MENYINGKAP BESITAN SYAYATHIN YANG
DIHEMBUSKAN DALAM HATI PARA PENGKLAIM MUJAHIDIN
setan senatiasa berupaya menggoda manusia dengan berbagai
cara, diantaranya ia menggoda dengan membesitkan kejelekan dalam dada manusia,
Alloh berfirman:
ٱلَّذِى يُوَسْوِسُ فِى صُدُورِ ٱلنَّاسِ
Setan yang membisikkan (kejahatan) ke
dalam dada manusia. (QS. An Nas: 05)
Diantara
bisikan setan yang telah ia hembuskan pada pengklaim Mujahidin adalah tuduhan
keji terhadap dakwah Salafiyyah berupa “Salafiyyah al Qodiyaniyyah”. Tuduhan ini
dilontarkan oleh Abu Sulaiman Aman Abdur Rohman ketika dalam penjara, Tuduhan ini
dimuat di website sesatnya
Tidak
diragukan lagi bahwa orang yang bernama Aman Abdur Rohman adalah pentolan
Takfiri di Indonesia selain Halawi Ghoiru Makmun.
. Karena itu dalam upaya menjaga pemurnian Agama
Alloh serta pembelaan terhadap dakwah Salafiyyah, pada kesempatan kali ini kami
akan meyingkap tuduhan keji tersebut serta pembeda antara al Haq dengan
kebatilan. Alloh berfirman:
قُلْ كُلٌّۭ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِۦ فَرَبُّكُمْ
أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًۭا
Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut
keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih
benar jalannya. (QS. Al Isro’ : 84)
Saya
memohon kepada Alloh agar menjadikan bantahan ini sebagai penerang bagi
kegelapan dan menjaga hati kaum muslimin
dari Syubhat yang berhamburan serta pembersih tuduhan terhadap dakwah
Salafiyyah al Mubarokah.
Mujahid
as Salafi
BANTAHAN PERTAMA
“TUDUHAN BAHWA SALAFI
MEMILIKI KESAMAAN DENGAN AHMADIYAH DARI SISI KETAATAN KEPADA PEMERINTAH KAFIR”
Aman Abdur Rohman Mengatakan: Qadiyaniyyah adalah
Ahmadiyyah, sekte murtad pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al Qadiyani Al Kadzdzab Al
Mutanabbiy (si pendusta pengaku nabi) la’natullah ‘alaih. Boneka Inggris di
India yang digunakan oleh penjajah Inggris untuk mematikan perlawanan jihad
kaum muslimin India terhadap penjajah kafir Inggris. Di mana di antara ajaran
si nabi palsu ini adalah haramnya memberontak kepada pemerintah Inggris yang
kafir itu dan wajibnya as sam’u wath tha’ah (mendengar dan taat) kepada
pemerintah Inggris yang mereka sebut sebagai ulil amri, atau singkatnya adalah
kewajiban as sam’u wath tha’ah kepada pemerintah kafir dan keharaman
memberontak kepadanya, karena mereka itu adalah ulil amri yang wajib ditaati. Pada
zaman ini pula ada sekte yang memiliki kesamaan paham dengan Qadiyaniyyah dalam
hal kewajiban as sam’u wath tha’ah kepada pemerintah kafir dan keharaman
pembangkangan terhadapnya, padahal kekafiran pemerintah yang ada itu adalah
kufur riddah (kafir murtad) yang mana ia adalah lebih buruk daripada kafir
asli, sebagaimana yang sudah diketahui di dalam ajaran Islam, di mana
pemerintah kafir murtad ini telah kafir lagi murtad dari berbagai sisi.
Maka Saya katakan: Alloh ta’ala berfirman:
مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ
عَتِيدٌۭ
Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (QS. Qoof: 18)
Takutlah anda terhadap apa yang anda ucapkan,
karena anda dalam pernyataan itu telah berbohong agar manusia lari dari dakwah
Salafiyyah. Ketahuilah bahwa kami berprinsip bahwa Pemerintah yang kafir, maka
tidak ada baiat baginya dan tidak ada pula wilayah baginya, seperti Muammar
kadzafi dan pemerintah- pemerintah negeri barat, amerika misalnya. Hal ini
berdasarkan firman Alloh ta’ala:
وَلَن
يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan
kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. A
Nisa’: 141)
Akan tetapi disini kami akan
memberi dua peringatan:
a.
Bahwasanya tidak diperbolehkan memberontak ketika dalam
kondisi lemah, karena pada saat itu tidak memiliki kekuatan. Sebagaimana
Rosululloh ketika berada di makkah tidak memberontak pada kafir Quraisy dan
tidak pula membunuh mereka.
b.
Barangsiapa yang berada di wilayah tersebut, wajib baginya
berkomitment terhadap system public yang dapat bermanfaat bagi manusia dan
menghilangkan bahaya, serta tidak melanggar hukum Alloh. Ini merupakan
permasalahan yang di dalamnya terdapat rincian.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah
juga menjelaskan, “Apabila seorang pemimpin muslim berhukum dengan selain hukum
Allah, maka tidak boleh dihukumi kafir kecuali dengan syarat-syarat: Pertama:
Dia tidak dipaksa melakukannya. Kedua: Dia tahu bahwa hukum tersebut bukan
hukum Allah. Ketiga: Dia memandang hukum tersebut sama baiknya atau bahkan
lebih baik dari hukum Allah.” (Lihat Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 82).
Namun jika pemimpin tsb telah
nyata-nyata kafir danbisa membawakan bukti/burhan yang kalian mempunyai alasan
yang jelas dari Allah tentang kekafiran tersebut, maka diperbolehkan melakukan
kudeta dengan 5 syarat sebagai berikut :
1. Nampak kekafiran yang jelas padanya, sebagaimana
dalam hadits Ubadah di atas. Jadi tidak cukup jika kekafirannya belum jelas
atau masih samar-samar apalagi sekedar main kafirkan seenaknya.
2. Punya
kecukupan dan kemampuan sendiri baik dari sisi personil maupun persenjataan
sehingga dia tidak butuh bantuan kepada orang luar. Karena dikhawatirkan jika
ada pihak luar yang membantu, justru pihak luar itu yang akan memanfaatkan
mereka untuk merebut kekuasaan negara mereka sendiri.
3. Mafsadat
yang lahir dari kudeta lebih kecil daripada mafsadat yang lahir jika mereka
tidak kudeta. Kapan mafsadatnya lebih lebih besar maka tidak boleh kudeta,
misalnya jika pertempuran nantinya hanya akan terjadi di antara sesama kaum
muslimin.
4. Yakin atau
dugaan besar bisa menang. Kapan tidak ada kepastian maka tidak boleh kudeta
karena hanya akan melahirkan banyak korban sementara maslahat yang ingin diraih
tidak bisa dicapai.
5. Sudah ada
calon pengganti sebelum terjadinya kudeta. Yakni sebelum melakukan kudeta, kaum
muslimin sudah harus bersepakat menunjuk satu orang sebagai pemimpin kelak jika
mereka sudah berhasil. Kapan calon pengganti belum ditunjuk atau belum
disepakati maka tidak boleh melakukan kudeta. Karena kapan kudeta berhasil
sementara tidak ada calon yang disepakati maka dikhawatirkan akan timbul perang
saudara karena memperebutkan kekuasaan. Wallahu a’lam bishshawab
Perhatikanlah
nasehat imam Ibnul Qoyyim: “Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam
keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah
sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah
cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus
juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka.
Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat
zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula
hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah
dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak
rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu
dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan
haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat.
Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh
pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.
Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan
tercermin pada amalan penguasa mereka.
Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang
jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya.
Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa
terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak,
maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah
Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah,
Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu
pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang
sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu.
Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah
Allah Ta’ala.” (Lihat Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178)
BANTAHAN KE DUA
TATACARA MENGINGKARI THOGUT
PENGUASA PENGUASA
Aman Abdur Rohman mengatakan:……. Di sini Allah
ta’ala menamakan yang dirujuk hukum selain-Nya atau yang membuat hukum
selain-Nya sebagai thaghut yang harus diingkari. Al Imam Muhammad Ibnu Abdil
Wahhab menuturkan pentolan thaghut yang kedua adalah: Penguasa durjana yang
merubah hukum-hukum Allah. Seraya berdalil dengan ayat di atas. [Risalah fi
Ma’na Ath Thaghut, Majmu’atut Tauhid]
Kita katakan: Benar sekali, akan tetapi cara
mengingkari penguasa bukan berarti kita diperbolehkan memberontak terhadapnya. Karena
tidak semua thogut itu kafir, sebagaimana telah kami jelaskan dalam risalah
sebelumnya yang berjudul “Jawaban bagi orang yang mengatakan bahwa Thogut
identik dengan kekafiran”. Memberontak kepada penguasa kafir saja tidak
diperbolehkan dalam kondisi lemah, apa lagi terhadap penguasa muslim. Wallohu a’lam
BANTAHAN KE TIGA
TENTANG KEKAFIRAN
PENGUASA
Aman Abdur Rohman mengatakan: Mereka kafir dari
sisi mengganti Kitabullah yang merupakan rujukan hukum dengan kitab-kitab hukum
buatan manusia.
Kita katakana: “Pemerintah yang tidak berhukum
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tetap wajib ditaati dalam perkara yang
bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta tidak wajib memerangi mereka
dikarenakan hal itu, bahkan tidak boleh diperangi kecuali kalau ia telah
menjadi kafir, maka ketika itu wajib untuk menjatuhkannya dan tidak ada
ketaatan baginya.
Berhukum dengan selain Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya sampai kepada derajat kekufuran dengan dua syarat:
1) Dia
mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya. Kalau dia tidak tahu, maka dia tidak
menjadi kafir karena penyelisihannya terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya.
2)
Motivasi dia berhukum dengan selain hukum Allah adalah keyakinan bahwa
hukum Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih
cocok dan lebih bermanfaat bagi para hamba.
Dengan adanya kedua syarat inilah perbuatan berhukum
dengan selain hukum Allah menjadi kekufuran yang mengeluarkan dari Islam,
berdasarkan firman Allah:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
(Al-Maidah: 44)
Pemerintah yang demikian telah batal
kekuasaannya, tidak ada haknya untuk ditaati rakyat, serta wajib diperangi dan
dilengserkan dari kekuasaan.
Adapun jika dia berhukum dengan selain hukum
Allah, namun dia tetap yakin bahwa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah
itu adalah wajib dan lebih baik untuk para hamba, tetapi dia menyelisihinya
karena hawa nafsu atau hendak menzalimi rakyatnya, maka dia tidaklah kafir,
melainkan fasik atau zhalim, dan kekuasaannya tetap sah.
Mentaatinya dalam perkara yang bukan kemaksiatan
kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib. Tidak boleh diperangi, atau
dilengserkan dengan kekuatan (senjata) dan tidak boleh memberontak kepadanya.
Sebab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melarang pemberontakan terhadap
pemerintah (muslim) kecuali jika kita melihat kekafiran nyata dimana kita
mempunyai alasan (dalil) yang jelas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
KONTRADIKSI
Satu
sisi Aman mengatatakan Salafi adalah pengikut Ahmadiyah disebabkan ketaatan
mereka pada pemerintah, akan tetapi dia tidak berani menyatakan kepada
Muahammadiyyah sebagai Qodiyaniyyah, tidak pula dia mengatakan NU sebagai
Qodiyaniyyah. Kiranya telah kita tahu bahwa tuduhan itu akibat dari
kebenciannya terhadap dakwah Salafiyyah. Karena itu kita katakan:
مُوتُوا۟ بِغَيْظِكُمْ
"Matilah
kamu karena kemarahanmu itu".