RENUNGAN BAGI MEREKA
Ditulis oleh:
Abu Idris al - Indunisy
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.
Pada jum'at 15 April 2011 lalu telah terjadi pengeboman di sebuah Masjid di kota Cirebon yang dilakukan oleh oknum kelompok yang mengatas namakan diri mereka sebagai Mujahidin/pejuang Islam, padahal apa yang mereka lakukan menunjukkan bahwa mereka lebih layak disebut MUfsidin/para perusak bukan Mujahidin. Risalah berikut ini adalah sebuah hal yang perlu kita renungkan terkhusus mereka para pelaku pengeboman.
Perlu diketahui, orang-orang yang mengalirkan darah dan gemar melakukan pengeboman terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama. Kelompok yang memerangi semua orang, tanpa membedakan antara penguasa dengan rakyat. Mereka adalah Ghulatu At Takfir (kelompok yang ekstrim dalam mengkafirkan orang).
Wahai, generasi orang mulia.
Tidakkah engkau mendekat hingga dapat melihat apa yang mereka ceritakan padamu?
Orang yang menyaksikan langsung tentu tidak seperti orang yang hanya mendengar.
Kedua. Kelompok yang mengklaim, bahwa serangan yang dilancarkannya adalah bersih, sebab sasarannya terbatas hanya orang-orang pemerintah, polisi dan tentara.
Kelompok terakhir ini terbagi menjadi dua kelompok. (Yaitu) AIS atau Armee Islamique du Salut (Tentara Islam untuk Penyelamatan), dan Al Jama’ah As Salafiyah Li Ad Da’wah Wa Al Qital (Jama’ah Salafiyah untuk Dakwah dan Perang).
Mereka semua merupakan Jama’ah Takfir (kelompok orang yang mengkafirkan orang lain). Sebab mereka tidak memperbolehkan perang melawan orang-orang yang telah aku sebutkan di atas kecuali setelah dikafirkan. Sementara pengkafiran terhadap orang-orang yang menjadi sasaran serangan tersebut, sama sekali tidak berdasarkan pembuktian dari Allah dan tidak pula mengikuti petunjuk para Ulama yang menonjol keulamaannya.
Hendaknya anda jangan pula tertipu dengan penyebutan mereka sebagai Kelompok Salafiyah. Sebab tidak ada tanda-tanda salafiyah pada diri mereka, kecuali hanya nama belaka. Bagaimana mungkin klaim mereka sebagai kelompok salafiyah bisa dianggap benar.
Hendaknya anda juga jangan tertipu dengan pengakuan mereka, bahwa mereka telah mengambil fatwa dari “Fulan”, seseorang yang sepertinya mirip dengan Ahli Ilmu (ulama). Hal ini disebabkan oleh alasan :
Pertama. Mufti (penfatwa) yang disebutkan di atas bukan termasuk ulama yang memiliki kedalaman ilmu syari’at, dan tidak pula termasuk ulama yang bermadzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam persoalan iman dan kufur. Apalah kedudukan penfatwa itu dibandingkan dengan ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang sebenarnya. Orang yang sehat tentu tidak akan sama dengan orang lumpuh.
Sesungguhnya Allah telah membuat persyaratan, agar hendaknya selalu bertanya kepada ulama yang memiliki kedalaman ilmu syar'i. Alah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :.
dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)[323]. kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). . [An Nisa’ : 83]
Kedua. Sesungguhnya mereka menyandang senjata sebelum lahirnya fatwa. Bahkan pada waktu itu mereka tidak memiliki kesiapan untuk menoleh kepada seorang alimpun, meski seperti apapun rendahnya kedudukan orang alim itu. Orang-orang yang jujur di antara mereka dapat menceritakan kebenaran apa yang aku katakan.
Di sini aku tidak ingin membedakan antara jama’ah-jama’ah itu, karena semuanya mempunyai kesamaan sikap dalam masalah penumpahan darah orang yang terlindungi. Sebab meskipun dikatakan, bahwa berbeda masalahnya antara pembunuhan terhadap penduduk sipil beserta tentaranya sekaligus, seperti yang dilakukan oleh Ghulat Takfir (kelompok yang ekstrim dalam mengkafirkan orang), dengan pembunuhan secara terbatas hanya terhadap tentaranya saja, seperti dilakukan oleh kelompok yang tidak seekstrim pertama. Tetapi (sama saja, pent.), karena semua yang menjadi korban pembunuhan adalah kaum muslimin. Dan memandang remeh persoalan darah satu orang, sama dengan memandang remeh persoalan darah semua orang.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :.
bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya [Al Ma’idah : 32].
Dahulu di tengah kancah pertempuran, Usamah bin Zaid pernah membunuh seorang musyrik sesudah orang itu mengucapkan kalimat syahadat. Maka Rasulullah pun bersabda,”Bukankah ia sudah mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah?”
Usamah menjawab,”Wahai, Rasulullah. Dia mengucapkannya lantaran takut senjata.”
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Apakah engkau membuka hatinya hingga mengetahui hatinya mengucapkannya atau tidak?”
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Rasulullah n bersabda,”Wahai, Usamah. Apakah engkau membunuhnya sesudah mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah?” Aku (Usamah) menjawab,”Wahai, Rasulullah. Dia mengucapkannya hanya untuk melindungi diri saja.” Beliau mengulang sabdanya lagi,”Apakah engkau membunuhnya sesudah mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah?”
Demikianlah Rasulullah terus-menerus mengulang pertanyan itu hingga aku berangan-angan, bahwa aku belum masuk Islam sebelum hari itu. [HR Bukhari, no. 6872 dan Muslim 158, 159]
MAKA RENUNGKANLAH!
Pertama. Bahwa kedudukan pelaku pembunuhan, yakni Usamah -sebagai sahabat kesayangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam - tidak menghalangi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melakukan kecaman keras terhadapnya, dan untuk menunjukkan besarnya kejahatan tersebut di hadapan mata Usamah.
Berbeda dengan orang-orang yang menganggap remeh persoalan darah kaum Muslimin (seperti Usamah bin Laden dan para pengikutnya). Padahal Usamah Radhiyallahu 'anhu dahulu melakukan ijtihad dengan tujuan membela agama Allah ketika sedang berperang melawan seorang musyrik. Orang yang tidak mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallaah kecuali setelah berada di bawah ancaman kilatan pedang.
Semua tanda-tanda menunjukkan bahwa orang musyrik tersebut tidak menginginkan kalimat tauhid itu, kecuali untuk menghindar dari kematian. Terutama karena ia sejak semula adalah orang musyrik. Tetapi tetap saja Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharamkan pembunuhan terhadapnya. Bahkan beliau memberikan kecaman sedemikian rupa kepada sahabat kesayangannya (sang pelaku pembunuhan), suatu kecaman yang tidak diketahui pernah dilakukan seperti itu oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sampai-sampai Usamah berangan-angan, jika ia belum pernah mengenal Islam sebelum peristiwa itu. Lalu bagaimanakah keadaan orang-orang (yang menumpahkan darah kaum Muslimin di Aljazair, pent) ini, padahal mereka telah memahami bahwa kalimat Laa Ilaaha Illallaah memiliki kehormatannya?
Atas dasar ini, maka barangsiapa yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, hendaknya tidak ragu-ragu mengingatkan jama’ah-jama’ah pelaku penyerangan ini, seperti halnya Rasulullah n juga tidak berbasa-basi menegur sahabat kesayangannya, yaitu Usamah bin Zaid Radhiyallahu 'anhuma.
Kedua. Bahwa orang musyrik (yang dibunuh Usamah), sebelumnya bukanlah seorang muslim. Ia datang sebagai petempur. Bahkan telah berhasil membunuh sejumlah kaum Muslimin. Bahkan hampir tidak ada yang bisa selamat dari tangannya, seperti diceritakan oleh Jundub bin Abdillah Radhiyallahu 'anhuma :
“…Maka adalah seorang tentara dari pasukan kaum musyrikin jika berkeinginan menuju salah seorang dari tentara kaum Muslimin, ia akan segera mendatanginya dan membunuhnya…”[HR Muslim, 160].
Sesudah ia menyebutkan pembunuhan yang dilakukan Usamah terhadap orang itu, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya :
“Mengapa engkau membunuhnya?” Usamah menjawab,”Wahai, Rasulullah. Dia telah banyak menimbulkan penderitaan di kalangan kaum Muslimin. Dia telah membunuh Fulan dan Fulan –Usamah menyebutkan nama beberapa orang. Kemudian aku menyerangnya. Ketika ia melihat pedang, ia mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu bertanya ,”Apakah engkau membunuhnya?” Usamah menjawab,”Ya.” Beliau bertanya,”Apa yang akan engkau lakukan dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah ketika ia datang (menuntutmu) pada hari kiamat?” Usamah berkata,”Wahai, Rasulullah. Mintakanlah ampun kepada Allah untukku.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengulang pertanyaannya,”Apa yang akan engkau lakukan dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah ketika ia datang (menuntutmu) pada hari kiamat?”
Demikianlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menambah pertanyaan lain kecuali pertanyaan : Apa yang akan engkau lakukan dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah ketika ia datang (menuntutmu) pada hari kiamat? [HR. Muslim : 160].
Kisah di atas berkenaan dengan (pembunuhan terhadap) seorang musyrik yang telah menyakiti dan memerangi kaum Muslimin dengan pedangnya. Bagaimana dengan pembunuhan terhadap seorang muslim, yang bisa jadi merupakan seorang yang secara rutin melaksanakan shalat, zakat dan puasa; hanya lantaran dosa yang dianggapnya dosa adalah karena ia seorang polisi atau seorang tentara?
Laa Ilaaha Illallaah! Betapa keras hati-hati mereka para pelaku pengeboman yang mengatasnamakan pejuang islam!!
Abdullah bin Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anhuma berkata,
Sesungguhnya, diantara perkara yang dapat membinasakan, yang bila seseorang menjerumuskan diri ke dalamnya tidak akan ada jalan keluarnya ialah menumpahkan darah seseorang yang haram untuk ditumpahkan, dengan cara yang tidak benar. [Atsar shahih riwayat Imam Bukhari, no. 6863].
Jadi, bagaimana mungkin –bersama ini semua-, para penghalal darah polisi mengklaim bahwa penyerangan mereka itu bersih? Disamping itu, mereka juga hidup dengan harta hasil curian dan harta hasil rampasan yang diambil secara paksa dari pemiliknya. Mereka juga menumpahkan darah para tentara yang beragama Islam serta membiarkannya tergeletak berlumuran darah, sementara keluarga korban menyaksikannya.
Kami tidak akan mencuci diri dari sebutan Salafiyah. Sebab salafiyah merupakan (manhaj) agama yang benar. Tetapi kami nyatakan kepada Allah, bahwa kami berlepas diri dari Jama’ah Salafiyah Li Ad Da’wah Wa Al Qital (Jama’ah Salafiyah Untuk Da’wah dan Perang), dan berlepas diri dari setiap orang yang memanggul senjata sekarang di negeri kami untuk melawan sistem pemerintahan yang berlaku atau melawan rakyat.
Saya katakan hal ini, agar semua orang mengetahui bahwa penyandaran diri para kaum revolusioner ini kepada sebutan Salafiyah hanyalah untuk merusak citra salafiyah. Seperti halnya penyandaran kaum muslimin yang melakukan penyimpangan kepada Islam adalah juga merusak citra Islam, menghalangi jalan Allah dan menyebabkan orang lari dari golongan yang selamat. Akan tetapi, salafiyah adalah salafiyah. Seperti halnya Islam adalah Islam, sekalipun pengacaunya berusaha mengaburkannya.
Ketiga. Sesungguhnya, ketika Usamah bin Zaid terjerumus ke dalam apa yang dialaminya, ia tidak memiliki pengetahuan tentang hukum yang dilakukannya sebelum itu. Ia juga tidak mempunyai contoh kasus serupa yang dapat diambil qiyasnya. Karena itu, ia harus berijtihad, ia harus menentukan salah satu di antara dua pilihan; membunuh orang tersebut atau membiarkannya.
Kesempatan yang dimiliki Usamah amat terbatas, apalagi ia berada dalam suatu pertempuran. Ia berhadapan dengan seorang petempur musyrik yang pemberani dan kuat. Tidak ada yang mampu menghadapinya, kecuali Usamah. Tetapi, semua alasan di atas tidak dapat menolong dirinya di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, hingga beliau n menegurnya sedemikian rupa.
Oleh sebab itu, renungkanlah! Hendaknya persoalan ini tanpa dipengaruhi oleh hawa nafsu dan senantiasa berselimut pakaian taqwa. –semoga Allah senantiasa memberikan rahmat.
Perlu diketahui pula bahwa perlakuan tersebut, yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, merupakan sunnah beliau dalam persoalan darah seseorang. Beliau tidak pernah memandang remeh sama sekali.
Kasus senada ialah sebagaimana yang dikisahkan oleh Jabir Radhiyallahu 'anhu. Dia berkata: Kami keluar dalam suatu safar. Saat itu ada batu menimpa salah seorang di antara kami hingga melukai kepalanya. Orang ini kemudian bermimpi (maksudnya, junub dalam mimpinya). Diapun bertanya kepada sahabat-sahabatnya,”Apakah kalian mengetahui ada rukhshah (keringanan hukum) dengan bertayammum (dalam masalah ini)?” Mereka menjawab,”Kami tidak mendapatkan rukhshah untukmu dalam masalah ini.”
Akhirnya orang ini mandi junub, lalu mati.
Ketika kami sampai di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, aku ceritakan masalah itu. Beliau lalu bersabda (menegur),
Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka. Tidakkah mereka bertanya ketika tidak mengetahui? Sesungguhnya obat kebodohan hanyalah bertanya. [HR Abu Dawud 336; Ad Daraquthni, 69; dan lain-lainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalan Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, no. 4362]
Renungkanlah kemurkaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkenaan dengan kasus nyawa satu orang mukmin (di atas). Lalu bagaimana dengan orang yang menghabisi banyak nyawa tentara dan polisi muslim ketika sedang dalam keadaan aman di markas-markas mereka? Bagaimana dengan orang yang mengayunkan pedang dan kampak hingga melenyapkan nyawa-nyawa kaum muslimin ketika mereka tengah melaksanakan shalat tarawih pada bulan Ramadhan?
Sebenarnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (juga) telah mendo’akan jelek dengan doa yang keras itu terhadap orang-orang yang menurut persangkaan mereka adalah para mujahidin yang berijtihad. Sungguh layak do’a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini terkena pada mereka kalaulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bersabda:
Ya Allah, sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, aku marah sebagaimana manusia marah. Maka orang muslim manapun yang aku maki, atau aku laknat, atau aku dera, hendaknya Engkau jadikanlah hal itu untuknya sebagai shalat, zakat dan taqarrub yang dapat mendekatkan dirinya kepadaMu pada hari kiamat. Dan jadikanlah pula hal itu sebagai penghapus dosanya hingga hari kiamat. Dalam riwayat lain disebutkan: Seorang manusia manapun yang aku do’akan jelek di antara umatku dengan suatu do’a jelek, padahal ia bukan orang yang berhak mendapatkan do’a jelek itu…Al hadits. [HR Bukhari, 6361 dan Muslim, 2600-2603]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Sesungguhnya mereka telah melakukan kesalahan yang bukan ijtihad. Sebab mereka bukan Ahli Ilmu (orang yang menguasai ilmu agama [Majmu’ Fatawa 20/254].
Semoga Alloh ta'ala memberi petunjuk pada mereka dan kita, serta menjadikan negeri kita negeri yang aman sentosa………………..
Éb>u ö@yèô_$# #x»yd t$s#t6ø9$# $YYÏB#uä ÓÍ_ö7ãYô_$#ur ¢ÓÍ_t/ur br& yç7÷è¯R tP$oYô¹F{$#
Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
÷bÎ) ßÍé& wÎ) yx»n=ô¹M}$# $tB àM÷èsÜtGó$# 4 $tBur þÅ+Ïùöqs? wÎ) «!$$Î/ 4 Ïmøn=tã àMù=©.uqs? Ïmøs9Î)ur Ü=ÏRé& ÇÑÑÈ
aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.