Oleh Prof. Dr. Abdullah al-Mushlih & Prof. Dr. Shalah ash-Shawi
Termasuk hal yang tersebar di dunia usaha modern adalah penjualan sebagian aset secara kolektif dengan hitungan global tanpa mengetahui ukuran dan jumlahnya secara rinci. Itu dikenal dalam fiqih Islam sebagai jual beli juzaf. Sebenarnya sejauh mana jual beli aset dengan cara demikian disyariatkan? Itulah yang akan penulis jelaskan dalam lembaran-lembaran berikut:
Termasuk hal yang tersebar di dunia usaha modern adalah penjualan sebagian aset secara kolektif dengan hitungan global tanpa mengetahui ukuran dan jumlahnya secara rinci. Itu dikenal dalam fiqih Islam sebagai jual beli juzaf. Sebenarnya sejauh mana jual beli aset dengan cara demikian disyariatkan? Itulah yang akan penulis jelaskan dalam lembaran-lembaran berikut:
Definisi Jual Beli Juzaf (Spekulatif)
Juzaf secara bahasa artinya adalah mengambil dalam jumlah banyak.
Jual beli juzaf dalam terminologi ilmu fiqih yaitu: Menjual barang yang biasa ditakar, ditimbang atau dihitung secara bo-rongan tanpa ditakar, ditimbang dan dihitung lagi.
Contohnya adalah menjual setumpuk makanan tanpa menge-tahui takarannya, atau menjual setumpuk pakaian tanpa menge-tahui jumlahnya. Atau menjual sebidang tanah tanpa mengetahui luasnya.
Hukum Jual Beli Spekulatif
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa di antara syarat sahnya jual beli bahwa objek jual beli itu harus diketahui. Maka materi objek, ukuran dan kriteria harus diketahui. Sementara dalam jual beli spekulatif ini tidak ada pengetahuan tentang ukuran. Namun demikian, jual beli ini termasuk yang dikecualikan dari hukum asalnya yang bersifat umum, karena umat manusia amat membu-tuhkannya.
Di antara dalil disyariatkannya jual beli ini adalah hadits Ibnu Umar p bahwa ia menceritakan, "Kami biasa membeli makanan dari para kafilah dagang dengan cara spekulatif. Lalu Rasulullah melarang kami menjualnya sebelum kami memin-dahkannya dari tempatnya."
Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku pernah melihat para sahabat di zaman Rasulullah kalau membeli makanan secara spekulatif, mereka diberi hukuman pukulan bila menjualnya lang-sung di lokasi pembelian, kecuali kalau mereka telah memin-dahkannya ke kendaraan mereka." HR. Bukhori
Dalam hadits ini terdapat indikasi bahwa para sahabat sudah terbiasa melakukan jual beli spekulatif, sehingga hal itu menunjukkan bahwa jual beli semacam itu dibolehkan.
Para ulama ahli fiqih bersepakat membolehkan secara global, lain halnya pada sebagian bentuk aplikatifnya secara rinci.
Syarat-syarat Jual Beli Spekulatif
Agar dibolehkan melakukan jual beli juzaf atau spekulatif ini ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Para ahli fiqih Malikiyah telah menyebutkan sebagian di antaranya, yakni seba-gai berikut:
* Baik pembeli atau penjual sama-sama tidak tahu ukuran barang dagangan. Kalau salah seorang di antaranya mengetahui, jual beli itu tidak sah.
* Jumlah barang dagangan jangan banyak sekali sehingga sulit untuk diprediksikan. Atau sebaliknya, terlalu sedikit sekali sehingga terlalu mudah untuk dihitung, jadi penjualan spekulatif ini menjadi tidak ada gunanya.
* Tanah tempat meletakkan barang itu harus rata, sehingga tidak terjadi unsur kecurangan dalam spekulasi.
* Barang dagangan harus tetap dijaga dan kemudian diperkirakan jumlah atau ukurannya ketika terjadi akad.
Kalangan Malikiyah adalah yang paling banyak merinci persyaratan-persyaratan ini. Dalam sebagian persyaratan, ada juga selain madzhab Malikiyah yang ikut merincinya.
Menjual Komoditi Riba Fadhal Secara Spekulatif
Komoditi riba fadhal tidak boleh dijual dengan jenis yang sama secara spekulatif. Satu tandan kurma misalnya tidak bisa dijual dengan satu tandan kurma lain. Karena syarat dibolehkannya menjual komoditi-komoditi riba fadhal itu dengan yang sejenisnya adalah adanya kesamaan ukuran dan serah terima langsung. Se-mentara jual beli spekulatif tidak merealisasikan kesamaan ukuran itu karena berdasarkan spekulasi dan perkiraan saja. Padahal kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhal "Ketidaktahuan akan kesamaan sama saja dengan mengetahui adanya perbedaan".
SEBAB-SEBAB DILARANGNYA JUAL BELI
Sebab-sebab Dilarang Jual Beli Bisa Kembali Kepada Akad Jual Beli dan Bisa Kepada Hal Lain
Larangan yang kembali kepada akad dasarnya adalah tidak terpenuhinya persyaratan sahnya jual beli sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Dan dalam kesempatan ini kita ulangi kembali pembahasannya yang berkaitan dengan objek jual beli-nya, dan ada juga yang berkaitan dengan komitmen sebuah perjanjian/akad jual beli yang disepakati.
Yang berkaitan dengan objeknya adalah sebagai berikut:
* Tidak terpenuhinya syarat adanya perjanjian. Yakni men-jual yang tidak ada, seperti menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantannya atau masih tulang dada induknya, menjual janin yang masih dalam perut induknya dan sejenisnya.
* Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi yang disyariatkan dari objek yang diperjualbelikan, seperti menjual bangkai, daging babi dan benda-benda haram lainnya, atau menjual barang-barang najis. Karena semua itu dianggap tidak bernilai, meskipun sebagian orang menganggapnya bernilai karena tidak memandangnya dengan hukum syariat.
* Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual. Seperti jual beli fudhuliy dengan menjual barang milik orang lain tanpa izinnya dan tanpa surat kuasa darinya. Sehingga juga tidak sah menjual harta wakaf, masjid, harta sedekah atau hibah sebelum diserahterimakan kepada penjual, atau menjual harta rampasan perang sebelum dibagi-bagikan, dan sejenisnya.
Yang berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual belinya ada dua macam:
* Karena jual beli yang mengandung riba.
* Karena jual beli yang mengandung kecurangan.
Sementara sebab-sebab larangan yang tidak kembali kepada akadnya atau terhadap komitmen perjanjian jual belinya, namun berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal tersebut ada dua macam:
Pertama: Yang barometer larangannya itu kembali kepada terjadinya penyulitan dan sikap merugikan, seperti seorang mus-lim yang menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, atau menjual senjata pada masa terjadinya konflik berdarah antar sesama muslim, monopoli dan sejenisnya.
Kedua: Yang barometer larangan itu kembali kepada adanya pelanggaran syariat semata, seperti berjualan ketika sudah diku-mandangkan adzan Jum’at, atau menjual mushaf al-Qur"an kepada orang kafir, kalau menurut berat sangkaan orang kafir itu akan menghinakannya, dan sejenisnya.
Kemungkinan sebab paling kuat dan yang paling banyak tersebar dalam realitas kehidupan modern sekarang ini, yang menyebabkan rusaknya perjanjian jual beli adalah sebagai berikut:
* Objek jual beli yang haram.
* Riba.
* Kecurangan.
* Syarat-syarat rusak yang menggiring kepada riba, kecurangan atau kedua-duanya.
Akan penulis bahas sebab-sebab ini secara rinci ketika kita membicarakan persoalan kode etik pengelolaan modal, di tengah-tengah pambahasan ini, insya Allah.
Juzaf secara bahasa artinya adalah mengambil dalam jumlah banyak.
Jual beli juzaf dalam terminologi ilmu fiqih yaitu: Menjual barang yang biasa ditakar, ditimbang atau dihitung secara bo-rongan tanpa ditakar, ditimbang dan dihitung lagi.
Contohnya adalah menjual setumpuk makanan tanpa menge-tahui takarannya, atau menjual setumpuk pakaian tanpa menge-tahui jumlahnya. Atau menjual sebidang tanah tanpa mengetahui luasnya.
Hukum Jual Beli Spekulatif
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa di antara syarat sahnya jual beli bahwa objek jual beli itu harus diketahui. Maka materi objek, ukuran dan kriteria harus diketahui. Sementara dalam jual beli spekulatif ini tidak ada pengetahuan tentang ukuran. Namun demikian, jual beli ini termasuk yang dikecualikan dari hukum asalnya yang bersifat umum, karena umat manusia amat membu-tuhkannya.
Di antara dalil disyariatkannya jual beli ini adalah hadits Ibnu Umar p bahwa ia menceritakan, "Kami biasa membeli makanan dari para kafilah dagang dengan cara spekulatif. Lalu Rasulullah melarang kami menjualnya sebelum kami memin-dahkannya dari tempatnya."
Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku pernah melihat para sahabat di zaman Rasulullah kalau membeli makanan secara spekulatif, mereka diberi hukuman pukulan bila menjualnya lang-sung di lokasi pembelian, kecuali kalau mereka telah memin-dahkannya ke kendaraan mereka." HR. Bukhori
Dalam hadits ini terdapat indikasi bahwa para sahabat sudah terbiasa melakukan jual beli spekulatif, sehingga hal itu menunjukkan bahwa jual beli semacam itu dibolehkan.
Para ulama ahli fiqih bersepakat membolehkan secara global, lain halnya pada sebagian bentuk aplikatifnya secara rinci.
Syarat-syarat Jual Beli Spekulatif
Agar dibolehkan melakukan jual beli juzaf atau spekulatif ini ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Para ahli fiqih Malikiyah telah menyebutkan sebagian di antaranya, yakni seba-gai berikut:
* Baik pembeli atau penjual sama-sama tidak tahu ukuran barang dagangan. Kalau salah seorang di antaranya mengetahui, jual beli itu tidak sah.
* Jumlah barang dagangan jangan banyak sekali sehingga sulit untuk diprediksikan. Atau sebaliknya, terlalu sedikit sekali sehingga terlalu mudah untuk dihitung, jadi penjualan spekulatif ini menjadi tidak ada gunanya.
* Tanah tempat meletakkan barang itu harus rata, sehingga tidak terjadi unsur kecurangan dalam spekulasi.
* Barang dagangan harus tetap dijaga dan kemudian diperkirakan jumlah atau ukurannya ketika terjadi akad.
Kalangan Malikiyah adalah yang paling banyak merinci persyaratan-persyaratan ini. Dalam sebagian persyaratan, ada juga selain madzhab Malikiyah yang ikut merincinya.
Menjual Komoditi Riba Fadhal Secara Spekulatif
Komoditi riba fadhal tidak boleh dijual dengan jenis yang sama secara spekulatif. Satu tandan kurma misalnya tidak bisa dijual dengan satu tandan kurma lain. Karena syarat dibolehkannya menjual komoditi-komoditi riba fadhal itu dengan yang sejenisnya adalah adanya kesamaan ukuran dan serah terima langsung. Se-mentara jual beli spekulatif tidak merealisasikan kesamaan ukuran itu karena berdasarkan spekulasi dan perkiraan saja. Padahal kaidah dalam jual beli komoditi riba fadhal "Ketidaktahuan akan kesamaan sama saja dengan mengetahui adanya perbedaan".
SEBAB-SEBAB DILARANGNYA JUAL BELI
Sebab-sebab Dilarang Jual Beli Bisa Kembali Kepada Akad Jual Beli dan Bisa Kepada Hal Lain
Larangan yang kembali kepada akad dasarnya adalah tidak terpenuhinya persyaratan sahnya jual beli sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Dan dalam kesempatan ini kita ulangi kembali pembahasannya yang berkaitan dengan objek jual beli-nya, dan ada juga yang berkaitan dengan komitmen sebuah perjanjian/akad jual beli yang disepakati.
Yang berkaitan dengan objeknya adalah sebagai berikut:
* Tidak terpenuhinya syarat adanya perjanjian. Yakni men-jual yang tidak ada, seperti menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantannya atau masih tulang dada induknya, menjual janin yang masih dalam perut induknya dan sejenisnya.
* Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi yang disyariatkan dari objek yang diperjualbelikan, seperti menjual bangkai, daging babi dan benda-benda haram lainnya, atau menjual barang-barang najis. Karena semua itu dianggap tidak bernilai, meskipun sebagian orang menganggapnya bernilai karena tidak memandangnya dengan hukum syariat.
* Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual. Seperti jual beli fudhuliy dengan menjual barang milik orang lain tanpa izinnya dan tanpa surat kuasa darinya. Sehingga juga tidak sah menjual harta wakaf, masjid, harta sedekah atau hibah sebelum diserahterimakan kepada penjual, atau menjual harta rampasan perang sebelum dibagi-bagikan, dan sejenisnya.
Yang berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual belinya ada dua macam:
* Karena jual beli yang mengandung riba.
* Karena jual beli yang mengandung kecurangan.
Sementara sebab-sebab larangan yang tidak kembali kepada akadnya atau terhadap komitmen perjanjian jual belinya, namun berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal tersebut ada dua macam:
Pertama: Yang barometer larangannya itu kembali kepada terjadinya penyulitan dan sikap merugikan, seperti seorang mus-lim yang menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, atau menjual senjata pada masa terjadinya konflik berdarah antar sesama muslim, monopoli dan sejenisnya.
Kedua: Yang barometer larangan itu kembali kepada adanya pelanggaran syariat semata, seperti berjualan ketika sudah diku-mandangkan adzan Jum’at, atau menjual mushaf al-Qur"an kepada orang kafir, kalau menurut berat sangkaan orang kafir itu akan menghinakannya, dan sejenisnya.
Kemungkinan sebab paling kuat dan yang paling banyak tersebar dalam realitas kehidupan modern sekarang ini, yang menyebabkan rusaknya perjanjian jual beli adalah sebagai berikut:
* Objek jual beli yang haram.
* Riba.
* Kecurangan.
* Syarat-syarat rusak yang menggiring kepada riba, kecurangan atau kedua-duanya.
Akan penulis bahas sebab-sebab ini secara rinci ketika kita membicarakan persoalan kode etik pengelolaan modal, di tengah-tengah pambahasan ini, insya Allah.