Pengertian
iman secara bahasa menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau
makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau
mengkritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar
pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk. Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il muta’addi (butuh objek) (Lihat Syarh Arba’in, hal. 34)
Adapun secara istilah, dalam mendefinisikan iman manusia terbagi menjadi beragam pendapat [dikutip dari Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 131-132 dengan sedikit perubahan redaksional] :
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan
segenap ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga
Allah merahmati mereka- demikian juga para pengikut madzhab Zhahiriyah
dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu
adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan
anggota badan. Para ulama salaf
–semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur
keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana
amal juga bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).
Kedua
Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana yang disebutkan oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman itu pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun
tambahan saja dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al
Maturidi rahimahullah, dan Abu Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat seperti ini.
Keempat
Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan
lisan saja! Maka dari definisi mereka ini orang-orang munafiq itu
dinilai sebagai orang-orang beriman yang sempurna keimanannya, akan
tetapi menurut mereka orang-orang munafiq itu berhak mendapatkan ancaman
yang dijanjikan oleh Allah untuk mereka! Pendapat mereka ini sangat
jelas kekeliruannya.
Kelima
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi –salah satu dedengkot sekte
Qadariyah- berpendapat bahwa iman itu cukup dengan pengetahuan yang ada
di dalam hati! [Dan inilah yang diyakini oleh kaum Jabariyah, lihat. Syarh ‘Aqidah Wasithiyah,
hal. 163]. Pendapat ini jauh lebih jelas kerusakannya daripada pendapat
sebelumnya! Sebab kalau pendapat ini dibenarkan maka konsekuensinya
Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk golongan orang-orang yang
beriman, karena mereka telah mengetahui kebenaran Musa dan Harun
‘alaihimash sholatu was salam dan mereka tidak mau beriman kepada
keduanya. Karena itulah Musa mengatakan kepada Fir’aun, ”Sungguh kamu telah mengetahui dengan jelas bahwa tidaklah menurunkan itu semua melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al Israa’ [17] : 102). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Mereka
telah menentangnya, padahal diri mereka pun meyakininya, hal itu
dikarenakan sikap zalim dan perasaan sombong. Maka perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang melakukan kerusakan itu.” (QS.
An Naml [27] : 14). Bahkan iblis pun dalam pengertian Jahm ini juga
termasuk kaum beriman yang sempurna imannya! Karena ia tidaklah bodoh
tentang Rabbnya, bahkan dia adalah sosok yang sangat mengenal Allah
(yang artinya), ”Iblis berkata,’Rabbku, tundalah kematianku hingga hari mereka dibangkitkan nanti.’.”
(QS. Al Hijr [15] : 36). Dan hakekat kekufuran dalam pandangan Jahm ini
adalah ketidaktahuan tentang Allah ta’ala, padahal tidak ada yang lebih
bodoh tentang Rabbnya daripada dia!!
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi
perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang.
Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.”
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Iman bisa bertambah dan
bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang
dengan sebab meninggalkan amal.” (Perkataan dua orang imam ini bisa
dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 101-102) Bahkan Imam Bukhari rahimahullah
mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama
dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih
bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan
berkurang.” (Lihat Fathul Baari, I/60)
Penjelasan definisi iman
‘Iman itu berupa pembenaran hati’ artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. ‘Pengakuan dengan lisan’ artinya mengucapkan dua kalimat syahadat ‘asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’.
Sedangkan ‘perbuatan dengan anggota badan’ artinya amal hati yang
berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota badan yang lainnya
dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan kemampuannya (Lihat Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9)
Dan salah satu pokok penting dari aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah ialah keyakinan bahwa iman itu bertambah dan berkurang (Lihat Fathu Rabbbil Bariyah,
hal. 102). Hal ini telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al Kitab
maupun As Sunnah. Salah satu dalil dari Al Kitab yaitu firman Allah
ta’ala (yang artinya), “Agar bertambah keimanan mereka di atas keimanan mereka yang sudah ada.” (QS. Al Fath [48] : 4).
Dalil dari As Sunnah di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sosok kaum perempuan, ”Tidaklah
aku melihat suatu kaum yang kurang akal dan agamanya dan lebih cepat
membuat hilang akal pada diri seorang lelaki yang kuat daripada kalian
ini (kaum perempuan).” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Maka ayat di atas menunjukkan penetapan bahwa iman itu bisa bertambah, sedangkan di dalam hadits
tersebut terdapat penetapan tentang berkurangnya agama. Sehingga
masing-masing dalil ini menunjukkan adanya pertambahan iman. Dan secara
otomatis hal itu juga mengandung penetapan bisa berkurangnya iman,
begitu pula sebaliknya. Sebab pertambahan dan pengurangan adalah dua hal
yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tidak masuk akal keberadaan salah
satunya tanpa diiringi oleh yang lainnya.
Dengan demikian dalam pandangan ahlus sunnah
definisi iman memiliki 5 karakter : keyakinan, ucapan, amal, bisa
bertambah, dan bisa berkurang. Atau bisa diringkas menjadi 3 :
keyakinan, ucapan, dan amal. Karena amal bagian dari iman, secara
otomatis iman bisa bertambah dan berkurang. Atau bisa diringkas lebih
sedikit lagi menjadi 2 : ucapan dan amal, sebab keyakinan sudah termasuk
dalam amal yaitu amal hati. Wallahu a’lam.
Penyimpangan dalam mendefinisikan iman
Keyakinan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang adalah aqidah
yang sudah paten, tidak bisa diutak-atik atau ditawar-tawar lagi.
Meskipun demikian, ada juga orang-orang yang menyimpang dari pemahaman
yang lurus ini. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang tersebut terbagi menjadi dua kelompok yaitu : Murji’ah dan Wai’diyah.
Murji’ah tulen mengatakan bahwa iman itu cukup
dengan pengakuan di dalam hati, dan pengakuan hati itu menurut mereka
tidak bertingkat-tingkat. Sehingga menurut mereka orang yang gemar
bermaksiat (fasik) dengan orang yang salih dan taat sama saja dalam hal
iman. Menurut orang-orang Murji’ah amal bukanlah bagian dari iman.
Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati dan ucapan lisan
saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk
orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun
dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan
dari madzhab Khawarij. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163, Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 162).
Wa’idiyah yaitu kaum Mu’tazilah [Mereka
adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari
majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang
melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di
antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir
tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akherat mereka
akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163] dan Khawarij mengatakan
bahwa pelaku dosa besar telah keluar dari lingkaran iman. Mereka
mengatakan bahwa iman itu kalau ada maka ada seluruhnya dan kalau hilang
maka hilang seluruhnya. Mereka menolak keyakinan bahwa iman itu
bertingkat-tingkat. Orang-orang Mu’tazilah dan Khawarij
berpendapat bahwa iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan
dengan lisan, dan amal dengan anggota badan, akan tetapi iman tidak
bertambah dan tidak berkurang (lihat Thariqul wushul ila idhahi Tsalatsati Ushul, hal. 169). Sehingga orang Mu’tazilah menganggap semua amal adalah syarat sah iman (lihat catatan kaki Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 133). Dengan kata lain, menurut mereka pelaku dosa besar keluar dari Islam dan kekal di neraka (lihat Syarh ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 163).
Kedua kelompok ini sudah jelas terbukti kekeliruannya baik dengan
dalil wahyu maupun dalil akal. Adapun wahyu, maka dalil-dalil yang
menunjukkan bertambah dan berkurangnya iman sudah disebutkan… (Lebih
lengkap lihat Fathu Rabbil Bariyah, hal. 103-104).