FIQIH
RINGKASAN SIFAT SHALAT NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM seri I
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani
(1). MENGHADAP KA'BAH
1. Apabila anda - wahai
Muslim - ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka'bah (qiblat) dimanapun
anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini termasuk
diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini.
2. Ketentuan menghadap qiblat
ini tidak menjadi keharusan lagi bagi 'seorang yang sedang berperang' pada
pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat.
Dan tidak menjadi keharusan
lagi bagi orang yang tidak sanggup seperti orang yang sakit atau orang yang
dalam perahu, kendaraan atau pesawat bila ia khawatir luputnya waktu.
Juga tidak menjadi
keharusan lagi bagi orang yang shalat sunnah atau witir sedang ia menunggangi
hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan kepadanya - jika hal ini
memungkinkan - supaya menghadap ke qiblat pada saat takbiratul ikhram, kemudian
setelah itu menghadap ke arah manapun kendaraannya menghadap.
3. Wajib bagi yang melihat
Ka'bah untuk menghadap langsung ke porosnya, bagi yang tidak melihatnya maka ia
menghadap ke arah Ka'bah.
HUKUM SHALAT TANPA
MENGHADAP KA'BAH KARENA KELIRU
4. Apabila shalat tanpa
menghadap qiblat karena mendung atau ada penyebab lainnya sesudah melakukan
ijtihad dan pilihan, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi.
5. Apabila datang orang
yang dipercaya saat dia shalat, lalu orang yang datang itu memberitahukan
kepadanya arah qiblat maka wajib baginya untuk segera menghadap ke arah yang
ditunjukkan, dan shalatnya sah.
(2). BERDIRI
6. Wajib bagi yang
melakukan shalat untuk berdiri, dan ini adalah rukun, kecuali bagi :
Orang yang shalat khauf
saat perang berkecamuk dengan hebat, maka dibolehkan baginya shalat diatas
kendaraannya.
Orang yang sakit yang tidak
mampu berdiri, maka boleh baginya shalat sambil duduk dan bila tidak mampu
diperkenankan sambil berbaring.
Orang yang shalat nafilah
(sunnah) dibolehkan shalat di atas kendaraan atau sambil duduk jika dia mau,
adapun ruku' dan sujudnya cukup dengan isyarat kepalanya, demikian pula orang
yang sakit, dan ia menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku'nya.
7. Tidak boleh bagi orang
yang shalat sambil duduk meletakkan sesuatu yang agak tinggi dihadapannya
sebagai tempat sujud. Akan tetapi cukup menjadikan sujudnya lebih rendah dari
ruku'nya - seperti yang kami sebutkan tadi - apabila ia tidak mampu meletakkan
dahinya secara langsung ke bumi (lantai).
SHALAT DI KAPAL LAUT ATAU
PESAWAT
8. Dibolehkan shalat fardlu
di atas kapal laut demikian pula di pesawat.
9. Dibolehkan juga shalat
di kapal laut atau pesawat sambil duduk bila khawatir akan jatuh.
10. Boleh juga saat berdiri
bertumpu (memegang) pada tiang atau tongkat karena faktor ketuaan atau karena
badan yang lemah.
SHALAT SAMBIL BERDIRI DAN
DUDUK
11. Dibolehkan shalat lail
sambil berdiri atau sambil duduk meski tanpa udzur (penyebab apapun), atau
sambil melakukan keduanya. Caranya ; ia shalat membaca dalam keadaan duduk dan
ketika menjelang ruku' ia berdiri lalu membaca ayat-ayat yang masih tersisa
dalam keadaan berdiri. Setelah itu ia ruku' lalu sujud. Kemudian ia melakukan
hal yang sama pada rakaat yang kedua.
12. Apabila shalat dalam
keadaan duduk, maka ia duduk bersila atau duduk dalam bentuk lain yang
memungkinkan seseorang untuk beristirahat.
SHALAT SAMBIL MEMAKAI
SANDAL
13. Boleh shalat tanpa
memakai sandal dan boleh pula dengan memakai sandal.
14. Tapi yang lebih utama
jika sekali waktu shalat sambil memakai sandal dan sekali waktu tidak memakai
sandal, sesuai yang lebih gampang dilakukan saat itu, tidak membebani diri
dengan harus memakainya dan tidak pula harus melepasnya. Bahkan jika kebetulan
telanjang kaki maka shalat dengan kondisi seperti itu, dan bila kebetulan
memakai sandal maka shalat sambil memakai sandal. Kecuali dalam kondisi
tertentu (terpaksa).
15. Jika kedua sandal
dilepas maka tidak boleh diletakkan disamping kanan akan tetapi diletakkan
disamping kiri jika tidak ada disamping kirinya seseorang yang shalat, jika ada
maka hendaklah diletakkan didepan kakinya, hal yang demikianlah yang sesuai
dengan perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[1]
SHALAT DI ATAS MIMBAR
16. Dibolehkan bagi imam
untuk shalat di tempat yang tinggi seperti mimbar dengan tujuan mengajar
manusia. Imam berdiri diatas mimbar lalu takbir, kemudian membaca dan ruku'
setelah itu turun sambil mundur sehingga memungkinkan untuk sujud ke tanah
didepan mimbar, lalu kembali lagi keatas mimbar dan melakukan hal yang serupa
di rakaat berikutnya.
KEWAJIBAN SHALAT MENGHADAP
PEMBATAS DAN MENDEKAT KEPADANYA
17. Wajib shalat menghadap
tabir pembatas, dan tiada bedanya baik di masjid maupun selain masjid, di
masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan kepada keumuman sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Janganlah
shalat melainkan menghadap pembatas, dan jangan biarkan seseorang lewat
dihadapanmu, apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya ia bersama
pendampingnya". (Maksudnya syaitan).
18. Wajib mendekat ke
pembatas karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan hal itu.
19. Jarak antara tempat
sujud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tembok yang dihadapinya
seukuran tempat lewat domba. maka barang siapa yang mengamalkan hal itu berarti
ia telah mengamalkan batas ukuran yang diwajibkan.[2]
KADAR KETINGGIAN PEMBATAS
20. Wajib pembatas dibuat
agak tinggi dari tanah sekadar sejengkal atau dua jengkal berdasarkan sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Jika
seorang diantara kamu meletakkan dihadapannya sesuatu setinggi ekor pelana (3)
(sebagai pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang
yang lewat dibalik pembatas".
21. Dan ia menghadap ke
pembatas secara langsung, karena hal itu yang termuat dalam konteks hadits
tentang perintah untuk shalat menghadap ke pembatas. Adapun bergeser dari
posisi pembatas ke kanan atau ke kiri sehingga membuat tidak lurus menghadap
langsung ke pembatas maka hal ini tidak sah.
22. Boleh shalat menghadap
tongkat yang ditancapkan ke tanah atau yang sepertinya, boleh pula menghadap
pohon, tiang, atau isteri yang berbaring di pembaringan sambil berselimut,
boleh pula menghadap hewan meskipun unta.
HARAM SHALAT MENGHADAP KE
KUBUR.
23. Tidak boleh shalat
menghadap ke kubur, larangan ini mutlak, baik kubur para nabi maupun selain
nabi.
HARAM LEWAT DIDEPAN ORANG
YANG SHALAT TERMASUK DI MASJID HARAM.
24. Tidak boleh lewat
didepan orang yang sedang shalat jika didepannya ada pembatas, dalam hal ini
tidak ada perbedaan antara masjid Haram atau masjid-masjid lain, semua sama
dalam hal larangan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
"Artinya : Andaikan
orang yang lewat didepan orang yang shalat mengetahui akibat perbuatannya maka
untuk berdiri selama 40, lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang
sedang shalat". Maksudnya lewat di antara shalat dengan tempat sujudnya.
[4]
KEWAJIBAN ORANG YANG SHALAT
MENCEGAH ORANG LEWAT DIDEPANNYA MESKIPUN DI MASJID HARAM
25. Tidak boleh bagi orang
yang shalat menghadap pembatas membiarkan seseorang lewat didepannya
berdasarkan hadits yang telah lalu.
"Artinya : Dan
janganlah membiarkan seseorang lewat didepanmu...."
Dan sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.
"Artinya : Jika
seseorang diantara kamu shalat menghadap sesuatu pembatas yang menghalanginya
dari orang lain, lalu ada yang ingin lewat didepannya, maka hendaklah ia
mendorong leher orang yang ingin lewat itu semampunya (dalam riwayat lain :
cegahlah dua kali) jika ia enggan maka perangilah karena ia adalah
syaithan".
BERJALAN KEDEPAN UNTUK
MENCEGAH ORANG LEWAT
26. Boleh maju selangkah
atau lebih untuk mencegah yang bukan mukallaf yang lewat di depannya seperti
hewan atau anak kecil agar tidak lewat di depannya.
HAL-HAL YANG MEMUTUSKAN
SHALAT
27. Di antara fungsi
pembatas dalam shalat adalah menjaga orang yang shalat menghadapnya dari
kerusakan shalat disebabkan yang lewat di depannya, berbeda dengan yang tidak
memakai pembatas, shalatnya bisa terputus bila lewat didepannya wanita dewasa,
keledai, atau anjing hitam.
(3). NIAT
28. Bagi yang akan shalat
harus meniatkan shalat yang akan dilaksanakannya serta menentukan niat dengan
hatinya, seperti fardhu zhuhur dan ashar, atau sunnat zhuhur dan ashar. Niat
ini merupakan syarat atau rukun shalat. Adapun melafazhkan niat dengan lisan
maka ini merupakan bid'ah, menyalahi sunnah, dan tidak ada seorangpun yang
menfatwakan hal itu di antara para ulama yang dotokohkan oleh orang-orang yang
suka taqlid (fanatik buta).
(4). TAKBIR
29. Kemudian memulai shalat
dengan membaca. "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar). Takbir ini
merupakan rukun, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Pembuka
Shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir, sedangkan penghalalannya
adalah salam".[5]
30. Tidak boleh mengeraskan
suara saat takbir disemua shalat, kecuali jika menjadi imam.
31. Boleh bagi muadzin
menyampaikan (memperdengarkan) takbir imam kepada jama'ah jika keadaan
menghendaki, seperti jika imam sakit, suaranya lemah atau karena banyaknya
orang yang shalat.
32. Ma'mum tidak boleh
takbir kecuali jika imam telah selesai takbir.
MENGANGKAT KEDUA TANGAN DAN
CARA-CARANYA.
33. Mengangkat kedua
tangan, boleh bersamaan dengan takbir, atau sebelumnya, bahkan boleh sesudah
takbir. Kesemuanya ini ada landasannya yang sah dalam sunah Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.
34. Mengangkat tangan
dengan jari-jari terbuka.
35. Mensejajarkan kedua
telapak tangan dengan pundak/bahu, sewaktu-waktu mengangkat lebih tinggi lagi
sampai sejajar dengan ujung telinga.[6]
MELETAKKAN KEDUA TANGAN DAN
CARA-CARANYA
36. Kemudian meletakkan
tangan kanan diatas tangan kiri sesudah takbir, ini merupakan sunnah (ajaran)
para nabi-nabi Alaihimus Shallatu was sallam dan diperintahkan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat beliau, sehingga tidak boleh
menjulurkannya.
37. Meletakkan tangan kanan
diatas punggung tangan kiri dan diatas pergelangan dan lengan.
38. Kadang-kadang
menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan. [7]
TEMPAT MELETAKKAN TANGAN
39. Keduanya diletakkan
diatas dada saja. Laki-laki dan perempuan dalam hal tersebut sama. [8].
40. Tidak meletakkan tangan
kanan diatas pinggang.
KHUSU' DAN MELIHAT KE
TEMPAT SUJUD
41. Hendaklah berlaku
khusu' dalam shalat dan menjauhi segala sesuatu yang dapat melalaikan dari
khusu' seperti perhiasan dan lukisan, janganlah shalat saat berhadapan dengan
hidangan yang menarik, demikian juga saat menahan berak dan kencing.
42. Memandang ke tempat
sujud saat berdiri.
43. Tidak menoleh kekanan
dan kekiri, karena menoleh adalah curian yang dilakukan oleh syaitan dari
shalat seorang hamba.
44. Tidak boleh mengarahkan
pandangan ke langit (ke atas).
DO'A ISTIFTAAH (PEMBUKAAN)
45. Kemudian membuka bacaan
dengan sebagian do'a-do'a yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
jumlahnya banyak, yang masyhur diantaranya ialah :
"Subhaanaka Allahumma
wa bihamdika, wa tabaarakasmuka, wa ta'alaa jadduka, walaa ilaha
ghaiyruka".
"Artinya : Maha Suci
Engkau ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu, kedudukan-Mu sangat agung, dan
tidak ada sembahan yang hak selain Engkau".
Perintah ber-istiftah telah
sah dari Nabi, maka sepatutnya diperhatikan untuk diamalkan. [8]
(5). QIRAAH (BACAAN)
46. Kemudian wajib
berlindung kepada Allah Ta'ala, dan bagi yang meninggalkannya mendapat dosa.
47. Termasuk sunnah jika
sewaktu-waktu membaca.
"A'udzu billahi minasy
syaiythaanirrajiim, min hamazihi, wa nafakhihi, wa nafasyihi"
"Artinya : Aku
berlindung kepada Allah dari syithan yang terkutuk, dari godaannya, dari
was-wasnya, serta dari gangguannya".
48. Dan sewaktu-waktu
membaca tambahan.
"A'udzu billahis
samii-il a'liimi, minasy syaiythaani ......."
"Artinya : Aku
berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari
syaitan......."
49. Kemudian membaca
basmalah (bismillah) disemua shalat secara sirr (tidak diperdengarkan).
MEMBACA AL-FAATIHAH
50. Kemudian membaca surat
Al-Fatihah sepenuhnya termasuk bismillah, ini adalah rukun shalat dimana shalat
tak sah jika tidak membaca Al-Fatihah, sehingga wajib bagi orang-orang 'Ajm
(non Arab) untuk menghafalnya.
51. Bagi yang tak bisa
menghafalnya boleh membaca.
"Subhaanallah, wal
hamdulillah walaa ilaha illallah, walaa hauwla wala quwwata illaa billah".
"Artinya : Maha suci
Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada sembahan yang haq selain Allah, serta
tidak ada daya dan kekuatan melainkan karena Allah".
52. Didalam membaca
Al-Fatihah, disunnahkan berhenti pada setiap ayat, dengan cara membaca.
(Bismillahir-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca.
(Alhamdulillahir-rabbil 'aalamiin) lalu berhenti, kemudian membaca.
(Ar-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Maaliki yauwmiddiin)
lalu berhenti, dan demikian seterusnya. Demikianlah cara membaca Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam seluruhnya. Beliau berhenti diakhir setiap ayat
dan tidak menyambungnya dengan ayat sesudahnya meskipun maknanya berkaitan.
53. Boleh membaca.
(Maaliki) dengan panjang, dan boleh pula. (Maliki) dengan pendek.
BACAAN MA'MUM
54. Wajib bagi ma'mum
membaca Al-Fatihah dibelakang imam yang membaca sirr (tidak terdengar) atau
saat imam membaca keras tapi ma'mum tidak mendengar bacaan imam, demikian pula
ma'mum membaca Al-Fatihah bila imam berhenti sebentar untuk memberi kesempatan
bagi ma'mum yang membacanya. Meskipun kami menganggap bahwa berhentinya imam
ditempat ini tidak tsabit dari sunnah.[9]
BACAAN SESUDAH AL-FATIHAH
55. Disunnahkan sesudah
membaca Al-Fatihah, membaca surat yang lain atau beberapa ayat pada dua raka'at
yang pertama. Hal ini berlaku pula pada shalat jenazah.
56. Kadang-kadang bacaan
sesudah Al-Fatihah dipanjangkan kadang pula diringkas karena ada faktor-faktor
tertentu seperti safar (bepergian), batuk, sakit, atau karena tangisan anak
kecil.
57. Panjang pendeknya
bacaan berbeda-beda sesuai dengan shalat yang dilaksanakan. Bacaan pada shalat
subuh lebih panjang dari pada bacaan shalat fardhu yang lain, setelah itu
bacaan pada shalat dzuhur, pada shalat ashar, lalu bacaan pada shalat isya,
sedangkan bacaan pada shalat maghrib umumnya diperpendek.
58. Adapun bacaan pada
shalat lail lebih panjang dari semua itu.
59. Sunnah membaca lebih
panjang pada rakaat pertama dari rakaat yang kedua.
60. Memendekkan dua rakaat
terakhir kira-kira setengah dari dua rakaat yang pertama. [11]
61. Membaca Al-Fatihah pada
semua rakaat.
62. Disunnahkan pula
menambahkan bacaan surat Al-Fatihah dengan surat-surat lain pada dua rakaat
yang terkahir.
63. Tidak boleh imam
memanjangkan bacaan melebihi dari apa yang disebutkan didalam sunnah karena
yang demikian bisa-bisa memberatkan ma'mum yang tidak mampu seperti orang tua,
orang sakit, wanita yang mempunyai anak kecil dan orang yang mempunyai
keperluan.
MENGERASKAN DAN MENGECILKAN
BACAAN
64. Bacaan dikeraskan pada
shalat shubuh, jum'at, dua shalat ied, shalat istisqa, khusuf dan dua rakaat
pertama dari shalat maghrib dan isya. Dan dikecilkan (tidak dikeraskan) pada
shalat dzuhur, ashar, rakaat ketiga dari shalat maghrib, serta dua rakaat
terakhir dari shalat isya.
65. Boleh bagi imam
memperdengarkan bacaan ayat pada shalat-shalat sir (yang tidak dikeraskan).
66. Adapun witir dan shalat
lail bacaannya kadang tidak dikeraskan dan kadang dikeraskan.
MEMBACA AL-QUR'AN DENGAN
TARTIL
67. Sunnah membaca
Al-Qur'an secara tartil (sesuai dengan hukum tajwid) tidak terlalu dipanjangkan
dan tidak pula terburu-buru, bahkan dibaca secara jelas huruf perhuruf. Sunnah
pula menghiasi Al-Qur'an dengan suara serta melagukannya sesuai batas-batas
hukum oleh ulama ilmu tajwid. Tidak boleh melagukan Al-Qur'an seperti perbuatan
Ahli Bid'ah dan tidak boleh pula seperti nada-nada musik.
68. Disyari'atkan bagi
ma'mum untuk membentulkan bacaan imam jika keliru.
[Disalin dari buku
Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Oleh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Amiruddin Abd. Djalij, M Dahri, Penerbit
Lembaga Ilmiah Masjid At-Taqwa Rawalumbu Bekasi Timur]
______
Fotnote.
[1]. Saya (Al-Albaani)
berkata : disini terdapat isyarat yang halus untuk tidak meletakkan sandal
didepan. Adab inilah yang banyak disepelekan oleh kebanyakan orang yang shalat,
sehingga Anda menyaksikan sendiri siantara mereka yang shalat menghadap ke
sandal-sandal.
[2]. Saya (Al-Albaani)
berkata : dari sini kita tahu bahwa apa yang dilakukan oleh banyak orang di
setiap masjid seperti yang saya saksikan di Suriah dan negeri-negeri lain yaitu
shalat di tengah masjid jauh dari dinding atau tiang adalah kelalaian terhadap
perintah dan perbuatan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam.
[3]. Yaitu kayu yang
dipasang di bagian belakang pelana angkutan dipunggung unta. Di dalam hadits
ini terdapat isyarat bahwa : mengaris diatas tanah tidak cukup untuk dijadikan
sebagai garis pembatas, karena hadits yang teriwayatkan tentang itu lemah.
[4]. Adapun hadits yang
disebutkan dalam kitab "Haasyiatul Mathaaf" bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam shalat tanpa menghadap pembatas dan orang-orang lewat
didepannya, adalah hadits yang tidak shahih, lagi pula tidak ada keterangan di
hadits tersebut bahwa mereka lewat diantara beliau dengan tempat sujudnya
[5].
"Pengharaman" maksudnya : haramnya beberapa perbuatan yang diharamkan
oleh Allah didalam shalat. "Penghalal" maksudnya : halalnya beberapa
perbuatan yang dihalalkan oleh Allah di luar shalat.
[6]. Saya (Al-Albaani)
berkata : adapun menyentuh kedua anak telinga dengan ibu jari, maka perbuatan
ini tidak ada landasannya di dalam sunnah Nabi, bahkan hal ini hanya
mendatangkan was-was.
[7]. Adapun yang dianggap
baik oleh sebagian orang-orang terbelakang, yaitu menggabungkan antara
meletakkan dan menggemgam dalam waktu yang bersamaan, maka amalan itu tidak ada
dasarnya
[8]. Saya (Al-Albaani)
berkata : amalan meletakkan kedua tangan selain di dada hanya ada dua
kemungkinan ; dalilnya lemah, atau tidak ada dalilnya sama sekali.
[9]. Barang siapa yang
ingin membaca do'a-do'a istiftah yang lain, silahkan merujuk kitab :
"Sifat Shalat Nabi".
[10]. Saya telah sebutkan
landasan orang yang berpendapat demikian, dan alasan yang dijadikan landasan
untuk menolaknya di kitab Silsilah Hadits Dho'if No. 546 dan 547.
[11]. Perincian tentang
ini, lihat Sifat Shalat hal 106-125 cet. ke 6 dan ke 7