MENELAN DAHAK KETIKA SHOLAT
oleh: Abu Idris as Salafiy
Ibnu Qudamah mengatakan, “Jika dahak merupakan najis, tentu rasulullah tidak akan memerintahkan agar diludahkan dan diusapkan di baju sementara orang tersebut melaksanakan shalat, tidakpula memerintahkan agar diludahkan di bawah kaki. Tidak ada perbedaan antara sesuatu yang keluar dari kepala dengan dahak yang keluar dari dada.”
Beliau juga mengatakan, “Al-Balgham adalah sejenis an-nakhamah (dahak), yang salah satunya mirip dengan yang lain . Jika najis, tentulah mulut pun akan najis dengannya…
Beliau melanjutkan, “…dan tidak ada riwayat dari para sahabat radliallahu ‘anhum yang sampai kepada kami -padahal hal ini telah diketahui bersama- yang menyatakan hal itu najis.” [Al-Mughni 1/415 dengan sedikit peringakasan].
Dan menelan dahak tidaklah identik dengan makan dan minum, karena dahak bukanlah makanan, tidakpula minuman, tidakpula semakna dengan keduanya.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pernah ditanya, “Para ahli fikih menyebutkan bahwa (menelan) dahak dapat membatalkan puasa. Apakah shalat dapat kita analogikan dengan hal ini, maksudnya apakah (menelan) dahak dapat membatalkan shalat?
Maka beliau menjawab,
“Pertama, para ahli fikih tidaklah bersepakat dalam permasalahan ini. Bahkan, madzhab imam Ahmad memiliki dua qaul, apakah hal itu membatalkan puasa ataukah tidak.
Kedua, dahak yang membatalkan puasa, yang dimaksud oleh ahli fikih tersebut adalah dahak yang sampai ke mulut. Adapun dahak yang terdapat di tenggorokan dan turun ke dada, maka tidaklah membatalkan. Dan saya tidak menyangka akan ada orang yang menelan dahaknya kembali setelah dahak itu berada di mulutnya, karena hal itu menjijikkan. Akan tetapi, mayoritas ahli fikih madzhab Hambali mengatakan, “Apabila dahak sampai ke mulut seseorang kemudian ditelan, maka puasanya batal.” Hal ini dianalogikan jika hal tersebut terjadi di tengah-tengah pelaksanaan shalat, maka shalat seseorang batal karenanya.
Dengan demikian, kita dapat berkesimpulan bahwa (para ahli fikih tersebut berpandangan bahwa menelan dahak) semakna dengan makan. Namun, saya tidak menjumpai bahwa mereka menyebutkan hal ini ketika seorang melaksanakan shalat. Lagipula, pendapat yang menyatakan menelan dahak jika sampai di mulut dapat membatalkan puasa perlu ditinjau ulang, karena menelan dahak tidak dapat dikatakan sebagai memakan dan meminum, serta dahak tidaklah masuk ke dalam lambung, bahkan dahak itu adanya di lambung. (Demikianlah pendapat yang tepat) meski kita menganggap mulut itu merupakan bagian luar dari tubuh, bukan bagian dalam.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan dalam Liqa al-Bab al-Maftuh 17/116, “Dahak suci tapi bukanlah makanan dan minuman, tidakpula semakna dengan keduanya. Maka, apabila seorang yang shalat menelannya, maka shalatnya tetaplah sah, terlebih jika dahak itu tidak dapat diludahkan atau dikeluarkan di saputangan dan yang semacamnya. Menurut kebiasaan, menelan dahak merupakan sesuatu yang menjijikkan dan yang disyari’atkan adalah seseorang mengeluarkannya di saputangan dan tidak menelannya.”
Wallahu a’lam.
Sumber: www.islam-qa.com/ar/ref/146088/pdf/dl