Blogger templates

LAMPU TERANG BAGI PARA PENCURI UANG DI BANK



LAMPU TERANG BAGI PARA PENCURI UANG DI BANK
Penulis: Mujahid as Salafi


            Kasus pencurian uang di bank akhir – akhir ini merajalela, tidak heran jika yang melakukan adalah orang fajir atau non muslim, tapi kasus ini juga dilakukan oleh para pengklaim Mujahidin dengan dalih harta ghonimah, harta orang kafir atau harta thogut dan dalih – dalih yang lain. Kasus ini terjadi di Indonesia beberapa bulan yang lalu dan terjadi pula di Yaman.
 Mereka adalah kelompok yang sangat melampaui batas dalam dien ini. Padahal diantara mereka ada juga yang tidak memperbolehkan hal semacam itu seperti Ishom Burqowiy dan Aman Abdur Rohman. Perlu diketahui meskipun mereka tidak sefaham dalam hal ini akan tetapi mereka sefaham dalam hal aqidah yaitu menganggap kafirnya pemerintah islam pada abad ini.
Ketika mengetahui hal tersebut, maka sudah merupakan kewajiban untuk menjelaskan kesalahan hal itu meskipun secara ringkas.
Ketahuilah bahwa islam berlepas diri dari hal yang demikian itu dan perbuatan tersebut merupakan pintu – pintu kerusakan yang menimbulkan masuknya orang – orang munafiq, orang – orang yang hatinya ada penyakit dan orang – orang bodoh yang senantiasa melakukan setia apa yang mereka lihat, terlebih jika perbuatan tersebut dibubuhi dengan al Qur’an atau dengan embel – embel agama semisal Jihad. Dengan memohon taufiq dan pertolongan Alloh maka kami akan memberikan LAMPU TERANG BAGI PARA PENCURI UANG DI BANK dengan mengacu pada al Qur’an berdasarkan pemahaman Salaf yang kita jadikan panutan.
1.      Pencurian di bank merupakan awal mula bencana dan kerusakan yang besar, karena kebanyakan harta kaum muslimin berada di bawah bank – bank yang dikuasai negeri – negeri kafir.
2.      Seandainya benar alas an mereka bahwa harta bank iru merupakan ghonimah, maka tidak boleh mengambilnya tanpa ijin pemimpin. Karena hal itu merupakan pengkhianatan, sedangkan pengkhianatan merupakan dosa besar, Alloh berfirman:

وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍۢ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. Ali Imron: 161)

Ibnu Hajar berkata: siapa yang mengambil ghonimah tidak berdasatkan pemberian imam, maka ia aalah orang yang salah. (Fathul Bari 6/219)

3.      Harta – harta yang berada di bank – bank bercampur baur dengan harta kafir mu’ahad (orang kafir yang mengadakan perjanjian damai dengan pemerintah) dan harta sebagian kaum muslimin, maka mencurinya adalah haram hukumnya, karena harta mereka dijaga dalam syariat islam ini.

Saya memohon kepada Alloh agar menghidupkan dan mematikan kita diatas Tauhid dan Sunnah serta menjaga kaum muslimin dari berbagai syubhat yang berhamburan lagi mencelakakan.
رَبَّنَآ أَخْرِجْنَا مِنْ هَٰذِهِ ٱلْقَرْيَةِ ٱلظَّالِمِ أَهْلُهَا وَٱجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيًّۭا وَٱجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيرًا
Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini orang yang zhalim dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!".

Nb:
tulisan ini mengambil faedah dari risalah Syeikh Dr. Abdul Aziz bin Royyis ar Royyis yang berjudul “Ta’qibu ‘ala Abdil Aziz ath Thorifi fi Fatawahu Al Hamasiyyah fii Sariqotil Amwalil Yahudiyyah”

JUAL BELI MUROBAHAH


Istilah jual beli Murabahah (Ba`i al-Murabahah) banyak diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari financing (pembiayaan) yang memiliki prospek keuntungan cukup menjanjikan. Sehingga hampir semua lembaga keuangan syari'at menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modalnya.[1] 

NAMA LAIN JUAL BELI MURABAHAH
 :

Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syariat ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:
1. Al-Murabahah lil-Âmir bi asy-Syira`.    
المرابحة للآمر بالشراء
2. Al-Murabahah lil-Wa'id bi asy-Syira`.   
المرابحة للوعيد بالشراء
3. Ba`i al-Muwâ'adah.   
المرابحة بالمواعدة
4. Al-Murabahah al-Mashrafiyah.   
المرابحة المصرفية
5. Al-Muwâ'adah 'ala al-Murabahah.[2]   
المواعدة على المرابحة

Di Indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau
Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP).[3]

DEFINISI JUAL-BELI MURABAHAH (DEFERRED PAYMENT SALE)

Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ), yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan)[4]. Sedangkan menurut definisi para ulama terdahulu,

Murabahah adalah  ialah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui[5].

Hakikatnya, ialah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui oleh dua belah pihak yang bertransaksi (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga –misalnya- penjual mengatakan, modalnya adalah seratus ribu rupiah, dan saya jual kepada anda dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah mengatakan: 
Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka, "saya menjual barang ini dengan sistem Murabahah", … Rukun akad ini ialah sepengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya; karena hal itu diketahui oleh kedua belah pihak, maka jual belinya shahîh, dan (sebaliknya) bila tidak diketahui maka (jual beli itu) batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini dibolehkantidak ada khilaf (perbedaan) di antara ulama; sebagaimana hal ini disampaikan Ibnu Qudaamah. Bahkan Ibnu Hubairah, dalam masalah ini menyampaikan adanya ijma'. Demikian juga al-Kaasaani).[6]

Demikian, jual beli Murabahah yang terdapat dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Adapun jual beli Murabahah yang kini telah marak digulirkan, tidak berbentuk demikian.





Jual beli Murabahah yang sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari'at lebih komplek dari pada yang berlaku dimasa lalu [7]. Oleh karena itu, para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi Islam memberikan definisi berbeda; sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda?

Di antaranya ialah sebagai berikut:
1. Bank merealisasikan permintaan orang yang bertransaksi dengannya, dengan dasar, pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah), yakni dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut, dengan keuntungan yang disepakati di awal transaksi.[8]

2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah, agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang,baik barang yang bergerak ataupun tidak. Kemudian, setelah itu nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut, dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjual barang dimaksud kepadanya dengan harga di depan atau di belakang, dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembelian di muka.[9] 

3. Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana cukup untuk membayar kontan nilai barang yang ingin dibeli, sedangkan si penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian, lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.[10]

4. Jual beli ini berkaitan dengan tiga pihak, yaitu: penjual, pembeli, dan bank –yang berperan- sebagaipedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Dalam hal ini, Bank tidak membeli barang tersebut, kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya, dan adanya janji memberi di muka.[11]

Berdasarkan keempat uraian di atas, cukup jelaslah untuk memberikan gambaran mengenai jual beli Murabahah KPP ini.

BENTUK GAMBARAN JUAL-BELI MURABAHAH 
Berdasarkan empat uraian di atas dan prakteknya di tengah masyarakat, maka lembaga keuangan syariat di dunia dapat disimpulkan ke dalam tiga bentuk.

1. Pelaksanaan janji yang terikat oleh kesepakatan antara dua pihak sebelum lembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya di muka.[12]

Hal itu dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan yang memohon dari lembaga keuangan tersebut untuk membeli barang tertentu dan sifat tertentu. Kemudian keduanya bersepakat, dengan ketentuan, lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan (itu) terikat, (yaitu) harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya, baik nilai, ukuran, tempo, maupun keuntungannya.[13]

2. Pelaksanaan janji (al-Muwâ'adah) yang tidak mengikat kedua belah pihak. Yaitu, nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan. Kemudian, di antara kedua pihak itu terjadi perjanjian, dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan, sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan:

a. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan di muka.
b. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya.[14]

3. Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Demikian ini yang dipraktekkan oleh Bank Faishol al-Islami di Sudan. 

Hal itu dengan ketentuan, akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah, sehingga nasabah memiliki hak khiyâr (memilih) dengan melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi, atau menggagalkannya.[15] 
PERNYATAAN PARA ULAMA TERDAHULU TENTANG JENIS JUAL-BELI MURABAHAH:
Permasalahan jual belia Murabahah KPP ini, sebenarnya bukan perkara kontemporer dan baru (nawâzil), namun telah dijelaskan para ulama terdahulu.

Imam asy-Syafi'i berkata: Apabila seseorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata "belilah itu, dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian," lalu ia membelinya, maka jual belinya dibolehkan. Dan yang mengatakan "saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyâr)," apabila ia ingin, maka ia akan melakukan jual-beli; dan bila tidak, maka ia akan tinggalkan.
Demikian juga jika ia berkata "belilah untukku barang tersebut," lalu ia mensifatkan jenis barangnya, atau "barang" jenis apa saja yang kamu sukai, dan "saya akan memberikan keuntungan kepadamu," semua ini sama, diperbolehkan pada yang pertama; dan pada semua yang diberikan ada hak pilih (khiyâr).
Sama juga, dalam hal ini yang disifatkan apabila mengatakan "belilah, dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo," maka jual beli pertama diperbolehkan, dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua.
Apabila keduanya memperbaharui (akadnya), maka boleh; dan bila berjual beli seperti itu, dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut), maka ia termasuk dalam dua hal: (1) berjual beli sebelum penjual memilikinya, (2) berada dalam spekulasi (mukhatharah).[16]

Imam ad-Dardiir dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir (3/129), ia mengatakan: "Al-'inah, ialah jual beli oleh orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli, tetapi (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada yang memintanya; setelah membelinya, ia boleh memberikan (menjualnya) kepada yang meminta barang, kecuali jika yang minta menyatakan "belilah dengan sepuluh secara kontan, dan saya akan mengambilnya darimu dengan dua belas secara tempo," maka jual beli ini dilarang, karena di dalamnya terdapat tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat); karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut dan akan membayarnya (sejumlah) dua belas setelah jatuh tempo".[17]

Jelaslah, dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu, bahwasanya mereka menyatakan, pemesan (pembeli) tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga ditegaskan oleh The Islamic Fiqih Academy (Majma' al-Fiqih al-Islami), bahwa jual beli Muwâda'ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli Murabahah dengan syarat al-Khiyâr untuk kedua pihak yang melakukan transaksi, seluruhnya maupun salah satunya. Apabila tidak ada hak al-Khiyâr, maka tidak boleh, karena al-Muwâ'adah yang mengikat (al-Mulzâmah) dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri; dimana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang seseorang menjual sesuatu yang tidak dimilikinya.[18]
Syaikh 'Abdul-'Aziz bin Bâz ketika ditanya tentang jual beli ini, beliau menjawab: "Apabila barang tidak berada dalam kepemilikan orang yang menghutangkannya, atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya, maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga, dan jual beli di antara keduanya tidak sempurna hingga barang tersebut merupakan kepemilikan si penjual".[19]
HUKUM BA`I MURABAHAH DENGAN PELAKSANAAN JANJI YANG TIDAK MENGIKAT
(GHAIRU AL-MULZÂM)
Bentuk Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat ada dua:

1. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan di muka
Dalam hal ini, yang râjih adalah boleh, seperti disebutkan dalam pendapat madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi'iyyah. Karena dalam bentuk ini tidak ada ikatan kewajiban untuk menyempurnakannya dengan transaksi ataupun mengganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak, maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut berspekulasi



dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu pihak berpaling dari keinginannya (menggagalkannya), maka tidak ada kewajiban yang mengikatnya, dan tidak ada satupun akibat yang harus ditanggungnya.[20]

2. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang, karena termasuk dalam kategori al-'Inah sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah, dan inilah yang dirâjihkan Syaikh Bakr Abu Zaid.[21]

HUKUM BA`I MURABAHAH DENGAN PELAKSANAAN JANJI YANG MENGIKATUntuk mengetahui hukum ini, maka kami sampaikan beberapa hal yang berhubungan langsung dengannya.

Langkah Proses Murabahah KPP Bentuk Ini :
Muamalah jual beli Murabahah KPP melalui beberapa tahapan, di antara yang terpenting ialah sbb :
1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
a. penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas,
b. penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu (yang terkait) dalam pembelian barang tersebut.
2. Lembaga keuangan mempelajari proposal yang diajukan nasabah.
3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan. 
4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang:
a. mengadakan perjanjian yang mengika,
b. membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji,
c. penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji,
d. lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).
6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah
.
a. penentuan harga barang,
b. penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan ke dalam harga,
c. penentuan nisbat keuntungan (profit),
d. penentuan syarat-syarat pembayaran.
e. penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.

Demikian, secara umum tahapan dalam proses jual beli Murabahah KPP yang kami ambil secara bebas dari kitab al-'Uqûd al-Maliyah al-Murakkabah, halaman 261-162. Sedangkan di dalam buku Bank Syari'at dari Teori ke Praktek (hlm. 107) memberikan skema Ba`i Murabahah sebagai berikut: [Ma'af Gambar skema Ba'i Murabahah tidak ditampilkan]

Adanya Aqad Ganda (Murakkab) Dalam Murabahah KPP [22]Dari keterangan di atas maka jual beli Murabahah KPP dapat disimpulkan sebagai berikut di bawah ini.

1. Ada tiga pihak yang terkait, yaitu:
a. pemohon atau pemesan barang, dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan, 
b. penjual barang kepada lembaga keuangan,
c. lembaga keuangan yang membeli barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.

2. Ada dua akad transaksi, yaitu:
a. akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan, 
b. akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).

3. Ada tiga janji, yaitu:
a. janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang,
b. janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membeli barang untuk pemohon,
c. janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.

Dari sini, jelaslah, bahwa jual beli Murabahah KPP ini merupakan jenis akad berganda (al-'Uqûd al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji, dan ada tiga pihak. 
Setelah meneliti muamalah dan tahapan prosesnya, akan nampak jelas adanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan, bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab, yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak, yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya. 

Berdasarkan hal ini, maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat, sehingga dapat dikatakan dengan ungkapan "belikan untuk saya barang, dan saya akan memberikan keuntungan kepada anda dengan jumlah sekian". Hal ini, karena pada akad pertama, barang tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar, janji mengikat untuk membelinya. 

Dengan melihat muamalah ini dari seluruh tahapan dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya, maka jelaslah, bahwa ia merupakan Mu'amalah Murakkabah secara umum, dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini.

1.Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat padanya janji mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad dan tidak saling terikat, sehingga jelas, hukumnya pun berbeda.

HUKUMNYAYang râjih dalam masalah ini, ialah tidak dibolehkan, dengan beberapa argumen, di antaranya :

1. Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum adanya kepemilikan penjual atas barang dimaksud, maka itu termasuk dalam larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu dilarang menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut, pada hakikatnya adalah akad. Dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan, maka ini merupakan akad batil yang dilarang; karena lembaga keuangan, ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.

2. Muamalah seperti ini termasuk al-Hîlah (rekayasa) atas hutang dengan bunga; karena hakikat transaksinya ialah menjual uang dengan uang yang lebih besar darinya secara tempo dengan perantaraan adanya barang penghalal di antara keduanya.

3. Murabahah jenis ini termasuk dalam larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti disebutkan dalam hadits:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ 
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli" [HR at-Tirmidzi, dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Irwa' al-Ghalil, 5/149]

Al-Muwâ'adah, apabila mengikat kedua belah pihak, maka menjadi aqad (transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga dalam muamalah itu terdapat dua akad dalam satu jual beli.[23]

KETENTUAN DIBOLEHKANNYA MURABAHAH
Syaikh Bakar bin 'Abdillah Abu Zaid memberikan penjelasan tentang ketentuan dibolehkannya jual beli Murabahah KPP ini dengan menyebutkan tiga hal.

1. Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi, baik secara tertulis maupun lisan sebelum adanya barang kepemilikan dan sebelum serah terima.

2. Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang oleh salah satu pihak, baik nasabah maupun lembaga keuangan, namun tanggung jawab barang kembali kepada lembaga keuangan.

3. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi milik lembaga keuangan.[24]
Demikianlah, hukum jual beli ini menurut pendapat para ulama. Mudah-mudahan dapat memperjelas permasalahan jual beli Murabahah.
Wabillahit-taufiq.

-------------------------------------------------------------
________
Footnote
[1]. Al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Tathbîq, Prof. Dr. Abdullah Ath-Thayâr, hlm. 307.
[2]. Lihat al-'Uqûd al-Maliyah al-Murakkabah, hlm. 260-261.
[3]. Bank Syari'ah, Dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, hlm. 103.
[4]. Al-Qâmus al-Muhith, hlm. 279.
[5]. Al-'Uqûd al-Murakkabah, hlm. 257.
[6]. Dinukil dari Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin 'Abdillah Abu Zaid, 2/64. Lihat juga al-Mughni (4/259), al-Ifashah (2/350), Bada`i ash-Shanâ`i (7/92).
[7]. Dialog di rumah penulis dengan pegawai salah satu lembaga keuangan syari'at, Kamis, 3 April 2008 M, ba'da 'Ashar.
[8]. Dinukil dari al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 257. Lihat Ba`i al-Murabahah lil-Âmir bi asy-Syira`, karya Sâmi Hamud dalam kumpulan Majalah Majma' al-Fiqh al-Islami, Edisi kelima (2/1092).
[9]. Dinukil dari al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakabah, hlm. 257. Lihat Ba`i al-Murabahah Kamâ Tajriha al-Bunûk al-Islamiyah, Muhammad al-Asyqar, hlm. 6-7. 
[10]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 258.
[11]. Ibid. 
[12]. Fiqih Nawazil, 2/90.
[13]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 259.
[14]. Lihat Fiqih Nawazil (2/90) dan al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 259. 
[15]. Lihat al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Tathbîq, hlm. 308.
[16]. Dinukil dari Fiqih Nawazil, 2/88-89. 
[17]. Dinukil dari Fiqih Nawazil, 2/88.
[18]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 267.
[19]. Dinukil dari al-Bunûk al-Islamiyah, hlm. 308. Lihat Majalah al-Jami'ah al-Islamiyah, Edisi I, Tahun Kelima, Rajab 1392, hlm. 118. 
[20]. Lihat Fiqih Nawazil, 2/90.
[21]. Ibid
[22]. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 265-266.
[23]. Silahkan merujuk kepada kitab al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah (hlm. 267-284) dan Fiqih Nawazil (2/ 83-96).
[24]. Fiqih Nawazil, 2/97, dengan sedikit perubahan.
------------------------------------------------------------
Maraji`:1. Al-Bunûk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at -Tathbîq, Prof. Dr. 'Abdullah ath-Thayâr, Dar al-Wathan, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H. 
2. Fiqhu al-Muyassar Qismu al-Mu'amalât, Prof. Dr. Abdullah ath-Thayâr, Prof. Dr. 'Abdulah bin Muhammad al-Muthliq, dan Dr. Muhammad bin Ibrahim al-Musa, Dar al-Wathan, Cetakan Pertama, Tahun 1425 H. 
3. Al-'Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasah Fiqhiyah Ta'shiliyah wa Tathbiqiyah, Dr. 'Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-'Imrâni, Kunuz Isybiliya`, Cetakan Pertama, Tahun 1427 H. 
4. Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi'i Antonio, Gema Insani Press, Cetakan Kesembilan, Tahun 2005 M. 
5. Fiqhu an-Nawâzil, Qadhaya Fiqhiyah al-Mu'asharah, Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Muassasah ar-Risalah, Cetakan Pertama, Tahun 1416 H. 
6. Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional MUI, Edisi Revisi, Tahun 2006 M, Cetakan Ketiga, Tahun 1427 H, dan lain-lain.

MEMAHAMI WAJAH ALLOH


MEMAHAMI WAJAH ALLOH

Allah ta’ala berfirman tentang diri-Nya,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, “[Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya] maknanya tidak ada yang menyerupai Allah ta’ala dan tidak ada satu makhluk pun yang mirip dengan-Nya, baik dalam Zat, nama, sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Hal ini karena seluruh nama-Nya adalah husna (paling indah), sifat-sifatNya adalah sifat kesempurnaan dan keagungan……”
Beliau melanjutkan, “[dan Dia Maha Mendengar] maknanya Dia Maha Mendengar segala macam suara dengan bahasa yang beraneka ragam dengan berbagai macam kebutuhan yang diajukan. [Dia Maha Melihat] maknanya Allah bisa melihat bekas rayapan semut hitam di dalam kegelapan malam di atas batu yang hitam……”
Beliau melanjutkan, “Ayat ini dan ayat yang semisalnya merupakan dalil Ahlu Sunnah wal Jamaah untuk menetapkan sifat-sifat Allah dan meniadakan keserupaan sifat Allah dengan sifat makhluk. Di dalam ayat ini terdapat bantahan bagi kaum musyabbihah (kelompok yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk -ed) yaitu dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”
Juga bantahan bagi kaum mu’aththilah (kelompok yang menolak penetapan sifat Allah -ed) dalam firman-Nya
وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(Taisir Karimir Rahman)
Tidak Ada Sesuatu Pun yang Serupa Dengannya
Saudaraku, ayat ini adalah ayat yang sangat penting yang dijadikan para ulama sebagai pedoman dalam hal keimanan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah. Perlu kita ketahui bersama bahwa dalam mengimani nama-nama dan sifat Allah, kita harus bersikap sebagaimana sikap seorang muslim yang baik. Imam Syafi’i mengatakan, “Aku beriman kepada Allah dan segala berita yang datang dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan berita yang datang dari Rasulullah sesuai dengan maksud Rasulullah.” (lihat Lum’atul I’tiqad, Imam Ibnu Qudamah). Oleh sebab itu yang kita jadikan pegangan dalam memahami ayat ataupun hadits adalah petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Bukankah Allah ta’ala telah menerangkan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Allah juga menerangkan bahwa Nabi Muhammad benar-benar menunjukkan kepada jalan yang lurus. Oleh karena itu marilah kita cermati ayat di atas dengan seksama.
Pada penggalan ayat yang pertama Allah menyatakan (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ). Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. (المِثْل) dalam bahasa Arab bermakna Asy-Syibhu wan Nadhiir (serupa dan sepadan) (lihatMu’jamul Wasiith, cet Maktabah Islamiyah, hal. 854). Maka arti dari ayat ini adalah tidak ada sesuatu pun yang serupa dan sepadan dengan Allah. Pada penggalan ayat yang kedua Allah menyatakan (وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِي)Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (السَّمِيعُ) berasal dari kata (سَمِعَ) yang artinya mendengar. Sedangkan (البَصِيرُ) berasal dari kata (بَصَرَ ) yang artinya melihat. Nah, perhatikanlah terjemahan ayat ini dengan baik dan simaklah soal jawab berikut ini.
  1. Bukankah di dalam ayat ini Allah menyatakan tidak ada sesuatu pun yang serupa dan sepadan dengan-Nya? Anda tentu akan menjawab iya
  2. Bukankah di dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat? Anda tentu akan menjawab iya
  3. Nah, sekarang apakah kemampuan mendengar yang dimiliki Allah sama dengan kemampuan mendengar yang dimiliki makhluk? Tentu Anda akan menjawab tidak
  4. Apakah kemampuan melihat yang dimiliki Allah sama dengan kemampuan melihat yang dimiliki makhluk? Tentu Anda akan menjawab tidak
  5. Apakah makhluk memiliki sifat mendengar dan melihat? Anda tentu menjawab iya.
  6. Apakah sifat mendengar dan melihat yang ada pada makhluk serupa dengan sifat mendengar dan melihat yang ada pada Allah ? Anda tentu menjawab tidak.
  7. Apakah letak kesamaan antara sifat Allah dan sifat makhluk itu? Jawabnya adalah sama namanya, akan tetapi hakikatnya berbeda.
  8. Nah, dari sini, maka kalau Allah menyebutkan di dalam ayat atau hadits bahwa Allah memiliki sebuah sifat tertentu yang nama sifat tersebut sama dengan nama sifat yang ada pada makhluk, apakah kita akan mengatakan bahwa sifat Allah itu sama dengan sifat makhluk? Tentunya tidak. Karena sama nama belum tentu hakikatnya sama. Manusia punya kaki, gajah punya kaki. Akan tetapi hakikat kaki gajah berbeda dengan kaki manusia. Sesama makhluk saja bisa terjadi sama nama dengan hakikat yang berbeda. Maka antara makhluk dengan Allah tentu jauh lebih berbeda. Makhluk disifati dengan berbagai kekurangan sedangkan Allah disifati dengan berbagai kesempurnaan. Apakah sama Zat yang sempurna dengan yang penuh kekurangan? Tentu tidak! Maka demikian pula dalam menyikapi sifatwajah. Allah telah menyebutkan di dalam Al Quran maupun As Sunnah bahwa Dia memiliki wajah maka kita katakan pula bahwa wajah Allah tidak sama dengan wajah makhluk, meskipun sama namanya yaitu wajah. Lalu apa susahnya (mengakui bahwa Allah memiliki wajah -ed)?
Dalil dari Al-Qur’an
Kalau kita mencermati ayat-ayat al-Qur’an maka niscaya akan kita temukan sekian banyak ayat yang menyebutkan tentang wajah Allah. Di antaranya adalah:
“… Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 272)
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari wajah Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)” (QS. Ar-Ra’d: 22)
“Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar-Ruum: 38)
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mengharapkan wajah Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)
“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 27)
“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari wajah Tuhannya yang Maha tinggi.” (QS. Al-Lail: 20)
Dalil dari As-Sunnah
Kalau kita membuka hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka niscaya akan kita dapatkan sekian banyak hadits yang menyebutkan tentang keberadaan wajah Allah, diantaranya adalah: HR. Bukhari : 54, 407, 431, 113, 1197, 1213, 2917, 3153, 3608, 3623, 3643, 3741, 3773, 3990, 3991, 4057, 4982, 5236, 5599, 5635, 5817, 5861, 5896, 5943, 5967, 6236, 6425, HR. Muslim : 828, 1052, 1562, 1759, 1760, 3076, 5297 (karena hadits yang berbicara tentang hal ini terlalu banyak maka kami mencukupkan diri untuk menyebutkan nomor haditsnya saja, itupun yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim saja belum ditambah dengan referensi dari kitab-kitab yang lainnya)
Penjelasan Ulama
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allah) merupakan sifat yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan ayat ke-27 dalam surat Ar-Rahman… (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 48) Beliau menjelaskan di dalam kitabnya yang lain: “Nash-nash yang menetapkan wajah dari Al-Kitab dan As-Sunnah tidak terhitung banyaknya, semuanya menolak ta’wil kaum mu’aththilah yang menafsirkan wajah dengan arah, pahala atau dzat. Sedangkan keyakinan yang dipegang oleh para pengikut al-haq yaitu menetapkan bahwasanya wajah adalah sifat dan bukan dzat. Dan penetapan sifat tersebut tidaklah melahirkan konsekuensi dzat Allah ta’ala tersusun dari berbagai anggota tubuh (seperti makhluk -pent) sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Mujassimah. Akan tetapi sifat itu benar-benar sifat Allah yang sesuai dengan keagungan-Nya. Wajah-Nya tidak menyerupai wajah apapun. Dan wajah apapun tidak ada yang menyerupai wajah-Nya…” (lihat Syarah ‘Aqidah Wasithiyah)