Blogger templates

Jangan Bergabung dengan kafilah Perusak sebuah Kritik Atas Buku: “Bergabung Bersama Kafilah Syuhada – Dr.Abdullah Azzam”

Oleh: Mujahid al - Atsariy

Penulis dan Penerbit Buku Ini

Buku ini memiliki judul asli Ilhaq Qofilah, di tulis oleh Dr. Abdulloh ‘Azzam, diterjemahkan oleh Wahyudin, dan diterbitkan oleh Media Islamika, Solo, cetakan kedua, Desember 2006 M.

Jihad Adalah Ibadah

Buku ini dari awal hingga akhir merupakan hasungan dari penulis kepada kaum muslimin agar berjihad, dan ini adalah hal yang tidak ada satupun para ulama Sunnah yang mengingkarinya, karena begitu banyak nash-nash yang menunjukkan tentang perintah kepadanya seperti firman Alloh ‘Azza wa Jalla:

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Alloh. [QS. At-Taubah (9):41]

Dan Sabda Rasulullah –shalallalahu ‘alaihi wa sallam-:

“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta kalian, jiwa kalian dan lidah kalian.” [HR.Abu Dawud dalam Sunan-nya: 3/10 Dishohihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Shohihul Jami’: 3090]

Hanya, setiap ibadah tidak akan diterima di sisi Alloh kecuali jika terpenuhi di dalamnya dua syarat:

1. Hendaknya amalan tersebut diikhlaskan semata kepada Alloh, karena sesungguhnya Alloh tidak akan menerima amalan kecuali yang dimurnikan semata kepada-Nya. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” [QS.al-Bayyinah:5]

2. Hendaknya ittiba’ (mengikuti) Nabi -shalallalahu ‘alaihi wa sallam-, karena sesungguhnya Alloh tidak akan menerima amalan kecuali yang mencocoki dengan petunjuk Rasulullah shalallalahu ‘alaihi wa sallam-. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Apa yang diberikan Rosul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” [QS.al-Hasyr:7]

Rasulullah shalallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak berdasarkan urusan dari kami, maka ia adalah tertolak.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhori di dalam Shohihnya: 2499 dan Muslim di dalam Shohihnya: 3243]

Maka jihad wajib dilandasi oleh dua hal yang merupakan syarat diterimanya amal ibadah, yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti sunnah Rasul shalallalahu ‘alaihi wa sallam). Alloh tidak akan menerima jihadnya seseorang hingga dia mengikhlaskan niatnya karena Alloh dan mengharapkan dengan jihadnya tersebut keuntungan pribadi atau jabatan atau yang lainnya dari perkara-perkara dunia, maka jihadnya ini tidak diterima oleh Alloh ‘Azza wa Jalla. Demikian pula, Alloh tidak akan menerima jihad seseorang apabila dia tidak mengikuti sunnah Rosululloh shalallalahu ‘alaihi wa sallam dalam berjihad. Seseorang yang ingin berjihad haruslah terlebih dahulu memahami bagaimana dahulu Rasulullah shalallalahu ‘alaihi wa sallam berjihad kemudian dia mencontohnya.

Tidak Berjihad Kecuali Bersama Waliyul Amr

Penulis berkata di dalam hlm.48:

Ada sebagian manusia berapologi mencari pembenaran untuk tidak berangkat berjihad hanya karena beberapa perkara yang hukumnya masih diperselisihkan, mereka beralasan bahwasnya masih banyak orang-orang afghanistan yang keislamannya tidak dapat diterima/menyimpang.

Namun persoalan ini telah dijawab oleh para fuqoha dengan menunjukkan dalil-dalilnya. Bahwa seseorang wajib berjihad meskipun harus bersama dengan tentara yang mayoritas mereka adalah orang-orang tidak baik.

Ini adalah salah satu landasan pokok aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (yaitu berperang bersama orang yang baik dan yang fajir/jahat), karena Alloh ‘Azza wa Jalla akan mengokohkan dien ini dengan laki-laki yang fajir. Ini adalah jejak generasi umat pilihan pada masa dahulu dan sekarang. Hukumnya adalah wajib bagi setiap mukallaf (orang yang terbebani dengan perintah dan larangan).

Tidak berjihad bersama para pemimpin (meskipun mereka orang-orang yang fajir) atau bersama mayoritas tentara yang fajir adalah jalannya kelompok Haruriyah –mereka adalah bagian dari golongan Khawarij- dan kelompok semisal dengan mereka yang mengambil jalan dan sikap hati-hati yang berlebihan karena ilmu yang dangkal dan niscaya mengakibatkan kerusakan.

Kami katakan:

Penulis menyebutkan bahwa wajib berjihad bersama kaum muslimin yang baik dan yang jelek, tetapi dia telah melalaikan pokok yang agung yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang wajibnya berjihad bersama pemimpin (waliyul amr) yang baik dan yang jelek, dan bahwa jihad wajib dengan izin imam yang syar’i. Al Imam Abu Ja’far ath Thohawi –rahimahullah- berkata:

“Jihad dan ibadah haji dilakukan bersama ulil amri dari kaum muslimin, baik yang sholih maupun yang fasik, hingga hari kiamat. Keduanya tak dapat dibatalkan dan dirusak oleh segala sesuatu.” (Aqidah Thohawiyyah hal.49)

Al Imam Abu Hatim ar-Rozi dan al Imam Abu Zur’ah ar-Rozi rahimahumallah berkata:

“Kita melaksanakan kewajiban jihad dan haji bersama imam-imam kaum muslimin, disetiap masa.” (Ashlu Sunnah hal.22)

Al Imam Abu Utsman ash-Shobuni –rahimahullah- berkata:

“Mereka (Ashhabul Hadits) juga berpendapat bahwa berjihad melawan orang-orang kafir itu bersama pemerintah meskipun mereka zhalim dan fasik.” (Aqidah Salaf Ashhabul Hadits hal.106)

Yang dimaksud imam (pemimpin) disini adalah imam yang syar’i sebagaimana dikatakan al-Imam Ahmad -rahimahullah-, “Tahukah kamu, apakah imam itu? Yaitu kaum muslimin berkumpul atasnya dan semuanya mengatakan, “inilah imam.” (Masa’il al Imam Ahmad: 2/185, riwayat Ibnu Hani)

Al Imam Hasan bin Ali al-Barbahari –rahimahullah- berkata, “Barangsiapa yang menjadi kholifah dengan kesepakatan kaum muslimin dan keridhoan mereka, maka dia adalah amirul mukminin, tidak dihalalkan atas siapapun untuk menginap satu malam dalam keadaan tidak memandang bahwa dia memiliki imam.” (Syarhus Sunnah hal.69-70)

Yang sunnah adalah satu imam untuk kaum muslimin di seluruh dunia. Akan tetapi, ketika kaum muslimin terbagi menjadi beberapa negeri dan sulit disatukan, maka masing-masing penguasa negeri adalah imam yang wajib dibai’at dalam ketaatan kepadanya sesuai dengan batasan-batasan syar’i.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata, “”Yang sunnah hendaknya seluruh kaum muslimin memiliki satu imam, yang lain adalah perwakilan-perwakilannya. Jika terjadi keadaan di mana umat menyelisihi hal ini karena sebab kemaksiatan atau ketidakmampuan, atau sebab lain, sehingga terjadilah beberapa imam negeri, maka dalam keadaan seperti ini wajib atas setiap imam agar menegakkan hudud, dan menunaikan hak-hak..” (Majmu’ Fatawa: 34/175-176)

Al Imam asy-Syaukani –rahimahullah- berkata, “Sesudah menyebarnya Islam, meluasnya wilayahnya, dan berjauhan batas-batasnya, merupakan hal yang dimaklumi bahwa masing-masing wilayah memiliki seorang imam atau penguasa, yang tidak berlaku kekuasaannya di wilayah yang lain. Maka tidak mengapa dengan terjadinya beberapa imam dan penguasa negeri, dan wajib ditaati masing-masing penguasa negeri sesudah dilakukan bai’at atasnya oleh penduduk wilayah masing-masing..” (Sailul Jarror: 4/512)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullah- berkata, “Para imam dari setiap madzhab telah sepakat bahwa barang siapa yang menguasai suatu negeri, maka dia memiliki hukum imam dalams egala sesuatu. Seandainya tidak seperti ini maka tidaklah tegak dunia, karena kaum muslimin sejak zaman yang lama, sebelum zaman al-Imam Ahmad hingga sekarang, belum pernah bersatu dibawah satu imam.” [Durrar Saniyyah:7/239]

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin -rahimahullah- berkata, “Dengan ini kita mengetahui kesesatan anak-anak muda yang mengatakan, ‘Sesungguhnya hari ini tidak ada imam bagi kaum muslimin sehingga tidak ada bai’at bagi seorang pun –kita memohon keselamatan kepada Alloh- dan saya tidak tahu apakah mereka menghendaki urusan-urusan menjadi kacau-balau karena tidak ada pemimpin yang mengatur manusia? Ataukah mereka menghendaki dikatakan bahwa setiap orang adalah pemimpin dirinya? Mereka ini jika mati tanpa bai’at maka mereka mati seperti mati jahiliyah.” [asy-Syahul Mumthi’:8/12-13]

Jihad Yang Fardhu ‘Ain Tidak Perlu Izin?

Penulis berkata di dalam hal.62 dari bukunya ini:

“Tidak ada kewajban izin bagi siapapun saat hukum fardhu ain, sebab berdasarkan kaidah bahwa “Tidak perlu minta izin saat fardhu ain.”

Penulis juga berkata di dalam hal.74:

“Apabila jihad telah menjadi fardhu ain, maka seorang anak tidak perlu meminta izin kepada kedau orang tua sebagaimana mereka tidak perlu meminta izin untuk melaksanakan sholat Shubuh atau shaum Ramadhan.”

Kami katakan:

Syaikh Abul Aziz ar-Royyis –hafizhahullah- membantah syubhat ini dengan mengatakan, “Sekali-kali tidak, karena jihad sama saja apakah ia fardhu ‘ain atau fardhu kifayah maka dia adalah wajib secara syar’i dengan waliyyul amr (pemerintah) bukan kepada yanglainnya. Jika dia (waliyyul amr, Red) sembrono di dalam melaksanakannya makadia berdosa dan kita tidak menanggung apa-apa, dan kita mengikuti waliyyul amr kita. Inilah yang dilakukan oleh apra sahabat yang mulia. Karena itu, mereka tidak meninggalkan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk membela Abu Bashir dan Abu Jandal, atau membela saudara-saudara mereka yang tertindas di Makkah.” [Kasyfu Syubuhatil ‘Ashriyyah hal.44]

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa perkara jihad bergantung kepada waliyyul amr adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh –radhiyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

“Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) adalah perisai. Diperangi (musuh) dari belakangnya dan berlindung dengannya. Apabila ia memerintahkan kaumnya untuk bertakwa kepada Alloh Yang Maha Agung lagi Maha Mulia dan berlaku adil, maka dari itu ia akan memperoleh pahala. Akan tetapi, apabila ia mmerintahkan kepada perbuatan yang lainnya, maka ia pasti akan menerima balasan sesuai dengan perintahnya tersebut.” [Shohih Bukhari: 4/60 dan Shohih Muslim: 6/17]

Hadits ini adalah kabar yang bermakna perintah dan merupakan nash pada masalah ini. Al-Imam an Nawawi –rahimahullah- berkata:

“Imam adalah perisai, yaitu seperti penutup, karena dia menghalangi musuh dari mengganggu kaum muslimin, dan menghalangi sebagian manusia dari mengganggu sebahagian mereka, menjaga pertahanan Islam, manusia takut kepadanya dan takut serangannya, dan makna diperangi di belakangnya yaitu bersamanya diperangi orang-orang kafir, para pemberontak, orang-orang Khowarij, dan semua orang-orang yang merusak dan zholim.” [Syarh Muslim: 6/315]

Al Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:

“Karena dia menghalangi musuh dari mengganggu kaum muslimin, dan menahan gangguan sebagian manusia atas sebagian yang lain.” [Fathul Bari: 6/116]

Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad –rahimahullah- berkata:

“Maka imam adalah perisai, dengannya berperang. Kaum Muslimin berperang mengikutinya dan berada dibelakangnya. Jadilah ia sebagai pemimpin mereka di dalam peperangan serta di dalam mengadakan akad-akad dan perjanjian-perjanjian.” [Syarh Sunan Abu Dawud: 15:/73]

Jihad Tidak Perlu Izin Kepada Amirul Mukminin?

Penulis berkata di dalam hal.86:

“Sesungguhnya Amirul Mukminin tidak dimintai izin di dalam tida keadaan: (1) bila ia menihilkan jihad. (2) Bila ia menutup perizinan untuk berjihad. (3) Bila sebelumnya kita telah mengethaui bahwa ia akan menolak permohonan ijin untuk berjihad.

Kami katakan:

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Tidak boleh memerangi pasukan kecuali dengan izin imam betapapun perkatanya, karena yang diperintah berperang dan berjihad adalah apra waliyyul amr dan bukan person-person manusia, maka person-person manusia adalah mengikuti ahlul halli wal ‘aqdi, maka tidak boleh seorang pun untuk berperang tanpa izin imam kecuali untuk membela diri.” [asy-Syarhul Mumthi’:8/22]

Adapun tentang imam yang menihilkan jihad maka ini adalah perkataan yang global. Jika yang dmaksud bahwa dia mengingkari disyari’atkannya jihad maka ini adalah kekufuran. Adapun jika yang dimaksud bahwa dia belum melaksanakannya maka ini ada dua keadaan:

Pertama: Jika mereka lebih memilih dunia daripada akhirat maka perbuatan mereka ini adalah haram, bukan kufur, karena yang maksimal dari hukumnya adalah maksiat.

Kedua: Jika mereka ingin berjihad, tetapi mereka lemah tidak mampu melakukan hal itu, karena mereka belum siap dari segi kekuatan iman dan kekuatan militer, barangsiapa yang meninggalkan jihad karena alasan ini maka mereka benar di dalam pandangan mereka, karena jihad yang syar’i haruslah terpenuhi syarat-syarat dan faktor-faktor penunjangnya, diantaranya adalah:

  1. Hendaklah berjihad semata-mata mengharapkan wajah Alloh ‘Azza wa Jalla.
  2. Kaum muslimin mempunyai senjata, kekuatan dan pertahanan.
  3. Berjihad dalam satu komando di bawah bendera kaum muslimin
  4. Seorang imam kaum (pemimpin) muslimin mengumandangkan seruan untuk berjihad
  5. Hendaknya (sebelum mereka diperangi) telah diserukan dakwah agar mereka masuk Islam, jika mereka menolak seruan tersebut atau mereka menghalang-halangi dari tersebarnya Islam maka diperangi
  6. Hendaknya benar-benar yakin dalam berjihad tidak menimbulkan kemudhoratan bagi Islam dan kaum Muslimin.

Jika telah terpenuhi syarat-syarat dan faktor-faktor yang menunjangnya maka marilah kita berjihad, dan kalaulah tidak terpenuhi syarat-syarat tersebut maka janganlah kita berjihad. [Lihat al-Jihad Fil Islam karya Syaikh Abdus Salam as Suhaimi hal.86]

PenutupInilah yang bisa kami sampaikan berupa sebagian dari jawaban-jawaban terhadap syubhat-syubhat buku ini. Akhirnya, kita memohon kepada Alloh agar menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang berjihad di jalan-Nya dengan jihad yang benar sesuai yang diperintahkan oleh Alloh dan dicontohkan oleh Rosul-Nya dan semoga Alloh selalu memberikan taufiq kepada kita semua agar bisa selalu bisa menmpuh jalan yang lurus di dalam semua segi kehidupan. Aamiin.

Sumber: www.alqiyamah.wordpress.com