Oleh
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly
Anak cucu Khawarij masih eksis di tengah-tengah medan dakwah, mereka selalu menggembar-gemborkan warisan nenek moyang mereka, yaitu pengkafiran terhadap penguasa kaum muslimin. Segala cara mereka upayakan demi kelancaran tipu daya mereka terhadap kaum muslimin.
Mereka mencoba untuk melariskan dagangan mereka dengan membawakan ayat 44 dari surat Al-Maidah untuk mengkafirkan semua penguasa kaum muslimin. Oleh karenanya, dakwah Salafiyah berusaha untuk membongkar kedok dan kesesatan mereka dengan membawakan atsar Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma seorang ahli tafsir Al-Qur’an dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta ucapan para ulama salaf yang lain tentang ayat tersebut.
Ketika mereka tidak sanggup untuk melawan atsar Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma tersebut, mereka pun berpindah cara dengan menyatakan atsar tersebut lemah, padahal makar merekalah yang lebih lemah dari sarang laba-laba.
Marilah kita simak bersama-sama ucapan Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly hafidzahullah tentang masalah ini, semoga Allah menerangi hati dan langkah kita semuanya.
Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah.
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Maidah : 44]
Beliau berkata : “Bukanlah kekafiran yang kalian pahami”.
Dan di dalam riwayat lain : “Sesungguhnya hal itu bukanlah kekafiran yang mereka pahami. Itu bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari agama ini. “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. Adalah kufrun duuna kufrin (kufur kecil yang dibawah kufur besar).
Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam “Sunan”nya (4/1482/749), Ahmad dalam “Al-Iman” [1] (4/160/1419) dan Ibnu Baththah dalam “Al-Ibanah” (2/736/1010), Muhammad bin Nashr Al-Marwazi dalam “Ta’zhim Qadrish Sholah” (2/521/569), Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya (4/1143/6434, cet. Al-Baz), Ibnu Abdil Bar dalam “At-Tamhid” (4/237), Al-Hakim (2/313), Al-Baihaqi (8/20), dari Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas.
Al-Hakim berkata : “Hadits ini shahih isnadnya, akan tetapi Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya”. Dan ini disepakati oleh Adz-Dzahabi.
Syaikh kami, Al-Allamah Al-Albani rahimahullah berkata dalam “Ash-Shahihah” (6/113) : “Selayaknya kedua orang tersebut mengatakan, bahwa hadits di atas sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim, karena memang sanadnya demikian. Kemudian, saya melihat Al-Hafidz Ibnu Katsir menukil dalam tafsirnya (6/163) dari Al-Hakim, bahwasanya dia berkata :”Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim. Yang nampak, bahwa di dalam “Al-Mustadrak” terdapat sesuatu yang terhapus. Dan Ibnu Katsir menisbatkannya kepada Ibnu Abi Hatim juga dengan sedikit ringkasan”.
Saya katakan : Benar apa yang diatakan oleh beliau, akan tetapi Hisyam bi Hujair perawi dari Thawus, ada sedikit catatan yang tidak sampai menurunkan haditsnya dari derajat hasan.
Ibnu Syubrumah berkata : tidak ada orang di Mekah yang semisalnya (Hisyam bin Hujair)’, Al-Ijlih berkata : Dia tsiqah/terpercaya dan pengikut Sunnah. Ibnu Ma’in berkata : Dia orang shalih. Abu Hatim Ar-Razi berkata : Haditsnya ditulis/diterima. Ibnu Sa’ad berkata ; Dia tsiqah, dia banyak meriwayatkan banyak hadits. Ibnu Syahin berkata : Dia tsiqah dan dipercaya oleh Ibnu Hibban. As-Saji berkata : Orang ini shaduq (haditsnya hasan). Adz-Dzahabi berkata : Dia tsiqah. Dan diringkas oleh Al-Hafidz dengan ucapan beliau : Dia shaduq dan memiliki beberapa kekeliruan. Yahya Al-Qaththan mendhaifkannya, demikian pula Imam Ahmad dari Ibnu Ma’in dalam sebuah riwayat. [2]
Saya katakan ; Orang tersebut demikianlah keadaannya, tidak sampai turun derajat haditsnya dari hasan, selama tidak ada yang menyelisihinya. Dan Bukhari serta Muslim meriwayatkan dan berhujjah dengannya, bahkan dia bukan bersendirian tapi juga dikuatkan oleh yang lain
Adapun ucapan Imam Ahmad rahimahullah : Orang ini (Hisyam bin Hujair) tidak kuat (hafalannya) Ucapan Imam Ahmad ini bukan untuk melemahkan perawi tersebut sama sekali, tapi maksudnya meniadakan kesempurnaan kekuatan hafalannya dan bukan menafikan semua (hafalan)-nya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam “Iqomatud Dalil” (3/243 – Al-Fatawa Al-Kubro) ketika menyebutkan (perawi yang bernama) Utbah bin Humaid Adh-Dhobbi Al-Bashri : Diriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwasanya beliau berkata : “Orang tersebut lemah, tidak kuat”, akan tetapi ungkapan beliau ini maksudnya, adalah orang tersebut haditsnya tidak shahih, namun masih dalam kategori hasan. Mereka (para ulama hadits) menamakan hadits seperti ini dha’if/lemah, meskipun mereka masih menjadikannya hujjah, karena masih dalam kategori hasan. Hal ini disebabkan, karena dahulu hadits dibagi hanya pada kategori shahih dan dha’if saja. Dan seperti ini juga, apa yang diucapkan oleh Imam Ahmad rahimahullah :”Hadits dha’if masih lebih baik daripada qiyas’. Maksud beliau, (hadits) yang tidak sekuat hadits shahih, namun derajatnya hasan.
Maka ambillah faedah yang besar ini dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Semoga Allah memberinya balasan yang baik bagi Islam dan kaum muslimin.
Imam Al-Hafidz Adz-Dzahabi berkata dalam “Al-Muqaddimah Al-Muuqizah” (hal 319 –dengan syarahku-) :”Terkadang ada beberapa perawi yang dikatakan tidak kuat hafalannya, namun masih dijadikan hujjah. Contohnya, Imam Nasa’i pernah berkata : “Orang ini tidak kuat hafalannya, akan tetapi beliau memasukkannya dalam kitab beliau. Dan beliau berkata, ucapan kami si fulan tidak kuat, artinya tidak sampai kepada celaan yang merusak/menggugurkan haditsnya”. Beliau juga berkata pada (hal. 322) : “Dengan banyak membaca (diketahui), apabila Abu Hatim berkata : “Perawi ini tidak kuat, maksudnya orang tersebut tidak sampai kepada derajat orang yang kuat lagi kokoh”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “Hadyu As-Sari” (hal. 385-386), tentang biografi Ahmad bin Basyir Al-Kuufi : “An-Nasa’i berkata : “Dia tidak sekuat orang itu” … Adapun maksud pelemahan An-Nasa’i terhadapnya, maka maksudnya dia tidak (kuat) hafalannya”.
Syaikh Al-Mu’allimi Al-Yamani, Dzahabinya umat ini rahimahullah berkata dalam “At-Tankil” (1/240) : “kata-kata –Dia tidak kuat-, maknanya meniadakan kekuatan secara mutlak, meskipun tidak menetapkan kelemahan secara mutlak. Maka makna ‘Dia tidak kuat’, adalah menafikan kesempurnaan kekuatan (hafalannya)”.
Berkata Syaikh kami Al-Allamah Al-Albani rahimahullah dalam “An-Nasihah bit Tahdzir min Takhribi Ibni Abdil Mannan Likutubil Aimmah Ar-Rajihah wa Tadhi’ifihi Li Miaatil Ahaadits Ash-Shahihah” (hal 183) : “Ucapan Abu Hatim : ‘Orang itu tidak kuat’, tidaklah dimaksudkan bahwa dia itu lemah, karena ini tidak sama dengan ucapan ‘dia itu lemah’. Maka di sini terdapat perbedaan yang sangat jelas menurut para ulama”.
Beliau berkata pada (hal. 254) : “Ucapan Ahmad dan An-Nasa’i , ‘Orang itu tidak kuat’, tidak menafikan (hadits)nya, karena (mereka) tidak menafikan kekuatan hafalannya secara mutlak, seperti yang tidak tersembunyi bagi para ulama hadits”.
Saya katakan : Adapun selain para ulama dan para sepesilis hadits, maka mereka tidak bisa mengetahui hal ini, karena kebodohan dan kurangnya bekal dan dikarenakan kurangnya dia menyelami ilmu hadits yang mulia ini. Maka pantas untuk dikatakan kepadanya : Ini bukanlah rumahmu, maka pergilah, dan dari jalan (bidang) para ulama, maka keluarlah
Berkata Abdullah bin Imam Ahmad setelah ucapan Imam Ahmad tentang (Hisyam bin Hujair) di atas, “Orang itu tidak kuat” : Saya bertanya (kepada ayahku), apakah dia lemah? Beliau menjawab : Bukan itu maskudnya.
Ini menunjukkan dengan jelas, bahwa Imam Ahmad tidak melemahkannya secara mutlak. Imam Ahmad tidak mendudukan haditsnya ke derajat shahih, tapi hanya derajat hasan. Maka, hal ini sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di atas.
Demikian juga, apa yang dinukilkan oleh Abdullah bin Ahmad dari ayahnya dalam “ Al-Ilal” (1/130) : “Hisyam bin Hujair dari Mekah dan lemah haditsnya”, kemudian beliau menukil ucapan Ibnu Syubrumah : “Tidak ada orang di Mekkah yang lebih pandai darinya”.
Ini semua sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam di atas, maka sudah tidak ada masalah lagi. Alhamdulillah.
Abdullah bin Ahmad rahimahullah mengatakan : Saya bertanya kepada Yahya bin Ma’in ; Hisyam bin Hujair lebih engkau cintai dari Amru bin Muslim? Beliau berkata : Ya.
Saya katakan : Amru bin Muslim, dia adalah Al-Janadi dan dia diperselisihkan. Dia dilemahkan oleh Ibnu Ma’in dalam riwayat Ad-Dauri, dan Abdullah bin Ahmad. Beliau (Abdullah bin Ahmad) berkata dalam riwayat Ibnul Junaid “Tidak mengapa”. Dan di dalam “At-Taqrib” : Dia shaduq dan punya beberapa kekeliruan.
Orang ini (Hisyam bin Hujair) dengan persaksian Yahya bin Ma’in lebih kuat dari pada Amru bin Muslim yang dia katakan : “Tidak mengapa”. Maka, dia ini tidak terlalu lemah, yang (tidak) dibuang haditsnya. Seandainya maksud beliau itu lemah sekali (maka ini tidaklah benar), karena Ibnu Ma’in berkata tentang Hisyam bin Hujair dalam riwayat Ishaq bin Manshur : “Dia orang shalih/baik (haditsnya). Ini adalah rekomendasi untuknya. Dari sini, kita mempunyai dua riwayat dari imam besar ini, yang pertama dia dilemahkan dan yang kedua direkomendasi, maka kita pun melihat kepada ucapan para ulama lainnya, hingga bisa sesuaikan.
Inilah keadaan Hisyam bin Hujair yang telah ditsiqahkan oleh Ibnu Sa’ad, Al-Ijli, Ibnu Hibban, Ibnu Syahin dan Adz-Dzahabi dalam “Al-Kasyif” dan dilemahkan oleh Al-Qaththan. Oleh karenanya, Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan : Orang itu shaduq (haditsnya hasan) meskipun memiliki kekeliruan” [3]
[Dialihbasakan oleh Abdurrahman Thoyib Lc, dari kitab Qurratul ‘Uyun karya Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly dengan sedikit perubahan]
[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyah Vol. 6 No. 6 Edisi 38 -1429H. Penerbit Sekolah Tinggi Agama Islam Ali bin Abi Thalin Surabya. Alamat Jl. Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya]
__________
Footenotes
[1]. Dicetak bersama lkitab “As-Sunnah” oleh Abu Bakar Al-khallal
[2]. Lihat “Al-Jarhu wat Ta’dil” (9/53-54), “Tarikh Ats-Tsiqaat” oleh Al-Ijli (457/1729), “Ats-Tsiqaat” oleh Ibnu Syahin (250-1536), “Thabaqat” Ibnu Sa’ad (5/484), “Ats-Tsiqaat” oleh Ibnu Hibban (7/567), “Tahdzibul Kamal” (30/179-181), “Al-Kasyif” (2/335/5958) dan “Thadzibut Tahdzib” (11/33) dan “At-Taqrib” (2/317)
[3]. Qurraul Uyun Fii Tashihi Tafsir Abdillah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma Liqaulihi Ta’ala : “Wama-lam yahkum Bimaa Anjalallahu Faulaika Humul Kaafiruun” Riwaayatan wa Diraayatan wa Ri’aayatan oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly hal. 43-51 dengan sedikit perubahan.
Benarkah Atsar Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma : Kufrun Duuna Kufrin
Diposting oleh
Millah Muhammad
di
Kamis, Oktober 28, 2010
Kamis, 28 Oktober 2010