ARAHAN UMUM DALAM MENYIKAPI FITNAH
PERSELISIHAN DIKALANGAN ULAMA’ ( seri ke II )
PENULIS: Abu Ukasya Ilham Gorontalo
Catatan kaki: Mujahid as Salafiy
Dalam hadits Nabi
–shalallahu ‘alaihi wa sallam- “mencegah orang yang berbuat zhalim” harus
sesuai tahapan seperti hadits:
“siapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah
dia cegah dengan lisannya…………dst[1]”
Jika
dia mampu dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika
tidak mampu pula maka dengan hati. (Disini kita mendapatkan faidah)[2] jika dia
tidak mampu merubah dengan tangan maka janganlah dia memaksakan diri yang
dengannya muncul bahaya yang besar. Dan termasuk inkarul mungkar dengan tangan
adalah hajr/ boikot, maka jika dia tidak mampu menghajr atau akan menimbulkan
kerusakan yang lebih besar, maka janganlah dia memaksakan dirinya untuk
menghajr karena akan menimbulkan kerusakan[3], begitu
pula jia dia tidak mampu merubah dengan lisan, dalam artian tidak mampu
memberikan penjelasan dan nasehat atau justru menimbulkan bahaya, maka dia
tidak boleh memaksakan dirinya dengan sebab bahaya yang akan timbul[4], Maka
tidaklah tersisa kecuali merubah dengan hati yakni membenci dan meninggalkan
maksiat dan pelakunya[5].
Yang
harus dilakukan oleh orang yang memahami fitnah ini dan mengetahui pihak yang
benar, maka hendaknya dia membelanya sesuai dengan keadilan dan jangan bersikap
berlebihan dalam pembelaan. Yakni dengan berusaha memberikan penjelasan kepada
pihak yang menzhalimi dan orang yang sefaham dengan mereka, agar mereka tidak
terus menerus dalam berburuk sangka, dan berusaha meluruskan serta mebuat
perbaikan bukan menambah keruh masalah dan membuat fitnah baru. Dan disisi lain
hendaknya dia tetap menolong saudara yang menzhlimi dengan mencegah
kezhalimannya sesuai tahapan dalam hadits, jika tidak mampu hendaknya dia diam,
tidak berbuat apa – apa kecuali mendoakan[6], jangan
kemudian dia memaksakan diri mentahdzir atau menghukumi karena hal itu akan menimbulkan kerusakan yang tidak
remeh.
FASAL TENTANG TAHDZIR DAN
HAJR
Masalah menghukumi itu
bidangnya orang – orang yang berilmu, punya keahlian dalam hal itu, atau para
Qadli. Karena hal itu masuk bab Ijtihad dan Bab Inkarul Munkar, namun jika kita
sudah menjadi Mujtahid maka silahkan menghukumi, jika tidak, maka jangan kita
masuk pada perkara yang bukan hak kita. [7]
Tahdzir
terbagi menjadi dua macam, Tahdzir secara umum dan secara Ta’yin. Tahdzir
secara umum adalah mentahdzir sifat dan perbuatan serta pelakunya secara umum,
seperti mentahdzir syirik dan orang – orang musyrik, mentahdzir bid’ah dan
pelakunya, mentahdzir kemaksiatan dan pelakunya secara umum, ini hukumnya wajib
dan bukan termasuk ghibah. Adapun yang ke dua yaitu mentahdzir secara ta’yin
atau person tertentu maka ini termasuk ghibah yang diperbolehkan bahkan
termasuk nasehat serta termasuk juga inkarul munkar jika didasari dengan ilmu,
keikhlasan dan wara’[8]. Jika
hal itu tidak dimiliki oleh orang yang mentahdzir maka dia akan berbuat
kejahilan dan kezhaliman dalam tahdzirnya.
Adapun
yang dimaksud “diatas ilmu “ adalah dia mengetahui sebab – sebab tahdzir,
keadaan orang yang ditahdzir dan mampu menimbang mashlahat dan madlarat.
Ringkasnya dia adalah ahli Ijtihad, karena jika tidak, akan banyak madlaratnya.
Adapun
syarat yang ke-dua”dia harus memiliki sifat wara’[9] ”,
karena bisa jadi dia mentahdzir memang diatas ilmu tapi bermaksud ingin tampil,
ingin didengar, ingin terkenal dan maksud – maksud duniawi lainnya atau dia
mentahdzir karena bisa jadi dia mentahdzir karena ingin melampiaskan dendamnya,
atau karena iri, atau ingin menyenangkan teman – temannya, atau membuat teman –
temannya ridla padanya supaya keberadaan dan kedudukannya masih dianggap disisi
teman – temannya, sehingga tahdziran berubah menjadi ghibah yang diharamkan,
sadar atau tidak (dia telah melakukan ghibah). Walaa Haula Walaa Quwwata Illa
Billah
Dari
sisi tahdzir secara ta’yin, perkara wajib yang harus dilihat oleh orang yang
mentahdzir adalah apakah tahdzirannya menghasilakn mashlahat ataukah madlarat
atau madlaratnya lebih besar dari pada mashlahatnya[10], karena
kepincangan dalam menimbang hal ini akan menimbulkan kerusakan yang tidak remeh
dan dia juga harus memperhatikan dirinya dan orang yang tahdzirnya. Apakah
dirinya termasuk orang yang didengar atau tidak, dia juga harus memperhatikan
keadaan objek orang yang ditahdzir, apakah orang tersebut orang berilmu atau
tokoh yang didengar masyarakat. Jika dia tidak memperhatikan hal ini maka bisa
jadi orang yang ditahdzir akan membalas mentahdzir dan membongkar aib kita dan
membuat fitnah, sehingga berpengaruh terhadap saudara – saudaranya yang lain
yang bersamanya atau yang sepaham dengannya dan menambah musuh yang lebih
banayak, membuat orang – orang menjauh dari dakwahnya, sehingga manfaat dari
tahdzirannya tidak berhasil bahkan sebaliknya hanya madlaratyang terjadi. Maka
dalam keadaan seperti ini dia tidak boleh mentahdzir orang tersebut dan
mecari thariqah lain yakni mentahdzir secara umum tanpa menyebut person agar
orang berhati – hati dari penyimpangan tersebut. Maka dengan ini dia insya Allah
telah menunaikan kewajibannya dalam menasehati dan berdakwah.
Adapun
Hajr juga ada dua macam yaitu hajr wiqayah dan hajr Tabdi’/Ta’zir. Hajr Wiqayah
adalah menjauhi maksiat dan pelakunya denangan maksud menjaga dirinya agar
tidak terjerumus di dalamnya, misalnya
menjauhi syirik, bid’ah, maksiat dan pelakunya, masuk juga dalam Hajr Wiqayah
yaitu hijrah dari tempat kesyirikan menuju tempat tauhid. Rasulullah
–shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“orang – orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa –apa yang dilarang oleh Allah.” ( HR. Bukhari dan Muslim )
“orang – orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa –apa yang dilarang oleh Allah.” ( HR. Bukhari dan Muslim )
Hajr ini merupakan kewajiban setiap muslim,
adapun hajr yang ke dua yakni Hajr Tabdi’ atau Hajr Ta’zir adalah memboikot
pelaku bid’ah dengan maksud memberikan hukuman agar pelakunya menyadari dirinya
dan bertaubat, dan sebagai sebagai peringatan bagi orang lain agar tidak
melakukan hal yang serupa. Hajr ini menimbang mashlahat dan madlarat , melihat
kondisi orang yang menghajr dan yang diHajr disisi kuat atau lemah dan dari
sisi banyaknya jumlah atau sedikit. Jika orang yang diHajr tidak menyadari
kesalahan dirinya atau bertambah jauh dari Allah –ta’ala- maka dalam keadaan
seperti ini tidak boleh diHajr Tabdi’[11].
Wallahu a’lam
Ketika
kita tidak mampu menempuh tahdzir secara ta’yin, mka bisa kita tempuh dengan
cara tahdzir secara umum dengan membantah dan mencela penyimpangan tersebut
tanpa menyebut orangnya, maka dengan ini kita telah terhitung telah berInkarul
Munkar dan telah tercapai mentahdzir dan menyampaikan kebenaran, seperti yang
dilakukan oleh Rasulullah ketika beliau bersabda:
“ ada perihal apa suatu kaum yang mensyaratkan
suatu syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah. ”[12]
Jika telah kita ketahui bersama bahwa Tahdzir,
Hajr dan Tahkim adalah merupakan wasilah dakwah, wasilah inkarul Munkar, maka
tentunya harus dilihat tujuannya apakah terhasilkan mashlahat lebih besar
ataukah madlarat yang lebih besar? Jika seandainya tidak terhasilkan maka wajib
bagi kita untuk bersabar dan menahan diri dari merubah kemungkaran tersebut. Tidak
boleh kita karena terbakar semangat sehingga memaksakan diri untuk merubahnya
sehingga muncullah madlarat yang lebih besar, sehingga kita terhitung berbuat
zhalim dalam Inkarul Munkar kita. Maka dalam kondisi seperti ini bukan berarti kita terlepas dari
mengingkarinya, akan tetapi disana ada kewajiban terakhir yaitu merubah dengan
hati yakni dengan membenci dan menjauhi perbuatan dan pelakunya tersebut.
Dan
hal penting yang perlu diperhatikan disini, bahwa tujuan dakwah kita adalah
mengajak orang ke jalan Allah, menyampaikan al Qur’an dan Sunnah berusaha,
bagaimana orang yang berbuat zhalim berhenti dan bertaubat dari kezhalimannya.
Mengajak orang yang melakukan kesyirikan bisa sadar dan bertaubat kepada Allah[13], begitu
pula pelaku bid’ah dan maksiat. Semuanya kita ajak ke jalan Allah dan bertaubat
kepadaNya. Inilah dakwah para Rasul, seperti ajakan Nabi Nuh dan yang lainnya
–‘alihimus salam- kepada kaumnya yang disebutkan dalam al Qur’an:
فَقُلْتُ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ إِنَّهُۥ
كَانَ غَفَّارًۭا
maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. [14]
وَيَٰقَوْمِ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ ثُمَّ
تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ
Dan (dia berkata): "Hai kaumku, mohonlah
ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya.[15]
Inilah
yang kita hidupkan yakni dakwah bukan menghukumi orang, misalnya berusaha
menghukumi orang yang melakukan syirik dihukumi kafir, bagaimana pelaku bida’ah
dihukumi mubtadi’ atau hizbiy dan bagaimana pelaku maksiat dihukumi fasiq serta
membebani diatas itu, berusaha dan berusaha menacari apakah si fulan hizbiy
ataukah kafir ataukah fasiq. Bahkan mengangkat permasalahan kepada para Ulama’
untuk memberikan keputusan bahwa si fulan mubtadi’ atau hizbiy. Walaa Haula
walaa Quwwata illa Billah
Pertanyaannya,
apakah ini adalah dakwah para Rasul???! Dan perlu diingat bukan berarti
kita menihilkan masalah menghukumi
secara ta’yin, namun hal ini janganlah di hidupkan seperti halnya kita
menghidupkan dakwah. Mari kita lihat kembali hadits Nabi bagaimana menyikapi
kemungkaran diatas “siapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia cegah
dengan lisannya”, Disitu nabi tidak berkata: maka hendaklah dia menghukuminya. [16]
-selesai fasal ini dengan pertolongan Allah-
[1]
Hadits Muslim dari Abu Sa’id al Khudriy
[2]
Tambahan dari pemberi catatan kaki
[3] Muslim yang baik adalah yang menyelamatkan
muslim lain dari bahaya tangan dan lisannya, Rasulullah bersabda:
ان رجلا سأل رسول الله: أي مسلم خير؟ قال: من
سلم المسلمون من لسانه و يده. ( رواه مسلم )
“Bahwa seorang
bertanya kepada Rasulullah Shallalla hu ‘alaihi wa Salam: siapa orang muslim
yang terbaik?, beliau menjawab: orang
yang menyelamatkan orang muslim lainnya dari lidah dan tangannya”. ( HR. Muslim )
[4] Diantara sikap serang
muslim yang dicontohkan oleh Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- adalah bersikap
diam jika tidak mampu berkata baik,
عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه أن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم
قال : من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Dari Abu hurairah –radliyallahu ‘anhu- bahwasanya
Rasulullah - Shallalla hu ‘alaihi wa Salam – bersabda: “Barang
siapa yang beriman dengan Allah dan hari ak hirat maka hendaklah ia mengucapkan
perkataan yang baik atau lebih baik diam”. ( HR. Bukhari dan Muslim )
Asy Syafi’I berkata: makna
hadits tersebut adalah apabila ia ingin untuk berbicara maka hendaklah ia pikirkan terlebih dulu, apabila ia melihat
tidak akan berbahaya diatasnya baru ia bicara, dan apabila ia melihat bahwa
didala mnya ada bahaya atau ia ragu-ragu antara berbahaya atau tidaknya, maka
lebih baik ia memilih diam”
Oleh karena itu seorang
muslim harus benar – benar menjaga lisannya agar bertutur kata baik dan memberi
manfaat bukan sebaliknya. Rasulullah bersabda:
“Tiadalah yang
membantingkan manusia kedalam neraka diatas muka atau hidung mereka melainkan
akibat panenan buah lidah mereka”. ( HR. Tirmidzi dalam sunannya )
“Sesungguhnya seorang hamba
mengucapkan sebuah kalimat tanpa memikirkan apa yang terkandung dalamnya,
sehingga dengan sebab kalimat tersebut ia dicampakkan kedala m neraka yang
jaraknya lebih jauh antara timur dan barat”. ( HR. Bukhari dalam kitab shahihnya
)
[5] Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: begitu pula
wajib bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari setiap amalan yang tidak
diidlai Allah dan RasulNya, meskipun amalan itu tidak sampai pada derajat
kekafiran seperti kefasikan dan kemaksiatan, sebagaimana Allah ta’ala
berfirman:
وَلَكِنَّ
اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ
الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
“tetapi Allah menjadikan kamu kecintaan kepada keimanan
dan menjadikan keimanan itu indah di hatimu dan menjadikan kamu benci kepada
kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah yang mengikuti jalan yang
lurus.” ( QS. Al Hujurat : 07 )
Jika ada seorang mukmin yang memiliki keimanan sekaligus
kemaksiatan maka kita wala’ padanya kerena keimanannya dan membenci karena
kemaksiatannya dan hal ini berlaku pula pada kehidupan kita, terkadang anda
mengambil obat yang rasanya tidak enak dan anda membencinya. Namun demikian
anda tetap menyukainya karena ada kesembuhan dari penyakit pada obat tersebut.
Sebagian orang membenci seorang mukmin pelaku kemaksiatan dengan kebencian yang lebih besar dari pada
kebencian terhadap orang kafir, ini adalah keanehan dan membalik kenyataan
yang sebenarnya. ( Majmu’ fatawa wa Rasail Syaikh Ibnu utsaimin 2/12 )
[6]
Mendoakan kebaikan atas muslim yang lain adalah sebuah kebagusan yang banyak
dilalaikan terlebih orang yang mendalami masalah fitnah ini. Wallahu a’lam
Padahal Rasulullah bersabda: apabila seorang muslim
mendoakan kebaikan untuk saudaranya yang berjauhan, maka malaikat akan
mendoakannya pula: semoga engkau memperoleh kebaikan juga. ( HR. muslim dalam
kitab shahihnya )
[7] Syaikh Ahmad bin Yahya an
Najmi: Tidak boleh bagi penuntut ilmu
yang masih pemula untuk menghukumi seorang sebagai pelaku bid'ah atau mengkafirkan
kecuali setelah memiliki kemampuan untuk itu,dan wajib baginya untuk
menyerahkannya kepada ulama', karena Allah berfirman :
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ
وَإِلَىٰٓ أُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسْتَنۢبِطُونَهُۥ
مِنْهُمْ
Dan
kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). ( QS. An Nisa’ : 83 ) ( fatawa
al Jaliyyah: 32 )
Syaikh
Yahya bin Ali al Hajuri -hafizhahullah- berkata: Adapun kalau sekedar menerka atau
tidak punya kemampuan atau tidak dapat meletakkan perkara pada tempatnya atau
tidak mengetahui perkara ini, tidak
paham, bisa jadi dia hanya menyangka bahwa … orang itu berhak untuk
ditahdzir sedangkan orang itu tidak berhak untuk ditahdzir dan seterusnya, yang
seperti ini wajib baginya untuk menuntut ilmu dan bertanya kepada yang tahu
(ulama') sehingga dia tidak menambah robekan semakin meluas dan demikian pula
mudharatnya lebih banyak dari pada manfaatnya. ( Mengambil faedah dari Nashul
Bayyin bi anna Tabdi’ Laisa bi Hayyin )
[8] Dan seorang yang mentahdzir juga harus
memiliki aqidah yang lurus, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Khatib Al
Baghdadi ( lihat Nashhul Bayyin bi anna Tabdi’ Laisa bi Hayyin )
[9] Wara’ berasal dari kata wara’a yara’u war’an
yang artinya menjaga dan menghindari dari hal – hal yang diharamkan. ( lihat
Mu’jamul Wasith )
[10]
Ini adalah kaidah penting dalam syariat islam secara umum dan dalam berInkarul
Munkar secara khusus. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: jika amar ma’ruf
dan Nahi munkar merupakan kewajiban dan amalan sunnah yang agung maka hendaknya
mashlahat di dalamnya lebih besar dari madlaratnya, karena Allah tidak menyukai
kerusakan. ( al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar hal 10 )
[11] Hal ini sebagaimana yang
dikatakan oleh Syaikh Utsaimin dalam syarah riyadlus Shalihin hadits pertama
bab ikhlas, konteks ucapan beliau adalah sebagai berikut: adapun kalau
memboikotnya tidak bermanfaat dan sekedar perbuataanya adalah maksiat, bukan
karena kekufuran maka tidak boleh memboikotnya. Karena Rasulullah bersabda:
tidak halal bagi seorang muslim tidak menegur/ membiarkan saudaranya lebih dari
tiga malam, jika berjumpa yang ini memalingkan muka dan yang lain memalingkan
muka, dan sebaik – baik dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam. (
HR. Bukhari dan Muslim )
[12] HR. Bukhari dalam kitab shaihnya bab asy
Syuruut
[13]
Ini adalah dakwah utama yang diemban oleh para Rasul, Allah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ
أُمَّةٍۢ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ ۖ
Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu". ( QS. An Nahl :
36 )
[14]
QS. Nuuh : 10
[15]
QS. Huud : 52
[16]
Selesai Fasal ini dengan pertolongan Allah.