Blogger templates

“CAHAYA TERANG DALAM MENJAWAB TUDUHAN ABU SILUMAN AMAN AMDUR ROHMAN”




“CAHAYA TERANG DALAM MENJAWAB TUDUHAN ABU SILUMAN AMAN AMDUR ROHMAN”

oleh: Mujahid al Atsariy


قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ


Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.(QS. Az Zumar ayat 09)

Segala puji bagi Alloh yang telah menganugrahi nikmat iman dan Islam serta kesehatan sehingga kita dapat berjumpa dengan bulan yang penuh dengan ampunan dan dilipat gandakan amal perbuatan kebaikan anak adam. Akan tetapi bulan tersebut dikotori oleh segelintir manusia yang mengklaim dirinya sebagai mujahidin yang lebih layak disebut mufsidin (para perusak). Mereka tiada henti – hentinya menebarkan talbis (kerancuan) terhadap kaum muslimin berupa sebuah artikel yang tersebar di internet dengan judul “BUL’AMIYYIN”(penerus Bul’am Bin Bauro’), sehingga diri ini khawatir talbis tersebut meracuni pemikiran – pemikiran kaum muslimin. Karenanya dengan mengharap pertolongan dari Alloh ta’ala kami serta mengharap ridlo-Nya kami menurunkan bantahan dari artikel tersebut yang kami beri judul “CAHAYA TERANG DALAM MENJAWAB TUDUHAN ABU SILUMAN AMAN AMDUR ROHMAN”. Sebelum membantah artikel tersebut terlebih dahulu akan kami paparkan bagaimana sikap ahlus Sunnah dalam menyikapinya kisah tersebut.

MUQODDIMAH
Kisah Bul’am bin Bauro’ adalah tentang kisah masa lalu, karenanya kisah tersebut dinamakan kisah Isroiliyat yang mana al – qur’an tidak menceritakannya secara terperinci melainkan para ahli Tafsirlah yang menceritakannya. karena memang bukan merupakan tujuan yang utama dalam menceritakan kisah-kisah secara terperinci dan detail, namun yang diinginkan adalah menjabarkan hakekat dan menetapkan nilai-nilai dan pandangan-pandangan, memberikan mengambil ibrah-nasehat- dan pelajaran, arahan dan petunjuk serta memetik manfaat yang terdapat di dalamnya melalui berbagai sudut pandang. Inilah yang menjadi tujuan utama akan adanya kisah-kisah dalam Al-Quran.
Al-Quran melarang membahas sesuatu yang tidak berdasarkan dalil atasnya, seperti kisah masa lalu yang merupakan masalah ghoib, tidak bertanya kepada yang tidak mengetahui hukum dan sumbernya, tidak mengiktui sesuatu tanpa adanya dalil, karena setiap perkataan pasti akan ditanya nanti pada hari Kiamat :

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al Isro’ ayat 36)

Begitupula Al-Quran melarang untuk tidak mengambil kisah-kisah masa lalu dari Ahli Kitab, jangan meminta dari mereka fatwa sedikitpun darinya, seperti Firman Allah –saat berbicara tentang jumlah Ashabul kahfi -penghuni gua- :

قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَا يَعْلَمُهُمْ إِلا قَلِيلٌ فَلا تُمَارِ فِيهِمْ إِلا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلا تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا

Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit". Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka. (QS. Al Kahfi ayat 22)
Dan Al-Quran menafikan pula secara jelas akan pengetahuan manusia tentang berbagai peristiwa sejarah masa lalu, bahwa peristiwa yang terjadi di masa lalu itu tidak seorangpun yang tahu kecuali Alloh, sebagaimana firman Alloh :

أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَالَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ لا يَعْلَمُهُمْ إِلا اللَّهُ

“Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah”. (QS. Ibrahim ayat 9)

BANTAHAN ATAS ARTIKEL
Berkata Abu Siluman Aman Abdur Rohman:
Dulu terheran – heran saat membaca tulisan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah prihal Negara tartar dan fatwa pengkafiran pasukannya dan orang – orang yang bergabung dengannya, dimana beliau menuturkan bahwa di barisan tartar itu terdapat banyak Ubbad (orang – orang yang mengaku islam yang rajin ibadah) dan fuqoha’ (para pakar fiqh islami), padahal tartar ini memberlakukan yasiq (undang – undang buatan jengis khan yang disarikan dari ajaran islam, yahudi, Kristen dan buah pikirannya), dan mereka berkiprah dalam mengokohkan kerajaan dan kedaulatan jengis khan.

Kita katakan:
Wajar saja jika anda heran, karena anda tidak memahami hakekat tartar sebenarnya yang telah dikabarkan oleh Ibnu Taimiyyah, karena anda hanya mengambil sedikit saja dari keterangan beliau agar terwujud pemikiran anda dalam pelegalan pengkafiran suatu Negara. Maha suci Alloh yang telah berfirman:

إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ

Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap (agama) Allah apa yang tidak kamu ketahui.

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ

Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.(QS. Az Zumar ayat 09)

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah - :
“Mereka menjadikan agama Islam seperti agama Yahudi dan Nashrani, dan bahwa semua (agama) ini merupakan jalan menuju Allah. (Kedudukan agama-agama tersebut) seperti kedudukan madzhab yang empat pada kaum muslimin. Lalu di antara mereka ada yang memilih agama Yahudi, Nashrani, atau agama Islam” [Majmu’ Al-Fataawaa, 28/523].
Beliau juga berkata: “Hingga wazir (menteri) mereka yang buruk, mulhid (atheis), lagi munafiq menulis satu tulisan yang isinya bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meridlai agama Yahudi dan Nashrani, dan beliau tidak mengingkari mereka, tidak mencela mereka, tidak melarang mereka dari agama mereka, serta tidak menyuruh mereka untuk pindah kepada agama Islam” [idem, 28/526].
Beliau juga berkata “Orang ini dan semisalnya dari pendahulu mereka mempunyai tujuan – setelah Islam – untuk menjadikan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti kedudukan orang terlaknat ini (yaitu Jenghis Khaan). Dan telah diketahui bahwa Musailamah al-kadzdzaab lebih sedikit kemudlaratannya pada keum muslimin daripada orang ini. Musailamah dulu mendakwakan dirinya sebagai sekutu Muhammad dalam hal risalahnya. Atas dasar ini, para shahabat menghalalkan untuk membunuhnya dan membunuh para pendukungnya dari kalangan murtadiin. Lantas, bagaimana dengan orang yang menampakkan dirinya sebagai seorang muslim namun menjadikan Muhammad seperti Jenghis Khaan ?!” [idem, 28/522].
Beliau juga berkata “Sebagaimana dikatakan orang terbesar mereka tedahulu saat datang ke negeri Syaam, yang berbicara kepada utusan-utusan kaum muslimin dan mendekat kepada mereka serta mengaku bahwa mereka adalah kaum muslimin. Ia berkata : ‘Dua orang ini adalah ayat terbesar yang datang dari sisi Allah’, mereka adalah Muhammad dan Jenghis Khaan. Maka ini tujuan orang terbesar mereka terdahulu ketika mengadakan pendekatan kepada kaum muslimin dengan menyamakan Rasulullah – makhluk paling mulia, penghulu anak Adam, dan penutup para Rasul – dengan raja kafir, musyrik yang dia itu termasuk sebesar-besar orang musyrik dalam kekafiran, kerusakan, permusuhan, seperti Nebukadnezar dan semisalnya” [idem, 28/521].
Beliau juga berkata “Yang demikian itu karena keyakinan orang-orang Tartar terhadap Jenghis Khan sangat besar. Mereka meyakini bahwa ia adalah anak Allah seperti keyakinan orang Nashrani terhadap Al-Masih. Mereka mengatakan : Sesungguhnya matahari menghamili ibunya, dahulu ibunya ada di sebuah kemah lalu turunlah matahari dari lubang kemah dan masuk ke dalamnya hingga hamil. Padahal sudah diketahui oleh setiap orang yang beragama bahwa ini adalah sebuah kedustaan, dan ini merupakan dalil bahwa ia adalah anak zina, dan ibunya berzina, lalu menyembunyikan perbuatannya itu dan mendakwakan hal ini agar terlepas dari aib perzinaan” [idem, 28/521].
Beliau juga berkata “Mereka juga menjadikannya sebagai utusan yang paling mulia di sisi Allah dalam pengagungan apa-apa yang disunnahkan dan disyari’atkannya atas dasar prasangka dan hawa nafsunya, sampai-sampai mereka mengatakan ketika mereka memiliki sebagian harta : ‘Ini adalah rizki dari Jenghis Khan’. Mereka mensyukurinya ketika makan dan minum, mereka menghalalkan untuk membunuh orang yang memusuhi apa-apa yang disunnahkan bagi mereka oleh orang kafir yang terlaknat ini, yang memusuhi Allah, para Nabi dan Rasul-Nya, serta para hamba-Nya yang beriman” [idem, 28/521-522].

Inilah di antara keadaan Tartar yang masuk agama Islam dan berhukum dengan selain yang diturunkan Allah dengan pengingkaran dan penghalalan. Mereka juga tenggelam dalam hal-hal yang membatalkan ke-Islaman mereka. Jika demikian, maka tidak ada perbedaan pendapat mengenai kekafiran mereka ini. Inilah yang dimaksud dengan objek ijma’ kekafiran orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah.
Sangat jauh apa yang dipahami Ibnu Taimiyyah dengan yang dipahami Abu siluman Aman Abdur Rohman. Aku akan memberi kabar gembira Untuk anda wahai Abu Siluman bahwa Alloh berfirman:

وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. (QS. Al Baqoroh ayat 10)

Berkata Abu Siluman Aman Abdur Rohman:
…..Begitu juga nama Jengis khan tidak ada kaitannya dengan sebab pengkafiran, seperti Suharto, saddam Husen dan lain lain. Tapi sebab pengkafiran disana adalah ideology yang dianut atau hukum buatan yang diberlakukan olehnya atau yang dibelanya, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah 13/119 prihal kekafiran orang yang memberlakukan hokum buatan (yasiq/alyasa) bedasarkan ijma’.

Kita katakan:
Alloh berfirman:

أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ

Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui? (QS. Al A’rof yat 28)

Apa yang Abu Siluman katakan perihal Ibnu Katsir tidaklah benar, karena melihat perkataan Ibnu Katsir dengan ‘kaca mata kuda’, dengan tanpa memperhatikan keterangan-keterangan lain yang menjelaskan perkataan beliau tersebut.

Ketahuilah wahai ikhwan yang dirahmati Allah,bahwa perkataan Ibnu Katsir saat membahas kekafiran penguasa Tartar yaitu bahwa Mereka (penguasa Tartar) telah mengutamakan hukum Yaasiq dan mengunggulkannya di atas syari’at Alloh ta’ala. Bukti yang menunjukkan hal itu yaitu bahwa beliau saat membahas ayat hukum membahasnya dengan rinci, tidak sebagaimana yang dipahami Abu Siluman, beliau menuturkan:

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’ (QS. Al-Maaidah : 44). Yang demikian itu karena mereka mengingkari (juhd) hukum Allah secara sengaja dan penuh pembangkangan. Sedangkan dalam ayat ini Allah ta’ala berfirman : ‘(Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah), Maka mereka itu adalah orang-orang yang dhaalim’ (QS. Al-Maaidah : 45). Yang demikian itu karena mereka tidak berlaku adil kepada yang didhalimi atas tindakan orang dhalim dalam perkara yang telah diperintahkan Allah untuk ditegakkan keadilan, dan (memberlakukan) secara sama di antara semua umat manusia. Namun mereka menyalahi dan berbuat dhalim” [Tafsir Ibnu Katsir 3/120, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daaruth-Thayibah, Cet. 2/1420 H].

Perhatikan ! Al-Haafidh Ibnu Katsir telah memerinci siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir ketika seseorang berhukum dengan hukum selain yang diturunkan Allah. Mereka yang kafir adalah mereka yang mengingkari dengan penuh pembangkangan. Sedangkan yang orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah karena terpengaruh hawa nafsunya, sementara dalam hatinya masih mengakui eksistensi dan kewajiban untuk berhukum dengan hukum Allah – tidak dikafirkan. Ia termasuk orang yang salah lagi dhalim.

Dan sebelumnya, beliau juga membawakan riwayat :
“Telah berkata ‘Aliy bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas mengenai firman-Nya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; ia berkata : Barangsiapa yang mengingkari apa yang telah diturunkan Allah, berarti ia benar-benar kafir. Dan barangsiapa yang mengakuinya, namun tidak menjalankannya, maka adalah orang yang dhalim lagi fasiq” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/119].
Penjelasan perincian dari Ibnu Katsir mengenai masalah tahkim (berhukum) dengan selain yang diturunkan Allah adalah menyepakati perincian yang telah ditetapkan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma di atas.
Oleh sebab itu, pengkafiran orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tidaklah ditetapkan secara mutlak, namun tetap memerlukan perincian. Wallaahu ta’ala a’lam.

Berkata Abu Siluman Aman Abdur Rohman:
……bahkan tidak sedikit para ‘Ubbad dan para Fuqoha’ yang di luar system yang membela – bela system dan pemerintahan thogut itu dengan lisan dan tulisnnya melebihin pembelaan para aparatnya, padahal tanpa diminta dan tanpa dibayar..

Kita katakan:

Siapakah yang anda maksud wahai Abu Silumna?

هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

"Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar". (QS. Al Baqoroh ayat 111)
Jika yang anda maksud adalah kami, maka anda sangat salah besar. Karena adanya kami dan para Masayikh membantah tulisan anda dan tulisan yang berbau takfir dari kalangan khowarij kontemporer bukan berate kami membela system dan pemerintahan thogut. Anda menerangkan tentang kebejatan system demokrasi kitapun melakukannya akan tetapi kita berbeda dengan anda dalam segi vonis pengkafiran dan pemberontakan kepada penguasa. Maka kami katakan.

هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا

Inilah perbedaan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (QS. Al Kahfi ayat 78)

a. Permasalahan vonis pengkafiran
Syariat islam sangat berhati – hati dalam melakukannya, karena hal itu mewajibkan adanya tatsabut ( mengecek kebenaran ), Alloh berfirman:

dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ( QS. Al – Isro’ ayat 36 )

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, Maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan "salam" kepadamu: "Kamu bukan seorang mukmin" (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia. ( QS. An – Nisa’ ayat 94 )
Alloh ta’ala telah memberikan peringatan kepada mereka dari sikap tergesa – gesa dalam mengkafirkan orang, dan memerintahkan kepada mereka agar berhati – hati dalam menilai seseorang yang tampak tanda keislamannya pada saat ia berada di dalam perbuatan yang pelakunya tidak dikatakan seorang muslim.
Ibnul Jauzi berkata: “ takutlah kepada Alloh, takutlah kepada Alloh, jangan lupa tatsabut, jangan lupa tatsabut dalam segala hal”. ( Shoidhul Khothir )
Maka tidak boleh seseorang mengkafirkan orang tertentu kecuali setelah memastikannya dengan kepastian yang sangat jauh dari ta’ashub dan hawa nafsu. Serta menghilangkan penghalang – penghalangnya, Adapun Diantara penghalang – penghalang pengkafiran adalah:
1.Jahl ( bodoh ) yaitu tidak adanya ilmu pada diri seseorang, hingga ia mengucapkan sebuah ucapan atau meyakini sebuah keyakinan tanpa mengetahui keharamannya. Seperti orang yang berkeyakinan bahwa Alloh tidak kuasa membangkitkan jasad jika sudah dijadikan abu. Semetara keyakinan itu adalah kebodohan terhadap kekuasaan Alloh. Dalil mengenai hal ini banyak, diantaranya:
Firmana Alloh ta’ala:
dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkansuatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. ( QS. At Taubah ayat 115 )
Alloh mengabarkan bahwa seseorang hamba tidak akan diazab oleh Allah semata-mata karena kesesatan/kebodohannya, kecuali jika hamba itu melanggar perintah-perintah yang sudah dijelaskan/mengetahui.
2.Khoto’ ( salah ) yaitu dia berniat sesuatu dengan perbuatannya, ternyata perbuatannya tanpa ia sengaja berbelok kepada sesuatu yang bukan termasuk tujuannya, seperti orang yang melempar kitab – kitab kekufuran, tetapi ternyata mengenai kitab Alloh. Dalil atas udzur ini sangatlah banyak, diantaranya:
dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( QS. Al – Ahzab ayat 5 )
3.Ikroh ( terpaksa ) yaitu pemaksaan terhadap orang lain atas sesuatu yang tidak diinginkannya. seperti, orang yang dipaksa melakukan perbuatan atau ucapan sesuatu demi menuruti keinginan pemaksanya untuk menolak keburukan dari diri atau keluarganya maka ia tidak mendapat tuntutan dari Alloh. Ini adalah termasuk rahmat
Alloh terhadap hamba – hambaNya, Dia tidak membebani hamba – hambaNya apa yang membuat mereka susah, Alloh berfirman:
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. ( QS. An – Nahl ayat 106 )
4.Tegak atasnya hujjah, takfir tidak bisa tegak kecuali setelah tegak/sampai atas seseorang suatu hujjah, yang mana dengannya Alloh mengutus para Rosulnya, sebagaimana firmanNya:
dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. ( QS. Al – Isro’ ayat 15 )
Bagi yang ingin mendapat faedah lebih banyak mengenai syarat takfir, silahkan meruju’ pada kitab “ Manhaj Ibnu Taimiyyah fii mas’alatit Takfir ” karangan Doktor Abdul Majid.

b. Masalah memberontak kepada penguasa
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berwasiat:
“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)

Beliau juga bersabda :

“Barangsiapa yang mentaatiku berarti ia mentaati Allah dan siapa yang bermaksiat kepadaku maka ia bermaksiat kepada Allah dan siapa yang taat kepada amirnya (pemimpin/penguasa) berarti ia mentaatiku dan siapa yang bermaksiat kepada amirnya (pemimpin/penguasa) maka ia berarti bermaksiat kepadaku dan amirnya adalah tameng.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1065-1068)

Imam Al Barbahary berkata, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan :
“Dengar dan taatilah para pemimpin dalam perkara yang dicintai dan diridlai Allah! Dan siapa yang diserahi jabatan kekhalifahan dengan kesepakatan dan keridlaan manusia kepadanya maka ia adalah Amirul Mukminin. Tidak halal bagi siapapun untuk berdiam satu malam dalam keadaan tidak menganggap adanya imam baik orang yang shalih ataupun durhaka.” (Thabaqat Hanabilah 2/21 dan Syarhus Sunnah 77-78)
Kata Syaikh Jamal bin Farihan, ijma’ (kesepakatan manusia dan keridlaan mereka) di sini maksudnya adalah manusia dari kalangan Ahlul Hali wal ‘Aqdi (ulama mujtahid) bukan seluruh rakyat yang di dalamnya banyak terdapat orang-orang yang bodoh. Maka perhatikanlah hal ini!
Kata beliau (dalam Syarhus Sunnah hal 77-78) :
“Barangsiapa yang keluar (demonstrasi/memberontak) kepada imam kaum Muslimin maka ia Khawarij dan sungguh mereka telah mematahkan tongkatnya kaum Muslimin, menyelisihi atsar maka mereka mati dalam keadaan jahiliyyah.”
Dan kata beliau lagi :“Tidak halal memerangi (memberontak) kepada penguasa dan keluar (demonstrasi) terhadap mereka meskipun mereka jahat karena tidak ada dalam As Sunnah (tuntunan) memerangi penguasa sebab yang demikian mengakibatkan kerusakan dunia dan agama.”

Katakanlah pemerintah kita kafir, apakah kita boleh dengan serta merta memberontak? Jawabnya : tidak! kita diperkenankan memberontak dengan syarat memiliki kekuatan untuk memberontak, jika tidak memiliki kekuatan maka kita harus berhijrah, bersabar atau mengingkari dengan hati. Berikut nukilan para Ulama’ salaf terhadap penguasa yang kafir:

1. Al Hafidz,:” Kesimpulannya seorang khalifah dipecat berdasar ijma’ kalau ia telah kafir. Maka wajib bagi setiap muslim melakukannya. Siapa kuat melaksanakannya maka baginya pahala, siapa yang berkompromi baginya dosa, sedang yang tidak mampu (lemah) wajib hijrah dari bumi tersebut.” (Fathul Bari 13/132 )
2. Imam Ibnu Abdil Barr dalam mengatakan, ”Al Umari al ‘abid ---yaitu Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdullah bin Umar bin Khathab - bertanya kepada imam Malik bin Anas,” Wahai Abu Abdillah, bolehkah kita tidak terlibat dalam memerangi orang yang keluar dari hukum-hukum Allah dan berhukum dengan selain hukum-Nya ?” Imam Malik menjawab, ”Urusan ini tergantung kepada jumlah banyak atau sedikit. ( Al Kafi I/463 )

3. Imam Ahmad bin Hanbal berkata ( tatkala beliau didatangi Fuqoha’ Baghdad yang mengadu kepada beliau semakin merajalelanya bid’ah bahwa Al – Qur’an adalah Makhluk ): kalian harus mengingkari dalam hati dan jangan mencabut baiat dan jangan memecah barisan kaum muslimin, jangan mengalirkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Perhatikanlah akibatnya ( dari memberontak ), bersabarlah hingga orang bijak bisa beristirahat atau hingga diistirahatkannya orang fajir( zholim/bejat ). ( Min Akhbaris Salaf, syeikh Zakariya ibnu Ghulam Al - Baghistani )
Kesimpulan

Wajib taat kepada pemerintah Indonesia dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala. Tidak boleh memberontak atau membangkang meskipun mereka tidak berhukum dengan hukum Allah, sebab kafirnya seseorang karena tidak berhukum dengan hukum Allah perlu adanya syarat-syarat yang terpenuhi (syuruth at-takfir) dan terangkatnya penghalang (intifaul mawani’). Selama syarat-syarat itu belum terpenuhi dan penghalang-penghalangnya belum terangkat maka hukum asalnya ia adalah muslim. Jika ia seorang penguasa, berlaku baginya hak-hak seorang penguasa muslim.
Dan perlu juga dicatat, bahwa para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ada satupun yang mempersoalkan dasar negara pemimpin tersebut, apakah dasarnya Islam atau sekuler. Tetapi yang menjadi ukuran apakah pemimpinnya muslim atau kafir, baik muslim yang adil dan bertakwa atau yang zalim dan fasik, tetap wajib menaatinya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah.

Abu Siluman berkata:
….dan di sisi lain mereka gunakan kepalsuan ilmunya untuk memerangi para muwahhidin dan mujahidin. Manhaj para muwahhidin dianggap sesat, tindakan jihad mujahidin yang berdasarkan ijtihad syar’iy juga dipersalahkan….

Kita katakan:
Siapakah yang anda maksud dengan Muwahhidin dan Mujahidin wahai abu siluman? Apakah anda dan orang yang bersama anda?! Dengan seenaknya anda sekalian melakukan tindak pengeboman, penghancuran, serta berupaya untuk mengacaukan ketentraman negeri kaum muslimin dengan kedok jihad dan ijtihad. Padahal Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari apa yang mereka lakukan.
Alangkah cocok sebuah bait syair yang menggambarkan keadaan orang-orang seperti mereka,

Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila
Namun, malang. Ternyata Laila tidak mengiyakan omongan mereka

Begitulah kurang lebih keadaan anda dan orang yang bersama anda. Dengan tanpa malu-malu, anda mengaku sebagai barisan mujahidin dan menobatkan diri sebagai mujtahid. Bagaimana mungkin orang yang gemar menebar kekacauan dan kerusakan di atas muka bumi dengan membunuh nyawa tanpa hak layak untuk disebut sebagai mujahid, apalagi dinobatkan sebagai mujtahid? Allahul musta’an! Di manakah akal anda?

Syaikh Muhammad bin Husain al-Jizani mengatakan, “Ijtihad tidak boleh dilakukan kecuali oleh seorang yang faqih/ahli hukum agama yang mengetahui dalil-dalil dan tata cara menarik kesimpulan hukum darinya, sebab melakukan penelitian terhadap dalil-dalil tidak mungkin dilakukan -dengan benar- kecuali oleh orang yang memang ahli di dalam bidangnya.” (Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 470).

untuk berijtihad ada syarat-syaratnya yang tidak sembarang orang bisa memenuhinya. Di antaranya adalah: [1] Memahami seluk beluk sumber hukum yaitu al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, Qiyas, dsb. [2] Memahami bahasa Arab [3] Mengetahui maksud dari ungkapan umum dan khusus dalam bahasa Arab, muthlaq dan muqayyad. Bisa membedakan antara nash, zhahir, dan mu’awwal. Mujmal dan mubayyan. Manthuq dan mafhum, dsb [4] Dia harus mengerahkan segenap kemampuannya dalam mengambil kesimpulan hukum, tidak boleh setengah-setengah. Itu adalah sebagian syarat yang terkait dengan orangnya. Masih ada lagi syarat lain yang terkait dengan perkara yang menjadi objek ijtihad, di antaranya: bukan dalam perkara yang sudah ada dalil tegasnya, dalil yang ada dalam perkara tersebut memang masih membuka ruang -tidak dipaksakan- yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran, dsb (lebih lengkap baca di Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 479-484).

Abu Sulaiman berkata:
….Tapi di sisi lain kekafiran, kemusyrikan, kebejatan, kecabulan, kerusakan dan pengrusakan para thaghut dan aparatnya tidak diusiknya… Kemana para ‘ubbad dan fuqaha Tattar itu?

Kita katakan:
Fuqoha’ tartar telah binasa wahai Abu Siluman. Ucapan anda tersebut salah besar, kita berbeda dengan manhaj anda dalam menasehati penguasa beserta jajarannya. Manhaj yang kami tempuh adalah manhaj Ahlus Sunnah adapun manhaj anda adalah manhaj Khowarij. Perhatikanlah bagaimana Ahlus Sunnah menasehati penguasa.
1. Dari Iyadh bin Ghanim berkata : Bersabda Rasulullah SAW :
Barangsiapa berkeinginan menasehati sulthan (penguasa), maka janganlah melakukannya dengan terang-terangan (di depan umum) dan hendaknya dia mengambil tangannya (dengan empat mata dan tersembunyi). Jika dia mau medengar (nasehat tersebut) itulah yang dimaksud, dan jika tidak (mau mendengar), maka dia telah menunaikan kewajiban atasnya. (Hadits Shahih riwayat Ahmad, Ibnu Abi Ashim, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dhilal hal. 507 no. 1096)

2. Dari Ubaidillah bin Al-Khiyar berkata : Aku pernah mendatangi Usamah bin Zaid, kemudian saya katakan kepadanya : Tidakkah kau nasehati Utsman bin Affan agar menegakkan had (hukuman) atas Al-Walid ? Usamah berkata : Apakah kau kira aku tidak mau menasehatinya kecuali dihadapanmu ?! Demi Allah, aku telah menasehatinya antara aku dan dia saja. Aku tidak mau membuka pintu kejelekan kemudian aku menjadi orang pertama yang membukanya. (Atsar shahih riwayat Bukhari dan Muslim)

Segala puji bagi Alloh yang telah memberikan kepada kami daya dan kekuatan untuk membuat artikel ini. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi amal sholeh bagi kami. amin