ASWAJA BERDUSTA ATAS NAMA IBNU TAIMIYYAH DALAM PELEGALAN ACARA MAULID NABI
oleh: Abu Idris al - Jawi
Saudaraku, acara Maulid Nabi adalah acara yang tidak asing lagi bagi kita, terutama di bulan Robi'ul Awwal ini. acara bid'ah tersebut sebenarnya teradopsi dari orang - orang zindiq, ironisnya dari kalangan ASWAJA membawakan ucapan Imam Ahlus Sunnah yaitu Ibnu Taimiyyah yang dipotong dalam rangka pengungat pelegalan acara Maulid yang mereka lakukan. nukilan tersebut bisa saudaraku lihat di website - website meraka, bahkan jadi bahan perbincangan di facebook. karenya pada kesempatak kali ini kami akan mengupas hal tersebut.
Nukilan dari Aswaja: Wahhaby ini memanipulasi fatwa ibnu taymiyah, sehingga seoalh-olah ibnu Taymiyah membid’ahkan amalan maulid Nabi. Seharusnya dalam kitab yang asli tertulis :
Syeikh Ibn Taimiyah : “Di dalam kitab beliau, Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim, cetakan Darul Hadis, halaman 266, beliau nyatakan: Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebahagian manusia samada menyaingi orang Nasrani pada kelahiran Isa عليه السلام, ataupun kecintaan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan mengagungkan baginda, danAllah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…”
Seterusnya beliau nyatakan lagi : “Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya
Kita pula tidak mengadakan maulid melainkan seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah sebagai: “Kecintaan kepada Nabi dan mengagungkan baginda.”
Mari kita cek kitab dimaksud, apa sebenarnya yang dikatakan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah perihal Maulid Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata :
(( فصل . ومن المنكرات في هذا الباب : سائر الأعياد والمواسم المبتدعة ، فإنها من المنكرات المكروهات سواء بلغت الكراهة التحريم، أو لم تبلغه؛ وذلك أن أعياد أهل الكتاب والأعاجم نهي عنها؛ لسببين:
أحدهما : أن فيها مشابهة الكفار .
والثاني : أنها من البدع . فما أحدث من المواسم و الأعياد هو منكر ، وإن لم يكن فيها مشابهة لأهل الكتاب ؛ لوجهين :
أحدهما : أن ذلك داخل في مسمى البدع والمحدثات ، فيدخل فيما رواه مسلم في صحيحه عن جابر – رضي الله عنهما – قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ خطب احمرت عيناه ، وعلا صوته ، واشتد غضبه ، حتى كأنه منذر جيش يقول صبحكم ومساكم ، ويقول : (( بُعثت أنا والساعة كهاتين – ويقرن بين أصبعيه : السبابة والوسطى – ويقول : (( أما بعد ،فإن خير الحديث كتاب الله ، وخير الهدي هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل بدعة ضلالة )) وفي رواية للنسائي : ((وكل بدعة ضلالة في النار))
وفيما رواه مسلم – أيضاً – في الصحيح عن عائشة – رضي الله عنها – عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال :(( من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد )). وفي لفظ في الصحيحين :(( من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد )).
وفي الحديث الصحيح الذي رواه أهل السنن عن العرباض بن سارية عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: (( إنه من يعش منكم فسير اختلافاً كثيراً فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين ،تمسكوا بها، وعضُّو عليها بالنواجذ ، وإياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة )).
وهذه قاعدة قد دلت عليها السنة والإجماع ، مع ما في كتاب الله من الدلالة عليها أيضاً . قال الله تعالى: {أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ...}. فمن ندب إلى شيء يتقرب به إلى الله أو أوجبه بقوله أو بفعله ، من غير أن يشرعه الله ، فقد شرع من الدين ما لم يأذن به الله ، ومن اتبعه في ذلك فقد اتخذ شريكاً لله ، شرع من الدين ما لم يأذن به الله.........
”Pasal : Di antara kemunkaran yang terjadi pada bab ini adalah adanya perayaan dan upacara-upacara bid’ah. Semua itu merupakan kemunkaran yang dibenci, baik kebencian itu mencapai derajat haram atau tidak. Semua perayaan itu dilarang karena dua hal :
Pertama, Menyerupai apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir.
Kedua, termasuk bid’ah. Oleh karena itu, walaupun tidak ada keserupaan dengan Ahli Kitab, segala perayaan dan upacra itu adalah munkar karena dua hal :
1. Karena semua upacara itu termasuk dalam katagori bid’ah dan sesuatu yang baru, seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya. Diriwayatkan Jabir bin Abdillah radliyallaahu ’anhuma ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallamapabila berkhutbah, maka matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya meluap hingga seakan-akan beliau seperti penasihat tentara yang berkata : ’Semoga Allah memberkahi kalian di waktu pagi dan sore’. Kemudian beliau melanjutkan : ’Aku diutus dan hari kiamat seperti ini’ – sambil mendekatkan antara dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah seraya bersabda : ’Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan dan sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan. Dan setiap yang bid’ah adalah sesat’. Dalam riwayat An-Nasa’i : “Setiap bid’ah adalah sesat yang ada di neraka”.
Muslim juga meriwayatkan dari Shahih-nya dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, dari Nabishallallaahu ’alaihi wasallam bahwa beliau berkata : “Barangsiapa yang mengerjakan satu perbuatan yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak”.
Dalam kitab Shahihain disebutkan hadits lain yang senada : “Barangsiapa yang mebuat-buat suatu yang baru dalam perkara kami yang tidak termasuk di dalamnya, maka ia ditolak”.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ashhaabus-Sunan dari ‘Irbadl bin Sariyyah, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, bahwasannya beliau bersabda : “Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup setelahku, maka kelak ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapatkan hidayah. Maka berpegang teguhlah kalian kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah segala perkara yangbaru, karena setiap perkara yang baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Semua ini adalah kaidah yang ditunjukkan oleh As-Sunnah dan ijma’, yang dikuatkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Diantara adalah firman Allah : ”Apabila mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk agama mereka yang tidak diijinkan Allah ? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka tekal dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu akan memperoleh adzab yang pedih” [Asy-Syuuraa : 21].
Oleh karena itu, barangsiapa yang mendekatkan diri kepada Allah, baik berupakan perkataan atau perbuatan yang tidak disyari’atkan oleh Allah, maka dia telah membuat syari’at sendiri dalam agama, yang tidak diijinkan Allah. Barangsiapa yang mengambilnya, berarti telah menjadikan sekutu bagi Allah dan membuat syari’at agama yang tidak diijinkan oleh-Nya” [Iqtidlaa Ash-Shiraathil-Mustaqiim 2/581-583].
........ فصل : قد تقدم أن العيد يكون اسماً لنفس المكان ، ولنفس الزمان ، ولنفس الاجتماع ، وهذه الثلاثة قد أحدث منها أشياً :
أما الزمان فثلاثة أنواع ، ويدخل فيها بعض أعياد المكان والأفعال :
أحدها : يوم لم تعظمه الشريعة الإسلامية أصلاُ ، ولم يكن له ذكر في السلف ولا جرى فيه ما يوجب تعظيمه ، مثل : أول خميس من رجب ، وليلة تلك الجمعة التي تسمى الرغائب.......
النوع الثاني : ما جرى فيه حادثة كما كان يجري في غيره ،من غير أن يوجب ذلك جعله موسماً، ولا كان السلف يعظمونه: كثامن عشر ذي الحجة الذي خطب النبي صلى الله عليه وسلم فيه بغدير خم مراجعة من حجة الوداع .....
وكذلك ما يحدثه بعض الناس: إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى-عليه السلام-،وإما محبة للنبي صلى الله عليه وسلم، والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع – من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه وسلم عيداً مع اختلاف الناس في مولده ، فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف - رضي الله عنهم- أحق به منا ،فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيماً له منا ،وهم على الخير أحرص،وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته،وطاعته واتباع أمره، وإحياء سنته باطناً وظاهراً ، ونشر ما بعث به ، والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان ، فإن هذه طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار،والذين اتبعوهم بإحسان،وأكثر هؤلاء الذين تجدهم حرَّاصاً على أمثال هذه البدع-مع ما لهم فيها من حُسن القصد والاجتهاد الذي يرجى لهم بهما المثوبة - تجدهم فاترين في أمر الرسول صلى الله عليه وسلم عما أُمروا بالنشاط فيه ، وإنما هم بمنزلة من يزخرف المسجد ولا يصلي فيه ،أو يصلي فيه قليلاً ،وبمنزلة من يتخذ المسابيح والسجادات المزخرفة، وأمثال هذه الزخارف الظاهرة التي لم تُشرع ،ويصحبها من الرياء والكِبْر ،والاشتغال عن المشروع ما يفسد حال صاحبها)) ا.هـ .
Pasal : Telah dijelaskan di muka bahwa hari raya adalah sebutan untuk mengingat nama tempat, waktu, dan persitiwa secara bersama-sama. Ketiga hal ini telah menyebabkan banyak hal.
Tentang hari raya yang berkaitan dengan waktu sendiri terdiri dari tiga hal, yang masuk di dalamnya sebagian hari raya tempat dan peristiwa :
Pertama : Hari yang sama sekali tidak diagungkan syari’at Islam, tidak istimewa menurut para salaf, dan tidak terjadi peristiwa yang seharusnya diagungkan, seperti awal Kamis bulan Rajab, malam Jum’at pertama bulan Rajab yang disebut dengan malam Raghaaib…… [idem, hal. 617].
Kedua : Hari yang di dalamnya terjadi satu peristiwa yang juga terjadi pada hari-hari lainnya sehingga tidak bisa dijadikan sebagai musim tertentu, dan tidak diagungkan oleh para salaf. Misalnya, tanggal 18 Dzulhijjah dimana pada hari itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di Ghadir Khum, ketika beliau pulang dari haji Wada’…… [idem, hal. 618].
Begitu pula yang diadakan oleh sebagian manusia, baik yang tujuannya untuk menghormati orang-orang Nashrani atas kelahiran ‘Isa ataupun karena mencintai Nabi.Kecintaan dan ijtihad mereka dalam hal ini tentu akan mendapatkan pahala di sisi Allah, tetapi bukan dalam hal bid’ah – seperti menjadikan kelahiran Nabi sebagai hari raya tertentu – padahal manusia telah berbeda pendapat tentang tanggal kelahiran beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam. Perayaan seperti ini belum pernah dilakukan oleh para salaf, meski ada peluang untuk melakukannya dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Seandainya perayaan itu baik atau membawa faedah, tentu para salaf lebih dulu melakukannya daripada kita karena mereka adalah orang-orang yang jauh lebih cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan lebih mengagungkannya. Mereka lebih tamak kepada kebaikan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan cara mengikutinya, mentaatinya, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya – baik secara lahir maupun batin – menyebarkan apa yang diwahyukan kepadanya, dan berjihad di dalamnya dengan hati, kekuatan, tangan, dan lisan. Itulah cara yang digunakan oleh para salaf, baik dari golongan Muhajirin, Anshar, maupun orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dalam mencintai dn mengagungkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun orang-orang yang gigih dalam melakukan kegiatan bid’ah peringatan Maulid Nabi itu – yang mungkin mereka mempunyai tujuan dan ijtihad yang baik untuk mendapatkan pahala – bukanlah orang-orang yang mematuhi perintah Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan semangat. Mereka adalah seperti kedudukan orang-orang yang memperindah masjid, tetapi tidak shalat di dalamnya, atau hanya melaksanakan shalat malam di dalamnya dengan minim, atau menjadikan tasbih dan sajadah hanya sebagai hiasan yang tidak disyari’atkan. Tujuannya adalah untuk riya’ dan kesombongan serta sibuk dengan syari’at-syari’at yang dapat merusak keadaan pelakunya” [idem, hal 619-620].
Silakan ikhwah perhatikan perkataan Ibnu Taimiyyah secara lebih luas di atas. Apakah yang dikatakan beliau ini untuk melegalkan dan meridlai amalan Maulid Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? Bahkan beliau rahimahullah mencelanya !! Adapun yang dikatakan bahwa para pelaku perayaan Maulid Nabi mendapatkan pahala karena kecintaannya adalah bagi ulama-ulama yang berijtihad dan kemudian mereka salah dalam ijtihadnya. Bukankah Ibnu Taimiyyah mengatakan : Kecintaan dan ijtihad mereka dalam hal ini tentu akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Bukankah ijtihad itu hanya berlaku bagi para ulama yang memang layak berijtihad ? Lantas bagaimana keadaannya dengan para fanatikus, muqallid, dan pengekor hawa nafsu yang semangat keagamaan mereka enggan untuk mengikuti as-salafush-shaalih ? Enggan mengikuti al-haq hanya dikarenakan fanatikus madzhab ? Sungguh aneh ada orang yang memlintir ucapan Ibnu Taimiyyah agar sesuai dengan madzhabnya ! Mungkin dia melewatkan (atau menyembunyikan ?) perkataan Ibnu Taimiyyah di bagian akhir kutipan di atas : Adapun orang-orang yang gigih dalam melakukan kegiatan bid’ah peringatan Maulid Nabi itu – yang mungkin mereka mempunyai tujuan dan ijtihad yang baik untuk mendapatkan pahala – bukanlah orang-orang yang mematuhi perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan semangat. Apalagi jika dikaitkan secara komprehensif pembahasan di awal perkataan beliau sebagai nukilan di atas.
Dan ternyata, pemilik blog @salafytobat memalsukan terjemahan dengan mengatakan :
“Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya”
Di kalimat mana Ibnu Taimiyyah mengatakan ini ? Padahal yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah adalah :
فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف - رضي الله عنهم- أحق به منا
“Perayaan seperti ini belum pernah dilakukan oleh para salaf, meski ada peluang untuk melakukannya dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Seandainya perayaan itu baik atau membawa faedah, tentu para salaf lebih dulu melakukannya daripada kita…”.
Jelas beda antara perkataan beliau di atas dengan apa yang dipalsukan oleh Salafytobat. Atau memang Salafytobat tidak bisa berbahasa Arab ?
Salafytobat ternyata juga memotong kalimat, dimana ia menuliskan : dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…”. Padahal kalimat yang lengkap adalah :
“Kecintaan dan ijtihad mereka dalam hal ini tentu akan mendapatkan pahala di sisi Allah, tetapi bukan dalam hal bid’ah – seperti menjadikan kelahiran Nabi sebagai hari raya tertentu – padahal manusia telah berbeda pendapat tentang tanggal kelahiran beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam”.
padahal Ibnu Taimiyyah tetap memperingatkan bahwa amalan perayaan Maulid Nabi itu adalah amalan yang menyelisihi sunnah dan wajib untuk ditinggalkan. Amalan tersebut adalah amalan bid’ah yang tertolak menurut syari’at. Lebih jelasnya lagi, mari kita perhatikan perkataan beliau rahimahullah dalam kitab yang lain :
وأما اتخاذ موسم غير المواسم الشرعية كبعض ليالي شهر ربيع الأول ، التي يقال إنها المولد ، أو بعض ليالي رجب ، أو ثامن عشر ذي الحجة ، أو أول جمعة من رجب ، أو ثامن شوال الذي يسميه الجهال عيد الأبرار ، فإنها من البدع التي لم يستحبها السلف ، ولم يفعلوها ، والله سبحانه وتعالى أعلم
“Adapun mengadakan upacara peribadahan selain yang disyari’atkan, seperti malam-malam Rabi’ul-Awwal yang sering disebut Maulid (Nabi), atau malam-malam Rajab, atau tanggal 18 Dzulhijjah , atau awal Jum’at bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan oleh orang-orang bodoh dengan ‘Iedul-Abraar; semuanya termasuk bid’ah yang tidak disunnahkan salaf dan tidak mereka kerjakan. Wallaahu subhaanahu wa ta’ala a’lam[Majmu’ Al-Fataawaa, 25/298].
semoga Uraian diatas dapat menjadi menerang bagi gelapnya kabut hitam dan penjelas bagi kesalah pahaman. amin