Blogger templates

Hukum Behel Gigi


يقول: أنا حدث لي حادث، وتكسرت أسناني الأمامية، وقمت بتركيب أسنان، ولكن ليس كما كانت، فلو قمت متعمداً بجعل الأسنان على صف واحد، وهي لم تكن بالأول كذلك، فهل هذا أيضاً حرام، ويدخل في باب تغيير خلق الله؟
Pertanyaan:
Saya mengalami kecelakaan yang menyebabkan gigi depanku bermasalah. Aku sudah berusaha untuk mengembalikan susunan gigi sebagaimana semula namun tidak berhasil. Andai dengan sengaja kutata gigiku agar lurus teratur padahal kondisi awal sebelum kecelakaan pun tidak semisal itu, apakah hal ini hukumnya haram dan termasuk mengubah ciptaan Allah?
أقول: الرجل ليس بحاجة إلى مثل هذا التصرف،
Jawaban Syaikh Dr Abdul Karim al Khudhair:
Laki-laki tidak perlu melakukan hal semacam itu.
أما إذا كان السائل امرأة، وزوجها يقذرها بذلك، وهي تريد أن تتزين به، بالصف، بالترتيب لا بالتفليج، لا بالزيادة والنقص هذا يُرجى إذا كان مجرد تقويم لا بتفليج ولا بغيره، تعديل سن مائل يعدل لا بأس، وما عدا ذلك فالأصل أن يبقى كل شيء على حاله.
Namun jika penanya adalah perempuan dan suaminya merasa jijik dengan kondisi giginya dan si isteri bermaksud untuk berdandan untuk suaminya dengan menata gigi, tidak dengan merenggangkan, menambah atau mengurangi gigi maka diharapkan hukumnya adalah tidak mengapa, ingat hanya sekedar meluruskan gigi yang tidak lurus tidak dengan merenggangkan gigi atau yang lainnya.
Jika metode yang digunakan itu bukan hanya meluruskan gigi maka pada dasarnya segala sesuatu dibiarkan sebagaimana apa adanya
Sumber:
http://www.khudheir.com/audio/5625

HAMID ALI DALAM TINJAUAN SALAFI


HAMID ALI DALAM TINJAUAN SALAFI
Oleh: Asy Syeikh Dr. Abdul Aziz Bin Royyis ar Royyis
       (Musyrif www.islamancient.com)

PENGANTAR PENERJEMAH
            Akhi Fillah, semoga Alloh memuliakan kita diatas sunnah dan member keteguhan pada kita dalam menghadapi gelombang fitnah. Banyaknya badai fitnah dan perang pemikiran yang digencarkan oleh para pengklaim Mujahidin yang mana mereka membelakangi pemikiran mereka dengan imam – Imam Ahlus Sunnah semisal Ibnu Taimiyyah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengakibatkankan rancunya pemikiran akibat syubhat yang datang, karenanya Pada kesempataan kali ini kami menyuguhkan artikel Asy Syeikh Dr. Abdul Aziz bin Royyis ar Rosyyis yang berjudul “Al Uthruwahat Hamit Ali Al Hamasiyyah fi Mawazinidl Dlowabit asy Syariyyah as Salafiyyah” yang berisikan koreksi terhadap makalah Hamid Ali. Semoga bermanfaat (selesai kata pengantar penerjemah)

Kebanyakan manusia tidak mengetahui siapa itu Hamid Ali, karena adalah orang yang berkebangsaan Kuwait berpemahaman Sururi (pengikut Muhammad Surur). Ia termasuk orang yang gencar mengadakan perlawanan terhadap pemerintahg. Disebabkan karena ia berpemahaman bahwa pemerintah islam saat ini adalah murtad. Diantara ucapannya dalah:
“semua pemerintah yang ada adalah kafir yang wajib memberontak padanya dengan pedang”
Jika kamu mengamati kajian – kajiannya (dan orang yang berpemahaman seperti dia, red) maka engkau akan menemui kedangkalan pikirannya serta semangat yang berapi – api dalam agama ini, sehingga mencetak generasi – generasi muda yang bengis dan pemuda yang dijadikan kelinci percobaan (dalam pemikirang dangkalnya).
Bagi orang yang tidak sefaham dengannya akan mendapati pelajaran – pelajaran dan ucapan – ucapan yang kotor, Ia memiliki makalah – makalah, diantaranya “Al Liha Al Musta’aroh(Mengupas kepalsuan)”, ia berkata dalam makalah tersebut:
Demi Alloh, sungguh mengherankan, banyak sekali kepalsuan pada hari ini, sehingga menyusahkanmu. Akibatnya banyak tertutupnya jalan – jalan bagi kita bagaikan tertutupnya cahaya matahari dari kita.
Ia juga memiliki malakah yang berjudl “KHosyanul Sulthon(penguasa yang dikebiri)”. Aku (penulis) telah membantahnya dalam perkara ini, dan kebanyakan dari mereka terjatuh dalam keadaan yang lemah. Mereka berpindah dari sikap Ghuluw(melampaui batas) menuju sikap nyeleneh dalam memahami Agama Alloh. Dan sedikit diantara mereka yang  konsisten dengan pemikiran tersebut.  Pemikiran semangat yang berapi – api ini terjangkit pada sebagian pemuda, karena pemikiran ini merasuki pemuda – pemuda yang memiliki semangat keagamaan yang membara tanpa bimbingan Ulama’ Sunnah serta tidak berjalan diatas jalan mereka dalam menjalani agama dan tidak pula menempuh dakwah salafiyyah.  Akibatnya pemikiran semangat yang melampaui batas lagi tercela itu merasuki jiwanya dan bersiap – siap untuk sifat itu.
Oleh karena itu disisini Aku akan mengupas secara irngkas sebagian – sebagian masalah – masalah yang merupakan bagian dari sikap melampaui batas yang tercela:
1.      Melampaui batas dalam masalah berhukum selain Hukum Alloh.
Dalam agama ini, seorang harus meyakini bahwa berhukum dengan hokum Alloh termasuk diantara kewajiban yang amat penting. Serta harus berkeyakinan bahwa berhukum dengan hokum Alloh adalah merupakan kebaikan bagi dunia dan kemenangan di akhirat. Cukuplah sebagai pengingat bahwa Alloh berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَٰفِرُونَ
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al Maidah : 44)
Tapi dalam masalah ini  terdapat sifat yang melampaui batas pada diri mereka, padahal melampaui batas adalah hal yang tercela dalam Agama ini, Alloh berfirman:
يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْحَقَّ
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. (QS. An Nisa’ : 171)

Telah tsabit riwayat Ahmad dan Nasa’I dari Ibnu Abbas bahwasanya Rosululloh bersabda:
Hati – hatilah kalian dari sikap melampaui batas, sesungguhnya telah binasa kaum sebelum kalian disebabkan melampaui batas.

Penjelasan sikap melampau batas dalam masalah ini terdapat dalam bentuk – bentuk berikut:
a.      Beranggapan kafirnya orang yang berhukum dengan asa umum dan berpemahaman bahwa orang yang tidak mengkafirkannya disebut murji’ah. Padahal vonis kafir dalam masalah ini adalah perkara perkara lemah dan tidak ada dalili yang kuat. Oleh karena itu perkara ini adalah khilaf diantara ulama’ Ahlus Sunnah semisal, Syeikh bin Baz dalam kaset yang berjudul “Ad Dam’ah al Baziyyah”. Bukti pernyataan saya ini adalah apa yang dikatakan Hamid Ali dalam fatwanya:
Sungguh mereka mengambil fatwa – fatwa ulama’ mereka dalam perkara ini, padahal fatwa tersebut merupakan cabang dari faham Murji’ah yang bathil dan mereka menghias – hiasi dengan ucapan mereka agar senantiasa berhukum dengan asa umum, maka ini jelas kekufuran yang nyata yang terjadi di negeri Islam. (selesai penukilan)

Padahal hakikatnya ini bukan kakafiran yang mengeluarkan dari islam, sebagaimana pernyataan ini diiqrarkan oleh sekelompok ulama’ kita, semisal Syeikh MUhamammad bin Ibrahim, IBnu Baz, Al Bani dan Ibnu Utsaimin yang ucapannya tercatat  menjelang wafatnya dan terdapat pula dalam kitab karangan saudaraku Asy Syeikh Bundar al Utaibi yang berjudul “Wa Jadilhum BIl Lati Hiya Ahsan”.
Telah menisbahkan Syeikh Ibnu Baz terhadap syeikh Muhammad bin Ibrahim dalam majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah 28/271 bahwasanya Syeikh Muhammad bin Ibrahim tidak mengkafirkan orang yang tidak berhukum dengan hokum Alloh  selama tidak mengkufuri kewajibannya.
Syeikh Ibnu Baz pernah ditanya:
Apakah Syeikh Muhammad bin Ibrahim berpendapat kafirnya hakim yang tidak berhukum dengan hokum Alloh secara umum?
Beliau menjawab:
Beliau berpendapat kafirnya hakim yang tidak berhukum dengan hokum Alloh itu berlaku bagi hakim yang menghalalkan  atau menganggap boleh berhukum dengan selain hokum Alloh inilah pendapat Ahlul Ilmi. Siapa yang menghalalkan berhukum dengan selain hokum Alloh, maka ia kafir. Adapun orang yang melakukannya karena syubhat atau sebab – sebab yang lain, maka berstatus kufur kecil. (selesai penukilan)

Perhatikanlah ucapan Ahlul Ilmi! Bagaimana menerapkannya, semisal Syeikh Muhammad bin Ibrahim (yang pendapat beliau banyak dinukil oleh para pengklaim Mujahidin, red).

b.      Diantara sikap melampaui batas dalam masalah ini yaitu bahwa Hamid Ali tidak menjadikan HUkum Umum sebagai perbuatan kufur yang ada rincian, tapi dia menjadikannya sebagai kekafiran yang nyata. Sebagaimana nukilan ucapannya diatas.
Aku sendiri tidak tahu lagi heran apa yang menyebabkan dia mengkafirkan dengan sebab itu dan menyelarasi manhaj Khowarij dalam masalah ini????! Apakah dia beranggapan bahwa ucapan Ulama’ Ahlus Sunnah dalam masalah ini sebagai faham Murji’ah atau justru ia menganggapnya sebagai kekafiran yang sangat nyata????!.

2.      Membolehkan memberontak secara damai meskipun tidak dengan pedang terhadap pemerintah Muslim ketika dalam keadaan Zhalim. Padahal ia menukil Ijma’ (kesepakatan) Salaf tentang larangan memberontak sebagaimana terlihat dalah websitenya dan juga dalam risalahnya yang berjudul “Al Hisabatu ‘alal Hukkam(balasan terhadap pemerinta)” serta dalam makalah lainnya yang berjudul “Al Hukumah Baina Madzhib Khol’ul Hukumah”. Tapi setelah ia menukil Nash – nash dari HAdits dan ucapan – ucapan Ulama’ sunnah agar bersabar menghadapi kedzaliman pemerintah dia berkata:
Nash – nash dan ucapan ini berlaku terhadap pemerintah yang masih berhukum dengan hokum Alloh dan tidak menggantinya dengan hokum lain yang mana ummat bersatu dibawah kekuasaannya dan membelanya dari musuh – musuhnya.

Kemudian menjadikannya sebagai sebab untuk mengatasi masalah – maslah pemerintahan, semisal pemerintah yang zhalim dan melanggar peraturan kekuasaan, tapi hal ini tidak disertai pengabdian padanya akan tetapi memberikan pendidikan damai bagi prajuritnya, dan menerangkan kesalahan – kesalahan, perkembangan – perkembangan serta kerusakan atas ummat ini akibat penguasa yang zhalim.

Maka sabar disini adalah bermuara untuk memperingan dua kerusakan yaitu takut dan tragedy yang mengerikan.

(penulis berkata) sungguh mengherankan, karena semua ucapannya ini terdapat sejumlah ketergelinciran dan Aib bila ditinjau secara Syar’i:
1.      Ucapannya menyelisihi dalil – dalil yang jelas yang memerintahkan sabar dan tidak pula memmbedakan anatara memberontak dengan damai maupun memberontak dengan pedang terhadap penguasa yang zhalim. Sungguh ia telah menukil sebagai pijakannya semisal Hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan imam Muslim
2.      Yang Nampak dari ucapannya tentang bolehnya memberontak adalah ucapannya sendiri yang tidak berdasarkan uacapan sebagian ulama’ Salaf.
3.      Menyelisihi nukilan – nukilannya sendiri dari ucapan Ahlul Ilmi tentang haramnya memberontak, dan dia menisbahkannya terhadap Ahlus Sunnah seperti ucapan Ibnu Taimiyyah dalm Majmu’ Fatwa 12/35:
Dan adapun Ahlul Ilmi dan Agama serta orang – orang yang memiliki keutamaan, bahwa mereka tidak member keringanan sedikitpun bagi  orang dalam apa yang Alloh larang berupa berbuat maksiat terhadap pemerintah, menipu mereka dan memberontak mereka. Dari segala sisi sebagaimana hal ini telah diketahui dari adat Ahlus Sunnah dan agama baik yang dahulu atau sekarang dan diketahui pula dari perjalanan hidup mereka. (selesai penukilan)

Perhatikannlah ucapan Ibnu Taimiyyah yang mana beliau menukilnya dari Ahlul Ilmi dan Agama, beliau tidak memberikan keringanan sedikitpun bagi orang dalam apa yang Alloh larang berupa berbuat maksiat terhadap pemerintah, menipu mereka dan memberontak mereka dari segala sisi.

3.  mengajak menasehati pemerintah di muka umum, dia berdalil dengan hadits,
“Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kalimat kebenaran disaat pemerintah zhalim”
Dan yang semisalnya, seperti ia mengqiyaskan antara pemerintah dan imam sholat yang salah, maka ketika imam sholat salah orang – orang menegurnya secara bersama dengan mengucapkan subhanalloh, begitupula mestinya dengan pemerintah.

(penulis berkata) aku tidak tahu betapa anehnya qiyas yang dipakai, padahal itu mereupakan qiyas yang fasid atau dalil yang keluar dari permasalahan. Demikian itu tidak menunjukkan bolehnya mengingkari pemerintah di depan umum. Bahkan sebenarnya (hadits tersebut) perintah mengingkari dengan sembunyi – sembunyi, itupun kalau hadits itu shohih, Padahal imam ahmad mendloifkannya.

4.    Yang paling keji dalam revolusi Yaman yaitu apa yang dia ucapkan dalam makalahnya yang berjudul “Qom’ul Fitan biKasyfi Tazwiri ‘Umala’ Thogiyyah Yaman”
“pada saat ini adalah waktu rovolusi yang berbarokah, mendekatkan ummat dari kebebasan, mengangkat darinya kehinaan, mendekatkan keadilan, kembalinya hak – hak dan mengembalikan hokum Alloh dari kampung Yaman”. (selesai penukilan)

Dia juga memiliki fatwa yang isinya membantah fatwa Mufti Saudi terkait tragedy mesir dan Tunisia. Ini merupakan sikap yang melampaui batas, karena revolusi ini tidak mengajak kepada agama dan tidak pula memberikan manfaat sedikitpun serta tidka pula mengajak berhukum dengan hokum Alloh, justru berhukum pada demokrasi dan kebebasan.

Betapa mengherankan??! Karena dengannya Hamid Ali mengajak dari pemerintahan kekufuran menuju kekufuran yang lain, karena mereka (pemerintah Mesir dan Tunisia) akan berhukum dengan hokum demokrasi. Lalu bagaimana dengan kejadian ini yang mengakibatkan kerusakan besar, tertumpahnya darah, menghilangkan jiwa, menghilangkan kehormatan yang diharamkan. Tapi perkara ini semua dianggap biasa saja jika dilakukan oleh laki – laki yang memiliki semangat membara dan bodoh.

Termasuk diantara keanehan – eanehan laki – laki ini yaitu bergabung dnegan Hammas sebagaimana hal ini dikuatkan dalam makalahnya yang berjudul “Qurrotul ‘Uyun Fii Hishodits Tsawariyin”. Padahal Hamas tidak berhukum dengan hokum Alloh, tidak menyuruh manusia meninggalkan zina(kawin kontrak, red) tidak pula mengunci Bar, bahkan menganggapnya bagian dari agama. Mereka berbohong atas nama Alloh dengan berembel – embel firman-NYa:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. (QS. Ali Imron:110)
Tidak pula diketahui dari Hamas merobohkan kubah – kubah di kuburan yang disembah selain Alloh, bahkan engkau ketahui kebohongan yang sangat bagi Syi’ah Rofidloh dan menabur bunga diatas kuburan sikafir Thogut “Al Khumaini” dan berkata:
Sungguh ini merupakan pemuliaan dan keagungan bagi dakwah kami dan juga berkata bhw pemimpin Syi’ah Rofidloh “al KHumaini” adalah Amirul Mukminin. Hal ini sebagaimana telah saya sebutkan dalam kajian yang berjudul “Rosail Ila Harokah Hammas al Filistiniyyah”

Hal ini merupakan sikap kontradiksinya dan tipua setan terhadapnya. Betapa tidak? Bagaima ia menyeru rovolusi Saudi, padahal Negara tersebut berhukum dengan hokum Alloh dan wajib berbaiat karenanya, justru bergabung dengan Hamas yang tidak berhukum dnegan hokum Alloh.

Dan tidaklah perbedaan antara Saudi dengan Hamas melainkan sebagaimana yang dikatakan penyair:
“apakah kamu tidak melihat bahwa pedang itu dapat menebas keinginannya
               Bila dikatakan bahwa pedang lebih lemah dari tongkat.”

Tidak dipungkiri bahwa Saudi bukanlah Negara yang sempurna kurang dari cacat dan aib, karena itu orang yang berakal akan memperbaikinya dan menyempurnakannya serta tidak merusak apalagi mengebo.

Terakhir aku mengajak para pemuda Islam, selamatkanlah diri kalian dan akal kalian bagi orang yang menipu. Sungguh kerusakan itu apabila menyelisihi Syariat dan mengikuti hawa nafsu yang tercela lagi membinasakan di dunia dan menghinakan di kahirat. Alloh berfirman:
يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلْنَٰكَ خَلِيفَةًۭ فِى ٱلْأَرْضِ فَٱحْكُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِٱلْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (QS. Shod: 27)
فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا۟ لَكَ فَٱعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَآءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ ٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ بِغَيْرِ هُدًۭى مِّنَ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. (QS. Al Qoshosh : 50)

Saya memohon pada Alloh agar menta’atinya, menetapkan kita pada hidayah-Nya dan mencukupkan kami beserta kaum muslimin dari segala kejelekan.

                                            selesai diterjemahkan pada 20 Robi’ul awwal 1433H/13 Februari 2012
                                                               oleh: Mujahid as Salafi



مُفْرَد - مُثَنَّى - جَمْع


L U G H O H
مُفْرَد - مُثَنَّى - جَمْع
MUFRAD (Tunggal) - MUTSANNA (Dual) - JAMAK
Dari segi bilangannya, bentuk-bentuk Isim dibagi tiga:
1) ISIM MUFRAD (tunggal) kata benda yang hanya satu atau sendiri.
2) ISIM MUTSANNA (dual) kata benda yang jumlahnya dua.
3) ISIM JAMAK (plural) atau kata benda yang jumlahnya lebih dari dua.
Isim Mutsanna (Dual) bentuknya selalu beraturan yakni diakhiri dengan huruf Nun Kasrah ( نِ ), baik untuk Isim Mudzakkar maupun Isim Muannats. Contoh:
Mufrad Tarjamah Mutsanna Tarjamah
رَجُلٌ = seorang laki-laki رَجُلاَنِ = dua orang laki-laki
جَنَّةٌ = sebuah kebun جَنَّتَانِ = dua buah kebun
مُسْلِمٌ = seorang muslim مُسْلِمَانِ = dua orang muslim
مُسْلِمَةٌ = seorang muslimah مُسْلِمَتَانِ = dua orang muslimah
Adapun Isim Jamak, dari segi bentuknya terbagi dua macam:
1. JAMAK SALIM ( جمْع سَالِم ) yang bentuknya beraturan:
Mufrad Tarjamah Jamak Tarjamah
اِبْنٌ = seorang putera
بَنُوْنَ
= putera-putera
بِنْتٌ = seorang puteri بَنَاتٌ = puteri-puteri
مُسْلِمٌ = seorang muslim مُسْلِمُوْنَ = muslim-muslim
مُسْلِمَةٌ = seorang muslimah مُسْلِمَاتٌ = muslimah-muslimah
2. JAMAK TAKSIR (جَمْع تَكْسِيْر ) yang bentuknya tidak beraturan:
Mufrad Tarjamah Jamak Tarjamah
رَسُوْلٌ
= seorang rasul رُسُلٌ = rasul-rasul
عَالِمٌ = seorang alim عُلَمَاءُ = orang-orang alim
رَجُلٌ = seorang laki-laki رِجَالٌ = para laki-laki
اِمْرَأَةٌ = seorang perempuan نِسَاءٌ = perempuan-perempuan
Ingat, jangan melangkah ke halaman selanjutnya sebelum mengerti pelajaran di atas dan menghafal semua kosa kata yang baru anda temukan!

INDAHNYA DI WAKTU MALAM

M U T I A R A   S A L A F


INDAHNYA DI WAKTU MALAM


Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Shalat hamba di tengah malam akan menghapuskan dosa.” Lalu beliau membacakan firman Allah Ta’ala,
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, …”
(HR. Imam Ahmad dalam Al Fathur Robbani 18/231)
‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhu berkata :
“Satu raka’at shalat malam itu lebih baik dari sepuluh rakaat shalat di siang hari.”
(Disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif 42 dan As Safarini dalam Ghodzaul Albaab 2/498)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :
“Barangsiapa yang shalat malam sebanyak dua raka’at maka ia dianggap telah bermalam karena Allah Ta’ala dengan sujud dan berdiri.”
(Disebutkan oleh An Nawawi dalam At Tibyan 95)
Ada yang berkata pada Al Hasan Al Bashri :
“Begitu menakjubkan orang yang shalat malam sehingga wajahnya nampak begitu indah dari lainnya.” Al Hasan berkata, “Karena mereka selalu bersendirian dengan Ar Rahman -Allah Ta’ala-. Jadinya Allah memberikan di antara cahaya-Nya pada mereka.”
Al Hasan Al Bashri juga mengatakan;
“Sesungguhnya karena sebab dosa seseorang menjadi terhalang untuk shalat malam.”
Abu Sulaiman Ad Darini berkata;
“Orang yang rajin shalat malam di waktu malam, mereka akan merasakan kenikmatan lebih dari orang yang begitu girang dengan hiburan yang mereka nikmati. Seandainya bukan karena nikmatnya waktu malam tersebut, aku tidak senang hidup lama di dunia.”
(Lihat Al Lathoif 47 dan Ghodzaul Albaab 2/504)
Imam Ahmad berkata :
“Tidak ada shalat yang lebih utama dari shalat lima waktu (shalat maktubah) selain shalat malam.”
(Lihat Al Mughni 2/135 dan Hasyiyah Ibnu Qosim 2/219)
Tsabit Al Banani berkata ;
“Saya merasakan kesulitan untuk shalat malam selama 20 tahun dan saya akhirnya menikmatinya 20 tahun setelah itu.”
(Lihat Lathoif Al Ma’arif 46).
Jadi total beliau membiasakan shalat malam selama 40 tahun. Ini berarti shalat malam itu butuh usaha, kerja keras dan kesabaran agar seseorang terbiasa mengerjakannya.
Ada yang berkata pada Ibnu Mas’ud, “Kami tidaklah sanggup mengerjakan shalat malam.” Beliau lantas menjawab, “Yang membuat kalian sulit karena dosa yang kalian perbuat.”
(Ghodzaul Albaab, 2/504)
Lukman berkata pada anaknya;
“Wahai anakku, jangan sampai suara ayam berkokok mengalahkan kalian. Suara ayam tersebut sebenarnya ingin menyeru kalian untuk bangun di waktu sahur, namun sayangnya kalian lebih senang terlelap tidur.”
(Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an 1726)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
“Baiknya batin sebenarnya akan menampakkan baiknya lahiriyah walaupun seseorang tidak memiliki tampan yang elok. Sebenarnya, seseorang akan semakin elok karena semakin baiknya batin yang ia miliki. Seorang mukmin akan mendapatkan keelokan tersebut tergantung pada kadar imannya. Jika yang lain melihatnya, maka pasti akan menaruh perhatian padanya. Dan siapa saja yang berinteraksi dengannya, pasti akan mencintainya dikarena keelokan yang tampak ketika memandangnya. Maka boleh jadi engkau melihat orang yang sholeh dan sering berbuat baik serta memiliki akhlak yang mulai, engkau lihat kelakuannya sungguh amat baik, padahal boleh jadi wajahnya itu hitam dan kurang menarik. Lebih-lebih jika Allah memberinya karunia (dengan wajah yang cerah) karena dia giat shalat malam. Sungguh shalat malam itu akan membuat wajah semakin cerah dan indah kala dipandang.”
(Roudhotul Muhibbin, 221)

SEJARAH SEBENARNYA TENTANG MAULID NABI

K O R E K S I

SEJARAH SEBENARNYA TENTANG MAULID NABI
oleh: Syaikh Athiyah Shaqr
PENGANTAR
banyak sekali anggapan bahwa acara Maulid Nabi MUhammad berawal dari Sholahudin al Ayyubi, benarkah demikian???! semoga uraian ini dapat memberi jwabannya. (red)
Para sejarawan tidak mengetahui seorangpun yang merayakan Maulid Nabi sebelum Dinasti Fathimiyyah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz Hasan as-Sandubi.
Mereka merayakan Maulid Nabi di Mesir dengan pesta besar. Mereka membuat kue dalam jumlah besar dan membagi-bagikannya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Qalqasandi dalam kitabnya Shubhul A’sya.”  urutan sejarah maulid sebagai berikut:
Pertama:
Di Mesir. Orang-orang Fathimiyyah merayakan berbagai macam maulid untuk ahlul bait. Yang pertama kali melakukan adalah al-Muiz lidinillah (341-365H) pada tahun 362 H. Mereka juga merayakan Maulid Isa (natalan) sebagaimana dikatakan oleh al-Maqrizi as-Syafi’i dalam kitab as-Suluk Limakrifati Dualil Muluk. Kemudian Maulid Nabi- begitu pula maulid-maulid yang lain- pada tahun 488 H karena khalifah al-Musta’li billah mengangkat al-Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali sebagai mentri. Ia adalah orang kuat yang tidak menentang ahlus sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Kamil: 5/302. Hal ini berlangsung hingga kementrian diganti oleh al-Makmun al-Bathaihi, lalu ia mengeluarkan instruksi untuk melepas shadaqat (zakat) pada tanggal 13 Rabiul Awal 517 H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sanaul Malik. (Mei 1997, Fatawa al-Azhar: 8/255)
Sejarahwan sunni Syaikh al-Maqrizi al-Syafi’i (854 H) dalam kitab al-Khuthath (1/490 dan sesudahnya) berkata:
Menyebut hari-hari di mana para khalifah Fathimiyyah menjadikannya sebagai hari raya dan musim perayaan, pesta besar bagi rakyat dan banyak kenikmatan di dalamnya untuk mereka.”
Lalu dia mengatakan:
“Adalah para khalifah Fathimiyyah di sepanjang tahun memiliki hari-hari raya dan hari-hari besar, yaitu: Hari Raya Tahun Baru, Hari Raya Asyura`, Hari Raya Maulid Nabi saw, Hari Raya Maulid Ali ibn Abi Thalib ra, Maulid Hasan dan Husain as, Maulid Fathimah as, Maulid Khalih al-Hadir (yang sedang berkuasa), Malam Awal Rajab, Malam Nishfu Sya’ban, Malam Ramadhan, Ghurrah (awal) Ramadhan, Simath (tengah) Ramadhan, Malam Khataman, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Kurban, Hari Raya Ghadir (Khum), Kiswah as-Syita` (pakaian musim hujan), Kiswah as-Shaif (pakaian musim panas), Hari Besar Pembukaan Teluk, Hari Raya Nairuz (tahun Baru Persia), Hari Raya al-Ghuthas, Hari Raya Kelahiran, Hari Raya Khamis al-Adas (khamis al-ahd,3 hari sebelum Paskah), dan hari-hari Rukubat.”
Sementara dalam kitab Itti’azhul Khunafa` (2/48) al-Maqrizi berkata: (pada tahun 394 H) “Pada bulan Rabiul Awal manusia dipaksa untuk menyalakan kendil-kendil (lampu) di malam hari di rumah-rumah, jalan-jalan dan gang-gang di Mesir.” Di tempat lain (3/99) ia berkata: (pada tahun 517 H)
 ”Dan berlakulah aturan untuk merayakan Maulid Nabi yang mulia pada bulan Rabiul Awal seperti biasa.” Untuk keterangan lebih lanjut mengenai apa yang terjadi saat perayaan Maulid Nabi dan besarnya walimah maka silakan merujuk pada al-khuthath; 1/432-433; Syubul A’sya, karya al-Qalqasandi: 3/498-499).
Setelah mengutip kutipan di atas maka Syaikh Nashir ibn Yahya al-Hanini penulis al-Maulid an-Nabawi menyimpulkan: “Dari kutipan di atas, renungkanlah bersama saya. BagaimanaMaulid Nabi dikumpulkan bersama bid’ah-bid’ah besar seperti:
a) Bid’ah Syi’ah dan ghuluw (kultus) terhadap ahlul bait yang tercetus dalam Maulid Ali, Maulid Fathimah, Maulid Hasan dan Husain.
b) Bid’ah hari besar Nairuz, hari raya Ghuthas, dan hari maulid Isa (natal), yang kesemuanya adalah hari raya Kristen. Ibnul Turkmani dalam kitabnya al-Luma’ fil Hawadits wal Bida’ (1/293-316) berkata tentang hari-hari raya milik Nashari tersebut: “Pasal, termasuk bid’ah dan kehinaan adalah apa yang dilakukan oleh kaum muslimin pada Hari Raya Nairuz milik Nasrani dan hari-hari besar mereka, yaitu ikut menambah uang belanja (lebih dari hari biasanya).” Ia berkata,
Nafkah ini tidak akan diganti (oleh Allah) dan keburukannya akan kembali kepada orang yang mengeluarkannya, cepat atau lambat.”
Lalu dia berkata, Di antara sedikitnya taufiq dan kebahagiaan adalah apa yang dilakukan oleh orang muslim yang buruk pada hari yang disebut dengan hari Natal (kelahiran/ maulid Isa).”
Kemudian ia mengutip ucapan ulama-lama Madzhab Hanafi bahwa siapa yang melakukan perkara-perkara di atas dan tidak bertaubat maka ia kafir seperti mereka.
Kemudia ia menyebut hari-hari raya Nasrani yang biasa diikuti oleh orang-orang Islam yang jahil. Dia menjelaskan keharamannya berdasarkan al-Quran dan Sunnah melalui kaedah-kaedah syariat. Dengan demikian, maka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah Banu Ubaid yang dikenal dengan sebutan Fathimiyyiin.
Kedua:
Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada saat Shalahuddin al-Ayyubi menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir al-Adhidh Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M )maka dibatalkanlah semua pengaruh kaum Fatimiyyin di seluruh wilayah negara Ayyubiyah, kecuali Raja Muzhaffar yang menikahi saudari Shalahuddin al-Ayyubi ini. Perayaan maulid inikembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun 922 H oleh khalifah Qanshuh al-Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H ketika Orang-Orang Turki Usmani memasuki Mesir maka mereka meniadakan maulid ini. Namun setelah itu muncul kembali. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Iyas.
Ketiga:
Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H perayaan maulid menjadi acara resmi di kota Arbil, melalui sultan Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti bani Ubaid Fatimiyyin). Dia membuat kubah-kubah di awal bulan Shafar, dan menghiasinya dengan seindah mungkin. Di hari itu, dimeriahkan dengan nyanyian, musik dan hiburan qarquz,  Gubernur menjadikannya sebagai hari libur nasional, agar mereka bisa menonton berbagai hiburan ini. Kubah-kubah kayu berdiri kokoh dari pintu benteng sampai pintu al-Khanqah. Setiap hari setelah shalat ashar Muzhaffaruddin turun mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama musik dan melihat segala yang ada di sana. Ia membuat perayaan maulid pada satu tahun pada bulan ke delapan, dan pada tahun yang lain pada bulan ke 12. Dua hari sebelum maulid ia mengeluarkan onta, sapi dan kambing. Hewan ternak itu diarak dengan jidor menuju lapangan untuk disembelih sebagai hidangan bagi masyarakat.
Sementara menurut Abu Syamah dalam kitab al-Ba’its ala Inkaril Bida’ wal-Hawadits mengatakan: Orang yang pertama melakukan hal tersebut di Mosul (Mushil) adalah syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla salah seorang shalih yang terkenal, maka penguasa Arbil meniru beliau.” Para sejarawan termasuk Ibnu Katsir dalam Tarikhnya menyebutkan bahwa perayaan maulid yang diadakan oleh Raja Muzhaffar ini dihadiri oleh kaum shufi, melalui acara sama’ (pembacaan qashidah dan nyanyian-nyanyian keagamaan kaum shufi) dari waktu zhuhur hingga fajardia sendiri ikut turun menari/ bergoyang (semacam joget-ala shufi). Dihidangkan 5000 kambing guling, 10 ribu ayam dan 100.000 zubdiyyah (semacam keju), dan 30.000 piring kue. Biaya yang dikeluarkan untuk acara ini –tiap tahunnya- sebesar 300.000 Dinar. Syaikh Umar ibn Muhammad al-Mulla yang menjadi panutan sultan Muzhaffar adalah seorang shufi yang setiap tahun mengadakan perayaan maulid dengan mengundang umara, wuzara (para mentri) dan ulama (shufi). Ibnul Hajj Abu Abdillah al-Abdari berkata, “Sesungguhnya perayaan ini tersebar di Mesir pada masanya, dan ia mencela bid’ah-bid’ah yang ada di dalamnya.”(Al-Madkhal: 2/11-12) Pada abad ke 7 kitab-kitab maulid banyak ditulis, seperti kisah ibn Dahiyyah yang meninggal di Mesir w. 633 H, Muhyiddin Ibnul Arabi yang wafat di Damaskus tahun 638 H, ibnu Thugharbek yang wafat di Mesir tahun 670 H, dan Ahmad al-’Azli bersama putranya Muhammad yang wafat tahun 677 H. Karena banyaknya bid’ah-bid’ah yang menyertai acara maulid maka para ulama mengingkarinya, bahkan mengingkari hukum asal maulid. Di antara mereka adalah al-Fakih al-Maliki Tajuddin Umar ibn Ali al-Lakhami al-Iskandari yang dikenal dengan sebutan al-Fakihani yang wafat tahun 731 H. Dia menuliskannya dalam risalah al-Maurid fil Kalam alal MaulidHal ini disebutkan oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya Husnul Maqshad.
Kemudian Syaikh Muhammad al-Fadhil ibn Asyur berkata, “Maka datanglah abad ke 9, sementara manusia berselisih antara yang membolehkan dan melarang. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (773-852), as-Suyuti (849-911) dan Ibnu Hajar al-Haitami (909-974) menganggap baik, dengan pengingkaran mereka terhadap bid’ah-bid’ah yang menempel pada acara maulid. Mereka menyandarkan pendapat mereka pada firman Allah yang artinya:
Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.” (QS. Ibrahim: 5)
Imam Nasai, dan Abdullah ibn Ahmad dalam Zawaid al-Musnad, serta al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ubay ibn Ka’b, dari Nabi saw, beliau menafsiri hari-hari Allah dengan nikmat-nikmat Alah dan karunia-Nya.” (Ruhul Ma’ani, karya al-Alusi) Sedangkan kelahiran Nabi saw adalah nikmat Allah yang besar.
Saya katakan:
Betul, mengingatkan nikmat-nikmat Allah termasuk di dalamnya adalah Maulid Nabi saw melalui khutbah, ceramah, kajian, dan tulisan, bukan dengan hari raya dan perayaan atau pesta atau idul milad atau mauludan.
Penutup
Pembaca yang mulia, setelah kita mengetahui asal muasal Maulid Nabi, yaitu berasal dari kaum bathiniyyah (kebatinan) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib; maka di sini kita perlu mengatakan kepada orang-orang yang menilai masalah secara proporsional, logis dan obyektif:
Apakah benar jika kita menjadikan orang-orang seperti itu sebagai sumber ibadah kita dan syiar agama kita?”
Sementara kita mengatakan sekali lagi:
Sesungguhnya abad-abad awal yang diutamakan oleh Allah, tempat para panutan kita -salafuna shalih- hidup tidak ada secuilpun bagi adanya ibadah semacam ini, apakah dari ulamanya ataupun dari masyarakat awamnya. Tidakkah cukup bagi kita apa yang dahulu cukup bagi mereka, salafus shalih itu?” [*]
Malang, 23 Muharram 1430H/ 20-1-09
sumber : www.qiblati.com

Maraji :
1. Nashir ibn Yahya al-Hanini, dalam al-Maulid an-Nabawi, Tarikhuh, Hukmuhuh, Atsaruh)

2. Athiyah Shaqr, Fatawa al-Azhar (Maktabah Syaamilah 2)

3. Jalaluddin as-Suyuthi, Husnul Maqshad fi Amalil Maulid, dalam kitab al-Hawi lilfatwa, Darul Fikr,1414,1/221-231.

4. Samir ibn Khalil al-Maliki, Mukhtasar fi Hukmil A’yad al-Muhdatsah,www.alsoufia.com/mawled/tareekh/index_tareekhl_awal.html)


6. Shalih Suhaimi, al-Bida’ wa atsaruha fi inhiraf at-Tashawwur al-Islamiwww.iu.edu.sa/Magazine/50-51/7.doc