MENGUNGKAP AGENDA PROPAGANDA NEO-CON DI DALAM MEMERANGI ISLAM TERUTAMA AHLUS SUNNAH
Oleh :
Abu Salma al-Atsari
Belum lama ini, saya sempat tergelitik dengan sebuah judul buku “Dinasti Bush Dinasti Saud” yang ditulis oleh salah seorang jurnalis Amerika Serikat. Saya sendiri sebenarnya belum sempat membaca dan menelaah isi buku tersebut, namun saya mendengar bahwa buku ini diterima secara luas oleh saudara-saudara kita kalangan hizbiyyin harokiyyin yang menjadikannya sebagai bumerang untuk menyerang dakwah salafiyyah dan negeri tauhid, Kerajaan Arab Saudi.
Hal serupa sebelumnya juga pernah terjadi dan dilakukan oleh Majalah Suara Hidayatullah (SAHID) pada akhir tahun 90-an yang memuat kesaksian ‘kontroversial’ dan dusta seorang ‘mantan’ agen Mossad yang memberikan ‘testimoni’ akan adanya hubungan antara salafiyyun dengan agen Mossad. Artikel ini dimuat di majalah SAHID yang akhirnya menuai kritikan dan bantahan dari salafiyyin. Setelah muncul bantahan dan klarifikasi kedustaan berita tersebut, beberapa staf majalah SAHID meminta maaf kepada fihak salafiyyin atas termuatnya berita yang tidak valid tersebut. Tahun 2007 ini, artikel ‘hoax’ ini diangkat kembali oleh “Risalah Mujahidin” untuk menyerang dakwah salafiyyah. Seakan-akan mereka ini tidak pernah membaca dan memahami firman Alloh Ta’ala surat al-Hujurat ayat 6 tentang kewajiban tabayyun dan tatsabbut di dalam menerima berita dari orang fasik, apalagi orang kafir.
Namun, pembahasan kita kali ini bukanlah ini. Saya di sini akan sedikit mengungkap pandangan para jurnalis eropa dan Amerika terhadap Wahhabisme dan Kerajaan Arab Saudi (KSA) itu sendiri yang berlawanan dengan analisa penulis Amerika yang menyatakan ”Dinasti Bush Dinasti Saud”. Hal ini menunjukkan bahwa, para jurnalis di Eropa dan Amerika, mereka memiliki kebebasan di dalam penulisan dan karya-karyanya. Sehingga, ’studi’ observasi antara satu penulis dengan penulis lainnya dalam satu masalah seringkali saling bertabrakan dan berbenturan.
Sebagai misal dalam hal ini adalah terbitnya essay, artikel, jurnal dan makalah pada media-media massa baik cetak maupun elektronik yang menghantam habis Saudi Arabia sebagai ’gudang’ penghasil teroris dan melahirkan teroris terbesar di dunia. Mark Silverburg misalnya, mengklaim bahwa Saudi Arabia mengeluarkan biaya 85 miliar dollar AS selama rentang 25 tahun untuk pembiayaan aktivitas yang ditengarai berbau radikalis dan fundamentalis. Tidak ketinggalan pula, Nina Shea dalam artikelnya berjudul ”Saudi Publication on Hate Ideology Fill American Mosques” [Washington : Center for Religious Freedom, 2005] menyatakan bahwa Saudi berada di belakang menyebarnya ‘ideologi kebencian’ yang merupakan cikal bakal tindakan terorisme.
Dalam artikel ringkas ini, saya akan memaparkan agenda dan bentuk permusuhan kaum neo con kuffar di dalam menghantam dan menghancurkan Islam, terutama ahlus sunnah. Artikel ini banyak mengambil faidah dari makalah “Hal tad’u al-Mamlakah al-‘Arobiyyah as-Su’udiyyah ila ‘adamit Tasaamuh wal Hiqd fil Ghorb” [salafimanhaj research, 2007].
NEO CON DAN AGENDA ZIONISME
Neo-con adalah sebutan bagi jelmaan partai konservatif gaya baru yang didirikan oleh George Bush Sr. di dalam mewujudkan agenda politik dan tendensi zionisme di Amerika Serikat. Semenjak didirikannya partai ini, ideologi neo-con ini menyebar ke penjuru Eropa dan menjadi suatu ideologi tersendiri yang membawa misi yahudisasi universal dengan bersikap skeptis terhadap Islam dan memusuhi Islam. Agenda memerangi Islam telah mulai dicanangkan dengan berbagai bentuk propaganda, diantaranya adalah jargon “War against terrorism” dan melabelkan Islam sebagai teroris.
Mantan kepala biro “Jerussalem Post” dan asisten ilmuwan di “Cato Institute”, Leon T. Hadar, telah mendokumentasikan indikasi kebijakan luar negeri AS yang dikuasai Neo Con dalam bukunya yang ditulis awal 90-an tentang kebijakan pemerintah AS sebagai berikut:
“Now that the Cold War is becoming a memory, America’s foreign policy establishment has begun searching for new enemies. Possible new villains include ‘instabilty’ in Europe – ranging from German resurgence to new Russian imperialism – the ‘vanishing’ ozone layer, nuclear proliferation and narcoterrorism. Toping the list of potential new global bogeymen, however are the Yellow Perril, the alleged threat to America economic security emanating from East Asia, and the so-called Green Peril (green is the color of Islam). The peril is symbolized by the Middle Eastern Moslem fundamentalist” [Leon T. Hadar, The ‘Green Peril” : Creating the Islamic Fundamentalist Threat, Policy Analysis, Cato Institute, no. 177, 27 Agustus 1992)
“Sekarang ini ketika Perang Dingin telah menjadi sebuah memori’ penentuan kebijakan luar negeri Amerika telah memulai pencarian musuh baru. Kemungkinan penjahat-penjahat baru termasuk ’ketidakstabilan’ di Eropa – berjejer mulai dari kebangkitan Jerman sampai kepada imperalisme Rusia baru -, ’lenyapnya’ lapisan ozon, proliferasi (pengembangan) nuklir dan narkoterorisme. Puncak tertinggi dari daftar ’hantu-hantu’ global baru yang berpotensi tersebut, biar bagaimanapun tetaplah ’bahaya kuning’ [komunis, pent.], ancaman yang diduga kuat berdampak pada keamanan ekonomi Amerika yang berasal dari Asia Timur, dan demikian pula dengan ancaman yang disebut ’Bahaya Hijau’ (warna hijau sering diidentikkan dengan Islam). Bahaya yang disimbolisasikan dengan fundamentalis muslim Timur Tengah.”
Untuk memenuhi ambisi dan agenda politik neo-con, upaya pembentukan opini dan pemburukan citra Islam terutama terhadap ahlus sunnah dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya adalah dengan bombardir opini publik via media-media baik cetak maupun elektronik. Artikel dan essay yang tersebar di majalah, surat kabar maupun jurnal ramai memperbincangkan tentang isu Islam dan terorisme.
Sayangnya, sebagian kaum muslimin menerima mentah-mentah isu semisal ini dan mengkambinghitamkan gerakan puritan pemurnian Islam, yang mereka sebagai Wahhabisme dan negara penyebar ’madzhab’ ini, Kerajaan Saudi Arabia. Muhammad Hisham Kabbani, seorang pembesar tokoh Naqshabandiyah Eropa dan Abdul Hakim Murad ash-Shufi adalah salah satu ’partner’ jurnalis eropa di dalam menghantam Wahhabisme.
Di lain pihak, secara kontradiksi, Hamim Nuh Keller –yang juga murid Kabbani- dan sebagian tokoh syiah, menuduh bahwa Wahhabi merupakan gerakan boneka propaganda Goebbel dan Goering, namun di sisi lain juga menyatakan bahwa Wahhabisme merupakan akar fundamentalisme Islam penyebar faham kekerasan, kebencian dan terorisme. Saya sendiri juga sempat membaca tuduhan ini di salah satu blog wordpress seorang jama’ah ahli bait Indonesia.
Apabila kita menelaah ulasan para jurnalis neo-con yang islamfobia, mereka banyak mengambil sumber informasi dari kalangan shufiyun Eropa semisal Kabbani, Murad, Keller, Yusuf Smith, dll. Seakan-akan di sini, ada suatu propaganda dan agenda terselubung dari neo-con dan shufi partnership.
Untuk itu mari kita mengenal sedikit beberapa jurnalis dan penulis neo-con yang anti Islam, untuk mengetahui keburukan bukan supaya mengiktinya, namun supaya waspada darinya. Sebagaimana seorang penyair mengatakan :
عرقت شرا لا لشر ولكن لتوقيه
Aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukannya
Namun aku mengetahuinya untuk memproteksi darinya
Beberapa jurnalis islamfobia yang diduga terlibat dengan neo-con
Berikut ini adalah beberapa jurnalis yang diduga kuat turut mempromosikan program agenda neo-con dan mendiskreditkan Islam terutama ahlus sunnah.
Nina Shea, seorang direktur ”Center for Religious Freedom” adalah satu propagandis utama yang mengklaim bahwa Arab Saudi secara sengaja menyebarkan ’ideologi kebencian’ melalui buku-buku pelajaran sekolah, masjid dan institusi lainnya. Ia menulis sebuah essay berjudul ”Saudi Publication on Hate Ideology Fill American Mosques” (Publikasi Saudi tentang ideologi kebencian memenuhi Masjid-Masjid Amerika) setelah melakukan studi yang inadequate (tidak memadai) dan absurd ridiculous (tidak masuk akan dan menggelikan). Ia hanya melakukan observasi pada 15 masjid di AS (yang tidak sampai 1 % dari jumlah keseluruhan Masjid di AS) lalu mengambil kesimpulan yang bias dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain itu, Nina Shea banyak melakukan penukilan-penukilan dengan memotongnya sehingga keluar dari konteks dan membawa alur studi kepada pemahamannya yang anti Islam. Belum lagi ia banyak merujuk kepada para pembesar sufi semisal Hisyam Kabbani untuk memperkuat pendiskreditannya kepada Wahhabi dan Saudi Arabia.
Daniel Pipes. Seorang kolumnis Amerika Zionis dan Islamfobia. Ia adalah direktur sebuah forum yang disebut dengan ”Middle East Forum”. Operasinya didukung oleh beberapa grup seperti ”Christian Coalition”, ”The America Israel Public Affair Commitee”, ”The American Jewish Congress” dan ”Zionist Organization of America”. Dia juga orang yang berada di belakang website “Campus Watch”. Ayahnya, Richard Pipes, adalah salah satu arsitek kebijaksanaan metodologi neo-con mantan seorang dosen di Harvard University selama lebih dari 46 tahun yang pensiun pada tahun 1996. Richard sendiri adalah seorang kelahiran Polandia yang lahir dari keluarga Yahudi yang kaya raya. Richard Pipes pernah menjabat sebagai “Tim B” CIA pada tahun 1976 dan mengklaim bahwa Soviet memiliki senjata pemusnah massal, yang memicu perang dingin berkepanjangan.
Robert Spencer, seorang katolik yang berideologi neo-con yang namanya melambung pasca peristiwa 11 September dan memproklamasikan dirinya sebagai ‘spesialis Islam’. Dia adalah editor buku The Myth of Islamic Tolerance : How Islamic Law Treat Non Muslims [Mitos tentang toleransi Islam : Bagaimana hukum Islam memperlakukan non muslim] (New York : Promotheus Books, 2005). Ia berada di belakang website “Jihad Watch” dan “Dhimmi Watch” bersama dengan rekannya, Hugh Fitzgerald.
Bat Ye’or, seorang konseptor utama pencipta istilah Dhimmitude yang ia formulasikan dalam bukunya yang berjudul “Islam and Dhimmitude : Where Civilisations Collide” [Islam dan Dzimmitude : Ketika peradaban hancur] (Cranbury, Ney Jersey : Associated University Presses, 2002). Bat Ye’or sendiri sebenarnya bukanlah nama aslinya, ini adalah nama samaran pseudonim dengan bahasa Ibrani. Nama aslinya adalah Giselle Littman, seorang kelahiran Mesir namun beragama Yahudi. Ia mengklaim sebagai ahli spesialis Timur Tengah. Ia juga pernah menulis buku yang berjudul “The Jews in Egypt” pada tahun 1971 dengan nama samaran Yahudiyya Masriya. Dia menuduh bahwa bangsa muslim merampas hak kaum Yahudi dan mengkhianati perjanjian-perjanjian mereka dengan Yahudi. Dia memiliki dendam pribadi terhadap Islam setelah dirinya diusir oleh pemerintahan Mesir dan tinggal di Inggris.
Stephen Schwarts, seorang Yahudi neo-con yang masuk ke dalam kelompok sufi Naqshabandiyah Hisyam Kabbani. Ia mengklaim dirinya sebagai ahli dalam masalah keislaman, terutama setelah belajar Islam melalui kelompok sufi naqshabandiyah Hisyam Kabbani. Schwarts sangat anti dengan Wahhabi dan Saudi Arabia. Di dalam bukunya yang berjudul “The Two Faces of Islam: The House of Saud from Tradition in Terror” (Dua wajah Islam : Rumah Saud dari tradisi menuju teror), Schwarts tidak pernah menyokong satupun pendapatnya tentang Islam dengan Al-Qur’an maupun Sunnah. Bahkan lebih parah lagi, sebagaimana diutarakan oleh Amir Butler, bahwa Schwarts bersikap kelewat batas dengan membandingkan antara Wahhabisme dengan Fascsime di Italia, Komunisme di Soviat atau Militerisme Jepang. Schwarts, yang berpindah dari agama Yahudi ke agama Islam ala sufi Naqshabandiyah, tetap menunjukkan sikap antipati terhadap dakwah Islam itu sendiri dan dia turut meramaikan ritual-ritual bid’ah ala sufi seperti meramaikan kuburan dan nyanyi-nyanyi dengan musik sufiyah yang dikatakan olehnya : “Music is perhaps the greatest glory of Islamic Civilitation” (Two Face, op.cit, hal. 72-73) [Musik itu, mungkin merupakan kemenangan terbesar peradaban Islam…]. Ketika interview dengan National Review, Schwarts dengan bodohnya menyatakan bahwa Saddam Hussein (seorang Ba’tsi beraliran nasionalis komunis, pen), Hamas (Organisasi pembebasan Palestina Ikhwani, pen) dan Hizbullah (Syiah, pen), semuanya adalah Wahhabi.
Oriana Falacci, seorang penulis Italia yang dikenal dengan buku best-sellernya Anger and Pride (Kemarahaan dan Kebanggan) ini menyamakan antara ayat suci Al-Qur’an dengan Mein Kampf-nya Hittler [Mein-Kampf = perjuanganku adalah catatan harian Hittler yang dianggap bibble-nya kaum NAZI]. Ia juga mengklaim tanpa bukti bahwa “millions and millions of Muslims marched in support of Bin Laden” [Berjuta-juta kaum muslimin berbaris mendukung Bin Ladin], lalu ia berkonklusi bahwa hampir keseluruhan kaum muslimin itu berpotensi seperti Bin Ladin di dalam melakukan terorisme dan menyebarkan ideologi kebencian.
Melanie Philips, penulis Londonistan : How Britain is Creating a Terror State within [Londonistan : Bagaimana Inggris menciptakan negara teror di dalamnya] (London : Gibson Square, 2006). Pada awal mulanya ia kesulitan mencari penerbit yang mau menerbitkan bukunya ini hingga akhirnya ia memperolehnya setelah penantian dan pencarian yang cukup panjang. Di dalam bukunya, Melanie banyak melakukan klaim-klaim tanpa bukti, seperti ia menyatakan bahwa toko-toko buku Islam turut menjual buku Mein Kampf-nya Hittler. Ia juga menyandarkan beberapa ucapan kepada Syaikh Abdurrahman as-Sudays (hal. 155-56) yang sangat aneh dan tidak menunjukkan dimana perujukan ucapan tersebut ia dapatkan. Banyak sekali sumber-sumber penukilan di buku ini yang tidak diketahui asal muasalnya.
Patrick Sookhdeo, mantan muslim asal Guyana yang murtad menjadi Kristen Anglikan Kanon. Ia menjadi direktur lembaga tidak jelas bernama “Institute for The Study of Islam and Christianity”. Dia memiliki beberapa tulisan, diantaranya “The Chalenge of The Church” [Tantangan Gereja] (2006), “Understanding Islamic Terrorist: The Islamic Doctrin of War” [Memahami teroris Islam : Doktrin Islam tentang peperangan] (2004) dan lainnya. Sookhdeo menulis artikel berjudul “The Myth of a Moderate Islam” [Mitos tentang Islam Moderat] yang menyatakan bahwa kaum teroris dan ekstrimis Islam melakukan tindakan teror adalah berangkat dari ajaran islam itu sendiri, sehingga aktivitas itu sendiri merupakan epresentasi dari Islam.
Ayaan Hirsi Ali, seorang wanita zindiq asal Somalia yang mengaku sebagai muslimah, namun tindak-tanduk dan karya tulisnya menunjukkan akan kebenciannya terhadap Islam. Ia hijrah ke Belanda dengan cara keimigrasian gelap, dan pernah menjadi mantan anggota partai sayap kanan Belanda. Hirsi Ali menyeru pemerintahan kafir untuk lebih waspada menghadapi kaum muslimin dan mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyudutkan kaum muslimin. Sikap anti islammnya inilah menyebabkan dirinya menjadi “one of the most influential people of 2005” versi majalah “Times”. Di dalam bukunya, “The Caged Virgin : An Emancipation for Women and Islam” [Keperawanan yang terkurung : sebuah emansipasi untuk wanita dan Islam] menunjukkan sikap zindiqnya dan kecenderungannya di dalam atheis dan menentang syariat-syariat Islam. Di bukunya ini ia lebih banyak mengejek dan menghina syariat islam terhadap perlindungan wanita, ia juga mengejek wanita-wanita muslimah yang multazimah (komitmen). Ia pernah menghadiri pertemuan tahunan Komite Yahudi Amerika.
Serge Trifkovic, seorang berdarah serbia kroasia yang juga anti Islam. Dia turut membandingkan antara Islam dengan Fasisme Italia dan mempertanyakan realitas pembantaian muslim di Bosnia? Dia menulis sejumlah buku diantaranya Sword of The Prophet (Pedang Nabi) dan Defeating Jihaad (jihad penakukan). Dia pernah menjadi saksi pembela dalam pengadilan internasional (International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia) politisi serbia yang dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap kaum muslimin Bosnia.
Mark Silverburg, seorang pengacara dan penulis sejumlah buku terbitan Ariel Center for Policy and Research. Di dalam bukunya yang berjudul “The Quartermasters of terror: Saudi Arabia and The Global Islamic Jihad” [Juru mudi teror : Arab Saudi dan Jihad Islam Global] mengklaim bahwa Saudi Arabia telah mengeluarkan dana hampir 87 miliar dollar selama lebih dari 25 tahun ini untuk membiayai propagasi ekstrimisme Islam. Silverburg juga menunjukkan bahwa dirinya pun dipengaruhi oleh Hisyam Kabbani di dalam pengumpulan informasi dan investigasinya, sebagaimana ia menyatakan di dalam pembukaan bukunya bahwa : “In the estimated 80% of mosques that the wahabist control in America…” [pada perkiraan 80% masjid-masjid yang dikendalikan oleh kaum Wahhabi di Amerika] dan Silverburg menerima klaim ini dari Kabbani. Ia juga menyatakan bahwa tidak ada satupun ulama Islam yang menolak tindakan Usamah bin Ladin, padahal Imam Ibnu Baz sudah memperingatkan dari perilaku Bin Ladin semenjak tahun 90-an.
Dan masih banyak lagi dari para jurnalis dan penulis neo-con yang islamfobia, yang mendiskreditkan dan menfitnah Islam… dalam hal ini yang menjadi sorotan utama adalah Wahhabisme dan Saudi Arabia. Sungguh lucu, banyak sekali orang yang mengatributkan tindakan kekerasan dan terorisme dengan Wahhabisme, padahal Wahhabi terlepas dari atribut-atribut semisal ini sebagaimana terlepasnya darah serigala dari pakaian Nabi Yusuf ‘alaihi Salam.
Ada suatu agenda tersembunyi dan propaganda terang-terangan di dalam menyudutkan shahwah (kebangkitan) Islam di dunia. Barat khawatir akan kebangkitan Islam, dan mereka faham dan yakin, bahwa musuh utama mereka dalam kebangkitan Islam ini adalah mereka yang disebut sebagai Wahhabi dan Wahhabisme.
Dalam hal ini Amerika memiliki kepentingan besar di dalam menjaga eksistensinya. Mereka menjadi paranoid dan ketakutan besar terhadap gerakan puritan dan revival kaum muslim. Mereka khawatir bangkitnya kembali Daulah Khilafah Islamiyyah sebagaimana pada masa-masa kegelapan Eropa. Untuk itulah, mereka berupaya mempersiapkan diri melawan suatu ’peperangan’ dan mencuri start dengan memerangi Islam dengan atas nama terorisme…
Madeline Albright, mantan dubes AS bagi PBB menyatakan ketika dirinya masih menjabat sekretaris negara :
”The Islamic terrorism threat will lead to a war of the future” (London : The Observer, 23 Oktober 1998, hal. 14)
“Ancaman terorisme Islam akan menyebabkan suatu peperangan di masa akan datang.”
Dan inilah yang mereka takutkan. Oleh karena itu mereka akan senantiasa menjaga ko-eksistensi mereka, mereka melakukan peperangan dan kekerasan terorganisir atas nama humanity (kemanusiaan) padahal merekalah yang pertama kali menginjak-injak humanity. Sikap arogan seperti inilah yang akan membenamkan Amerika ke dalam jurang kehancuran –dengan izin Alloh- ke dalam jurang kehinaan.
Samuel Huntington dalam bukunya Clash of Civilitation and the Remakingh of World Order (New York : Touchstone books: 1996) berkata (hal. 51) :
“The West won the world not by the superiority of its ideas or values or religion (to which few members of other civilization were converted) but rather by its superiority in applying organized violence. Westerners often forget this fact; non westerner never do.”
“Barat memenangkan dunia ini bukanlah karena keunggulan ide, nilai atau agamanya (dimana sejumlah kecil peradaban lainnya terpangaruh) namun lebih karena keunggulannya di dalam menerapkan kekerasan yang teroganisir. Orang barat sering melupakan hal ini sedangkan orang non barat tidak pernah melupakannya.”
Huntington benar, bahwa mereka –orang barat- tidak pernah menyadari kesalahan mereka ini, sedangkan lawan mereka tidak pernah melupakannya. Dan inilah yang akan menjadi bumerang bagi mereka, di saat itulah civilitation (peradaban) Amerika akan collide (runtuh) dan the new world order (kepemimpinan dunia baru) akan bangkit dan menggantikan posisi mereka.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
“Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. ”
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”
إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ
“Jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (Tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu?”
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.”
Oleh :
Abu Salma al-Atsari
Belum lama ini, saya sempat tergelitik dengan sebuah judul buku “Dinasti Bush Dinasti Saud” yang ditulis oleh salah seorang jurnalis Amerika Serikat. Saya sendiri sebenarnya belum sempat membaca dan menelaah isi buku tersebut, namun saya mendengar bahwa buku ini diterima secara luas oleh saudara-saudara kita kalangan hizbiyyin harokiyyin yang menjadikannya sebagai bumerang untuk menyerang dakwah salafiyyah dan negeri tauhid, Kerajaan Arab Saudi.
Hal serupa sebelumnya juga pernah terjadi dan dilakukan oleh Majalah Suara Hidayatullah (SAHID) pada akhir tahun 90-an yang memuat kesaksian ‘kontroversial’ dan dusta seorang ‘mantan’ agen Mossad yang memberikan ‘testimoni’ akan adanya hubungan antara salafiyyun dengan agen Mossad. Artikel ini dimuat di majalah SAHID yang akhirnya menuai kritikan dan bantahan dari salafiyyin. Setelah muncul bantahan dan klarifikasi kedustaan berita tersebut, beberapa staf majalah SAHID meminta maaf kepada fihak salafiyyin atas termuatnya berita yang tidak valid tersebut. Tahun 2007 ini, artikel ‘hoax’ ini diangkat kembali oleh “Risalah Mujahidin” untuk menyerang dakwah salafiyyah. Seakan-akan mereka ini tidak pernah membaca dan memahami firman Alloh Ta’ala surat al-Hujurat ayat 6 tentang kewajiban tabayyun dan tatsabbut di dalam menerima berita dari orang fasik, apalagi orang kafir.
Namun, pembahasan kita kali ini bukanlah ini. Saya di sini akan sedikit mengungkap pandangan para jurnalis eropa dan Amerika terhadap Wahhabisme dan Kerajaan Arab Saudi (KSA) itu sendiri yang berlawanan dengan analisa penulis Amerika yang menyatakan ”Dinasti Bush Dinasti Saud”. Hal ini menunjukkan bahwa, para jurnalis di Eropa dan Amerika, mereka memiliki kebebasan di dalam penulisan dan karya-karyanya. Sehingga, ’studi’ observasi antara satu penulis dengan penulis lainnya dalam satu masalah seringkali saling bertabrakan dan berbenturan.
Sebagai misal dalam hal ini adalah terbitnya essay, artikel, jurnal dan makalah pada media-media massa baik cetak maupun elektronik yang menghantam habis Saudi Arabia sebagai ’gudang’ penghasil teroris dan melahirkan teroris terbesar di dunia. Mark Silverburg misalnya, mengklaim bahwa Saudi Arabia mengeluarkan biaya 85 miliar dollar AS selama rentang 25 tahun untuk pembiayaan aktivitas yang ditengarai berbau radikalis dan fundamentalis. Tidak ketinggalan pula, Nina Shea dalam artikelnya berjudul ”Saudi Publication on Hate Ideology Fill American Mosques” [Washington : Center for Religious Freedom, 2005] menyatakan bahwa Saudi berada di belakang menyebarnya ‘ideologi kebencian’ yang merupakan cikal bakal tindakan terorisme.
Dalam artikel ringkas ini, saya akan memaparkan agenda dan bentuk permusuhan kaum neo con kuffar di dalam menghantam dan menghancurkan Islam, terutama ahlus sunnah. Artikel ini banyak mengambil faidah dari makalah “Hal tad’u al-Mamlakah al-‘Arobiyyah as-Su’udiyyah ila ‘adamit Tasaamuh wal Hiqd fil Ghorb” [salafimanhaj research, 2007].
NEO CON DAN AGENDA ZIONISME
Neo-con adalah sebutan bagi jelmaan partai konservatif gaya baru yang didirikan oleh George Bush Sr. di dalam mewujudkan agenda politik dan tendensi zionisme di Amerika Serikat. Semenjak didirikannya partai ini, ideologi neo-con ini menyebar ke penjuru Eropa dan menjadi suatu ideologi tersendiri yang membawa misi yahudisasi universal dengan bersikap skeptis terhadap Islam dan memusuhi Islam. Agenda memerangi Islam telah mulai dicanangkan dengan berbagai bentuk propaganda, diantaranya adalah jargon “War against terrorism” dan melabelkan Islam sebagai teroris.
Mantan kepala biro “Jerussalem Post” dan asisten ilmuwan di “Cato Institute”, Leon T. Hadar, telah mendokumentasikan indikasi kebijakan luar negeri AS yang dikuasai Neo Con dalam bukunya yang ditulis awal 90-an tentang kebijakan pemerintah AS sebagai berikut:
“Now that the Cold War is becoming a memory, America’s foreign policy establishment has begun searching for new enemies. Possible new villains include ‘instabilty’ in Europe – ranging from German resurgence to new Russian imperialism – the ‘vanishing’ ozone layer, nuclear proliferation and narcoterrorism. Toping the list of potential new global bogeymen, however are the Yellow Perril, the alleged threat to America economic security emanating from East Asia, and the so-called Green Peril (green is the color of Islam). The peril is symbolized by the Middle Eastern Moslem fundamentalist” [Leon T. Hadar, The ‘Green Peril” : Creating the Islamic Fundamentalist Threat, Policy Analysis, Cato Institute, no. 177, 27 Agustus 1992)
“Sekarang ini ketika Perang Dingin telah menjadi sebuah memori’ penentuan kebijakan luar negeri Amerika telah memulai pencarian musuh baru. Kemungkinan penjahat-penjahat baru termasuk ’ketidakstabilan’ di Eropa – berjejer mulai dari kebangkitan Jerman sampai kepada imperalisme Rusia baru -, ’lenyapnya’ lapisan ozon, proliferasi (pengembangan) nuklir dan narkoterorisme. Puncak tertinggi dari daftar ’hantu-hantu’ global baru yang berpotensi tersebut, biar bagaimanapun tetaplah ’bahaya kuning’ [komunis, pent.], ancaman yang diduga kuat berdampak pada keamanan ekonomi Amerika yang berasal dari Asia Timur, dan demikian pula dengan ancaman yang disebut ’Bahaya Hijau’ (warna hijau sering diidentikkan dengan Islam). Bahaya yang disimbolisasikan dengan fundamentalis muslim Timur Tengah.”
Untuk memenuhi ambisi dan agenda politik neo-con, upaya pembentukan opini dan pemburukan citra Islam terutama terhadap ahlus sunnah dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya adalah dengan bombardir opini publik via media-media baik cetak maupun elektronik. Artikel dan essay yang tersebar di majalah, surat kabar maupun jurnal ramai memperbincangkan tentang isu Islam dan terorisme.
Sayangnya, sebagian kaum muslimin menerima mentah-mentah isu semisal ini dan mengkambinghitamkan gerakan puritan pemurnian Islam, yang mereka sebagai Wahhabisme dan negara penyebar ’madzhab’ ini, Kerajaan Saudi Arabia. Muhammad Hisham Kabbani, seorang pembesar tokoh Naqshabandiyah Eropa dan Abdul Hakim Murad ash-Shufi adalah salah satu ’partner’ jurnalis eropa di dalam menghantam Wahhabisme.
Di lain pihak, secara kontradiksi, Hamim Nuh Keller –yang juga murid Kabbani- dan sebagian tokoh syiah, menuduh bahwa Wahhabi merupakan gerakan boneka propaganda Goebbel dan Goering, namun di sisi lain juga menyatakan bahwa Wahhabisme merupakan akar fundamentalisme Islam penyebar faham kekerasan, kebencian dan terorisme. Saya sendiri juga sempat membaca tuduhan ini di salah satu blog wordpress seorang jama’ah ahli bait Indonesia.
Apabila kita menelaah ulasan para jurnalis neo-con yang islamfobia, mereka banyak mengambil sumber informasi dari kalangan shufiyun Eropa semisal Kabbani, Murad, Keller, Yusuf Smith, dll. Seakan-akan di sini, ada suatu propaganda dan agenda terselubung dari neo-con dan shufi partnership.
Untuk itu mari kita mengenal sedikit beberapa jurnalis dan penulis neo-con yang anti Islam, untuk mengetahui keburukan bukan supaya mengiktinya, namun supaya waspada darinya. Sebagaimana seorang penyair mengatakan :
عرقت شرا لا لشر ولكن لتوقيه
Aku mengetahui keburukan bukan untuk melakukannya
Namun aku mengetahuinya untuk memproteksi darinya
Beberapa jurnalis islamfobia yang diduga terlibat dengan neo-con
Berikut ini adalah beberapa jurnalis yang diduga kuat turut mempromosikan program agenda neo-con dan mendiskreditkan Islam terutama ahlus sunnah.
Nina Shea, seorang direktur ”Center for Religious Freedom” adalah satu propagandis utama yang mengklaim bahwa Arab Saudi secara sengaja menyebarkan ’ideologi kebencian’ melalui buku-buku pelajaran sekolah, masjid dan institusi lainnya. Ia menulis sebuah essay berjudul ”Saudi Publication on Hate Ideology Fill American Mosques” (Publikasi Saudi tentang ideologi kebencian memenuhi Masjid-Masjid Amerika) setelah melakukan studi yang inadequate (tidak memadai) dan absurd ridiculous (tidak masuk akan dan menggelikan). Ia hanya melakukan observasi pada 15 masjid di AS (yang tidak sampai 1 % dari jumlah keseluruhan Masjid di AS) lalu mengambil kesimpulan yang bias dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain itu, Nina Shea banyak melakukan penukilan-penukilan dengan memotongnya sehingga keluar dari konteks dan membawa alur studi kepada pemahamannya yang anti Islam. Belum lagi ia banyak merujuk kepada para pembesar sufi semisal Hisyam Kabbani untuk memperkuat pendiskreditannya kepada Wahhabi dan Saudi Arabia.
Daniel Pipes. Seorang kolumnis Amerika Zionis dan Islamfobia. Ia adalah direktur sebuah forum yang disebut dengan ”Middle East Forum”. Operasinya didukung oleh beberapa grup seperti ”Christian Coalition”, ”The America Israel Public Affair Commitee”, ”The American Jewish Congress” dan ”Zionist Organization of America”. Dia juga orang yang berada di belakang website “Campus Watch”. Ayahnya, Richard Pipes, adalah salah satu arsitek kebijaksanaan metodologi neo-con mantan seorang dosen di Harvard University selama lebih dari 46 tahun yang pensiun pada tahun 1996. Richard sendiri adalah seorang kelahiran Polandia yang lahir dari keluarga Yahudi yang kaya raya. Richard Pipes pernah menjabat sebagai “Tim B” CIA pada tahun 1976 dan mengklaim bahwa Soviet memiliki senjata pemusnah massal, yang memicu perang dingin berkepanjangan.
Robert Spencer, seorang katolik yang berideologi neo-con yang namanya melambung pasca peristiwa 11 September dan memproklamasikan dirinya sebagai ‘spesialis Islam’. Dia adalah editor buku The Myth of Islamic Tolerance : How Islamic Law Treat Non Muslims [Mitos tentang toleransi Islam : Bagaimana hukum Islam memperlakukan non muslim] (New York : Promotheus Books, 2005). Ia berada di belakang website “Jihad Watch” dan “Dhimmi Watch” bersama dengan rekannya, Hugh Fitzgerald.
Bat Ye’or, seorang konseptor utama pencipta istilah Dhimmitude yang ia formulasikan dalam bukunya yang berjudul “Islam and Dhimmitude : Where Civilisations Collide” [Islam dan Dzimmitude : Ketika peradaban hancur] (Cranbury, Ney Jersey : Associated University Presses, 2002). Bat Ye’or sendiri sebenarnya bukanlah nama aslinya, ini adalah nama samaran pseudonim dengan bahasa Ibrani. Nama aslinya adalah Giselle Littman, seorang kelahiran Mesir namun beragama Yahudi. Ia mengklaim sebagai ahli spesialis Timur Tengah. Ia juga pernah menulis buku yang berjudul “The Jews in Egypt” pada tahun 1971 dengan nama samaran Yahudiyya Masriya. Dia menuduh bahwa bangsa muslim merampas hak kaum Yahudi dan mengkhianati perjanjian-perjanjian mereka dengan Yahudi. Dia memiliki dendam pribadi terhadap Islam setelah dirinya diusir oleh pemerintahan Mesir dan tinggal di Inggris.
Stephen Schwarts, seorang Yahudi neo-con yang masuk ke dalam kelompok sufi Naqshabandiyah Hisyam Kabbani. Ia mengklaim dirinya sebagai ahli dalam masalah keislaman, terutama setelah belajar Islam melalui kelompok sufi naqshabandiyah Hisyam Kabbani. Schwarts sangat anti dengan Wahhabi dan Saudi Arabia. Di dalam bukunya yang berjudul “The Two Faces of Islam: The House of Saud from Tradition in Terror” (Dua wajah Islam : Rumah Saud dari tradisi menuju teror), Schwarts tidak pernah menyokong satupun pendapatnya tentang Islam dengan Al-Qur’an maupun Sunnah. Bahkan lebih parah lagi, sebagaimana diutarakan oleh Amir Butler, bahwa Schwarts bersikap kelewat batas dengan membandingkan antara Wahhabisme dengan Fascsime di Italia, Komunisme di Soviat atau Militerisme Jepang. Schwarts, yang berpindah dari agama Yahudi ke agama Islam ala sufi Naqshabandiyah, tetap menunjukkan sikap antipati terhadap dakwah Islam itu sendiri dan dia turut meramaikan ritual-ritual bid’ah ala sufi seperti meramaikan kuburan dan nyanyi-nyanyi dengan musik sufiyah yang dikatakan olehnya : “Music is perhaps the greatest glory of Islamic Civilitation” (Two Face, op.cit, hal. 72-73) [Musik itu, mungkin merupakan kemenangan terbesar peradaban Islam…]. Ketika interview dengan National Review, Schwarts dengan bodohnya menyatakan bahwa Saddam Hussein (seorang Ba’tsi beraliran nasionalis komunis, pen), Hamas (Organisasi pembebasan Palestina Ikhwani, pen) dan Hizbullah (Syiah, pen), semuanya adalah Wahhabi.
Oriana Falacci, seorang penulis Italia yang dikenal dengan buku best-sellernya Anger and Pride (Kemarahaan dan Kebanggan) ini menyamakan antara ayat suci Al-Qur’an dengan Mein Kampf-nya Hittler [Mein-Kampf = perjuanganku adalah catatan harian Hittler yang dianggap bibble-nya kaum NAZI]. Ia juga mengklaim tanpa bukti bahwa “millions and millions of Muslims marched in support of Bin Laden” [Berjuta-juta kaum muslimin berbaris mendukung Bin Ladin], lalu ia berkonklusi bahwa hampir keseluruhan kaum muslimin itu berpotensi seperti Bin Ladin di dalam melakukan terorisme dan menyebarkan ideologi kebencian.
Melanie Philips, penulis Londonistan : How Britain is Creating a Terror State within [Londonistan : Bagaimana Inggris menciptakan negara teror di dalamnya] (London : Gibson Square, 2006). Pada awal mulanya ia kesulitan mencari penerbit yang mau menerbitkan bukunya ini hingga akhirnya ia memperolehnya setelah penantian dan pencarian yang cukup panjang. Di dalam bukunya, Melanie banyak melakukan klaim-klaim tanpa bukti, seperti ia menyatakan bahwa toko-toko buku Islam turut menjual buku Mein Kampf-nya Hittler. Ia juga menyandarkan beberapa ucapan kepada Syaikh Abdurrahman as-Sudays (hal. 155-56) yang sangat aneh dan tidak menunjukkan dimana perujukan ucapan tersebut ia dapatkan. Banyak sekali sumber-sumber penukilan di buku ini yang tidak diketahui asal muasalnya.
Patrick Sookhdeo, mantan muslim asal Guyana yang murtad menjadi Kristen Anglikan Kanon. Ia menjadi direktur lembaga tidak jelas bernama “Institute for The Study of Islam and Christianity”. Dia memiliki beberapa tulisan, diantaranya “The Chalenge of The Church” [Tantangan Gereja] (2006), “Understanding Islamic Terrorist: The Islamic Doctrin of War” [Memahami teroris Islam : Doktrin Islam tentang peperangan] (2004) dan lainnya. Sookhdeo menulis artikel berjudul “The Myth of a Moderate Islam” [Mitos tentang Islam Moderat] yang menyatakan bahwa kaum teroris dan ekstrimis Islam melakukan tindakan teror adalah berangkat dari ajaran islam itu sendiri, sehingga aktivitas itu sendiri merupakan epresentasi dari Islam.
Ayaan Hirsi Ali, seorang wanita zindiq asal Somalia yang mengaku sebagai muslimah, namun tindak-tanduk dan karya tulisnya menunjukkan akan kebenciannya terhadap Islam. Ia hijrah ke Belanda dengan cara keimigrasian gelap, dan pernah menjadi mantan anggota partai sayap kanan Belanda. Hirsi Ali menyeru pemerintahan kafir untuk lebih waspada menghadapi kaum muslimin dan mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyudutkan kaum muslimin. Sikap anti islammnya inilah menyebabkan dirinya menjadi “one of the most influential people of 2005” versi majalah “Times”. Di dalam bukunya, “The Caged Virgin : An Emancipation for Women and Islam” [Keperawanan yang terkurung : sebuah emansipasi untuk wanita dan Islam] menunjukkan sikap zindiqnya dan kecenderungannya di dalam atheis dan menentang syariat-syariat Islam. Di bukunya ini ia lebih banyak mengejek dan menghina syariat islam terhadap perlindungan wanita, ia juga mengejek wanita-wanita muslimah yang multazimah (komitmen). Ia pernah menghadiri pertemuan tahunan Komite Yahudi Amerika.
Serge Trifkovic, seorang berdarah serbia kroasia yang juga anti Islam. Dia turut membandingkan antara Islam dengan Fasisme Italia dan mempertanyakan realitas pembantaian muslim di Bosnia? Dia menulis sejumlah buku diantaranya Sword of The Prophet (Pedang Nabi) dan Defeating Jihaad (jihad penakukan). Dia pernah menjadi saksi pembela dalam pengadilan internasional (International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia) politisi serbia yang dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap kaum muslimin Bosnia.
Mark Silverburg, seorang pengacara dan penulis sejumlah buku terbitan Ariel Center for Policy and Research. Di dalam bukunya yang berjudul “The Quartermasters of terror: Saudi Arabia and The Global Islamic Jihad” [Juru mudi teror : Arab Saudi dan Jihad Islam Global] mengklaim bahwa Saudi Arabia telah mengeluarkan dana hampir 87 miliar dollar selama lebih dari 25 tahun ini untuk membiayai propagasi ekstrimisme Islam. Silverburg juga menunjukkan bahwa dirinya pun dipengaruhi oleh Hisyam Kabbani di dalam pengumpulan informasi dan investigasinya, sebagaimana ia menyatakan di dalam pembukaan bukunya bahwa : “In the estimated 80% of mosques that the wahabist control in America…” [pada perkiraan 80% masjid-masjid yang dikendalikan oleh kaum Wahhabi di Amerika] dan Silverburg menerima klaim ini dari Kabbani. Ia juga menyatakan bahwa tidak ada satupun ulama Islam yang menolak tindakan Usamah bin Ladin, padahal Imam Ibnu Baz sudah memperingatkan dari perilaku Bin Ladin semenjak tahun 90-an.
Dan masih banyak lagi dari para jurnalis dan penulis neo-con yang islamfobia, yang mendiskreditkan dan menfitnah Islam… dalam hal ini yang menjadi sorotan utama adalah Wahhabisme dan Saudi Arabia. Sungguh lucu, banyak sekali orang yang mengatributkan tindakan kekerasan dan terorisme dengan Wahhabisme, padahal Wahhabi terlepas dari atribut-atribut semisal ini sebagaimana terlepasnya darah serigala dari pakaian Nabi Yusuf ‘alaihi Salam.
Ada suatu agenda tersembunyi dan propaganda terang-terangan di dalam menyudutkan shahwah (kebangkitan) Islam di dunia. Barat khawatir akan kebangkitan Islam, dan mereka faham dan yakin, bahwa musuh utama mereka dalam kebangkitan Islam ini adalah mereka yang disebut sebagai Wahhabi dan Wahhabisme.
Dalam hal ini Amerika memiliki kepentingan besar di dalam menjaga eksistensinya. Mereka menjadi paranoid dan ketakutan besar terhadap gerakan puritan dan revival kaum muslim. Mereka khawatir bangkitnya kembali Daulah Khilafah Islamiyyah sebagaimana pada masa-masa kegelapan Eropa. Untuk itulah, mereka berupaya mempersiapkan diri melawan suatu ’peperangan’ dan mencuri start dengan memerangi Islam dengan atas nama terorisme…
Madeline Albright, mantan dubes AS bagi PBB menyatakan ketika dirinya masih menjabat sekretaris negara :
”The Islamic terrorism threat will lead to a war of the future” (London : The Observer, 23 Oktober 1998, hal. 14)
“Ancaman terorisme Islam akan menyebabkan suatu peperangan di masa akan datang.”
Dan inilah yang mereka takutkan. Oleh karena itu mereka akan senantiasa menjaga ko-eksistensi mereka, mereka melakukan peperangan dan kekerasan terorganisir atas nama humanity (kemanusiaan) padahal merekalah yang pertama kali menginjak-injak humanity. Sikap arogan seperti inilah yang akan membenamkan Amerika ke dalam jurang kehancuran –dengan izin Alloh- ke dalam jurang kehinaan.
Samuel Huntington dalam bukunya Clash of Civilitation and the Remakingh of World Order (New York : Touchstone books: 1996) berkata (hal. 51) :
“The West won the world not by the superiority of its ideas or values or religion (to which few members of other civilization were converted) but rather by its superiority in applying organized violence. Westerners often forget this fact; non westerner never do.”
“Barat memenangkan dunia ini bukanlah karena keunggulan ide, nilai atau agamanya (dimana sejumlah kecil peradaban lainnya terpangaruh) namun lebih karena keunggulannya di dalam menerapkan kekerasan yang teroganisir. Orang barat sering melupakan hal ini sedangkan orang non barat tidak pernah melupakannya.”
Huntington benar, bahwa mereka –orang barat- tidak pernah menyadari kesalahan mereka ini, sedangkan lawan mereka tidak pernah melupakannya. Dan inilah yang akan menjadi bumerang bagi mereka, di saat itulah civilitation (peradaban) Amerika akan collide (runtuh) dan the new world order (kepemimpinan dunia baru) akan bangkit dan menggantikan posisi mereka.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
“Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. ”
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”
إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ
“Jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (Tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu?”
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.”