Blogger templates

MENDUDUKKAN PERMASALAHAN UDZUR KARENA KEJAHILAN


KOREKSI




MENDUDUKKAN PERMASALAHAN UDZUR KARENA KEJAHILAN

الحمد لله رب العالمين، الرحمن الرحيم، مالك يوم الدين; وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أرسله رحمة للعالمين، وحجة على الكافرين، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه، ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، وسلم تسليما.
Sesungguhnya perincian dalam permasalahan Iman dan Takfir sesuai dengan dalil merupakan tuntutan dalam din yang mulia ini. Karena peniadaan rincian dalam hal tersebut menyebabkan pelakunya terjatuh dalam kesesatan.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: dalil yang berlafadz – lafadz mujmal dalam peniadaan dan penetapan iman yang dijadikan pijakan pendapat tanpa disertai perincian akan menyebabkan terjatuh dalam kebodohan, kesesatan, fitnah dan kerusakan serta Qila Wa Qola. (Minhajus Sunnah 2/130)
Imam Ibnul Qoyyim dalam hal ini berkata pula dalam Syifa’ul Alil 1/324: asal bencana yang menimpa kebanyakan manusia yaitu terjatuhnya mereka pada lafadz- lafadz yang mujmal.
Pada kesempatan kali ini kami akan mengajak saudara islam untuk membahas permasalahan peniadaan dan penetapan iman bagi orang yang bodoh, dalam hal ini para Ulama’ Ahlus Sunnah menyebut Udzur bil Jahl. Pada permasalahan ini para Ulama’ Ahlus Sunnah terbagi menjadi dua pendapat yang berbeda, yang satu meniadakan Iman bagi orang islam lagi bodoh yang terjatuh dalam syirik akbar atau dalam kata lain mereka mengatakan tidak ada udzur karena sebab kebodohan dan yang lain masih menetapkan Iman bagi orang Islam lagi bodoh yang terjatuh dalam syirik akbar atau dalam kata lain mereka menetapkan adanya udzur karena sebab kebodohan. Yang terpenting bagi Ahlus Sunnah bahwasanya kita tidak boleh menghukumi diantara mereka sebagai Ahli Bid’ah disebabkan berbeda pandang dalam masalah ini.
Syeikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’I berkata: Udzur bil Jahl (udzur karena sebab kebodohan) adalah permasalahan khilafiyyah diantara ahlus Sunnah, sedangkan yang berselisih tidak boleh dihukumi (Ahlul Bid’ah). (Ghorotul Asyrithoh 2/448)
Tidak boleh pula Ulama’ yang menetapkan adanya udzur dengan sebab kebodohan disebut sebagai Murji’ah, karena: Murji’ah mengkafirkan perbuatannya saja tanpa disertai pelakunya, sedangkan Ahlus Sunnah mengkafirkan pelaku dan perbuatannya setelah terpenuhi syarat – syaratnya dan dihilangkan syubhat - syubhatnya. (Jawabi Liba’dlil Fudlola’ 22)

PERMASALAHAN YANG TIDAK DIPERSELISIHKAN ANTARA KE DUA PIHAK
            Meskipun mereka berbeda pandang dalam udzur bil Jahl, akan tetapi mereka para Ulama’ ahlus Sunnah dalam hal ini menetapkan permasalahan yang tidak mereka perselisihkan, diantaranya:
  1. Orang Muslim yang terjerumus dalam kekafiran tidaklah dikatagorikan sebagai kafir Ashli
Permasalahan yang berkaitan pada diri seorang Muslim yang terjerumus dalam kekafiran tidaklah masuk dalam katagori kafir ashli (sebagaimana kafirnya yahudi dan Nashrani), karena orang musyrik ashli adalah kafir meskipun ia bodoh. Alloh berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah. (QS. At Taubah ayat 06)
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-nYa tidaklah salah seoang dari ummat ini baik yahudi maupun nashrani yang tidak mendengarkan risalahku kemudian ia mati dan tidak beriman kepada Dzat yang mengutus aku dengannya, maka ia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Dalam hadits diatas mereka dinamakan yahudi dan nashrani sebelum mendengarkan risalah Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam. Syeikh Ishaq bin Abdur Rohman Alu Syeikh mengatakan:
“Ahlul Fatroh yang tidak sampai pada mereka risalah kenabian dan Al Qur’an, maka mereka mati jahiliyyah tidak pula disebut muslim dan tidak pula mereka diampuni dosanya berdasarkan ijma’, akan tetapi ahlul ilmi berselisih dalam hal penyiksiksaan mereka di akhirat . ” (Risalah Takfir Muayyan)
  1. Penetapan kepahaman atas orang yang diegakkan hujjah atasnya
Kedua pihak sepakat atas kepahaman secara mutlaq bagi orang yang ditegakkan hujjah atasnya. Oleh karena itu sekiranya ada orang ajam(non arab) yang tidak mengerti bahasa arab dan tidak pula paham dengan bahasa arab, maka  tidaklah terpenuhi syarat bagi seorang untuk mengkafirkannya, Meskipun al Qur’an telah membekas pada dirinya.
Berkata Syeikh Abdul Latif bin Abdur Rohman bin Hasan Alu Syaikh:
“yang dimaksudkan dengan faham hujjah adalah bagi orang yang diajak bicara faham terhadap apa yang dibicarakan, dan inilah yang benar, serta hal ini pula merupakan syarat yang kedua (dalam permasalahan tegak Hujjah). Hal ini merupakan faedah yang diambil dari Al – Qur’an, sunnah dan pendapat Ahlul Ilmi.” (Mishbahuzh Zholam 123)



PENDAPAT PERTAMA: “TIDAK ADA UDZUR KARENA KEJAHILAN”
Sebagian Ulama’ yang meniadakan udzur karena sebab kebodohan beralasan dengan beberapa argument sebagai berikut:
  1. Kafirnya Suku Qoroisy
Bahwasanya Alloh ta’ala mengkafirkan Kuffar Quroisy sebelum tegak hujjah atas mereka(Sebelum Alloh mengutus Nabi Muhammad), Alloh berfirman:
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah. (QS. At Taubah ayat 06)
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam  bersabda:
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-nYa tidaklah salah seoang dari ummat ini baik yahudi maupun nashrani yang tidak mendengarkan risalahku kemudian ia mati dan tidak beriman kepada Dzat yang mengutus aku dengannya, maka ia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa setiap orang yang terjatuh dalam Syirik akabr disebut sebagai orang Musyrik.
  1. Perjanjian awal antara Alloh dan Hamba-Nya
Sesungguhnya Alloh ta’ala telah mengambil beberapa perjanjian dengan manusia, sebagaimana Firman-Nya:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا….
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (QS. Al A’rof ayat 172)
Segi pendalilan: tegak hujjah atas mereka yaitu dengan awal perjanjian antara ia dengan Alloh ta’ala.
  1. Keumuman ayat – ayat yang menjelaskan bahwa orang Musyrik hilang amalnya.
Alloh berfirman:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
"Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hilanglah amalmu”. (QS. Az Zumar ayat 65)
Semisal dengan ayat ini yaitu keumuman perkataan Ulama’ dalam menghukumi murtad terhadap orang yang beribadah selain Alloh.


  1. Sampainya Risalah
Alloh berfirman:
لأنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur'an (kepadanya). (QS. Al An’am 19)
segi pendalilan: perintah Alloh dalam ayat diatas hanya terkait penyampaian risalah tanpa disertai kepahaman bagi orang yang mendengarkan.
  1. Penduduk neraka telah mengabaikan pada diri mereka untuk mendengar risalah.
Alloh berfirman:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. Al Mulk ayat 10)

  1.  Orang – orang yang berbuat Syirik akbar tidaklah disebut muslim melainkan disebut kafir.
  2. Para shahabat rodliyallohu ‘anhu memvonis murtad orang – orang yang tidak membayar zakat pada masa itu.
  3. Hadits tentang vonis neraka oleh Rosululloh terhadap penghuni kubur .
“suatu ketika Rosululloh melewati kuburan orang kafir, maka beliau bersabda: berilah kabar gembira bahwasanya ia adalah penghuni neraka” (HR. Thobroni)


PENDAPAT KE DUA: “ADANYA UDZUR KARENA KEJAHILAN”
            Ulama’ yang berpendapat akan adanya udzur karena kejahilan berhujjah dengan:
  1. Perintah penegakan hujjah
Alloh berfirman:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al Isro’ ayat 15).
Ibnu Taimiyyah berkata: sebagian manusia yang bodoh terhadap sebagian hukum – hukum Alloh diberi uduzr karena sebab hal itu. Oleh karena itu seseorang tidaklah dihukumi kafir sehingga tegak atasnya hujjah, sebagaimana firman Alloh:
لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. (QS. An Nisa’ ayat 165)
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا
dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al Isro’ ayat 15).
         Berdasarkan dengan ayat ini, maka seandainya ada seorang laki – laki muslim yang tidak mengetahui bahwa sholat itu wajib atasnya(sehingga ia tidak sholat, pent) atau ia tidak mengetahui pula bahwa khomer itu haram(sehingga ia meminum khomer, pent), maka ia tidak dikafirkan dan tidak pula dihukum sehingga tegak atasnya hujjah. (Majmu’ Fatawa 11/406)

  1. Syarat paham hujjah bagi orang yang mendengar hujjah.
Berdasarkan ayat ini penjelasan hukum syar’I tidaklah cukup tanpa adanya kejelasan, karena Penyampaian ilmu itu dimaksudakan untuk menghilangkan syubhat/kerancauan, Alloh berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka. (QS. Muhammad ayat 25)
Hal ini juga dipertegas dengan Firman Alloh:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An Nisa’ ayat 115). (al Ilam bi syarhi nawaqidlil Islam hal 41)
3.    Vonis zholim bagi orang yang mengikuti hawa nafsu orang kafir sedang ia dalam keadaan mengetahui.
Alloh berfirman:
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zholim. (QS. Al Baqoroh ayat 145)
Segi pendalilan: seorang muslim divonis zholim ketika ia mengikuti hawa nafsu orang kafir sedang ia dalam keadaan mengetahui, berarti mafhum Mukholafahnya (pengertian sebaliknya) yaitu jika ada orang muslim yang mengikuti hawa nafsu orang kafir dalam keadaan bodoh, maka tidaklah divonis zhalim. Wallohu a’lam (Al Ilmam bi Syarhi Nawaqidlil Islam hal 41)
4.    Hadits tentang orang yang menyuruh membakar dirinya ketika mati.
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rosululloh berkata: seorang laki – laki yang tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan berkata kepada keluarganya: kalau aku mati, maka bakarlah jasadku kemudian taburkanlah abu bekas jasadku ke laut. Demi Alloh seandainya Alloh kuasa (mengumpulkan jasadku kembali) tentu Dia benar – benar akan mengadzabku yang siksa itu tidak pernah Dia timpakan kepada seorang pun (selain aku). Maka ketika mati keluarganyapun melakukan wasiat itu. Maka Alloh memerintahkan bumi agar mengumpulkan jasadnya, seraya berkata: “kumpulkanlah jasadnya yang ada di dalammu”. Kemudian Alloh berkata: kenapa kamu melakukan hal itu? Orang itu menjawab: karena takut padamu ya Robb, maka Dia-pun mengampuninya. (HR. Bukhori-Muslim)
5.    Hadits tentang melihat Alloh di akhirat
Dari Abu Sa’id al Khudriy ia berkata: suatu ketika manusia bertanya kepada Rosululloh: “ya Rosululloh apakah kelak kita akan melihat Robb kita pada hari kiamat? Rosululloh menjawab: apakah ada yang menghalangi kalian melihat bulan saat purnama? Mereka menjawab: tidak, Rosululloh bertanya lagi: apakah ada pula yang menghalangi kalian melihat matahari ketika cuaca cerah? Mereka menjawab: Tidak ya Rosululloh, beliau Sholallohu ‘alaihi wa sallam berkata: seseungguhnya kalian akan melihat-Nya seperti demikian itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Ibnu Taimiyyah berkata: sesungguhnya (diantara bentuk)iman terhadap hukum – hukum Alloh dan Rosululloh secara mutlaq (yaitu)tidaklah menghukumi manusia berdasarkan persangkaan dan hawa nafsu, seperti halnya tidak wajib pula menghukumi kafir setiap orang yang berkata demikian (kalimat kekufuran), kecuali terpenuhi syarat pengkafiran dan terhilang penghalang – penghalangnya, seperti orang yang mengatakan khomer atau riba adalah halal, akan tetapi ia tidak berkeyakian bahwa pernyataan tersebut dari al Qur’an dan tidak pula dari hadits Nabi sholallohu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sebagian salaf(shahabat rodliyallohu ‘anhum) mengingkari sesuatu sehingga Rosululloh menetapkan hal itu, contohnya: para shahabat yang ragu tentang melihat Alloh kelak pada hari kiamat. (Majmu’ Fatawa 35/165-166)

DIALOG DAN JAWABAN ATAS HUJJAH PENDAPAT PERTAMA
1.    Jawaban atas dalil pertama
Dalil ini keluar dari sumber permasalahan yang diperselisihkan, karena dalam ayat itu yang disinggung adalah kafir ashli sedangkan bahasan kita bermuara pada sifat kekufuran yang dilakukan orang muslim, sedangkan orang islam yang terjatuh dalam kekafiran tidaklah disebut sebagai kafir ashli. Jika dikatakan: tidak ada beda antara keduanya, maka jawabnya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikh Abdul Latif bin abdur Rohman bin Hasan bin Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab:
Orang – orang yang beriabadah kepada (kuburan) Para Nabi, beribadah kepada Malaikat dan orang-orang yang beribadah kepada (kuburan) orang – orang sholeh serta orang – orang yang menjadikan tandingan – tandingan selain Alloh dalam hal ini ma’ruf di kalangan ahlul ilmi dan telah disepakati atasnya bahwa orang yang berbuat demikian dihukumi kafir lagi murtad setelah tegak atasnya hujjah, dan para Ahlul Ilmi juga sepakat bahwa mereka tidak disebut kafir ashli meskipun berbuat demikian. (Misbahuzh Zholam 22-23)
2.    Jawaban atas dalil ke dua
Ayat ini tidak bias diambil zhohirnya, karena para ulama’ telah sepakat terhadap orang yang hidup pada masa islam akan tetapi ia tinggal di tempat yang jauh dari pemukiman dan jauh dari ajaran Islam diberi udzur karena kejahilannya dan tidak cukup hanya perjanjian awal yang ia lakukan dengan Alloh pada saat dalam rahim.
Ibnu Taimiyyah berkata: betapa banyak manusia hidup dalam suatu tempat dan masa yang terhapu/tidak tersisa di dalamnya pengetahuan – pengetahuan tentang risalah kenabian, sehingga mereka tidak mengetahui ajaran yang dibawa oleh Rosul yang Alloh mengutus dengannya berupa al Kitab dan Sunnah, oleh sebab itu ia tidak dikafirkan. Sebagaimana pula para Ulama’ telah sepakat bahwa siapapun yang hidup di tempat jauh dari ajaran islam meskipun ia hidup di jaman islam, kemudian ia mengingkari hokum – hokum Alloh yang Nampak lagi berurutan tidaklah dihukumi kafir sehingga ia mengetahui ajaran yang dibawa Muhammad Sholallohu ‘alaihi wasallam. (Majmu’ fatawa 11/407)
3.    Nash – Nash dan perkataan Ulama’ bersifat Umum yang didalamnya terdapat perbedaan antara takfir Nau’ dan muayyan, serta nash tersebut tidak membahas permasalah takfir muayyan, sedangkan takfir nau’ dan Muayyan terdapat perbedaan.
Ibnu Taimiyyah berkata: takfir mutlaq(nau’) tidak mengharuskan takfir muayyan(person) kecuali telah tegak syarat-syaratnya dan hilang penghalang – penghalangnya, penjelasan mengenai hal ini adalah sesungguhnya imam Ahmad bin Hanbal dan para Ulama’ mengitlaqkan keumuman ini(lafadz kufur) dan tidak mengkafirkan orang secara person…. Dalil mengenai ketetapan/pondasi ini bersumebr dari al Qur’an, as sunnah, Ijma’ dan I’tibar. (dinukil secara ringkas dari Majmu’ Fatawa 12/487)
Oleh karena itu tidak semua yang terjatuh dalam kekafiran berarti harus kafir,dalil mengenai hal ini sangatlah banyak, diantaranya perbuatan Umar bin Khottob rodliyallohu ‘anhu yang mencela Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam. Perbuatan mencela Rosululloh adalah perbuatan kufur akan tetapi ia tidak kafir, karena pada saat itu ia dalam keadaan terpaksa. Sedangkan Alloh berfirman:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ
Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). (QS. An Nahl ayat 106)
4.    Jawaban atas dalil ke empat
Penyampaian hujjah saja tidaklah cukup harus disertai adanya kepahaman, sebagaimana jeterangan yang telah lalu.
Peringatan: siapa yang menyatakan bahwa penyampaian hujjah/risalah tanpa disertai kepahaman telah cukup atau berdalil dengan ayat perjanjian antara Alloh dengan hamba-Nya ketika dirahim, maka ia termasuk orang yang kontradiktif. Wallohu a’lam (al Ilmam Bi Syarhi Nawaqidlil Islam hal 45)
5.    Jawaban atas dalil ke lima
Jawaban dalil ini dari dua segi:
a.    Pendalilan dengan ayat ini kurang tepat karena menyelisihi ayat yang lain,

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا

dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al Isro’ ayat 15).
b.    Kata نَعْقِلُ tidak bermakna orang bodoh atau orang gila, karena jika hal ini dipahami demikian justru menyelisihi dalil – dalil syar’I dan Ijma’ yang menyatakan bahwasanya orang gila tiaklah diadzab. Akan tetapi maksud ayat tersebut adalah mereka mengetahui tetapi mengabaikannya, karena itu mereka disebut orang – orang yang tidak berakal, sebagi contoh yang menguatkan hal ini yaitu:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’rof ayat 179)
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لا يَسْمَعُ إِلا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لا يَعْقِلُونَ
Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. (QS. Al Baqoroh ayat 171)
(Mengabil faedah dari Majmu’ fatawa 14/136)
6.    Jawaban dalil ke enam
Penetapan seperti ini adalah penetapan yang batil, karena seandainya konsisten maka orang yang ragu terhadap qudroh Alloh haruslah dikafirkan dan masuk neraka, berkata Ibnu Taimiyyah:
Laki – laki ini mengingkari Qudroh Alloh, dan ini adalah kekufuran berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Akan  tetapi justru Alloh mengampuninya dan memasukkannya ke dalam surga dikarenakan ia adalah orang bodoh. (mengambil faedah dari Majmu’ Fatawa 3/231)
Wallohu a’lam
7.    Jawaban dalil ke tujuh
Mereka tidak hanya sekedar enggan membayar zakat akan tetapi mereka juga mengingkari kewajiban zakat, syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
dan dikisahkan dari mereka, bahwa mereka beralasan: sesungguhnya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk memungut zakat dengan firman-Nya :”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka” (At Taubah 103), dan kewajiban zakat telah gugur dengan kematian beliau”. (Majmu’ Fatawa 28/519)
Ibnu Hajar berkata: orang-orang yang enggan membayar zakat benar-benar mengingkari kewajiban zakat, sehingga mereka dikatakan telah kafir, dan pada kesempatan ini Abu Bakar tidak memaafkan orang-orang bodoh dari mereka, karena mereka telah bergabung dan bersiap-siap untuk mengadakan perlawanan terhadap Khalifah. (Fathul Bari 12/277)
8.    Jawaban dalil ke delapan
Jawaban terhadap dalil ini dari dua segi :
a.    Bahwasanya hadits ini adalah dloif, silahkan lihat ahkam Janaiz hal 198
b.    Sekalipun hadits ini shohih, maka yang dimaksud adalah kafir ashli, karena lafadz hadits tersebut adalah
“suatu ketika Rosululloh melewati kuburan orang kafir, maka beliau bersabda: berilah kabar gembira bahwasanya ia adalah penghuni neraka”


SANGGAHAN TERHADAP ABU SULAIMAN AMAN ABDUR ROHMAN
            Disini kami akan menyanggah tulisan Abu Sulaiman yang meragukan pendalilan Ulama’ yang menetapkan adanya Udzur bil Jahl. Bahkan ia tidak segan – segan menyatakan terhadap Ulama’ yang menetapkan adanya udzur bil jahl sebagai Murji’ah sedang tulisan tersebut telah beredar dan bertaburan di dunia maya. Karena itu kami berupaya dengan memohon pertolongan kepada Alloh untuk menyanggah tulisan tersebut.

Abu Sulaiman menyatakan:
 sebagian orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan terhadap hukum mereka berdalih untuk pemahaman batil itu dengan hadits perihal orang yang berwasiat agar membakar jasadnya bila ia telah mati…. Bahwa hadits ini bukan berkaitan dengan syirik akbar.
sanggahan:
            Orang tersebut telah mengingkari qudroh Alloh ta’ala dan ini merupakan kekafiran, akan tetapi disebabkan karena kebodohannya, maka ia pun diampuni. (silahkan lihat Majmu’ Fatawa 3/231)
            Ibnul Qoyyim berkata: adapun orang yang mengingkari yang demikian itu (sifat – sifat Alloh) karena kebodohan atau karena ta’wil maka ia diberi udzur, dan tidak pula ia dikafirkan, sebagaimana kisah orang yang mengingkari qudroh Alloh, sehingga ia menyuruh keluarganya untuk membakar jasadnya. (Madarijus Salikin Baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in 1/367)
            Ibnu Abdil Bar berkata: adapun kebodohan laki – laki ini terhadap sebagian sifat dari sifat – sifat Alloh, ‘ilmu-Nya dan Taqdir-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, maka dengan sebab kebodohan itu tidaklah menjadikan ia keluar dari keimanan (menjadi kafir), ketahui pula bahwasanya Umar bin Khottob, ‘Imron bin Husain dan kebanyakan dari shahabat bertanya kepada Rosululloh tentang taqdir, dan diketahui pula pada saat itu mereka dalam keadaan bodoh, padahal pertanyaan mereka sebenarnya tidaklah diperbolehkan karena menyebabkan kekafiran. (at Tamhid 18/46)

Abu Sulaiman menyatakan:
            Sebagian orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kebodohan berdalih dengan kisah Dzatu Anwaath. At Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Waqid Al Laitsiy, berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menuju Hunain sedangkan kami adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Dan orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon Sidr yang mana mereka duduk i’tikaf di sana dan mereka menggantungkan senjata-senjata mereka padanya, yang dinamakan Dzatu Anwath. Maka kami melewati sebuah pohon Sidr, dan kami berkata: “Wahai Rasulullah jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka itu memiliki Dzatu Anwath.” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata: “Allahu Akbar, sesungguhnya ia adalah tuntunan-tuntunan itu, kalian telah mengatakan –demi Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya– seperti apa yang dikatakan Banu Israil kepada Musa: ”Jadikanlah bagi kami tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak tuhan,” Dia (Musa) berkata: “Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang tidak mengetahui.” Sungguh kalian akan meniti jalan-jalan orang sebelum kalian.” (HR At Tirmidzi Dan Beliau Menilainya Shahih)       
            Jadi kisah Dzatu Anwath ini adalah tentang syirik ashghar bukan syirik akbar. Dan ini adalah yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Iqtidlaa Ash Shiraathil Mustaqiim: “Dan tatkala kaum musyrikin memiliki sebuah pohon yang mana mereka menggantungkan senjata–senjata mereka diatas pohon itu, dan mereka menamakannya Dzatu Anwath, maka sebagian orang berkata: “Wahai Rasulullah buatkan bagi kami Dzatu Anwath…!” maka beliau berkata: “Allahu Akbar, sesunguhnya ia adalah jalan–jalan umat sebelum kalian”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengingkari sekedar penyerupaan mereka terhadap orang–orang kafir dalam hal menjadikan sebuah pohon yang mereka gunakan untuk duduk–duduk di sekelilingnya seraya menggantungkan senjata mereka di atasnya, maka bagaimana dengan suatu yang lebih dasyat dari hal itu berupa syirik itu sendiri…?” (Lihat Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, Tarikh Nejed: 364).
Jadi Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa itu bukan syirik akbar, karena penyerupaan terhadap orang-orang kafir itu tidak memestikan kafirnya orang yang menyerupai mereka dalam setiap keadaan, kecuali bila menyerupai mereka di dalam kekafiran atau syirik akbar.

Sanggahan:
            Dalam ucapan Ibnu Taimiyyah diatas tidak terdapat pernyataan beliau bahwa hal tersebut adalah syirik ashgor, justru merupakan syirik akbar. Karena para shahabat terjatuh dalam syirik akbar dalam masalah uluhiyyah. (Al Ilmam Bi Syarhi Nawaqidil Islam hal 43)
            Tabarruk pada makhluk seperti pada kubur, pohon, batu, manusia yang masih hidup atau telah mati, di mana orang yang bertabarruk ingin mendapatkan barokah dari makhluk tersebut (bukan dari Allah), atau jika bertabarruk dengan makhluk tersebut dapat mendekatkan dirinya pada Allah Ta’ala, atau ingin mendapatkan syafa’at dari makhluk tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terdahulu, maka seperti ini termasuk syirik akbar. Karena kelakukan semacam ini adalah sejenis dengan perbuatan orang musyrik pada berhala atau sesembahan mereka. Mengenai hal ini terdapat dalam hadits Abu Waqid Al Laitsi yang mengisahkan tentang orang-orang musyrik yang menggantungkan senjata-senjata mereka pada sebuah pohon. Perbuatan yang dilakukan oleh mereka ini dianggap oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syirik akbar. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyerupakan permintaan sebagian sahabat (yang baru saja masuk Islam) yang meminta dijadikan pohon sebagaimana orang-orang musyrik tadi, yaitu beliau serupakan dengan perkataan Bani Israel pada Musa,
“Buatlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.” (QS. Al A’rof: 183)      (Fatawa Lajnah Daimah ertanyaan kedua dari fatwa no. 18511)
Syeikh Muhammad Bin Sholih al Utsaimin mengatakan: Hadits ini menunjukkan bahwa mencari berkah kepada pohon adalah terlarang -bahkan termasuk syirik-, dan hal itu merupakan salah satu kebiasaan buruk umat-umat terdahulu yang sesat (lihat al-Qaul al-Mufid 1/126 dan 128)
 wallohu a’lam

            semoga goresan pena ini bermanfaat bagi kaum muslimin dan penerang bagi para muqollidin. Wa billahit Taufiq wa sholallohu ‘ala nabiyyina muhammadin sayyidul mursalin wa imamul muttaqin.
إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.
           

Mujahid as Salafi
Pengelola www.Millahmuhammad.blogspot.com