Blogger templates

AKIBAT DARI KESYIRIKAN

AKIBAT DARI KESYIRIKAN

Oleh: al Ustadz Abu Abdir Rahman Nurul Yaqin, Lc –hafidzahullah-
Catatan Kaki: Abu Idris As Salafiy

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An Nisa’: 48)[1]
Pelajaran dari ayat diatas:
1.      Allah menghabarkan bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa Syirik.
2.      Syirik adalah dosa besar dan kezhaliman yang besar, Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌۭ
Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar". (QS. Luqman: 13)
3.      Haram Masuk surga, Allah berfiman:
إِنَّهُۥ مَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ ٱلْجَنَّةَ وَمَأْوَىٰهُ ٱلنَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنْ أَنصَارٍۢ
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun. (QS. Al Maidah: 72)
4.      Batal semua amalannya dan termasuk orang yang merugi, Allah berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Az Zumar: 65)

Apa itu Syirik?
            Para ulama’ menjelaskan bahwa syirik adalah menjadikan untuk Allah suatu tandingan dalam berdoa, kecintaan, keinginan, ketaatan dan lainnya.[2]         
-         Syirik dalam doa[3] sebagaimana dalam firmannya:
وَمَن يَدْعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ لَا بُرْهَٰنَ لَهُۥ بِهِۦ فَإِنَّمَا حِسَابُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦٓ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُفْلِحُ ٱلْكَٰفِرُونَ
Dan barang siapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. (QS. Al Mu’minun: 117)
-         Syirik dalam masalah cinta[4], sebagaimana firmanNya:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًۭا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. (QS. Al Baqarah : 165)[5]
-         Syirik Niat atau keinginan[6], sebagaimana FirmanNya:
مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَٰلَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ.أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا۟ فِيهَا وَبَٰطِلٌۭ مَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Huud: 15-16)
-         Syirik dalam masalah ketaatan[7], sebagaimana dalam firmanNya:
ٱتَّخَذُوٓا۟ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَٰنَهُمْ أَرْبَابًۭا مِّن دُونِ ٱللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. At Taubah : 31)



[1] Terjemah perkata:
إِنَّ ٱللَّهَ: sesungguhnya Allah
لَا يَغْفِرُ: Dia tidak akan mengampuni
أَن يُشْرَكَ:  Dia dipersekutukan
بِهِۦ: dengan Dia
وَيَغْفِرُ: dan mengampuni
مَا دُونَ ذَٰلِكَ: dosa selain syirik
لِمَن يَشَآءُ ۚ: bagi siapa saja yang Dia kehendaki
وَمَن يُشْرِكْ: dan barang siapa berbuat syirik
بِٱللَّهِ: terhadap Allah
فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ: sungguh dia telah berbuat
إِثْمًا عَظِيمًا: dosa besar
Tafsir ayat secara umum
Berkata Syaikh As Sa’di: Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidak akan mengampuni bagi siapapun yang menyekutukanNya dan mengampuni selain dosa syirik, baik dari dosa kecil dan besar. Tentunya yang demikian itu berdasarkan kehendaknya untuk mengampuni dosa tersebut. (Taisir Karimir Rahman hlm 162)

[2] Syirik terbagi menjadi dua yaitu syirik besar dan kecil, adapun yang disebutkan oleh penulis adalah syirik besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari islam. Syirik kecil sendiri terbagi menjadi dua yaitu syirik nyata dan yang samar, contoh syirik kecil yang nyata adalah bersumpah selain nama Allah, memakai jimat-jimat sebagai sarana menolak bahaya atau mendatangkan manfaat dengan catatan hal itu sebagai sebab, adapun jika meyakininya maka masuk dalam syirik besar. Sedangkan syirik kecil yang tersembunyi adalah melakukan ibaddah karena riya’ atau sum’ah. (mengambil Faidah dari kitab Tauhid,Syaikh Shalih al Fauzan)
[3] Yakni berdoa kepada selain Allah untuk menunaikan hajatnya, seperti berdoa kepada kepada para wali atau kuburannya agar menunaikan hajatnya.
Berkata Imam Ibnul Qayyim: diantara bentuk kesyirikan adalah meminta kepada orang yang telah mati agar terpenuhi hajatnya, beristighatsah kepada mereka, dan menghadap dengan penuh harapan kepada mereka. Ini adalah awal kali kesyirikan dalam dunia. Padahal mayyit telah terputus amalanya, dia tidak bisa mendatangkan manfaat dan bahaya atas dirinya. (Fathhul Majid hlm 202)
[4] Yakni menyamakan Allah dalam hal kecintaan kepada selainNya.
[5]  Berkata Ibnul Qayyim: Allah menghabarkan bahwa siapa yang cinta kepada selain Allah sebagaimana dia mencintai Allah maka dia termasuk orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan. (Madarijus Salikin baina Manazil iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in)
[6] Yakni seorang menujukan ibadahnya kepada selain Allah.
Berkata Syaikh Abdur Rahman bin Hasan  alu Syaaikh: sesungguhnya ibadah yang ditujukan untuk dunia merupakan kesyirkan yang menghilangkan tauhid, menghapus pahala amal. Karena dia merupakan riya’ yang paling besar. (Fathul Majid hlm 451)
[7] Yakni taat dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan sebaliknya. (Majmu’ Fatawa 7/70)
Berkata Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab: siapa yang mentaati Ulama’ atau pemimpin dalam mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, atau menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah, maka dia telah membuat tandingan selain Allah. (Kitabut Tauhid)
-wallahu a’lam wal’Ilmu ‘Indallah-

TELA’AH KRITIS TERHADAP ISIS

KAJIAN UTAMA

TELA’AH KRITIS TERHADAP ISIS
Oleh: Syaikh Abdul Muhsin bin Hammad al Badr[1]

              Telah muncul di Iraq dalam waktu yang belum lama sebuah firqah/ kelompok yang menamakan dirinya “Daulah Islamiyyah Iraq dan Syam” disingkat dengan “Da’Isy”[2] yang diambil dari huruf-huruf awal nama daulah khayalan tersebut.ebagaimana dikatakan oleh sebagian pengamat yang mengikuti perkembangan mereka, munculnya daulah khayalan ini diikuti dengan munculnya sejumlah nama: Abu Fulan Al Fulani atau Abu Fulan bin Fulan, yaitu berupa kun-yah yang disertai penisbatan kepada suatu negeri atau kabilah. Inilah kebiasaan orang-orang majhul (orang yang tidak jelas) yang bersembunyi di balik kun-yah dan penisbatan.
Kemudian setelah beberapa waktu terjadinya peperangan di Suriah antara pemerintah dan para penentangnya, masuklah sekelompok orang dari ISIS ini ke Suriah. Bukan untuk membantu memerangi pemerintah Suriah, namun malah memerangi Ahlus Sunnah yang berjuang melawan pemerintah Suriah dan membantai Ahlus Sunnah. Dan sudah masyhur bahwa cara mereka membunuhi orang-orang yang ingin mereka bunuh seenaknya yaitu dengan menggunakan golok-golok yang merupakan cara terburuk dan tersadis.
Dalam permulaan ramadhan tahun ini dia mengganti nama firqahnya dengan nama “Khilafah Islamiyyah” (IS). Khalifahnya yang disebut dengan Abu Bakar Al Baghdadi berkhutbah di sebuah masjid jami’ di Mosul. Diantara yang ia katakan dalam khutbahnya: “Aku dijadikan pemimpin bagi kalian padahal aku bukan orang yang terbaik di antara kalian”. Sungguh ia telah berkata benar, bahwa ia bukanlah orang yang terbaik di antara mereka, karena ia telah membunuhi orang seenaknya dengan golok-golok. Apabila pembunuhan tersebut atas perintahnya, atau ia mengetahuinya atau ia menyetujuinya, maka justru ia adalah orang yang terburuk di antara mereka. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
            Sungguh benar bahwa dia sama sekali tidak mendapat kebaikan mereka, karena membunuh orang yang dibunuhnya melalui perintah, ilmu atau ikrarnya dengan senjata – senjata adalah merupakan kejahatan mereka. Sebagaimana Sabdanya Nabi-Shalallahu ‘alaihi wa sallam-:
“Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala sepadan pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa sepadan pahala orang yang berbuat dosa yang mengikutinya. Yang demikian itu tidak dikurangi sedikitpun dari dosa mereka ” (HR. Muslim no 6804)
            Kalimat yang ia katakan tersebut dalam khutbahnya, sebenarnya adalah kalimat yang telah dikatakan oleh khalifah pertama umat Islam setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu’anhu wa ardhaah. Namun beliau adalah orang yang terbaik dari umat ini, dan umat ini adalah umat yang terbaik dari umat-umat yang ada. Beliau berkata demikian dalam rangka tawadhu’ (rendah hati) padahal beliau sendiri tahu dan para sahabat juga tahu bahwa beliau adalah orang yang terbaik di antara mereka berdasarkan dalil-dalil berupa ucapan Rasulullahshallallahu’alaihi wasallam mengenai hal tersebut. Maka sebaiknya firqah ini (ISIS) sadar diri dan kembali kepada jalan petunjuk sebelum daulah mereka hilang dihembus angin sebagaimana daulah-daulah yang telah ada semisalnya di berbagai zaman.
            Hal yang menyedihkan lagi dari fitnah khilafah yang tercela ini, belum lama aku jumpai munculnya di sebagian pemuda – pemuda di haramain yang menampakkan kegembiraan dan berbaiat pada khalifah yang majhul ! lantas, bagaimana mungkin dia (Abu Bakar al Baghdadi) menjadi pintu gerbang kebaikan dari orang yang suka mengkafirkan dan pembantaian yang keji !? maka wajib atas para pemuda tersebut agar membimbing diri mereka supaya menahan dari seruan orang yang jahat. Dan hendaknya kembali kepada apa yang telah datang dari Allah –azza Wa Jalla- dan Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-, karena yang demikian itu merupakan keselamatan dan kesuksesan di dunia dan akhirat. Serta hendaknya kembali kepada Ulama’ pemberi nasehat kepada mereka dan kaum muslimin secara umum.
           Diantara contoh keselamatan dari kesesatan karena ruju’ kepada para ulama adalah sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya (191) dari Yazid Al Faqir, ia berkata:
كنتُ قد شَغَفَنِي رأيٌ من رأي الخوارج، فخرجنا في عِصابةٍ ذوي عدد نريد أن نحجَّ، ثمَّ نخرجَ على الناس، قال: فمررنا على المدينة فإذا جابر بن عبد الله يُحدِّث القومَ ـ جالسٌ إلى ساريةٍ ـ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: فإذا هو قد ذكر الجهنَّميِّين، قال: فقلتُ له: يا صاحبَ رسول الله! ما هذا الذي تُحدِّثون؟ والله يقول: {إِنَّكَ مَن تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ}، و {كُلَّمَا أَرَادُوا أَن يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا}، فما هذا الذي تقولون؟ قال: فقال: أتقرأُ القرآنَ؟ قلتُ: نعم! قال: فهل سمعت بمقام محمد عليه السلام، يعني الذي يبعثه فيه؟ قلتُ: نعم! قال: فإنَّه مقام محمد صلى الله عليه وسلم المحمود الذي يُخرج اللهُ به مَن يُخرج. قال: ثمَّ نعتَ وضعَ الصِّراط ومرَّ الناس عليه، قال: وأخاف أن لا أكون أحفظ ذاك. قال: غير أنَّه قد زعم أنَّ قوماً يَخرجون من النار بعد أن يكونوا فيها، قال: يعني فيخرجون كأنَّهم عيدان السماسم، قال: فيدخلون نهراً من أنهار الجنَّة فيغتسلون فيه، فيخرجون كأنَّهم القراطيس. فرجعنا، قلنا: وَيْحَكم! أَتَروْنَ الشيخَ يَكذِبُ على رسول الله صلى الله عليه وسلم؟! فرجعنا، فلا ـ والله! ـ ما خرج منَّا غيرُ رَجل واحد، أو كما قال أبو نعيم
Dulu aku pernah terpengaruh dan begitu menyukai suatu pemikiran dari pemikiran Khawarij, lalu kami keluar bersama sekelompok orang banyak untuk berhaji. Kami pun keluar bersama orang-orang. Kemudian tatkala kami melewati Madinah, kami mendapati Jabir bin ‘Abdillah tengah duduk di tengah para musafir untuk mengajarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Beliau menyebutkan tentang Al Jahannamiyun (orang-orang yang dikeluarkan dari neraka). Aku pun berkata kepada Jabir bin ‘Abdillah, ‘Wahai shahabat Rasulullah, apa yang sedang kau katakan ini? Bukankah Allah berfirman (yang artinya): Wahai Rabb kami, sesungguhnya siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan dia” (QS. Ali ‘Imran: 192). Allah juga berfirman (yang artinya): “Setiap kali mereka (para penghuni neraka) hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya” (QS. As-Sajdah: 20). Lalu apa yang kalian katakan ini?”. Maka Jabir bin ‘Abdillah pun berkata, “Apakah kau membaca Al Quran?”. Aku menjawab, “Ya”. Jabir berkata, “Lantas apakah kau mendengar tentang kedudukan Muhammad ‘alaihis salam? Yakni kedudukan yang beliau diutus kepadanya?”. Aku menjawab, “Ya”. Jabir “Maka sesungguhnya itulah kedudukan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang terpuji, yang dengan sebabnya lah Allah mengeluarkan orang yang dikeluarkan dari neraka”. Kemudian Jabir menjelaskan tentang letak shirath dan bagaimana manusia melintasinya. Aku khawatir tidak menghafalnya semua penjelasannya. Hanya saja Jabir mengatakan bahwa ada orang-orang yang dikeluarkan dari neraka setelah mereka berada di dalamnya, dia mengatakan, “Lalu mereka dikeluarkan (dari neraka) seakan-akan mereka itu potongan kayu dan biji-bijian kering yang telah dijemur, lalu mereka dimasukkan ke sebuah sungai dari sungai-sungai surga dan mereka mereka dicuci di situ, lalu dikeluarkan lagi seakan-akan mereka itu kertas yang putih”. Lalu kami pun ruju’, kami mengatakan kepada sesama kami, “Celakalah kalian! Apakah kalian pikir Syaikh (yaitu Jabir bin ‘Abdillah) telah berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Dan kami pun ruju’, dan demi Allah, tidaklah ada yang keluar dari kelompok kami kecuali seorang lelaki saja. Atau kira-kira demikian yang dikatakan oleh Abu Nu’aim” (HR. Muslim)
Abu Nu’aim di sini adalah Al Fadhl bin Dukain, ia adalah salah seorang perawi hadits ini. Hadits ini menunjukkan bahwa kelompok yang disebutkan di dalamnya telah mengagumi pemikiran Khawarij, yaitu mengkafirkan pelaku dosa besar dan meyakini mereka kekal di neraka. Namun dengan bertemunya mereka dengan Jabir radhiyallahu’anhu dan dengan penjelasan beliau, akhirnya mereka kemudian mengikuti bimbingan Jabir kepada mereka lalu meninggalkan kebatilan yang mereka pahami. Mereka juga tidak jadi melancarkan pemberontakan yang sudah mereka rencanakan akan dilakukan setelah haji. Inilah faidah terbesar yang akan didapatkan oleh seorang Muslim jika ia ruju’ kepada ulama.
Bahaya ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama dan menyimpang dari kebenaran serta menyelisihi pendapat ahlussunnah wal jama’ah juga ditunjukkan oleh sabda Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam berikut ini, dari hadits Hudzaifah radhiyallahu’anhu,
إنَّ أخوفَ ما أخاف عليكم رجل قرأ القرآن، حتى إذا رُئيت بهجته عليه وكان ردءاً للإسلام، انسلخ منه ونبذه وراء ظهره، وسعى على جاره بالسيف ورماه بالشرك، قلت: يا نبيَّ الله! أيُّهما أولى بالشرك: الرامي أو المرمي؟ قال: بل الرامي
Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah orang yang membaca Al-Qur’an, yaitu ketika telah terlihat cahaya dalam dirinya dan menjadi benteng bagi Islam, ia pun berlepas diri dari Al Qur’an dan membuangnya di belakang punggungnya. Lalu ia berusaha memerangi tetangganya dengan pedang dan ia menuduh tetangganya itu telah syirik. Aku (Hudzaifah) berkata: ‘Wahai Nabi Allah, (dalam keadaan ini) siapakah yang berbuat syirik, apakah yang menuduh atau yang tertuduh?’. Beliau bersabda: ‘yang menuduh’” (HR. Al-Bukhari dalam At-Tarikh, Abu Ya’la, Ibnu Hibban dan Al-Bazzar, lihat Silsilah Ash Shahihah karya Al-Albani no. 3201).
Masih belianya usia, merupakan sumber buruknya pemahaman. Ini ditunjukkan oleh hadits yang di riwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya (4495) dengan sanadnya dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya bahwa ia berkata:
قلت لعائشة زوج النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم وأنا يومئذ حديث السنِّ: أرأيتِ قول الله تبارك وتعالى: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا} ، فما أرى على أحد شيئاً أن لا يطوَّف بهما، فقالت عائشة: كلاَّ! لو كانت كما تقول كانت: فلا جناح عليه أن لا يطوَّف بهما، إنَّما أنزلت هذه الآية في الأنصار، كانوا يُهلُّون لِمناة، وكانت مناة حذو قديد، وكانوا يتحرَّجون أن يطوَّفوا بين الصفا والمروة، فلمَّا جاء الإسلام سألوا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك، فأنزل الله  {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا
Aku berkata kepada Aisyah istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan aku ketika itu masih berumur muda: Apa pendapatmu tentang firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah termasuk syi’ar-syi’ar Allah, maka barangsiapa yang melakukan haji ke Ka’bah atau Umrah, maka tidak ada dosa baginya untuk thawaf pada keduanya”. Maka aku berpendapat bahwa tidak mengapa seseorang tidak melakukan thawaf antara Shafa dan Marwah?. Aisyah berkata: Tidak, andaikan seperti yang engkau katakan maka ayatnya akan berbunyi, “Maka tidak ada dosa baginya untuk ‘tidak’ thawaf pada keduanya”. Hanyalah ayat ini turun ada sebabnya, yaitu tentang kaum Anshar, dulu mereka berihram untuk Manat, dan Manat terletak di Qudaid. Dahulu mereka merasa berdosa untuk melakukan thawaf antara Shafa dan Marwah. Ketika datang Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang itu, lalu Allah menurunkan ayat, “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah termasuk syi’ar-syi’ar Allah, maka barangsiapa yang melakukan haji ke Ka’bah atau Umrah, maka tidak ada dosa baginya untuk thawaf pada keduanya”” (HR. Al Bukhari)
‘Urwah bin Az-Zubair termasuk orang yang utama dari kalangan tabi’in, salah seorang dari 7 fuqoha Madinah di masa tabi’in. Beliau telah menyiapkan ‘udzur-nya pada kesalahan pemahaman beliau, yaitu usia beliau yang masih muda ketika bertanya pada Aisyah. Maka jelaslah dari sini bahwa belianya usia meupakan sumber buruknya pemahaman dan bahwa kembali kepada ulama adalah sumber kebaikan dan keselamatan. Dalam Shahih Al Bukhari (7152) dari Jundab bin Abdillah, ia berkata:
إنَّ أوَّل ما ينتن من الإنسان بطنُه، فمَن استطاع أن لا يأكل إلاَّ طيِّباً فليفعل، ومَن استطاع أن لا يُحال بينه وبين الجنَّة بملء كفٍّ من دم هراقه فليفعل
Sesungguhnya bagian tubuh manusia yang pertama kali membusuk adalah perutnya, maka siapa yang mampu untuk tidak makan kecuali dari yang baik hendaknya ia lakukan. Barangsiapa yang mampu untuk tidak dihalangi antara dirinya dan surga dengan setangkup darah yang ia tumpahkan, hendaknya ia lakukan” (HR. Al Bukhari)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (13/130) : “Diriwayatkan juga secara marfu’ oleh Ath-Thabrani dari jalan Ismail bin Muslim, dari Al Hasan, dari Jundab dengan lafadz: kalian tahu bahwa aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
تعلمون أنِّي سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:  لا يحولنَّ بين أحدكم وبين الجنَّة وهو يراها ملءُ كفِّ دم من مسلم أهراقه بغير حلِّه
‘Janganlah terhalangi sampai salah seorang dari kalian dengan surga karena setangkup darah seorang muslim yang ia tumpahkan tanpa alasan yang benar, padahal ia sudah melihat surga’
Hadits ini walaupun tidak secara tegas marfu’ kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam namun dihukumi marfu’ karena tidak mungkin dikatakan berdasarkan pendapat. Sebab di dalamnya ada ancaman yang keras terhadap dosa membunuh seorang muslim tanpa hak” [selesai perkataan Ibnu Hajar].
Sebagian hadits-hadits dan atsar-atsar ini telah aku sebutkan dalam tulisanku berjudul Biayyi ‘Aqlin wa Diinin Yakuunut Tafjiir wat Tadmiir Jihaadan. Di dalamnya juga terdapat banyak hadits dan atsar yang menjelaskan haramnya bunuh diri dan haramnya membunuh orang lain tanpa hak. Tulisan ini telah dicetak secara tersendiri pada tahun 1424 H, dan dicetak pada tahun 1428 H bersama tulisan lain yang berjudul Badzalun Nush-hi wat Tadzkiir li Baqaayal Maftuuniin bit Takfiir wat Tafjiir yang termasuk dalam Majmu’ Kutub war Rasail milikku (6/225/276).
          Dan kepada para pemuda yang sudah ikut-ikutan mendukung ISIS ini, hendaklah mereka ruju‘ dan kembali kepada jalan yang benar. Dan jangan terfikir sama sekali untuk bergabung bersama mereka, yang akan menyebabkan kalian keluar dari kehidupan ini lewat bom bunuh diri yang mereka pakaikan atau disembelih dengan golok-golok yang sudah jadi ciri khas kelompok ini. Dan (kepada para pemuda Saudi) hendaknya mereka tetap mendengar dan taat kepada pemerintah Arab Saudi yang mereka hidup di bawah kekuasaannya. Demikian pula bapak-bapak dan kakek-kakek juga mereka hidup di negeri ini dalam keadaan aman dan damai. Sungguh negeri ini adalah negeri yang terbaik di dunia ini, dengan segala kekurangannya. Dan diantara sebab kekurangan tersebut fitnah (musibah) para pengikut budaya Barat di negeri ini yang terengah-engah dalam taqlid terhadap negeri Barat dalam perkara yang mengandung mudharat.
Aku memohon kepada Allah ‘Azza Wa Jalla agar Ia senantiasa memperbaiki kondisi kaum muslimin di manapun berada. Dan semoga Allah memberi hidayah kepada para pemuda kaum Muslimin baik laki-laki maupun wanita kepada setiap kebaikan, semoga Allah menjaga negeri Al Haramain baik pemerintah maupun masyarakatnya dari setiap kejelekan, semoga Allah memberi taufiq kepada setiap kebaikan dan melindungi dari kejahatan orang-orang jahat dan tipu daya orang-orang fajir. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه.




[1] Dikutip secara bebas dari risalah beliau yang berjudul “ Fitnah Khilafah ad Da’isyiyyah al ‘Iraqiyyah al Maz’umah ” di http://islamancient.com/play.php?catsmktba=214553
[2] Di indonesia terkenal dengan nama “ISIS”

MEREKA BERTANYA TENTANG TAHDZIR

MEREKA BERTANYA TENTANG TAHDZIR
Oleh: Abu Ukasya Ilham Gorontalo
Catatan kaki: Mujahid As Salafiy

                        Tahdzir berasal dari kata hadzara- yuhadziru- tahdziran yang artinya memperingatkan orang lain dari suatu kemungkaran atau pelakunya agar waspada berhati – hati dan menjauh darinya .
Dilihat  dari definisi diatas maka tahdzir merupakan bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar[1] , tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang – orang yang kurang akalnya. Tahdzir ada dua jenis yaitu tahdzir nau’ dan tahdzir syakhshun. Tahdzir  nau’ adalah berupa menyebutkan kejelekan dari perkara – perkara yang munkar atau yang dilarang oleh syari’at , contohnya menyebutkan kejelekan syirik , bid’ah dan maksiat dan termasuk juga menyebutkan pelakunya secara umum bukan secara peson tertentu , contohnya perkataan Nabi “ Ada hal apa suatu kaum yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada dalam kitabullah “, dan sabda nya tentang tafsir Surat Ali Imron tentang orang – orang yang mentakwil ayat – ayat Allah “ Maka waspadalah kalian dari mereka “[2].
            Contohnya perkataan “barang siapa yang menjadikan orang mati sebagai perantara dalam berdoa, maka dia telah kafir” atau perkataan “Jauhilah orang – orang yang berkeyakinan bahwa Al Qur’an adalah makhluk” dan perkataan – perkataan semisal tanpa mengaitkannya dengan person tertentu.
            Jenis yang ini jika tujuannya untuk menjauhkannya dari kejelekan tersebut, maka menjadi wajib dan itu tidak termasuk ghibah sedikitpun.[3]
            Adapun jenis yang kedua yaitu Tahdzir Syakhshun yakni menyebut kejelekan person tertentu, contoh si fulan melakukan hal ini dan itu, si fulan seperti ini dan itu, si fulan berbuat kesyirikan, si fulan punya pemikiran sesat atau kebid’ahan, atau maksiat dan atau akhlaq yang buruk.
            Jenis yang kedua ini termasuk ghibah, namun jika tujuannya untuk merubah kemungkaran tersebut, maka itu adalah perkara yang diperintahkan sehingga hukumnya menjadi ghibah yang diperbolehkan.[4]
            Disana para Ulama’ menyebutkan ada enam perkara yang menyebabkan bolehnya ghibah, satu diantaranya adalah tahdzir dan hajr.[5]
            Namun mereka memberikan batasan – batasan dan tidak boleh melebihinya, diantaranya adalah menyebutkan kejelekannya sesuai kebutuhan Tahdzir bukan sesuai kebutuhan hawa nafsu, misalnya jika dia memiliki dua kesalahan dengan menyebutkan salah satunya sudah mencukupi untuk kebutuhan tahdzir maka tidak boleh menyebutkan kesalahan yang lainnya[6], jadi harus dibedakan antara tahdzir dan mengumbar aib atau mencela.[7]
            Oleh sebab itulah para ulama’ Jarh wat Ta’dil dalam lafadz Jahr mereka sangat singkat, contohnya “Fulan Sayyiul Hifdz (jelek hafalannya)”, “Tarakahun Nas (manusia meninggalkannya)”, “Fiihi Syaiun (dia ada cacat)”, “Tasyayya’a (terpengaruh dengan syiah)”, “Kadzdzab(pendusta)”, “Dajjal” dan lafadz – lafadz lainnya. Tidak seperti model dan cara yang ada pada sebagian Da’I dan Murid – muridnya yang ada pada jaman kita sekarang, yang dibungkus dengan kata tahdzir tanpa rasa malu.[8]
            Padahal ulama’ tidaklah menyebutkan kecuali yang berkaitan dengan Tahdzir, itupun jika dibutuhkan untuk mashlahat yang lebih besar atau tertolaknya mafsadah yang besar. Jika hal itu dipandang tidak akan tercapai, maka mereka itu tidak akan menyebutkannya, terlebih pada perkara yang tidak berkaitan dengan tahdzir tersebut.[9] Karena para Ulama’ adalah orang yang takut berbuat dosa, disebabkan jarh dan tahdzir mereka adalah ghibah, maka mereka sangat hati – hati agar tidak terjerumus pada ghibah yang diharamkan, inilah sikap wara’ yang jauh dari kita. Wallahu a’lam
            Itu semua karena kehormatan kaum muslimin wajib dijaga dan haram dicoreng[10], bahkan kehormatan kaum muslimin lebih agung dari pada baitullah ka’bah[11], terlebih kehormatan para Ulama’ yang mereka disifati Rassulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- dagingnya beracun.
            Ditinjau dari sisi lain tahdzir juga memiliki keadaan sesuai dengan tingkat perkara yang ditahdzir, orang yang ditahdzir dan orang yang mentahdzir. Maka dari sini akan terjawab sebuah pertanyaan “Apakah Tahdzir Hak khusus bagi Ulama’ ”?! atau semua kaum muslimin punya Hak akan hal itu?! Maka jawabnya perlu diperinci, jika berkaitan dengan perkara besar, misalnya mentahdzir rawi hadits atau orang berilmu yang menyimpang atau Da’I kondang yang sesat, maka ini adalah hak orang berilmu untuk mentadzir bukan orang bodoh atau orang awwam dan atau orang yang tidak dianggap perkataannya atau dia tidak berilmu akan hal itu. Sebab mashlahatnya tidak akan terhasilkan bahkan madlaratnya lebih besar.
            Beda halnya jika perkaranya diketahui oleh semua orang, seperti mencuri, berzina, menipu dalam mu’amalah, minum khamr, meninggalkan shalat, adu domba dan perkara – perkara jelas yang lain, maka bagi orang awwam boleh mentahdzir para pelaku dosa tersebut jika dianggap perlu dan tertuntut akan hal itu.[12] Contohnya mentahdzir saudaranya, keluarganya dan tetangganya agar berhati – hati dari orang yang suka mabuk-mabukan. Dan tentunya semua itu dilakukan dengan kadar kesanggupannya dan tidak boleh melampaui batas. Karena merubah kemungkaran memiliki kadar ukuran, jika tidak bisa dengan tangan, maka dengan lisan, jika dengan lisan tidak bisa, maka dengan hati yaitu membencinya, mengingkarinya dan menjauhi pelakunya.

-wallahu a’lam wal ‘ilmu ‘indallah-



[1]  Berkata Syaikhul Islam: sesungguhnya hal ini merupakan bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. (Majmu’ Fatawa 27/414)
Diantara dalil tentang hal ini adalah, Firman Allah ta’ala:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. (QS. Ali Imron:104)
[2]  Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah –radliyallahu ‘anha-
[3] Maksud penulis adalah tidak termasuk ghibah yang dilarang dan bahkan wajib hukumnya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal:
“tidak dikatakan ghibah ketika menyebut kejelekan Ahlul Bida’ ” ( Ushulus Sunnah, hlm 293 )
[4] Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: adapun menyebut kejelekan person tertuntu….. diantaranya untuk menasehati kaum muslimin dalam urusan agama dan dunia mereka……. Maka jika demikian merupakan nasehat yang wajib dalam kebaikan agama secara khusus dan dunia secara umum, misalnya menyebutkan hadits yang di dalamnya terdapat orang – orang yang berdusta. Sebagaimana yang dikatakan Yahya bin Sa’id: aku bertanya kepada Imam Malik, Sufyan ats Tsauri, Laits bin Sa’id –aku berprasangka dia juga bertanya kepada imam al Auza’i- tentang laki – laki yang jelek hafalan haditsnya dan tidak pula hafal, maka mereka menjawab: jelaskan perkaranya !. ( Majmu’ Fatawa 28/230-232  )
[5] Diantaranya adalah imam Nawawi dalam Riyadhush Shalihin
[6]
وَقُل لِّعِبَادِى يَقُولُوا۟ ٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ ٱلشَّيْطَٰنَ كَانَ لِلْإِنسَٰنِ عَدُوًّۭا مُّبِينًۭا
Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: " Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (QS. Al Isra’ : 53)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Maidah: 08)
[7] Syaikh Shalih al Fauzan menggambarkan perbedaan antara nasehat dan mengumbar aib,
Berkata Syaikh Shalih al Fauzan: saya katakan tinggalkan pembicaraan tentang manusia !, tinggalkan pembicaraan tentang manusia !  si Fulan adalah Hizbi, si Fulan demikian….
Adapun sibuk membicarakan ini dan itu, si fulan salah, si fulan benar, si fulan demikian maka inilah yang menyebarkan kejelekan, memecah persatuan  dan menyebabkan fitnah.
Jika engkau melihat seseorang yang melakukan kesalahan maka nasehati antara dia dan kamu. Bukan dengan kamu duduk di majlis kemudian mengatakan si fulan demikian, si fulan demikian…
nasehati antara dia dan kamu!, inilah nasehat yang benar. Adapun perkataan kamu di majlis itu bukan nasehat, ini namanya mengumbar kesalahan, ini ghibah, ini kejelekan. ( transkrip dan suara asli Syaikh Fauzan bisa di lihat di www.islamgold.com/view.php?gid=2&rid=145 )
[8] Syaikh Shalih al Fauzan berkata: jarh wa ta’dil bukanlah dengan menjelek – jelekkan dan mendeskreditkan orang lain, misalnya dengan mengatakan fulan demikian dan demikian, atau memuji sebagian orang dan mencela lainnya. Ini adalah ghibah, dan namimah bukanlah jarh wa ta’dil. ( www.youtube.com/watch?)(v=CLHUdyln3Y8 )

[9] Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: tidak dibenarkan menghindari kerusakan kecil dengan melakukan kerusakan yang lebih besar, juga tidak dibenarkan mencegah kerugian kecil dengan melakukan kerugian yang lebih besar, karena syariat islam datang dengan tujuan mendatangkan mashlahat dan menyempurnakannya. ( al Masail al Mardiniyyah 63-64 )
[10] Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mau mengucapkan laa ilaaha illallah (Tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah), menegakkan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan semua itu, berarti mereka telah memelihara harta dan jiwanya dariku kecuali ada alasan yang hak menurut Islam (bagiku untuk memerangi mereka) dan kelak perhitungannya terserah kepada Alloh subhanahu wata’ala.” (HR. Bukhori dan Muslim)
[11] Sepengetahuan kami bahwa yang lebih mulia dari Baitullah adalah darah seorang muslim, sebagaimana dinukil Syaikh al Bani dalam silsilah ash Shahihah no 3420. Wallahu a’lam
[12] Hal ini senada dengan apa yang diutarakan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Ar Raddu ‘alal Mukhalif hlm 53-68

HUKUM MANDI JANABAH DI AWAL MALAM

DIRASAH  AL HADITSIYYAH
HUKUM MANDI JANABAH DI AWAL MALAM
Oleh: al Muhaddits Muhammad bin Syaikh al ‘Alamah ‘Ali bin Adam[1]
(pengajar di Darul Hadits Khairiyyah Makkah al Mukarramah)

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَنَا مَخْلَدٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي الْعَلَاءِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ نُسَيٍّ عَنْ غُضَيْفِ بْنِ الْحَارِثِ
أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَيُّ اللَّيْلِ كَانَ يَغْتَسِلُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ رُبَّمَا اغْتَسَلَ أَوَّلَ اللَّيْلِ وَرُبَّمَا اغْتَسَلَ آخِرَهُ قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ فِي الْأَمْرِ سَعَةً
Artinya:
“telah mengabarkan kepada kami Amr bin Hisyam, telah menceritakan kepada kami Makhlad, dari Sufyan dari Abul ‘Ala’ dari ‘Ubadah bin Nusai dari Ghudlaif bin Harits bahwasanya dia bertanya kepada ‘Aisyah –radliyallahu ‘anha- kapankah Rasulullah mandi janabah di malam hari? Beliau menjawab: kadang Rassulullah mandi di awal malam, terkadang pula di akhir malam. Aku (Ghudlaif) katakan: segala puji bagi Allah yang telah menjadikan perkara ini longgar”


RIJAL SANAD HADITS:
            Rijal Sanad hadits ini ada tujuh:
1.      Amr bin Hisyam bin Yazid al Jaziriy, dengan kunyah Abu Umayyah al harraniy. Beliau adalah perawi yang tsiqah, meriwayatkan hadits dari kakek beliau dari jalur ibunya, meriwayatkan pula dari muhammad bin Salamah al Harraniy, sulaiman bin Abi Karimah, Sufyan Ibnu ‘Uyainah, Abu Bakr bin ayyas, Makhlad bin Yazid dan selain dari mereka.
Diantara ulama’ yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah: imam Nasa’I, muhammad bin Auf ath Thai, Ahmad bin ‘Ali al Abbar dan selain mereka.
2.      Makhlad bin Yazid al Qurasyi al Harraniy dengan kunyah abu Yahya. Beliau adalah termasuk kibarut Tabi’in, meriwayatkan hadits dari Yahya bin Sa’id al Anshariy, imam Al ‘auza’I, Ibnu Juraij, Yunus bin Abu Ishaq, Hanzhalah bon Sufyan dan selain mereka.
Diantara ulama’ yang meriwayatkan dari beliau adalah: imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Abi syaibah dan selain mereka.
3.      Sufyan bin Sa’id ats Tsauri, beliau adalah Imamul Hujjah.
4.      Abul ‘Ala’ Burd bin Sanan asy Syamiy ad Dimasyqi mantan budak Quraisy, beliau tinggal di Bashrah dan termasuk perawi yang Shuduq. Meriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, Az Zuhri, Nafi’ dan selain mereka.
Diantara Ulama’ yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah: Ibnu ‘Aliyyah, Sufyan ats Tsauri, Sufyan Ibnu ‘Uyainah, al Auza’I, ‘Ala’ putra beliau dan selain mereka.
5.      ‘Ubadah bin Nusai al Kindiy, kunyah beliau Abu Amr asy Syamiy al Urduniy beliau adalah qhadi lagi tsiqah. Meriwayatkan hadits dari Aus bin Aus ats Tsaqafi, Syaddad bin Aus, ‘Ubadah bin Shamit, Abu Darda’ dan selain mereka.
Diantara Ulama’ yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah: Burd bin Sanan, al Mughirah bin Ziyad al Maushuliy, Abdur Rahman bin Ziyad bin Un’um, Ayyub bin Qaththan, Hatim bin Nashr, Hasan bin Dzakwan dan selain mereka.
6.      Ghudlaif bin al Harits bin Zunaim al Kindiy. Berkata Abu Zur’ah: beliau adalah sahabat Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Meriwayatkan hadits dari Bilal bin Rabah, Umar bin Khaththab, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, Abu Dzar, Abu Darda’, dan ‘Aisyah –radliyallahu ‘anhum-.
Diantara Ulama’ yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah: ‘Iyadh bin Ghudlaif putra beliau, ‘Ubadah bin Nusai, salim bin ‘Amir dan selain mereka.
7.      ‘Aisyah –Radliyallahu ‘anha- istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Wallahu a’lam

MAS’IL YANG BERHUBUNGAN DENGAN HADITS
1.      Derajat hadits: hadits ‘Aisyah ini adalah shahih
2.      Peletakkan penyusunan hadits: diriwayatkan Imam Nasa’I 141/222, dalam sunan Kubra 131/227.
3.      orang yang mengeluarkan hadits bersama beliau: Abu Daud dalam kitab Thaharah dari Musaddad, dari Mu’tamar, dari Imam Ahmad bin Hanbal, dari Isma’il bin ‘Aliyah keduanya dari Abul ‘Ala’ Burd bin Sanan dari ‘Ubadah bin Nusai dari Ghudlaif bin Harits. Daruquthniy dalam kitab Shalat dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dari Ibnu ‘Aliyyah dan diriwayatkan pula oleh al Hakim dan al Baihaqi. Wallahu a’lam
4.      Faidah – Faidah Hadits:
-          Bahwa para Salaf senantiasa mengikuti Nabi Muhammad dalam perbuatan, perkataan, ahwal beliau. Dan hendaknya seorang muslim juga senantiassa melakukan hal tersebut, Allah berfirman:
وَٱتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. (QS. Al A’raf: 158)
sekalipun mencontoh beliau dalam hal mandi janabah, yang demikian itu untuk menghilangkan kesukaran dalam agama ini, sebagaimana Allah berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍۢ ۚ
dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al Hajj: 78)
-          Bolehnya mandi janabat di awal malam atau akhir malam dengan adanya suatu sebab. Wallahu a’lam bish Shawab





[1] Dinukil secara bebas dari kitab beliau yang berjudul ‘Syarah Sunan Nasa’I, Dakhirah al Uqba bi syarhil Mujtaba 4/221-227