Ibnu
Abi Syaibah rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا
ابْنُ عُلَيَّةَ، عَنِ الْجُرَيْرِيِّ، عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ، قَالَ:
سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى، وَهُوَ مُسْنِدٌ ظَهْرَهُ إِلَى
حُجْرَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: بِدْعَةٌ،
وَنِعْمَتِ الْبِدْعَةُ ! "
Telah
menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah, dari Al-Jurairiy, dari Al-Hakam bin
Al-A’raj, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Umar tentang shalat
Dluhaa, yang ketika itu punggungnya bersandar pada kamar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Ia menjawab : “Bid’ah, dan itu adalah sebaik-baik
bid’ah” [Al-Mushannaf, 2/405 no. 7859].
Sanad
riwayat ini shahih, semua perawinya tsiqaat. Ibnu ‘Ulayyah termasuk
perawi yang mendengar riwayat dari Al-Jurairiy sebelum ikhtilaath-nya
[lihat
: Al-Mukhtalithiin oleh Al-‘Alaaiy (bersama
komentar muhaqqiq-nya), hal. 37-38 no. 16, tahqiq : Raf’at bin Fauziy
& ‘Aliy bin ‘Abdil-Baasith; Maktabah Al-Khaanijiy, Kairo].
Telah
masyhur bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah salah
seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berpendapat
tentang bid’ahnya shalat Dluhaa.
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، قَالَ: ثَنَا حَاجِبُ بْنُ عُمَرَ، عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ،
قَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عُمَرَ عَنْ صَلَاةِ الضُّحَى؟ فَقَالَ: " بِدْعَةٌ
"
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Haajib bin ‘Umar, dari Al-Hakam bin Al-A’raj, ia berkata : Aku pernah bertanya
kepafa Ibnu ‘Umar tentang shalat Dluhaa, ia menjawab : “Bid’ah” [idem,
2/406 no. 7866].
Sanadnya
shahih.
Sebagian
orang ada yang mengambil riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa di
atas sebagai dalil keabsahan bid’ah hasanah dan menganggap Ibnu ‘Umar sebagai
sosok penganut paham eksistensi bid’ah hasanah.
Pendalilan
mereka tertolak dalam beberapa segi dengan urutan berpikir sebagai berikut
:
1.
Ibnu
‘Umar radliyallaahu ‘anhu membid’ahkan shalat Dluhaa dikarenakan ia tidak
mengetahui mengetahui adanya perintah atau perbuatan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam yang mendasarinya.
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ تَوْبَةَ، عَنْ
مُوَرِّقٍ، قَالَ: " قُلْتُ لِابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَتُصَلِّي
الضُّحَى؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَعُمَرُ؟، قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَأَبُو بَكْرٍ؟،
قَالَ: لَا، قُلْتُ: فَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا
إِخَالُهُ "
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Yahyaa, dari Syu’bah, dari Taubah, dari Muwarriq, ia berkata : Aku pernah
bertanya kepada Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma :
“Apakah engkau melakukan shalat Dluhaa ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali
bertanya : “Bagaimana dengan ‘Umar ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali
bertanya : “Abu Bakr ?”. Ia menjawab : “Tidak”. Aku kembali bertanya :
“Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam ?”.
Ia menjawab : “Aku kira tidak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
1175].
Padahal,
ada riwayat shahih bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengerjakan dan memerintahkan shalat Dluhaa.
حَدَّثَنَا
آدَمُ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرَّةَ، قَالَ: سَمِعْتُ
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي لَيْلَى، يَقُولُ: " مَا حَدَّثَنَا أَحَدٌ، أَنَّهُ
رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى غَيْرُ أُمِّ
هَانِئٍ، فَإِنَّهَا قَالَتْ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ فَاغْتَسَلَ وَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ،
فَلَمْ أَرَ صَلَاةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ
وَالسُّجُودَ "
Telah
menceritakan kepada kami Aadam : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah : Telah
menceritakan kepada kami ‘Amru bin Murrah, ia berkata : Aku mendengar
‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa berkata : “Tidak ada seorang pun yang menceritakan
kepadaku bahwa ia melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan
shalat Dluhaa kecuali Ummu Haani’. Sesungguhnya ia pernah berkata :
“Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke
rumahnya pada hari Fathu makkah, lalu beliau mandi dan melakukan shalat delapan
raka’at. Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan daripada itu, namun
beliau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 1176].
حَدَّثَنَا
شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ
يَعْنِي الرِّشْكَ، حَدَّثَتْنِي مُعَاذَةُ، أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا، " كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّي صَلَاةَ الضُّحَى ؟ قَالَتْ: أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، وَيَزِيدُ مَا شَاءَ
"
Telah
menceritakan kepada kami Syaibaan bin Farruukh : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdul-Waarits : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Ar-Risyk : Telah
menceritakan kepadaku Mu’aadzah, bahwasannya ia pernah bertanya kepada ‘Aaisyah
radliyallaahu ‘anhaa : “Berapa raka’at Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam biasa mengerjakan shalat Dluhaa ?”. ‘Aaisyah menjawab : “Empat
raka’at, dan beliau menambah sebanyak yang Allah kehendaki” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 719].
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، أَخبرنا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، سَمِعَ عَاصِمَ
بْنَ ضَمْرَةَ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى "
Telah
menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Daawud : Telah mengkhabarkan kepada kami
Syu’bah, dari Abu Ishaaq, ia mendengar ‘Aashim bin Dlamrah meriwayatkan dari
‘Aliy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Dluhaa” [Diriwayatkan oleh Ahmad,
1/89; Al-Arna’uth berkata : “sanadnya qawiy
(kuat)”].
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ، حَدَّثَنَا مَهْدِيٌّ
وَهُوَ ابْنُ مَيْمُونٍ، حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ، عَنْ
يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ، عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ
الدُّؤَلِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ: " يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ
تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ
صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ،
وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ
يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin Asmaa’ Adl-Dluba’iy : Telah
menceritakan kepada kami Mahdiy bin Maimuun : Telah menceritakan kepada kami
Waashil maulaa Abi ‘Uyainah, dari Yahyaa bin ‘Uqail, dari Yahyaa bin Ya’mar,
dari Abul-Aswad Ad-Dualiy, dari Abu Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : “Pada setiap pagi, setiap sendi tubuh Bani Adam harus
bersedekah. Setiap tasbih bisa menjadi sedekah. Setiap tahmid bisa menjadi
sedekah. Setiap tahlil bisa menjadi sedekah. Setiap takbir bisa menjadi sedekah.
Setiap amar ma’ruf nahi munkar juga bisa menjadi sedekah. Semua itu dapat
digantikan dengan raka’at yang dilakukan pada waktu Dluha” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 720].
Orang
yang mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak
mengetahui.
2.
Ibnu
‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidaklah menafikkan shalat Dluhaa secara
mutlak. Shalat tersebut masyru’ dilakukan jika baru datang dari
bepergian.
حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الصَّوَّافُ، نَا سَالِمُ بْنُ نُوحٍ الْعَطَّارُ،
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يُصَلِّي الضُّحَى إِلا أَنْ يَقْدَمَ
مِنْ غَيْبَةٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim Ash-Shawwaaf : Telah menceritakan
kepada kami Saalim bin Nuuh Al-‘Aththaar : Telah mengkhabarkan kepada kami
‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat Dluhaa kecuali jika baru datang
dari bepergian” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 2/230-231 no. 1229;
dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam ta’liq Shahih Ibni
Khuzaimah].
3.
Bersamaan
dengan itu, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa juga pernah
mengerjakannya.
ثَنَا
لَيْثٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، كَانَ يُسْأَلُ عَنْ
صَلاةِ الضُّحَى فَلا يَنْهَى وَلا يَأْمُرُ بِهَا، وَيَقُولُ: " إِنَّمَا أَصْنَعُ
كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يَصْنَعُونَ، وَلَكِنْ لا تُصَلُّوا عِنْدَ طُلُوعِ
الشَّمْسِ وَلا عِنْدَ غُرُوبِهَا "
Telah
menceritakan kepada kami Laits, dari Naafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia
pernah ditanya tentang shalat Dluhaa, maka ia tidak melarangnya dan tidak pula
memerintahkannya. Ia berkata : “Aku hanyalah melakukannya sebagaimana aku lihat
para shahabatku melakukannya. Akan tetapi janganlah kalian mengerjakannya ketika
matahari terbit dan tenggelamnya" [Diriwayatkan oleh Abu Jahm Al-Baghdaadiy
dalam Juz-nya no. 17; sanadnya shahih].
Jelasnya
lagi dalam riwayat :
حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ هُوَ الدَّوْرَقِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ،
أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
كَانَ لَا يُصَلِّي مِنَ الضُّحَى إِلَّا فِي يَوْمَيْنِ يَوْمَ يَقْدَمُ
بِمَكَّةَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَقْدَمُهَا ضُحًى فَيَطُوفُ بِالْبَيْتِ ثُمَّ
يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَلْفَ الْمَقَامِ، وَيَوْمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ
فَإِنَّهُ كَانَ يَأْتِيهِ كُلَّ سَبْتٍ، فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَرِهَ أَنْ
يَخْرُجَ مِنْهُ حَتَّى يُصَلِّيَ فِيهِ، قَالَ: وَكَانَ يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَزُورُهُ رَاكِبًا وَمَاشِيًا،
قَالَ: وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّمَا أَصْنَعُ كَمَا رَأَيْتُ أَصْحَابِي يَصْنَعُونَ،
وَلَا أَمْنَعُ أَحَدًا أَنْ يُصَلِّيَ فِي أَيِّ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ
نَهَارٍ، غَيْرَ أَنْ لَا تَتَحَرَّوْا طُلُوعَ الشَّمْسِ وَلَا
غُرُوبَهَا
Telah
menceritakan kepada kami Ya’quub bin Ibraahiim Ad-Dauraqiy : Telah menceritakan
kepada kami Ibnu ‘Ulayyah : Telah mengkhabarkan kepada kami Ayyuub, dari Naafi’
: Bahwasannya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tidak pernah mengerjakan
shalat Dhuha kecuali pada dua kali, yaitu hari ketika dia mengunjungi Makkah
saat dia memasuki kota Makkah di waktu Dhuha lalu dia melakukan thawaf di Ka’bah
kemudian shalat dua raka'at di belakang maqaam (Ibraahiim). Dan yang lain
adalah saat ia mengunjungi masjid Qubaa', yang ia mendatanginya pada hari Sabtu.
Bila ia telah memasukinya, maka ia enggan untuk keluar darinya hingga ia shalat
terlebih dahulu di dalamnya. Berkata Nafi' : "Dan Ibnu'Umar radliallaahu
'anhumaa menceritakan bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
pernah mengunjungi (masjid Qubaa') baik dengan berkendaraan ataupun berjalan
kaki". Berkata Nafi' : Dan Ibnu 'Umar radliallaahu 'anhumaa berkata :
"Sesungguhnya aku mengerjakan yang demikian seperti aku melihat para sahabatku
melakukannya, namun aku tidak melarang seseorangpun untuk mengerjakan shalat
pada waktu kapanpun yang ia suka baik di waktu malam maupun siang hari, asalkan
tidak bersamaan waktunya saat terbitnya matahari atau saat tenggelam"
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1192].
Dari
sini terdapat sedikit kejelasan bahwa ‘sebaik-baik bid’ah’ yang dimaksudkan oleh
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa adalah terkait shalat sunnah mutlak
yang dilakukan oleh seorang muslim pada waktu malam dan siang, dan kemudian
orang-orang banyak melakukannya pada waktu Dluhaa. Di satu sisi Ibnu ‘Umar
mengetahui bahwa shalat sunnah mutlak siang dan malam itu adalah masyru’,
namun di sisi lain ia tidak mengetahui adanya dalil pendawaman shalat Dluhaa
secara khusus di luar waktu ketika tiba dari bepergian.
Dengan
kata lain, perkataan sebaik-baik bid’ah yang diucapkan Ibnu ‘Umar tadi terkait
dengan shalat sunnah mutlak yang banyak dikerjakan kaum muslimin pada waktu
Dluhaa, bukan pada shalat Dluhaa-nya itu sendiri.
Oleh
karena itu, bid’ah dalam perkataan ‘sebaik-baik bid’ah’ dari Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhumaa adalah bid’ah secara bahasa (lughawiy).
Bukan bid’ah secara istilah. Telah masyhur perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa tentang penafikan eksistensi bid’ah hasanah sebagaimana riwayat
:
أَخْبَرَنَا
أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَمْرٍو، قَالا: ثنا أَبُو
الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمُنَادِي، ثنا
شَبَابَةُ، ثنا هِشَامُ بْنُ الْغَازِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: "
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Thaahir Al-Faqiih dan Abu Sa’iid bin Abi ‘Amru,
mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Asham :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid Al-Munaadiy : Telah
menceritakan kepada kami Syabaabah : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin
Al-Ghaar, dari Naafi, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Setiap bid’ah adalah
sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan (bid'ah hasanah)
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no. 19; sanadnya
hasan].
Dan
inilah praktek Ibnu ‘Umar dalam penafikan bid’ah hasanah
:
حَدَّثَنَا
حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ، حَدَّثَنَا زِيَادُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا
حَضْرَمِيٌّ مَوْلَى آلِ الْجَارُودِ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ رَجُلًا عَطَسَ إِلَى
جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَأَنَا أَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالسَّلَامُ
عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، وَلَيْسَ هَكَذَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا، أَنْ نَقُولَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ
حَالٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah : Telah menceritakan kepada kami
Ziyaad bin Ar-Rabii’ : Telah menceritakan kepada kami Hadlramiy maulaa aali
Al-Jaarud, dari Naafi’ : Bahwasannya ada seorang laki-laki yang bersin di
samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata :
“Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillaah (segala puji bagi Allah dan
kesejahteraan bagi Rasulullah)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan aku mengatakan :
alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami untuk mengucapkan (ketika
bersin) : ‘Alhamdulillah ‘alaa kulli haal’ (Alhamdulillah dalam segala
kondisi)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2738].
Seluruh
perawinya tsiqaat, kecuali Hadlramiy, seorang yang maqbuul. Ia
mempunyai mutaba’ah dari Sulaimaan bin Muusaa sebagaimana diriwayatkan
oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 1/186 no. 323. Oleh karena itu
riwayat ini adalah hasan.
Kembali
ke awal pembicaraan. Tidak ada petunjuk yang shahih dan sharih dari Ibnu ‘Umar
radliyallaahu ‘anhumaa tentang pelegalan eksistensi bid’ah hasanah.
Seandainya ada yang tetap keukeuh menganggap Ibnu ‘Umar mendukung bid’ah
hasanah, maka hakekatnya ia hanya mengambil satu riwayat dan membutakan diri
terhadap riwayat-riwayat lainnya, serta enggan melakukan pengkompromian untuk
menghasilkan satu pemahaman komprehensif madzhab Ibnu ‘Umar dalam masalah
bid’ah.
Wallaahu
a’lam.