Blogger templates

ISLAM BUKAN AGAMA KEKERASAN (Menolak Tuduhan Terorisme Terhadap Islam) [

oleh: Mujahid al Atsariy

MUKADDIMAH

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Dien al-Islam sebagai dien rahmat (kasih sayang) bahkan terhadap binatang sekalipun dan melarang para hamba-Nya berbuat zhalim dan permusuhan. Shalawat dan salam atas orang yang diutus Allah sebagai rahmat bagi sekalian alam, yaitu Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Selanjutnya, pada beberapa hari ini terjadi fenomena peledakan dan pembunuhan terhadap umat non Muslim baik di negeri mereka maupun di negara Islam, pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang bersama mereka dan para aparat keamanan kaum Muslimin. Para pelaku tersebut terkadang berkeyakinan bahwa hal tersebut berasal dari ajaran Islam dan bahwa orang yang mati dalam misi tersebut termasuk syahid. Lalu, apakah benar perbuatan tersebut berasal dari ajaran Islam? apakah orang yang bunuh diri di dalam mem-bunuh para aparat keamanan, membunuh umat non Muslim dan orang-orang Islam yang bersama mereka dianggap sebagai syahid? Ataukah dia telah melakukan suatu perbuatan yang diharamkan?

Hal inilah yang akan terungkap melalui halaman-halaman kajian berikut ini, insya Allah, di mana pertama, saya akan berbicara tentang faktor-faktor terjadinya pembunuhan terhadap kaum Muslimin dan non Muslim, kemudian seputar hukum membunuh para aparat keamanan; apakah dapat dianalogkan dengan kasus pembelaan diri terhadap penyamun. Kemudian berbi-cara seputar hukum membunuh umat non Muslim di negeri Islam dan orang yang bisa jadi bersama mereka, lalu mengenai hukum membunuh umat non Muslim di negeri mereka sendiri. Atas semua itu, saya berharap kepada Rabbku agar menunjukkan kita semua ke jalan yang benar dan berkomitmen terhadapnya, menjauhkan kita dari sikap fanatik tanpa dalil serta menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengamalkan wahyu yang disampaikan melalui Kitabullah dan Sunnah RasulNya berdasarkan pemahaman ulama as-Salaf ash-Shâlih rahimahumullah.

Yang saya inginkan hanya keikhlasan kepada Allah, RasulNya, cinta para imam kaum Muslimin serta orang-orang awam di kalangan mereka. Juga agar hukum Allah menjadi jelas bagi orang yang jahil terhadapnya. Kepada Allah saya minta pertolongan dan bertawakkal, cukuplah Dia sebagai sebaik-baik pelindung bagiku.

FAKTOR-FAKTOR PEMBUNUHAN TERHADAP NYAWA TAK BERDOSA
1. Kebodohan dan minimnya pengetahuan agama (ilmu syar’i). Bila seseorang bodoh atau minim ilmu, maka terkadang banyak hal menjadi bercampur aduk dalam pemikirannya sehingga tidak dapat membedakan mana yang haram dan mana yang wajib di dalam agama Islam. Kemudian berkeyakinan bahwa membunuh nyawa tak berdosa adalah suatu kewajiban bahkan dibolehkan sehingga berani melakukan hal itu karena kebodohannya dan tanpa dasar ilmu.
2. Tidak Tatsabbut (cek-ricek) di dalam menerima berbagai informasi. Artinya, seseorang mendapatkan beberapa informasi dan isu-isu, yang dominannya tidak benar atau sebagiannya ada yang benar tetapi dibumbui oleh berlipat-lipat kebohongan sementara informasi-informasi atau berita-berita ini datang dari sumber yang tidak jelas atau dari sosok-sosok anonim sebagaimana yang dipampangkan melalui internet atau sebagian channel satelit.
3. Tidak memiliki orientasi yang benar di dalam menuntut ilmu agama. Sebagian orang menimba ilmu kepada orang-orang yang belum diakui kapasitas keilmuan dan keagamaannya, yaitu mereka yang tinggal di luar negeri dan tidak direkomendasikan oleh salah seorang pun dari para ulama yang telah diakui keilmuannya. Dan, bisa jadi si penuntut ilmu ini mendapatkan pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa mereka melalui internet atau sampai kepadanya ketika ia bepergian ke luar negeri, lalu tertipu oleh perkataan-perkataan tersebut padahal bertentangan dengan pendapat yang benar.
4. Semangat berlebihan dalam agama yang tidak terkontrol. Kecintaan seorang Muslim kepada agama dan ghirahnya terkadang bisa melahirkan semangat dan bila ia tidak terkontrol dengan kontrol syariat, maka akan menyebabkan akibat yang tidak baik.
5. Kurangnya rasa takut kepada Allah Ta’ala dan tidak mau berhenti sebatas aturan-aturanNya, khususnya bagi orang yang sudah jelas baginya hukum yang dijelaskan ulama-ulama besar yang Rabbani, yang mengetahui permasalahan-permasalahan dari yang sekecil-kecilnya sebelum permasalahan yang besar-besarnya, yaitu para ulama yang telah diakui oleh kaum Muslimin secara umum akan ketulusan dan ketakwaan mereka semisal Samâhah asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Fadlîlah asy-Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimîn rahimahullah dan ulama-ulama yang masih hidup seperti Samâhah al-Mufti, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ali Syaikh, Fadlîlah asy-Syaikh Shâlih al-Fauzân, Fadlîlah asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudyân dan ulama-ulama lainnya yang tergabung dalam Hai’ah Kibâr al-’Ulamâ` (Sidang Ulama Besar) dan anggota komisi fatwa. Juga, Menteri Urusan Keislaman (Menag), Fadhîlah asy-Syaikh Shâlih Ali Syaikh dan banyak lagi ulama lainnya yang berilmu dan wara’.
6. Ijtihad para penuntut ilmu pemula yang tanpa merujuk kepada para ulama mereka. Seperti yang sudah dimaklumi bahwa para penuntut ilmu sejak dulu selalu merujuk kepada para ulama mereka terhadap hal-hal yang musykil akan tetapi ada sebagian dari para penuntut ilmu tersebut (sekarang ini) yang berijtihad di dalam masalah-masalah yang besar tanpa merujuk lagi kepada para ulama mereka. Hal seperti ini seringkali menyebabkan mereka tergelincir dan jauh dari kebenaran.



Masalah Pertama : ISLAM BERLEPAS DIRI DARI PEMBUNUHAN TERHADAP KAUM MUSLIMIN

Apa pun alasannya, agama Islam berlepas diri (tidak bertanggung jawab) dari pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang dilakukan oleh orang per orang selama mereka bukan para pelaku tindak kejahatan yang dijatuhi salah satu hukum hadd oleh Waliyul Amri (penguasa) atau qishâsh yang diajukan oleh salah seorang korban. Dikecualikan dari hal itu bolehnya membela diri dari kejahatan penyamun dengan beberapa acuan tertentu. Di sini, saya akan menjelaskan beberapa gambaran kejadian dan hukum terhadap masing-masingnya:

Gambaran Pertama: Pembunuhan Terhadap Aparat Keamanan

Andaikata para aparat keamanan ingin menangkap seseorang; apakah dia boleh membunuh mereka atau salah seorang dari mereka karena menganggap mereka itu akan menyamunnya atau bahkan (menganggap mereka) sebagai orang-orang yang kafir sehingga boleh dibunuh? Pendapat yang benar adalah tidak boleh membunuh para aparat keamanan yang beragama Islam dengan alasan apa pun, sedangkan jawaban terhadap dua syubhat lainnya adalah sebagai berikut:


Jawaban Atas Syubhat Pertama

Tidak mungkin memposisikan para aparat keamanan sebagai penyamun dalam kondisi ini. Hal ini berdasarkan beberapa alasan, di antaranya yang paling penting:
1. Para aparat keamanan tersebut tidak menyengaja untuk membunuh orang yang akan ditangkap, sedangkan penyamun memang ingin membunuh orang yang akan dirampok, karena itu, boleh si korban penyamunan membela dirinya sehingga si penyamun itu tidak berhasil membunuhnya menurut sebagian ulama. Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa si korban penyamunan tidak wajib membela dirinya sekalipun si penyamun membunuhnya. Mengenai hal ini, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah –ketika berbicara tentang apa yang diinginkan si penyamun terhadap korbannya, yaitu bisa jadi menginginkan harta, kehormatan ataupun membunuh dan terhadap hal terakhir ini (keinginan untuk membunuh)–, beliau berkata, “Adapun bila tujuannya adalah untuk membunuh, maka ia (si korban) boleh membela dirinya. Apakah hal ini wajib baginya? Terdapat dua pendapat ulama di dalam madzhab Ahmad dan madzhab ulama selainnya.”( Majmû’ al-Fatâwa, Jld.XXVIII, h.318)
2. Bahwa para aparat keamanan tersebut diutus oleh Waliyul Amri untuk menangkap orang yang harus ditangkap. Oleh karena itu, orang yang harus ditangkap tersebut wajib taat terhadap perintah Waliyul Amri sebagai ketaatan terhadap Allah dan RasulNya di mana Allah berfirman, “Taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (an-Nisâ`: 59).

Dan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

عَلَيْكَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فيِ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ

“Hendaklah kamu mendengar dan taat (loyal) baik di dalam masa sulitmu, masa mudah, masa bersemangat (fit), masa tidak suka (kurang bergairah) ataupun dalam mengalahkan ego kamu.”( Muslim: 1836)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama berkata, ‘Artinya, wajib menaati para Waliyul Amri terhadap hal yang amat sulit dan dibenci jiwa sekalipun, selama bukan dalam berbuat maksiat… Dan hadits-hadits ini menganjurkan agar loyal dalam seluruh kondisi. Alasannya adalah agar terjadi persatuan di kalangan kaum Muslimin sebab perselisihan dapat menyebabkan rusaknya kondisi mereka baik dalam urusan agama maupun dunia mereka’.”( Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahîh Muslim, Jld.VI, h.468)

Sementara, tidak terdapat kemaksiatan dalam bentuk ketaatan pada kondisi ini sebab ketaatan hanya berlaku pada hal yang ma’ruf dan tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada sang Khaliq. Dan tidak ada kemaksiatan di dalam tindakan aparat mencari seseorang untuk diinterogasi sebab ia tidak diperintahkan agar berbuat maksiat kepada Allah.
3. Penilaian terhadap para aparat keamanan yang ingin menangkap seseorang yang dicari untuk diinterogasi (menurut orang yang berpendapat demikian) terombang-ambing antara (penilaian) bahwa tindakan menyamun yang mereka lakukan (para aparat) memang terbukti kuat menurut mereka dan (antara) tidak mungkin menilai aparat tersebut sebagai para penyamun menurut pendapat kebanyakan para ulama. Karena itu, andaikata ada yang mengatakan bahwa perkara ini merupakan hal yang masih samar, maka tentu harus dikatakan kepada mereka; apakah mungkin seorang Muslim dibunuh karena hal yang masih samar? Dan pendapat semacam ini tidak pernah dikatakan oleh siapa pun yang berakal sehat sebab hukum asalnya adalah Barâ`ah adz-Dzimmah (jiwa terbebas dari tanggungan apa pun) sebagaimana hal ini telah menjadi ketetapan para ulama.( Lihat, ar-Risâlah karya Imam asy-Syafi’i) Padahal Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

لاَ يَزَالُ اْلمُؤْمِنُ مُعْنِقًا صَالِحًا مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا

“Seorang Mukmin masih menjadi mu’niq (yang bersegera berbuat ketaatan) yang shalih selama belum menumpahkan darah haram.”( HR. Abu Daud: 4270)

Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ فيِ الدِّمَاءِ

“Hal pertama yang diperkarakan di antara sesama manusia pada hari Kiamat adalah dalam masalah darah.”( HR. al-Bukhari: 6533 dan Muslim: 1678)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan diperkerasnya urusan darah dan bahwa ia adalah hal pertama yang diperkarakan di antara sesama manusia pada hari Kiamat. Demikian ini karena masalahnya begitu serius dan banyak bahayanya.”( Syarh an-Nawawi, Op.Cit., h.229)

Ibn Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan betapa seriusnya masalah darah, sebab bada’ah (sesuatu dijadikan sebagai hal pertama) hanya berdasarkan pada hal yang paling penting, sedangkan dosa diperbesar sesuai dengan besarnya kerusakan, hilangnya kemashlahatan dan puncaknya adalah dilenyapkannya sendi-sendi kemanusiaan.”( Fath al-Bâry karya Ibn Hajar, Jld.XI, h.482)
4. Dien al-Islam berlepas diri dari pembunuhan kaum Muslimin, tanpa dosa yang mereka lakukan. Mengenai hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya pada saat haji Wada’ dengan sejelas-jelasnya ketika bersabda,

إِنَّ دِمَاءَ كُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا فيِ شَهْرِكُمْ هذَا فيِ بَلَدِكُمْ هذَا

“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kamu adalah haram atas kamu seperti haramnya hari kamu ini, dalam bulan kamu ini, di negeri kamu ini.”( HR. al-Bukhari: 67 dan Muslim: 1679)

Beliau hanya mengecualikan pelaku zina yang sudah beristeri (muhshan) dan pembunuh bila belum dimaafkan para wali korbannya serta orang yang murtad dari agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانيِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ اْلمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan –yang berhak disembah– selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah kecuali karena salah satu dari tiga hal: pelaku zina yang sudah beristeri, melayangkan nyawa (membunuh) dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jama’ah.”( HR. al-Bukhari: 6878 dan Muslim: 1676)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Dan ketahuilah bahwa hadits ini bersifat umum namun dikhususkan darinya penyamun dan semisalnya di mana boleh membunuhnya bila untuk membela diri.”( Syarh an-Nawawi, Op.Cit., h.228)

Jadi, hanya Waliyyul Amri (penguasa) kaum Muslimin saja, bukan orang selainnya yang boleh memberikan sanksi bagi orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran ini sedangkan terhadap penyamun, para ulama memberikan beberapa persyaratan, di antaranya yang paling penting ( Musqithât al-’Uqûbah al-Haddiyyah karya Muhammad Muhammad Ibrahim, h.162; lihat juga, al-Asybâh Wa an-Nazhâ`ir karya as-Suyûthi, h.87 ) adalah:
a) Memang ia seorang penyamun, bukan hanya sekedar dugaan saja, sebab bila setiap orang yang membunuh orang lain diklaim sebagai penyamun, merasa atau memprediksi ia akan menyamunnya, maka tentu banyak sekali darah kaum Muslimin dan non Muslim yang tertumpahkan padahal Islam tidak pernah membawa ajaran seperti ini. Oleh karena itulah, sebagian ulama mengatakan bahwa disyaratkan penyamun tersebut memang mengancam akan melakukan sesuatu yang berbahaya lagi tidak disyariatkan serta bahaya ini terjadi ketika itu juga atau hampir terjadi.
b) Melawannya dengan segala yang dimungkinkan tanpa harus membunuh. Dan ini diungkapkan oleh para ulama dengan ucapan mereka, “Hendaknya pembelaan diri tersebut sesuai dengan tingkat penganiayaan.”
c) Penyamun tersebut memang berkeinginan untuk membunuh korbannya atau menginginkan harta atau kehormatannya.

d) Penyamun tersebut sendiri yang menginginkan pembunuhan, kehormatan atau harta. Sedangkan bila ada seorang utusan dari Waliyyul Amri untuk menangkap seseorang atau beberapa orang, maka tidak mungkin menganggapnya sebagai penyamun.
5. Bahwa mengangkat senjata terhadap kaum Muslimin merupakan hal yang diharamkan. Bila ada seseorang mengangkat senjata terhadap kaum Muslimin, maka ia berdosa walaupun tidak ada seorang pun yang dibunuh atau disakiti dengan senjata tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا

“Barangsiapa yang mengangkat senjata terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.”( HR. al-Bukhari: 7071 dan Muslim: 163)

Ibn al-Mulaqqin rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan keharaman memerangi kaum Muslimin dan diperkerasnya masalah tersebut. Demikian juga haram mengangkat senjata tanpa adanya kemashlahatan menurut syariat. Allah Ta’ala telah melarang pedang di-biarkan terhunus dan memerintahkan agar menahan dari menarik busur, melarang mengacungkan dengan besi dan semisalnya. Hal ini semua karena khawatir setan mencabut senjata itu dari tangannya untuk ditujukan kepada saudaranya sesama Muslim. Dan semua itu merupakan bukti kehormatan seorang Muslim dan tidak mencari-cari faktor-faktor yang dapat menyebabkan ia disakiti karena begitu terhormatnya ia di sisinya (sesama Muslim) dan juga guna memperkenalkan kedudukannya.( Al-I’lâm karya Ibn al-Mulaqqin, Jld.X, h. 378)
6. Sebagaimana yang dimaklumi bahwa orang-orang yang melakukan pembunuhan terhadap para aparat keamanan telah melakukan pembunuhan terhadap jiwa mereka sendiri –lâ haula wa lâ quwwata illa billâh-; apakah orang yang membunuh dirinya sendiri dapat dikatakan membela diri terhadap penyamun? Sebab orang yang membunuh dirinya dengan meledakkannya itu sendiri adalah orang yang membawa kematian bagi dirinya dan bukan membela dirinya. Nah, bagaimana mungkin dapat dikatakan ini sama dengan membela diri dari penyamun?


Jawaban Atas Syubhat Kedua

Sesungguhnya menghalalkan pembunuhan terha-dap para aparat keamanan di mana saja mereka berada karena menganggap mereka sebagai orang-orang yang kafir merupakan hal yang tidak boleh sebab syubhat yang dilontarkan oleh orang yang melakukan demikian adalah pengkafiran terhadap para Waliyyul Amri kaum Muslimin, baik mereka itu sebagai para ulama ataupun umara’ sehingga secara otomatis juga mengkafirkan orang-orang yang bekerja dengan mereka, selain, pendapat semacam ini secara argumentatif lemah di mana orang-orang biasa pun dapat mengetahui kebatilannya begitu mendengarnya. Maka apakah harus diterima pendapat para penuntut ilmu padahal masih banyak para ulama yang mumpuni, yang kita kenal mereka itu tidak mengkafirkan seorang penguasa ataupun seorang ulama dengan cara (menunjuk langsung pada orangnya? Tentunya tidak asing lagi bagi orang-orang yang berpikiran sehat betapa seriusnya masalah ‘pengkafiran’ sebab ia termasuk hal yang amat berbahaya, yang menyeret orang yang terjerumus ke dalam jurang-jurang berbahaya? –Kita memohon kepada Allah semoga diselamatkan dari hal seperti ini–. Tentu, yang mengetahui apakah syarat-syarat pengkafiran terpenuhi dan penghalang-penghalangnya telah hilang, hanya para ulama yang mumpuni keilmuannya, yaitu para ulama besar sehingga orang yang jahil atau penuntut ilmu pemula tidak dibenarkan untuk mengkafirkan salah seorang dari para umara’ (penguasa) ataupun para ulama.

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak boleh terburu-buru mengkafirkan para ulama kaum Muslimin dan wajib menahan pengkafiran mereka, sekalipun mereka bersalah sebab menahan pengkafiran terhadap mereka termasuk tujuan-tujuan syariat yang paling realistis dan siapa saja yang mengkafirkan mereka, maka ia berhak untuk mendapatkan sanksi yang berat.”( Majmû’ al-Fatâwa, Op.Cit., Jld.XXXV, h.100-103)

Beliau juga mengatakan, “Tidak ada yang diperkenankan memvonis ‘murtad’ kecuali orang-orang yang mengetahui benar madzhab-madzhab para imam dan tidak boleh membiarkan orang-orang jahil (dengan seenaknya) mengkafirkan ulama kaum Muslimin sebab membiarkan mereka mengkafirkan para ulama kaum Muslimin termasuk kemungkaran paling besar.”( Majmû’ al-Fatâwa, Op.Cit., Jld.XXXV, h.100)

Di antara hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mengkafirkan para ulama atau umara’ serta orang-orang yang bekerja bersama mereka tanpa dalil yang benar dan tanpa mengetahui terpenuhinya syarat serta tidak adanya penghalang-penghalangnya adalah termasuk berkata atas nama Allah tanpa berdasarkan ilmu.

Ibn al-Qayyim rahimahullah berkata, “Allah telah melarang berkata atas nama Allah tanpa ilmu di dalam berfatwa dan qadha’ (memutuskan hukum) dan menjadikan hal itu sebagai Muharramât (hal-hal yang diharamkan) paling besar bahkan menempatkannya pada posisi tertinggi darinya. Allah berfirman, “Katakanlah,’Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’râf: 33).

Dan hal ini mencakup berkata atas nama Allah tanpa ilmu di dalam asmâ`, sifat dan perbuatanNya serta dalam agama dan syariatNya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung, (itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka adzab yang pedih.” (an-Nahl: 116-117).

Dalam ayat ini, Allah mengemukakan kepada mereka ancaman berdusta terhadapNya di dalam hukum-hukumNya dan (ancaman atas) perkataan mereka terhadap yang tidak diharamkanNya sebagai haram dan terhadap yang tidak dihalalkanNya sebagai halal. Ini merupakan penjelasan dari-Nya bahwa tidak boleh seorang hamba mengatakan, ‘Ini halal dan ini haram’ kecuali terhadap hal yang diketahui (dipastikan) bahwa Allah Ta’ala sudah menghalalkan dan mengharamkannya.”( A’lâm al-Muwaqqi’în karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, h.42-43)

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Siapa saja yang bersusah-susah terhadap hal yang tidak diketahuinya dan belum dapat dibuktikan oleh pengetahuannya, maka keberuntungannya mendapatkan kebenaran –jika kebetulan mendapatkannya tanpa diketahuinya– adalah kurang terpuji, wallahu ‘alam. Dan dengan kesalahannya itu ia tidak dapat dimaafkan bila ia mengatakan hal yang tidak diketahuinya dalam membedakan antara yang salah dan benar di dalamnya.”( Ar-Risâlah, Op.Cit., h.53)

Tidak dapat disangkal lagi bahwa hal ini berkenaan dengan peringatan kepada kaum Muslimin agar tidak terburu-buru dalam memberikan vonis-vonis terhadap orang per orang, seperti mengkafirkan atau menilai mereka berbuat bid’ah (tabdî’) tanpa ma’rifah dan ilmu. Apakah seorang Muslim begitu lancang mengkafirkan orang yang tidak dicap kafir oleh Allah dan RasulNya, padahal ia mengetahui betapa bahayanya masalah ini?

Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا

“Bila seorang laki-laki berkata kepada saudaranya, ‘Hai si kafir’ maka ia akan kembali (mengenai) kepada salah satu dari keduanya.”

Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,

إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Jika memang seperti yang ia bilang (maka akan mengenai orang yang dikatakan kepadanya tersebut-penj.) tetapi bila tidak, maka ia akan kembali kepadanya (yang mengatakannya-penj.).”( HR. al-Bukhari: 6103 dan Muslim: 60)

Ibn al-Qayyim rahimahullah mengambil sikap keras di dalam bukunya Madârij as-Sâlikîn terhadap orang yang berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Beliau berkata, “Adapun berkata atas nama Allah tanpa ilmu, maka ini termasuk hal-hal yang diharamkan paling keras dan paling besar dosanya. Karena itu, ia menduduki pe-ringkat keempat dari seluruh hal-hal yang diharam-kan (al-Muharramât) yang semua syariat dan agama bersepakat atasnya dan tidak membolehkannya sama sekali bahkan hukumnya hanya haram saja, tidak se-perti hukum bangkai, darah dan daging babi yang dibolehkan pada kondisi tertentu. Sebab, hal-hal yang diharamkan itu terdiri dari dua jenis: Satu jenis diharamkan karena zatnya dan sama sekali tidak dibolehkan dan satu jenis lagi diharamkan karena kondisi mende-sak dan tertentu.

Mengenai hal-hal yang diharamkan karena zatnya, Allah Ta’ala berfirman (dalam surat al-A’râf: 33), “Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.” Kemudian berpindah kepada pengharaman yang lebih besar lagi dalam firmanNya selanjutnya, “(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu.” Kemudian kepada hal yang lebih besar lagi dari yang kedua ini, yaitu dalam firmanNya selanjutnya, “dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui.”

Inilah hal-hal yang diharamkan paling besar di sisi Allah dan paling keras dosanya sebab mengandung kedustaan terhadap Allah, menisbatkan sesuatu yang tidak pantas kepadaNya, merubah dan mengganti agamaNya, menafikan sifat yang telah ditetapkanNya dan menetapkan sifat yang telah dinafikanNya, merealisasikan hal yang dibatalkanNya dan membatalkan hal yang telah direalisasikanNya, memusuhi orang yang dijadikanNya penguasa dan mengangkat orang yang dijadikanNya musuh sebagai penguasa, mencintai hal yang dibenciNya dan membenci hal yang dicintaiNya serta memberiNya sifat yang tidak layak bagiNya di dalam dzat, sifat, firman dan perbuatanNya. Di dalam deretan jenis-jenis hal yang diharamkan Allah, tidak ada hal yang lebih besar dan lebih keras dosanya di sisi Allah darinya (berdusta terhadap Allah-penj.). Dia lah yang merupakan pangkal kesyirikan dan kekufuran, di atasnya bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan dibangun. Setiap bid’ah yang menyesatkan dalam agama, pangkal utamanya adalah berkata atas nama Allah tanpa ilmu.”( Madârij as-Sâlikîn karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, h.367-368)

Renungkanlah ucapan ini wahai saudaraku, berhati-hati dan berhati-hatilah dari berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Sebagian ulama Salaf berkata, “Hendaknya kamu berhati-hati dari mengatakan, ‘Allah menghalalkan ini dan mengharamkan itu,’ lalu Allah akan berkata kepadamu, ‘Engkau bohong, Aku tidak pernah menghalalkan ini dan mengharamkan itu.’ Yakni menghalalkan dan mengharamkan dengan semata berlandaskan pendapat yang tidak diiringi dalil dari Allah dan RasulNya. (Madârij as-Sâlikîn karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, h. 368)

Ibn al-Qayyim rahimahullah berkata, “Oleh karena itulah, berdusta terhadap Allah dan RasulNya dapat memastikan seseorang masuk neraka dan mengambil salah satu posisinya sebagai tempat duduk, yaitu tempat tetap yang tidak akan ditinggalkan lagi oleh penghuninya sebab ia mengandung perkataan atas nama Allah tanpa ilmu seperti berdusta secara nyata-nyata terhadap-Nya. Di samping itu, karena apa yang dinisbatkan kepada Rasul maka pasti ia juga dinisbatkan kepada Mursil (Sang Pengutus, yaitu Allah). Berkata atas nama Allah tanpa ilmu merupakan kedustaan yang terang-terangan terhadapNya. Allah berfirman, “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah.” (al-An’âm: 21) Maka, semua dosa para pelaku bid’ah masuk dalam jenis ini sehingga taubat tidak dapat direalisasikan kecuali dengan bertaubat dari perbuatan-perbuatan bid’ah tersebut.” (Madârij as-Sâlikîn karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, h. 368)

Gambaran Kedua: Membunuh Orang Yang Melakukan Penjagaan Terhadap Non Muslim

Bila ada beberapa orang aparat keamanan melakukan penjagaan terhadap umat non Muslim, maka tidak boleh sama sekali membunuh mereka dengan alasan apa pun. Bila ada yang berkata, “Mereka itu sudah menjadi kafir karena melakukan penjagaan terhadap umat non Muslim tersebut” maka ini adalah perkataan yang tertolak dan tidak seorang ulama pun yang mengatakan kafirnya orang yang melakukan penjagaan terhadap umat non Muslim.

Seperti yang sudah diketahui bahwa setiap individu kaum Muslimin boleh memberikan rasa aman kepada umat non Muslim dan ini sebenarnya sudah cukup sebagai jawaban atas orang yang mengatakan bahwa orang yang melakukan itu adalah kafir sebab tidak mungkin dikatakan kepada seorang Muslim, “Kamu tidak boleh memberikan rasa aman kepada umat non Muslim,” lalu bila dia memberikan rasa aman mereka lantas kita katakan kepadanya, “Kamu kafir.”

Adalah kewajiban bagi seorang Muslim untuk menjaga tangan dan lisannya agar tidak menyakiti siapa pun baik melalui tindakan maupun perkataan. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

اْلمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang Muslim (sejati) adalah orang yang kaum Muslimin lainnya selamat dari kejahatan tangan dan lisannya.”( HR. al-Bukhari: 10 dan Muslim: 40)


Masalah Kedua : ISLAM BERLEPAS DIRI DARI PEMBUNUHAN TERHADAP UMAT NON MUSLIM DI NEGERI ISLAM

Sehubungan dengan dibuatnya perbatasan di zaman kontemporer ini antar negara-negara, maka negara-negara Islam pun tidak mengizinkan masuknya siapa pun ke negerinya kecuali setelah ia mendapatkan apa yang disebut visa. Yaitu, sesuatu yang merupakan perlindungan dari negeri ini (pemberi visa) agar orang tersebut tidak diganggu dan aman atas diri dan hartanya serta agar ia berkomitmen memenuhi beberapa persyaratan yang disyaratkannya. Oleh karena itu, membunuh atau menyakitinya adalah termasuk perkara-perkara yang diharamkan di dalam syariat Islam berdasarkan dalil-dalil yang banyak sekali di antaranya:


A. Orang-orang yang melakukan perjanjian termasuk jiwa yang dijaga, yang diharamkan Allah menbunuhnya di dalam kitabNya

Hal ini sebagaimana firman Allah, “Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (al-An’âm: 151).

Ibn Katsîr rahimahullah berkata, “Terdapat larangan, kecaman dan ancaman membunuh mu’âhad (orang kafir yang membuat perjanjian dengan pemerintahan Islam), yaitu orang yang termasuk ahl al-harb (orang kafir yang boleh diperangi) tetapi mendapatkan perlindungan.”( Lihat, Tafsîr Ibn Katsîr, Jld.II, h.254)

Demikian pula terdapat ancaman keras diharamkannya masuk surga bagi orang yang membunuh mu’âhad sebagaimana di dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ اْلجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا

“Barangsiapa yang membunuh seorang mu’âhad, maka ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya baunya dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.”( HR. al-Bukhari: 3166)

Dan sabda beliau,

أَلاَ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا مُعَاهَدَةً لَهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُوْلِهِ، فَقَدْ أَخْفَرَ بِذِمَّةِ اللهِ فَلاَ يَرَحْ رَائِحَةَ اْلجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ خَرِيْفًا

“Ketahuilah, siapa saja yang membunuh jiwa yang sudah membuat perjanjian, yang memiliki perlindungan dari Allah dan RasulNya, maka ia telah melanggar perlindungan Allah. (Karenanya) ia tidak akan dapat mencium bau surga dan sesungguhnya baunya dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh musim gugur.”( HR. at-Tirmidzi: 1403, dia berkata, “Hasan Shahîh”; Ibn Mâjah: 2686)

Di dalam riwayat Imam al-Bukhari teksnya adalah,

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُوْلِهِ …

“Barangsiapa membunuh seorang mu’âhad yang mendapatkan perlindungan Allah dan perlindungan RasulNya…”( HR. al-Bukhari: 6914)

Imam ash-Shan’âni rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan diharamkannya membunuh seorang mu’âhad.“( Lihat, Subul as-Salâm, Jld.IV, h.136)


B. Agama Islam memerintahkan agar menepati janji dan mengharamkan pembatalannya

Allah Ta’ala telah memerintahkan di dalam kitabNya agar menepati janji di dalam beberapa tempat, di antaranya: “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (al-Isrâ’: 34).

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (An-Nahl: 91).

“Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (al-An’âm: 152).

Jadi, kita wajib menepati janji terhadap orang-orang kafir yang membuat perjanjian (mu’âhadûn) hingga waktu yang telah disepakati antara kita dan mereka selama mereka tetap komitmen terhadap perjanjian tersebut. (Lihat, Irsyâd Uli al-Albâb, karya Ismâ’il Jamâl, h.73)

Mengenai hal ini, Allah berfirman, “Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”(at-Taubah: 4)

Dan firmanNya, “Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka.” (At-Taubah: 7).

Bila ada seorang non Muslim meminta perlindungan agar dapat mendengar Kalamullah, maka wajib bagi kaum Muslimin untuk memberikan perlindungan terhadapnya. Hal ini berdasarkan firman Allah, “Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (At-Taubah: 6).

Wajib bagi seluruh kaum Muslimin untuk menepati perjanjian ini walaupun yang membuat perjanjian ini adalah individu dari kalangan awam atau seorang wanita. Apalagi yang membuatnya adalah Waliyyul Amri (penguasa) kaum Muslimin. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

ذِمَّةُ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ

“(Perjanjian) perlindungan kaum muslimin seperti satu kesatuan, (dapat) diupayakan oleh kalangan paling bawah di antara mereka.”( HR. al-Bukhari: 1870)

Ibn Hajar rahimahullah berkata, “Yakni perlindungan yang mereka berikan adalah benar. Bila salah seorang di antara mereka memberikan perlindungan kepada seorang kafir, maka orang selainnya diharamkan untuk mengusiknya. Pemberian perlindungan memiliki beberapa persyaratan yang sudah dikenal. Al-Baidhâwy berkata, ‘Makna adz-Dzimmah (perlindungan) adalah al-’Ahd (perjanjian), dikatakan demikian karena orang yang memberikannya dicela bila menyia-nyiakannya … Kalimat (dalam teks hadits-penj.) Yas’a biha; maknanya dapat mengurusinya (pemberian perlindungan) sehingga ia (orang kafir) bisa pergi dan datang.” (Lihat, Fath al-Bâry karya Ibn Hajar, Jld.IV, h.112)

Imam ash-Shan’âni rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tersebut (yang diketengahkannya di dalam kitabnya -penj.) menunjukkan sahnya perlindungan yang diberikan oleh setiap Muslim kepada orang kafir. Ini adalah pendapat Jumhur ulama.” (Subul as-Salâm, Op.Cit., h.120)

Juga berdasarkan ucapan Rasulullah kepada Ummu Hâni’ binti Abu Thalib radhiallahu ‘anha,

قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ

“Sudah kami berikan perlindungan orang yang telah engkau beri perlindung itu, wahai Ummu Hâni’.”( HR. al-Bukhari: 3171)

Para ulama telah mencatatkan di dalam buku-buku mereka bahwa pemberian perlindungan berlaku baik dengan lafazh yang sangat jelas seperti أَجَرْتُكَ dan أَمَّنْتُكَ (keduanya bermakna; aku telah memberikanmu perlindungan), أَنْتَ آمِنٌ (kamu berada dalam perlindungan) ataupun dengan kinayah (sindiran) seperti أَنْتَ عَلَى مَا تُحِبُّ (kamu dapat berbuat sesukamu) atau كَيْفَ شِئْتَ (terserah kamu). (Lihat, al-Asybâh Wa an-Nazhâ`ir karya as-Suyûthi, h.506)

Bilamana pemberian perlindungan dapat berlaku walaupun dengan lafazh kinayah, maka apakah masuk akal hanya bila tidak ditepati tanpa sebab apa pun? Jawabnya yang pasti adalah tidak masuk akal!

Sebagaimana Allah telah mengharamkan pembatalan perjanjian dan berkhianat terhadap orang yang sudah diberikan perjanjian karena ia termasuk bentuk khianat yang dilarang Allah Ta’ala sebagaimana dalam firmanNya, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu, mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Anfâl: 27).

Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah memperingatkan agar tidak melanggar perjanjian apa pun yang telah dibuat oleh seorang Muslim dalam sabdanya,

ذِمَّةُ اْلمُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ؛ فَمَنْ أَخْفَرَ مُسْلِمًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَاْلمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ، لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلاَ عَدْلٌ

“Perlindungan Muslim itu (seperti) satu kesatuan, (dapat) diupayakan oleh kalangan bawah di antara mereka; siapa saja yang mengkhianati seorang Muslim, maka mendapat laknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia, tidak diterima syafaat dan fidyah darinya.” (HR. al-Bukhari: 3179)

Dan sabdanya,

مَنْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَوْمٍ عَهْدٌ فَلاَ يَحُلَّنَّ عَقْدًا وَلاَ يَشُدَّنَّهُ حَتَّى يَمْضِيَ أَمَدُهُ أَوْ يَنْبِذَ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ

“Barangsiapa yang membuat perjanjian dengan suatu kaum, maka hendaklah ia tidak membatalkan akadnya dan tidak pula menguatkannya hingga temponya berlalu atau mengembalikannya kepada mereka dengan cara yang jujur.”( HR. at-Tirmidzi: 1580; Abu Daud: 2759 dan Imam Ahmad di dalam Musnad al-Kûfiyyîn dan Musnad asy-Syâmiyyîn dari hadits ‘Amr bin ‘Absah. At-Tirmidzi berkata, “Hadits Hasan Shahîh.” Syaikh al-Arna`ûth berkata, “Dan sanadnya adalah Shahîh.”)

Ibn al-Qayyim rahimahullah berkata ( Lihat, Zâd al-Ma’âd karya Ibn al-Qayyim, Jld.V, h.88 ), “Tatkala Quraisy menawan Hudzaifah bin al-Yamân dan ayahandanya, mereka membebaskan keduanya dan membuat perjanjian dengan mereka berdua agar keduanya bersama Rasulullah tidak memerangi mereka saat mereka keluar ke Badar (untuk berperang). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اِنْصَرِفَا نَفِي لَهُمْ بِعَهْدِهِمْ وَنَسْتَعِينُ اللهَ عَلَيْهِمْ

“Kembalilah kamu berdua, kami akan menepati janji mereka dan meminta pertolongan kepada Allah atas mereka.”( HR. Muslim: 1787)

Ibn al-Qayyim rahimahullah juga mengetengahkan dalil-dalil yang banyak sekali, yang menjelaskan putusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam menepati janji musuhnya dan terhadap para utusannya (musuh tersebut) agar tidak dibunuh dan ditahan serta (putusan) di dalam mengembalikan kepada orang yang membuat perjanjian dengan cara yang jujur bila takut dia melanggar perjanjian tersebut.” (Zâd al-Ma’âd, Op.Cit.,h.88)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menerangkan kepada kita bahwa berkhianat merupakan salah satu sifat orang-orang munafik. Hal ini seperti yang dinyatakan di dalam kitab Shahîh al-Bukhary dari hadits ‘Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَرْبَعُ خِلاَلٍ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا

“Siapa yang ada padanya empat karakter, maka ia adalah seorang munafik sejati: Yang bila bicara, berdusta; bila berjanji, ingkar janji; bila membuat perjanjian, berkhianat dan bila bertengkar, sadis (berlebihan dalam memerangi). Siapa yang ada padanya salah satu darinya, maka berarti ada padanya satu kemunafikan hingga ia meninggalkannya.”( HR. al-Bukhari: 3178)

Di dalam kitab ash-Shahîhain Ibn Umar juga berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يُنْصَبُ لِغَدْرَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Setiap pengkhianat memiliki panji yang ditancapkan karena pengkhianatannya pada hari Kiamat (kelak).”

Sedangkan di dalam riwayat Anas disebutkan,

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ -قَالَ أَحَدُ الرُّوَاةِ: يُنْصَبُ، وَقَالَ اْلآخَرُ: يُرَى يَوْمَ اْلقِيَامَةِ- يُعْرَفُ بِهِ

“Setiap pengkhianat memiliki panji pada hari Kiamat –Salah seorang dari para periwayat berkata, ‘ditancapkan.’ Sedangkan periwayat lain berkata, ‘terlihat pada hari Kiamat’- yang ia dikenal dengannya (sebagai tanda pengenalnya).”( HR. al-Bukhari: 3187,3186 ; Muslim: 1736)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna ‘setiap pengkhianat memiliki panji‘ maksudnya tanda yang dikenal manusia… Sedangkan makna ‘pengkhianat’ adalah orang yang membuat perjanjian tetapi tidak menepatinya… Di dalam hadits-hadits ini terdapat penjelasan betapa kerasnya pengharaman perbuatan khianat.” (Lihat, Syarh an-Nawawi, Op.Cit., h.319)

Ibn Hajar rahimahullah juga berkata, “Makna ‘setiap pengkhianat memiliki panji’ maksudnya tanda yang dikenal manusia… Sedangkan makna ‘pengkhianat’ adalah orang yang membuat perjanjian tetapi tidak menepatinya… Di dalam hadits-hadits ini terdapat penjelasan betapa kerasnya pengharaman perbuatan khianat.” (Fath al-Bâry, Op.Cit., h.112)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan kepada umatnya bahwa perjanjian tidak boleh dibatalkan tetapi harus ditepati dalam sabdanya, “Aku tidak melanggar perjanjian dan tidak membunuh para utusan.”( HR. Abu Daud: 2758 dan diriwayatkan Imam Ahmad di dalam Musnad al-Anshâr.)

Di dalam hadits ini terdapat penjelasan dari Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya bahwa di antara sifat-sifat beliau adalah tidak melanggar perjanjian orang yang sudah membuat perjanjian dengannya sekalipun ia seorang kafir, wajib bagi seluruh umat tanpa terkecuali untuk menepati perjanjian ini.

Di antara para ulama yang mencatatkan mengenai hal ini adalah Imam ash-Shan’âni ketika memberikan komentar setelah memaparkan hadits di atas, “Hadits ini menunjukkan keharusan menjaga perjanjian dan menepatinya sekalipun terhadap orang kafir.” (Subul as-Salâm, Op.Cit., h.126)


C. Membunuh non Muslim di negeri Islam termasuk perbuatan maksiat terhadap Waliyyul Amri dan pembangkangan terhadapnya

Seperti diketahui bahwa Allah telah mewajibkan untuk menaati waliyyul Amri selama bukan di dalam berbuat maksiat dan melarang menentang dan membangkang terhadapnya. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisâ’ : 59).

Dan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

عَلَيْكَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فيِ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ

“Hendaklah kamu mendengar dan taat (loyal) baik di dalam masa sulitmu, masa mudah, masa bersemangat (fit), masa tidak suka (kurang bergairah) ataupun dalam mengalahkan ego kamu.”( Muslim: 1836)


D. Membunuh Non Muslim di negeri Islam merupakan bentuk kerusakan di muka bumi

Biasanya orang yang ingin membunuh umat non Muslim tidak akan mampu melakukannya kecuali dengan menggunakan bahan peledak, sebab mereka itu (non Muslim) sudah mendapatkan perlindungan dari negara-negara tempat mereka tinggal. Jadi, bila bahan-bahan peledak ini digunakan, maka akan mengakibatkan binasanya pula orang-orang yang berada di sekitarnya dan harta-harta benda seperti gedung-gedung, mobil-mobil, makanan dan sebagainya. Belum lagi, menimbulkan rasa takut mereka yang menjadi target tersebut dan setiap orang yang tinggal bersama mereka atau di sekitar mereka. Perbuatan ini tentu tidak dapat disangkal lagi sebagai bentuk kerusakan di muka bumi di mana Allah melarang para hambaNya untuk melakukannya sebagaimana dalam firmanNya, “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (Al-Baqarah: 204-205).

Dan juga firmanNya, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan telinga mereka dan dibutakan penglihatan mereka.” (Muhammad: 22-23).


E. Membunuh non Muslim di negeri Islam dapat menyebabkan pembunuhan anak-anak dan para wanita yang bersama mereka.

Allah Ta’ala telah mengharamkan pembunuhan terhadap anak-anak dan kaum wanita sekalipun di dalam peperangan selama mereka (kaum wanita) tidak ikut berperang dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengingkari hal itu. Di dalam kitab ash-Shahîhain dari Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ditemukan seorang wanita yang mati terbunuh di dalam salah satu peperangan Nabi, maka beliau mengingkari pembunuhan terhadap kaum wanita dan anak-anak. (HR. al-Bukhari: 3014; Muslim: 1744)

Imam an-Nawawi berkata, “Para ulama bersepakat untuk mengamalkan hadits ini dan mengharamkan pembunuhan terhadap kaum wanita dan anak-anak selama mereka tidak ikut berperang, namun jika mereka ikut berperang, maka Jumhur ulama berkata bahwa mereka boleh dibunuh.” (Syarh an-Nawawi, Op.Cit.,h.324)

Sedangkan mengenai penyerangan pada malam hari terhadap non Muslim dan anak-anak cucu yang bersama mereka, Imam Malik dan al-Auzâ’i berpendapat bahwa tidak boleh membunuh kaum wanita dan anak-anak, apa pun kondisinya, sekalipun orang-orang yang berperang itu menjadikan mereka sebagai tameng, bertahan di benteng atau di kapal dan menjadikan kaum wanita dan anak-anak bersama mereka; maka tidak boleh memanah ataupun membakar mereka.

Sementara Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berpendapat bahwa tidak boleh membunuh wanita kecuali bila ia ikut serta berperang. Ibn Habîb al-Maliki berkata, “Tidak boleh sengaja bermaksud membunuhnya (wanita) bila ia juga ikut serta berperang kecuali memang benar ia langsung terjun membunuh dan bertujuan demikian.” (Lihat, Fath al-Bâry, Op.Cit., Jld.VI, h.178-179)

Ibn Hajar rahimahullah menukil kesepakatan ulama atas larangan menyengaja untuk membunuh kaum wanita dan anak-anak. Kemudian dia berkata, “Adapun alasan kaum wanita adalah karena kelemahan mereka sedangkan alasan anak-anak juga dilarang dibunuh adalah karena ketidakberdayaan mereka untuk melakukan kekufuran.” (Lihat, Fath al-Bâry, Op.Cit., Jld.VI, h. 179)

Ibn al-Qayyim rahimahullah berkata, “Terdapat hadits yang valid dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

اْلمُسْلِمُوْنَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ

“Darah kaum Muslimin adalah setara, dan kalangan paling bawah di antara mereka dapat mengupayakan perlindungan atas mereka.” (HR. Abu Daud: 2751; Ibn Mâjah: 2685; an-Nasâ`iy: 4738 dan diriwa-yatkan juga oleh Imam Ahmad di dalam Musnad al-’Asyarah al-Mubasysyarîn bi al-Jannah. Syaikh al-Arna`ûth berkata, “Sanadnya Hasan dan didukung oleh hadits Ibn ‘Abbas dan Ma’qil bin Yasâr.”)

Juga terdapat hadits yang valid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan perlindungan kepada dua orang yang telah diberi perlindungan oleh Ummu Hâni`, anak paman beliau. ( HR. al-Bukhari: 357; Muslim: 336; at-Tirmidzi: 1579 dengan lafazh “Ajartu Rajulain Min Ahimmâ’iy, lalu Rasulullah berkata, “Qad Ammanna Man Ammanti.” )

Demikian juga berdasarkan hadits yang valid bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan perlindungan kepada Abu al-’Âsh bin ar-Rabî’ ketika putrinya, Zainab memberikan perlindungan kepadanya, kemudian beliau bersabda,

يُجِيْرُ عَلَى اْلمُسْلِمِيْنَ أَدْنَاهُمْ

“Kalangan paling bawah dari kaum Muslimin (berhak) memberikan perlindungan.” (HR. Abu Daud dengan lafazh “Wa Yujîr ‘Alaihim Aqshâhum” no.2751; Ibn Mâjah: 2683 dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari hadits ‘Amr bin al-’Ash. Syaikh al-Arna`ûth berkata, “Di dalam sanadnya terdapat periwayat majhûl (anonim), juga dikeluarkan di dalam Musnad al-Muktsirîn dan sanadnya Hasan dengan lafazh ‘Yujîr ‘Ala Ummatî Adnâhum.”)

Di dalam hadits yang lain,

يُجِيْرُ عَلَى اْلمُسْلِمِينَ أَدْنَاهُمْ وَيَرُدُّ عَلَيْهِ أَقْصَاهُمْ

“Kalangan paling bawah kaum Muslimin (berhak) memberikan perlindungan dan (berhak) pula kalangan paling jauh mereka untuk mendapatkan bagian hasil (ghanimah).” (HR. Abu Daud: 2751; Ibn Mâjah: 2683 dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad di dalam Musnad al-Muktsirîn. Syaikh al-Arna`ûth ber-kata, “Sanadnya Hasan.”)

Selanjutnya, Ibn al-Qayyim berkata, “Bahwa kalangan paling bawah kaum muslimin dapat mengupayakan perlindungan buat mereka. Sebagai konsekuenisnya, maka perlindungan yang diberikan oleh seorang wanita dan budak dapat diterima.” (Lihat, Zâd al-Ma’âd, Op.Cit.,h.89-90)

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa tidak boleh menyengaja untuk membunuh kaum wanita dan anak-anak baik dalam suasana aman ataupun perang. Juga sangat jelas sekali berdasarkan dalil-dalil tersebut betapa Islam tidak bertanggung jawab atas (berlepas diri dari) pembunuhan terhadap nyawa-nyawa tak berdosa baik dari kaum laki-laki, kaum wanita ataupun anak-anak di negeri kaum Muslimin.


F. Membunuh non Muslim di negeri Islam dapat menyebabkan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang berada di sekitar mereka dan membuat takut mereka

Bila ada umat non Muslim di negeri Islam, maka yang berkewajiban melakukan penjagaan (pengamanan) terhadap mereka adalah kaum Muslimin. Terkadang terdapat juga bersama mereka itu kaum Muslimin sendiri karena satu dan lain sebab, dan terkadang juga terdapat sebagian kaum Muslimin yang sedang lewat di jalan-jalan sekitar gedung-gedung yang dihuni oleh umat non Muslim tersebut. Karena itu, bila ada seseorang yang membunuh mereka dengan meletakkan bahan-bahan peledak di gedung-gedung tersebut, maka ini akan mengakibatkan pembunuhan terhadap siapa pun yang berada di situ atau di dekatnya dari kalangan kaum Muslimin, padahal seperti yang telah kita bicarakan sebelumnya bahwa diharamkan membunuh kaum Muslimin. Jadi, otomatis pula haram membunuh mereka yang sudah membuat perjanjian tersebut (orang-orang kafir mu’âhad) sebab membunuh mereka akan menyebabkan pembunuhan terhadap kaum Muslimn sendiri sedangkan membunuh kaum Muslimin adalah diharamkan. Maka, setiap hal yang dapat menyebabkan sesuatu yang diharamkan adalah haram.

Artinya, berkenaan dengan hal seperti itu tidak bisa dikatakan bahwa umat non Muslim sudah menjadikan kaum Muslimin sebagai tameng karena dua sebab:
Pertama, Hal ini tidak terdapat di medan pertempuran bahkan mereka itu adalah orang-orang kafir mu’âhad dan berada di negeri Islam.
Kedua, Bahwa kaum Muslimin tidaklah dipaksa untuk tinggal bersama dengan umat non Muslim tersebut hingga dapat dikatakan bahwa mereka telah dipaksa untuk tinggal sampai dijadikan tameng. Bahkan kaum Muslimin malah mampu keluar dan pergi kapan pun mereka mau. Demikian pula, orang-orang yang berlalu lalang di jalan-jalan terdekat tidak mungkin dikatakan bahwa mereka termasuk dijadikan tameng.

Ada pun menimbulkan rasa takut kaum Muslimin adalah tidak dibolehkan di dalam agama Islam di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang menimbulkan rasa takut seorang Muslim dalam sabdanya,

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

“Tidak halal bagi seorang Muslim menimbulkan rasa takut muslim yang lain.” (HR. Imam Ahmad di dalam Musnad al-Anshâr; Abu Daud: 5004 dan dinilai shahih oleh al-Albâni di dalam kitab Shahîh al-Jâmi’.)


G. Biasanya membunuh umat non Muslim menyebabkan pembunuhan terhadap diri sendiri [terutama dalam kasus bom bunuh diri]

Perlu dicermati, bahwa tindakan-tindakan peledakan tersebut biasanya membunuh jiwa pelakunya ketika melakukan tindakan tersebut bahkan yang lebih aneh lagi adalah bahwa pelakunya sengaja membunuh dirinya sendiri [bom bunuh diri] padahal bisa saja dia menyelamatkan diri. Tidak ada interpretasi lain terhadap fenomena seperti ini selain sebagai bentuk bunuh diri dan pembunuhan terhadap jiwa yang diharamkan Allah sebagaimana dalam firmanNya,

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (An-Nisâ`: 29).

Khususnya lagi bahwa targetnya adalah orang-orang kafir mu’âhad, dan apa pun alasannya tidak mungkin menganggap mereka sebagai orang-orang kafir yang boleh diperangi (muhârab).

Sedangkan upaya berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Keluarkan orang-orang musyrik dari jazirah Arab” (HR. al-Bukhari: 3168 dan Muslim: 20) atas dibolehkannya membunuh mereka tersebut adalah tidak benar sebab khithâb (pesan) tersebut diarahkan kepada para Waliyyul Amri dan ini termasuk juga kemaslahatan umum yang dipandangnya. Bisa jadi, dikarenakan adanya suatu kebutuhan menuntut tinggalnya sebagian mereka untuk beberapa waktu. Orang-orang musyrik masih ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, masa kekhilafahan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, demikian juga pada masa kekhilafahan Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu bahkan orang yang membunuh Umar adalah termasuk orang-orang musyrik. Keberadaan individu-individu dari orang-orang musyrik itu terus berlangsung setelah itu pada masa beberapa khalifah dan Umara’ sepanjang periode Daulah Islamiyah hingga zaman kita saat ini. Inilah tindakan yang selaras guna mengkompromikan antara dalil-dalil terkait dan sikap menepati perjanjian yang terjadi antara kaum Muslimin dan umat non Muslim. Perlu dicatat pula, bahwa pada masanya, Umar bin al-Khaththab pernah memperingatkan kaum musyrikin dan memberikan limit waktu hingga tiga malam namun tidak membunuh mereka. Inilah yang dapat dimaknai dari hadits tersebut di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya memerintahkan agar mereka dikeluarkan (diekstradisi) bukan memerintah agar mereka dibunuh.