, apakah kemudian boleh melakukan demonstrasi atau menyebar artikel nasihat dan teguran kepada pemerintah di media massa?

Jawabnya: Tetap tidak boleh, sebab hal tersebut bertentangan dengan dalil dan petunjuk Salaf dalam menghadapi keadaan semacam ini.

Al-Imam Ibnu Abdil Barr –rahimahullah- berkata, “Jika tidak memungkinkan untuk menasihati penguasa (dengan cara yang syar’i), maka solusi akhirnya adalah sabar dan doa, karena dahulu mereka –yakni Sahabat- melarang dari mencaci penguasa”. Kemudian beliau menyebutkan sanad satu atsar dari Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-, beliau (Anas) berkata, “Dahulu para pembesar Sahabat Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- melarang dari mencaci para penguasa.” [Lihat At-Tamhid, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, (21/287)]

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri –rahimahullah- berkata, “Demi Allah, andaikan manusia bersabar dengan musibah berupa kezhaliman penguasa, maka tidak akan lama Allah Ta’ala mengangkat kezhaliman tersebut dari mereka, namun apabila mereka mengangkat senjata melawan penguasa yang zhalim, maka mereka akan dibiarkan oleh Allah. Dan demi Allah, hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan kapan pun. Kemudian beliau membaca firman Allah:

وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ

“Maka sempurnalah kalimat Allah (janji-Nya) kepada Bani Israel disebabkan kesabaran mereka dan Kami musnahkan apa yang diperbuat oleh Fir’aun dan kaumnya dan apa yang mereka bina.” (Al-A’rof: 137).” [Lihat Madarikun Nazhor, (hal. 6)]

Penjelasan para ulama di atas dipahami dari banyak hadits Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, diantaranya sabda beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-:

من رأى من أميره شيئاً يكرهه فليصبر عليه ، فإنه من فارق الجماعة شبراً فمات إلا مات ميتة جاهلية

“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai (kemungkaran) yang ada pada pemimpin negaranya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah (pemerintah) kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbas -radhiyallahu’anhuma-)

Juga sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:

إنكم سترون بعدي أثرة وأموراً تنكرونها قالوا: ما تأمرنا يا رسول الله قال: أدوا إليهم حقهم وسلوا الله حقكم

“Sesungguhnya kelak kalian akan melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian (berdoa).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu-)

Dan sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:

قلنا يا رسول الله : أرأيت إن كان علينا أمراء يمنعونا حقنا ويسألونا حقهم ؟ فقال : اسمعوا وأطيعوا . فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم

“Kami bertanya, wahai Rasulullah, “Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin negara kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” (HR. Muslim dari Wail bin Hujr -radhiyallahu’anhu-)

Maka jelaslah, ketika sudah tidak ada lagi solusi lain untuk merubah kemungkaran penguasa, tidak dibenarkan sama sekali melakukan demonstrasi, meskipun berupa aksi damai dan tidak pula dengan menyebar artikel dan berbicara tentang kejelekan penguasa di khalayak ramai, karena semua itu bertentangan dengan tuntunan Allah Ta’ala yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Jadi, tidak ada dalam Islam istilah demonstrasi Islami. Adapun yang dituntunkan oleh teladan kita, Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para sahabat -radhiyallahu’anhum- adalah sabar dan doa.

Inilah sebaik-baiknya solusi bagi orang-orang yang beriman kepada ayat Allah Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu’alaihi wa sallam-.

Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwaffiq.

(Artikel ini dialihtuliskan untuk umum dari artikel khusus kami di www.almakassari.com)
[1] Meskipun Marwan lahir dua atau empat tahun setelah hijrahnya Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- ke Madinah, namun ia tidak pernah melihat Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-. Demikian pendapat Al-Imam Al-Bukhari –rahimahullah- [Lihat At-Tahdzib, (10/82/no. 167) dan At-Taqrib, (no. 6567)]Sumber : http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/05/tuntunan-islam-dalam-menasihati-penguasa-sebuah-renungan-bagi-para-pencela-pemerintah/