Blogger templates

ARAHAN UMUM DALAM MENYIKAPI FITNAH PERSELISIHAN DIKALANGAN ULAMA’ ( seri III )


METODE DAKWAH
ARAHAN UMUM DALAM MENYIKAPI FITNAH PERSELISIHAN DIKALANGAN ULAMA’ ( seri III )

PENULIS: Abu Ukasya Ilham Gorontalo
Catatan kaki: Mujahid as Salafiy


Diantara sikap berlebihan dari orang yang bergelut dalam fitnah ini atau orang yang sudah faham dengan perkara ini, adalah memaksa dan mendesak orang lain untuk mencari tahu dan mempelajari masalah ini, seolah – olah ini adalah wajib, namun kita belum mendapatkan ulama yang berfatwa bahwa mengetahui fitnah yang terjadi di kalangan ulama wajib di ketahui, kita lihat fitnah dari ulama terdahulu, mereka tidakmewajibkan para murid – murid nya untuk mempelajari persengketaan di antara para ulama, atau bahkan mendesak dan memaksa, bahkan pada saat itu banyak para murid – murid mereka yang diam, tidak mau ikut campur. Jikalaupun wajib maka harusnya melihat kepada siapa masalah tersebut disampaikan ? dalam kondisi yang bagaimana ? apakah akan muncul mashlahat ataukah mafsadah ketika menyampaikan fitnah tersebut ?!
 Mari kita belajar dari Nabi ketika beliau menyampaikan ilmu kepada Muadz bin jabal.  Tentang orang yang masuk surga dengan hanya bersyahadat “Laa ilaha illallah”, lalu Mu’adz bertanya apakah boleh dia sampaikan kepada yang lain?! Justru Rasulullah melarang karena akan membuat mereka terfitnah, karena akan membuat mafsadat yakni mereka aka bergantung dan mengandalkan hal tersebut dan meninggalkan amalan yang lain.
Dari hadits diatas menunjukkan kepada kita bolehnya menyembunyikan ilmu bahkan tertuntut jika akan menimbulkan fitnah terhadap orang yang mau disampaikan, semua itu karena menjaga mashlahat dan madlarat. Ali bin Abi Thalib berkata:
“berbicaralah kepada manusia sesuai kadar keilmuan dan pemahaman mereka, apakah kalian mau Allah dan RasulNya didustakan?”
Jika kita memaksa dan mendesak orang lain harus mengetahui fitnah ini dan menentukan sikap sementara orang tersebut belum bisa menjangkau permasalahan tersebut atau orang yang belum mengerti manhaj salaf atau akan menimbulkan fitnah baru[1], maka dalam hal ini kita telah menyelisihi syari’at[2]. Atau jika kita sendiri yang ingin mendalami fitnah ini sementara kita belum faham manhaj dengan benar, belum faham menyikapi permasalahan dengan benar. Maka keadaan seperti ini mungkin bisa jadi kita akan masuk dalam hadits :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ وَيَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَتِيقٍ عَنْ طَلْقِ بْنِ حَبِيبٍ عَنْ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ قَالَهَا ثَلَاثًا

“telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syiabah, telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dan Yahya bin Sa’id dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin ‘Atiq dari Thalq bin Habib dari Ahnaf bin Qais dari Abdullah ia berkata, bahwa Rasulullah bersabda: celakalah orang – orang yang melampaui batas. Beliau mengucapkannya tiga kali.” [3]
            Tanattu’ yaitu orang yang membebani diri dan berdalam – dalam dalam permasalahan yang sangat berat baginya atau yang dia tidak mampui.[4] Wal Iyyadzu billah
            Memang benar dalam maslah fitnah ini kita harus menentukan sikap, pertanyaannya sikap yang bagaimanakah itu? Tentunya sikap yang benar dan sesuai syariat yakni ikhlash dan Mutaba’ah[5]. Sudah kita bahas pada penjabaran sebelumnya bahwa hakikat fitnah ini adalah perselisihan antara Ulama’, sikap yang benar adalah:



Bagi orang – orang yang merasa dirinya belum mempunyai kemampuan dalam menyikapi perselisihan maka jangan dia memberat – beratkan dirinya terjun dalam fitnah ini, karena akan masuk dalam dalam ancaman hadits “Halakal Mutanaththi’un”[6], karena jika dia terjun maka akan terjadi kerusakan seperti yang kita lihat dan kita rasakan sendiri[7].
            Namun hendaknya dia menyibukkan dengan memperbaiki dirinya dan keluarganya[8] dan mempelajari hal – hal yang terpenting dari perkara tauhid dan sunnah, dan kewajiban – kewajiban[9] lainnya yang harus dia tunaikan kepada Allah, kepada sesama manusia dan berdakwah kepada manusia sesuai kemampuannya.
            Bagi orang yang sudah mampu bergelut dalam fitnah ( maksudnya orang yang faham sebab – sebab perselisihan dan cara menyikapinya dan dia punya sikap wara’ ), maka janganlah dia mengambil sikap membela sebelum jelas permasalahannya, janganlah dia condong kepada salah satu pihak sebelum jelas permasalahannya, hendaknya dia diatas kehati – hatian dan tatabbut


[1]  Orang yang telah berbuat demikian secara tidak langsung telah berbuat kerusakan dalam dien ini yang mana Allah ta’ala telah melarang darinya, sebagaimana FirmanNya:
وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. ( QS. Al A’raaf : 56 )
[2]  Allah ta’ala melarang kita menyelisihi syariatNya, siapa yang menyilisinya akan menuju jurang kehancuran, Allah berfirman:
وَهَٰذَا كِتَٰبٌ أَنزَلْنَٰهُ مُبَارَكٌۭ فَٱتَّبِعُوهُ وَٱتَّقُوا۟ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat. ( QS. Al An’am : 155 )
[3]  Hadits Muslim no 4823
[4]  Disamping hadits yang disampaikan penulis, Allah juga melarang hambaNya untuk membebani diri, sebagaimana dalam FirmanNya:
 لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. ( QS. Al an’am : 152 )
[5]  Dalil mengenai hal ini adalah:
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. ( QS. Al Bayyinah : 05 )
عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَر
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Alqamah bin Waqash al-Laitsi, ia berkata, "Saya mendengar Umar ibnul Khaththab  berpidato di atas mimbar, 'Saya mendengar Rasulullah bersabda, '(Wahai manusia), sesungguhnya amal-amal itu hanyalah dengan niatnya (dalam satu riwayat: amal itu dengan niat dan bagi setiap orang hanyalah sesuatu yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya (kepada Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul Nya. Dan, barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia, maka ia akan mendapatkannya. Atau, kepada wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada sesuatu yang karenanya ia hijrah." ( HR. Bukhari : 01 )
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." ( QS. Ali Imran : 31 )
[6] Dan ayat “laa Yukallaifullahu nafsan illa wus’aha”
[7] Syaikh  Abdul Muhsin berkata: yang terjadi  dewasa ini dari sekelompok kecil Ahlus Sunnah yang gemar mentajrih saudara-saudaranya sesama Ahlus Sunnah dan mentabdi’ mereka, sehingga mengakibatkan timbulnya  hajr,  taqathu dan  memutuskan jalan kemanfaatan dari mereka.  Tajrih  dan  tabdi’ tersebut dibangun di atas dugaan suatu hal yang tidak bid’ah  namun dianggap bid’ah. bahkan mereka menyebarkan  aib  (menyalahkan) siapa saja yang  bekerja sama dengan memberikan ceramah pada jama’ah tersebut dan mereka sifati sebagai  mumayi’ terhadap manhaj salaf, walaupun kedua syaikh yang mulia tadi pernah    memberikan ceramah pada jama’ah ini via telepon. Perkara ini juga meluas sampai kepada munculnya  tahdzir (peringatan) untuk menghadiri pelajaran (durus) seseorang  dikarenakan orang tersebut tidak berbicara tentang  fulan dan fulan atau jama’ah fulani. ( Marratan Ukhra Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis sunnah )
[8]  Allah ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًۭا
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. ( QS. At Tahrim : 06 )
[9] Mungkin yang dimaksud penulis adalah hak – hak kepada Allah dan sesama manusia yang hendaknya dia tunaikan. Adapun hak Allah adalah merupakan hak terbesar yang harus ditunaikan oleh hamba, karena Allah telah memberikan nikmat dan karunianya kepada kita sedangkan Allah tidak membutuhkan pemberian apapun dari kita, sebagaimana firmanNya:
لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًۭا ۖ نَّحْنُ نَرْزُقُكَ
Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. ( QS. Thaha : 132 )
Dan hak Allah yang harus dipenuhi hamba adalah mengibadahiNya dengan ikhlas serta tidak menyekutukan Dia dengan suatu apapun, Allah berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. ( QS. Adz Dzariyyat : 56 )
sedangkan hak sesama muslim dengan muslim lain diantaranya adalah :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - حَقُّ اَلْمُسْلِمِ عَلَى اَلْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ, وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ, وَإِذَا اِسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ, وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اَللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ, وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ - رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hak seorang muslim terhadap sesama muslim ada enam, yaitu bila engkau berjumpa dengannya ucapkanlah salam; bila ia memanggilmu penuhilah; bila dia meminta nasehat kepadamu nasehatilah; bila dia bersin dan mengucapkan alhamdulillah bacalah yarhamukallah (artinya = semoga Allah memberikan rahmat kepadamu); bila dia sakit jenguklah; dan bila dia meninggal dunia hantarkanlah (jenazahnya)". ( HR. Muslim 2162 )