Blogger templates

APAKAH JIN ADALAH KETURUNAN IBLIS?

R AG A M    F A T W  A

APAKAH JIN ADALAH KETURUNAN IBLIS?

pertanyaan: Apakah Jin adalah keturunan Iblis?!

jawaban Syaikh Yahya al Hajuri -Hafizhahullah-: ya, mereka dari keturunan Iblis.. Allah berfirman:


أَفَتَتَّخِذُونَهُۥ وَذُرِّيَّتَهُۥٓ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِى وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّۢ ۚ بِئْسَ لِلظَّٰلِمِينَ بَدَلًۭا
Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zhalim. (QS. Al Kahfi : 50)

yang menguatkan hal itu diantaranya adalah, hadits Salman al Farisiy yang diriwayatkan imam Muslim bahwa Rasulullah bersabda: janganlah kamu menjadi orang yang pertama kali masuk pasar dan janganlah kamu menjadi orang yang terakhir kali keluar darinya, karena pasar adalah sasaran dan tempat setan menancapkan benderanya.

ini menunjukkan setan berketurunan, dan keturunan setan adalah semisalnya. akan tetapi tidak semua Jin adalah keturunan Iblis, Allah berfirman:

وَٱلْجَآنَّ خَلَقْنَٰهُ مِن قَبْلُ مِن نَّارِ ٱلسَّمُومِ
Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. (QS. Al Hijr: 27)

(Kanzuts Tsamin fil Ijabati 'an As ilati Thalabil 'Ilmi waz Zaairin 1/301)

Seputar Fitnah Syaikh Muhammad Al-Imam


Seputar Fitnah Syaikh Muhammad Al-Imam(1)



Memahami fitnah Al-Imam yang tekait Syiah Hutsi agak pelik memang, karena terdapat dua kubu dalam menta’dil dan menjarhnya, yang menta’dilnya adalah 7 ulama Yaman dan para pendukungnya sementara yang menjarhnya adalah Syaikh Ubaid, Syaikh Rabi dan para pendukungnya.
Menyatakan satu keyakinan dengan Syiah Hutsi yang terbukti Rafidhoh tentu saya kira adalah sebuah kekeliruan yang sangat fatal, bahkan seorang awam salafy pun tahu akan hal tersebut. Kalaulah memang demikian adanya, bagaimana bisa Syiah Hutsi melakukan pembantaian besar-benaran terhadap salafiyyun Dammaj kalau memang mereka satu keyakinan dengan Syiah Hutsi.
Namun, anehnya terjadi anomali/ta’arud di sini, 7 ulama Yaman malah membela Al-Imam dan “mendiamkan” perjanjiannya dengan Rafidhoh, seakan-akan mereka ingin mengatakan bahwa Al-Imam terpaksa melakukan hal tersebut, karena toh hingga hari ini tidak ada dari 7 ulama Yaman tersebut yang menyatakan hal yang sama dengan Al-Imam terhadap perjanjiannya dengan Syiah Hutsi.
Sebenarnya, apa yang dilakukan ulama Yaman ini tidaklah mengherankan kami, sebab dulu mereka pernah melakukannya terhadap Abdurrahman dan Abdullah Al-Mar’i. Mereka membela buta fitnah hizbiyah dua orang ini persis seperti mereka membela buta Al-Imam hari ini. Saya kira ini pulalah alasannya kenapa Syaikh Muqbil tidak memilih satu dari mereka semua dan malah memilih Syaikh Yahya sebagai penggantinya, karena Syaikh Muqbil menginginkan dakwah salafiyah dipimpin oleh pribadi yang kuat dan tegas terhadap Hizbiyah dan Ahlul Bidah dan tidak gentar terhadap ucapan siapapun dan tak pernah takut meski Kibar Ulama menjadi lawannya, karena tidak ada yang lebih besar daripada Kebenaran itu sendiri.
Yaman saat ini tidaklah sama dengan Yaman sekitar 5-10 tahun yang lalu, krisis kekuasaan di Timur Tengah mulai dari Iraq, Libya, Syiria, Mesir, dll ibarat rumput berapi yang menjalar kemana-mana, hampir setiap kelompok bersenjata di setiap negara konflik berlomba-lomba meraih kekuasaan, tak terkecuali kudeta yang dilakukan Syiah Hutsi terhadap pemerintahan Yaman saat ini.
Seadainya konflik Syiah Hutsi murni konflik politik dan kekuasaan maka benarlah Al-Imam yang mengatakan bahwa perang yang ada saat ini tidak lebih dari tipu daya, yakni memanfaatkan anasir agama demi kepentingan politik dan kekuasaan dan Al-Imam tidak ingin banyak yang mati konyol karena kepentingan politik yang dibungkus agama. Namun seadainya konflik Syiah Hutsi adalah konflik agama maka apa yang diucapkan dan dilakukan oleh Al-Imam terhadap Syiah Hutsi tentu tidak dapat dibenarkan, karena Dammaj adalah bukti nyata dari permusuhan Syiah Hutsi terhadap Salafiyyun.
Kira-kira dua sudut pandang ini manakah yang mendekati kebenaran? wallahu a'lam
-----------------------------------------------

NUKILAN RISALAH BERHARGA



AQIDAH

NUKILAN RISALAH BERHARGA[1]
Imam Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ibnu Su’ud[2]

            Kami berkeyakinan bahwa tiada hak bagi selain Allah untuk dijadikan pelindung dan penolong. Seluruh syafaat hanya bisa diberikan oleh penghulu dan manusia mulia yaitu Muhammad –shalallahu ‘alaihi wa sallam- (atas izin Allah), adapun selain beliau maka mereka tidak dapat memberikan syafaat kepada seorang pun kecuali atas izin Allah. Allah berfirman:
مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ
Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. (QS. Al Baqarah : 255)
أَفَحَسِبَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَن يَتَّخِذُوا۟ عِبَادِى مِن دُونِىٓ أَوْلِيَآءَ
Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku?. (QS. Al Kahfi : 102)
وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ٱرْتَضَىٰ وَهُم مِّنْ خَشْيَتِهِۦ مُشْفِقُونَ
dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.(QS. Al Anbiya’ : 28)
قُل لِّلَّهِ ٱلشَّفَٰعَةُ جَمِيعًۭا
Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. (QS. Az Zumar: 44)
وَكَم مِّن مَّلَكٍۢ فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ لَا تُغْنِى شَفَٰعَتُهُمْ شَيْـًٔا
Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna. (QS. An Najm: 26)
            Jika demikian, maka hakikatnya seluruh syafaat hanya milik Allah. Janganlah engkau di dunia ini meminta kecuali kepada-Nya –subhanahu wa ta’ala-. Oleh karena itu seluruh para Nabi dan wali – wali Allah tidak menjadikan perantara – perantara antara Allah dan makhluk-Nya untuk mendatangkan kebaikan atau menolak bahaya, dan Allah tidak akan menjadikan bagi para Nabi dan Wali- walinya sesuatu yang dapat menciderai hak-Nya. Karena hak-Nya Allah –ta’ala – tidak seperti hak mereka.
            Hak  Allah yaitu mengibadahi-Nya dengan segala macam ibadah yang telah Dia syariatkan dalam kitab-Nya dan melalui Lisan Rasul-Nya. Adapun hak para Nabi –‘alaihimus salam- adalah iman kepada mereka, beriman dengan apa yang telah datang pada mereka, mencintai mereka, memuliakan mereka, mengikuti cahaya(ajaran) yang diturunkan beserta mereka, dan mendahulukan cinta kepada mereka atas diri, harta, anak – anak dan manusia seluruhnya.
            Bukti  kebenaran yang demikian itu adalah dengan (kita) mengikuti petunjuk mereka, dan mengimani semua yang datang pada mereka adalah murni dari Rabb mereka, Allah berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu. (QS. Ali Imran: 31)
            Serta mengimani mu’jizat – mu’jizat mereka, meyakini bahwa mereka telah menyampaikan risalah Rabb mereka dan menunaikan amanah serta menasehati manusia. Meyakini pula bahwa Muhammad adalah penutup para nabi dan manusia yang paling mulia diantara mereka, meyakini kebenaran syafaat mereka seelah mendapat izin Allah, sebagaimana yang telah Allah teteapkan dalam kitab-Nya diperuntukkan kepada orang yang diridlaiNya dari Ahlut Tauhid. Adapun kedudukan tertinggi yang telah disebutkan Allah dalam kitabNya teruntuk Nabi Muhammad –shalallahu ‘alaihi wa sallam- (harus pula diyakini).
            Demikian pula hak wal-waliNya (yang harus kita  lakukan adalah) mencintai mereka, ridla kepada mereka, mengimani karamah mereka. Bagi orang yang menginginkan kebaikan atau menolak bahaya, Tidak boleh meminta kepada mereka. Karena mereka tidak mampu untuk melakukan itu, dan lagi pula yang demikian itu adalah hak khusus untuk Allah –Jallahu wa ta’ala-.
            Jika suatu wilayah telah tampak menampakkan sunnah dan menjalankan ketaqwaan atas segala hal, maka aku berhenti berbicara mengenai hal ini kepada orang lain. Jika belum nampak, meka menunjukkan bahwa pemimpin zaman ini termasuk orang yang menghilangkan kemuliaan dirinya sendiri, dan membutakan mata hatinnya, isbal pakaiannya dan menggenggam tangannya untuk menerima dakwah, memakan harta hamba Allah dengan cara yang zhalim dan takut kepada sunnah Nabi Muhammad dan hukum- hukum Syariatnya.
            Adapun aku, mengajak kalian beramal dengan al Qur’an dan beribadah kepada Allah yang mana hal ini telah cukup bagi orang yang mau mengambil pelajaran dengan ilmunya melalui akal dan fikiran. Sesungguhnya itu adalah hujjah, janji dan ancaman Allah yang telah dibebankan kepada kita. Maka barangsiapa yang menjalankan amalan dengan apa yang ia dapati dari nenek moyang mereka yang menyelisinya dan mengikuti hawa nafsunya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.
            Tauhid tidak ada ruang untuk berijtihad, tidak pula taqlid dan tidak boleh menentang. Dan kami tidak mengkafirkan kecuali terhadap orang yang mengingkari perkara ini dan menghalang- halangi kami, tidak pula dia bertauhid sesuai dengan apa yang diturunkan Allah, bahkan dia mengerjakan kebalikannya yaitu syirik akbar dan  menjadikannya sebagai agama bahkan menjadikannya sebagai perantara dengan disertai rasa ‘inad dan baghyu (melampaui batas), melindungi ahlusy syirik atas kami, tidak pula mengerjakan rukun – rukun islam, menghalang – halangi manusia menerima dakwah kami, menyuruh memerangi kami, menginginkan kami berpaling dari agama Allah kepada syirik, menyuruh berbuat yang Allah tidak ridlai. Akan tetapi Allah akan menyempurnakan agamanya meskipun orang musyrik benci.



[1] Dinukil dari “ Risalah Muhimmah Imam Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ibnu Su’ud”
[2] Raja saudi arabiya pada tahun 1765-1803M/1179-1218H

JANGAN MENUNDA AMAL


BAHTERA KEHIDUPAN

Saudaraku, sampai kapan kita akan menunda amal, larut dalam angan-angan kosong, terlena dengan kelapangan, dan lalai dari ajal?!!
نَحْنُ قَدَّرْنَا بَيْنَكُمُ ٱلْمَوْتَ وَمَا نَحْنُ بِمَسْبُوقِينَ
Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-kali, tidak dapat dikalahkan, (QS. Al Waqi’ah : 60)
أَيْنَمَا تَكُونُوا۟ يُدْرِككُّمُ ٱلْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِى بُرُوجٍۢ مُّشَيَّدَةٍ
ۢDi mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, (QS. An Nisa’: 78)
Ingatkah kita, bahwa apa yang kita lahirkan akan kembali ke tanah, apa yang kita bangun akan runtuh dan apa yang kita kumpulkan akan musnah.
ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌۭ وَلَهْوٌۭ وَزِينَةٌۭ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌۭ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَٰدِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ ٱلْكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصْفَرًّۭا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمًۭا ۖ وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابٌۭ شَدِيدٌۭ وَمَغْفِرَةٌۭ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنٌۭ ۚ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al Hadid: 20)
Sampai kapan kita akan berada dalam kejahatan dan enggan mendekatkan diri pada ar Rahman?
akan kah kita mencari sesuatu yang tidak akan kita capai dari dumia ini dan menjaga kita dari adzab akhirat?
Wahai Saudaraku, semoga kita tidak termasuk orang yang tidak mengambil ibrah atas kejadian yang telah Allah takdirkan.
Semoga berbagai kejadian itu justru menyadarkan kita, perputaran waktu kita penuhi dengan ibadah dan ketaan. Amin ya Mujibas Sailin

ARTI DAN PEMBAGIAN HUKUM SYAR’I


U S H U L   F I Q H

ARTI DAN PEMBAGIAN HUKUM SYAR’I

PENGERTIAN HUKUM SYAR’I
            Hukum, menurut bahasa adalah ketetapan. Sedangkan menurut istilah adalah Khithab (ketetapan) Allah atau sabda Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- yang berhubungan dengan perbuatan Mukallaf baik itu mengandung perintah, larangan, pilihan atau ketetapan.
PEMBAGIAN HUKUM
            Hukum Syar’I terbagi menjadi dua bagian yaitu: Taklifiyyah ddan wadl’iyyah.
-          Hukum Taklifiyyah ada lima macam:
I.                    Wajib, menurut bahasa artinya jatuh dan tidak dapat dihindari. Sedangkan menurut istilah adalah suatu yang diperintahkan Syariat untuk dikerjakan, Seperti shalat lima waktu. Allah berfirman:
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ
Dan dirikanlah salat…. (QS. Al Baqarah: 43)
Wajib itu bila dikerjakan pelakunya mendapat pahala dan bila ditinggalkan pelakunya mendapat dosa.
II.                  Mandub, menurut bahasa artinya menganjurkan. Sedangkan menurut istilah adalah suatu yang diperintahkan oleh syariat yang tidak wajib dikerjakan, Seperti shalat rawatib.
Mandub itu bila dikerjakan pelakunya mendapat pahala dan bila ditinggalkan pelakunya tidak mendapat dosa.
Mandub disebut pula sunnah, mustahab dan Nafilah.
III.                Haram, menurut bahasa artinya dilarang. Sedangkan menurut istilah adalah suatu yang dilarang oleh syar’I yang harus ditinggalkan, seperti durhaka kepada orang tua.
Haram itu bila dikerjakan pelakunya mendapat dosa dan bila ditinggalkan pelakunya mendapat pahala.
haram disebut pula Mahzhur dan Mamnu’.
IV.                Makhruh, menurut bahasa artinya suatu yang amat dibenci. Sedangkan menurut istilah adalah suatu yang dilarang oleh syariat tetapi tidak harus ditinggalkan, seperti mengambil dengan tangan kiri.
Makruh itu bila ditinggalkan mendapat pahala dan bila dikerjakan tidak berdosa.
V.                  Mubah, menurut istilah adalah yang diizinkan. Sedangkan menurut istilah adalah suatu yang tidak terikat dengan perintah ataupun larangan, seperti makan di malam hari pada bulan ramadhan.
Mubah disebut pula Halalan dan Jaiz.

Doa ketika orang lain berziarah ke rumah kita


Riyadlul Jannah, min Adzkaril Qur’ani was Sunnah

Doa ketika orang lain berziarah ke rumah kita

رَّبِّ ٱغْفِرْ لِى وَلِوَٰلِدَىَّ وَلِمَن دَخَلَ بَيْتِىَ مُؤْمِنًۭا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَلَا تَزِدِ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا تَبَارًۢا
Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang lalim itu selain kebinasaan". (QS. Nuuh : 28)
Ibnu Katsir berkata: oleh karena itu, dianjurkan mendoakan (saudara muslim dan muslimat yang lain) dengan doa semisal ini sebagai wujud mentauladani Nabi Nuh –‘alaihis salam-, dan apa yang telah datang berupa atar-atsar salaf dan doa-doa yang mashur lagi syar’i. (Tafsir Ibnu Katsir, surah Nuuh ayat 28 al Maktabah Asy Syamilah)